Semua Bab Kesesuaian Jiwa: Bab 1 - Bab 10

21 Bab

Bagian Pertama

Malam itu dalam suasana hikmat yang penuh dengan kebahagiaan, Reny menarik tanganku ke dalam ruangan. Ruangan itu menghadap ke barat. Dengan panjang 6 meter dari timur ke barat. Dan lebar 4 meter dari utara ke selatan. Pada bagian pojok barat laut di dalam ruangan itu terdapat kamar mandi yang menghadap ke selatan. Lalu persis di samping kiri sebelah luar tembok kamar mandi, ada satu ranjang yang membujur dari utara ke selatan. Kemudian TV LED dengan ukuran 32 inci menghadap ke ranjang. Dan di sebelah kanan TV LED, almari yang besar dan berwarna cokelat ada di sana.Lantai dan dinding ruangan itu berselimut keramik putih bersih. Kecuali dinding pada bagian timur yang berbeda, bukan terbuat dari keramik putih. Melainkan ianya terbuat dari kaca tebal yang bening. Pada bagian tengah dinding yang terbuat dari kaca tersebut bisa dibuka untuk sirkulasi udara. Atau yang biasa kita sebut jendela. Oleh karenanya, kesemua kaca pada bagian timur itu cukup diberi penutup korden bes
Baca selengkapnya

Bagian Kedua

Setelah itu aku mengubah posisi rebahanku yang awalnya miring, menjadi rebahan telentang. Sedangkan Reny tetap miring dengan menyandarkan kepalanya ke dadaku. Kini aku bebas membelai rambutnya atau memeluknya. Semua benda yang ada di kamar itu seolah menatap kami, mereka seperti cemburu kepada kami.Dengan terus membelai rambutnya, tanpa aku minta Reny mulai bercerita tentang dirinya, ibunya, dan ayahnya.“Sayang, dulu pas aku mengaji di TPQ (Taman Pendidikan Qur’an), aku pernah membuat guruku menangis”“Oh ya? Kok bisa?” Seruku sambil menghentikan sejenak belaian di rambutnya. Saat dia melanjutkan cerita, baru aku teruskan lagi aktifitas yang dipuji Tuhan itu.“Iyah, waktu itu ba’da maghrib kami berkumpul di rumah beliau. Nama beliau adalah Pak Ahmad Zainuri. Kami biasa memanggilnya Pak Zen. Beliau mengajari kami membaca Al Qur’an, menghafal do’a-do’a umum, dan juga mengh
Baca selengkapnya

Bagian Ketiga

Lalu benar ketika Reny mengatakan, Banyak juga aku temui sosok seperti kamu di kampus. Sebab saat Reny melabeli aku ganteng, rajin, pintar, puitis, ceria, populer, alim. Sebenarnya aku merasa tidak ada apa-apanya dengan sahabatku yang bernama Ali.Iyah, Ali adalah sahabat terbaik semasa kuliah. Dia tinggal satu kos denganku. Aku tahu betul sosok seperti apa dia. Jika Reny melabeli aku alim, maka menurutku Ali jauh lebih alim. Buktinya, ketika panggilan kasih sayang-Nya berkumandang (suara adzan). Yang dengan panggilan itu hanya mampu menggugah dan menggerakkan hati orang yang benar-benar tebal imannya. Orang yang memiliki tekad beribadah sesempurna mungkin dalam segala musim dan cuaca. Seperti karang yang tegak berdiri dalam terjangan ombak, terpaan badai, dan sengatan matahari. Atau seperti matahari yang jutaan tahun membakar tubuhnya untuk memberikan penerangan ke bumi. Tiada mengeluh sedetik pun menjalankan titah Tuhan.Dan Ali adalah orangnya. Yang term
Baca selengkapnya

Bagian Keempat

Dalam sejarah persahabatanku dengan Ali, baru kali ini dia mengajakku ke rumah perempuan. Artinya ini benar-benar serius. Kira-kira semester tujuh akhir Ali pernah bercerita kepadaku tentang perempuan yang dia sukai itu. Perempuan tersebut masih adik kelas satu tahun di bawah kami. Kami Jurusan Bimbingan Konseling Islam sedangkan perempuan itu Jurusan Psikologi.Ali bercerita kepadaku bahwa dia mengenal perempuan itu lewat facebook. Siapa sangka ternyata masih satu kampus, hanya beda fakultas saja. Awalnya Ali kagum sama pemikiran-pemikiran perempuan itu yang diunggah dalam status facebook. Ali pun mulai sering stalking facebook perempuan yang dimaksud. Lalu mulai menyapa dan mengobrol lewat chat. Kemudian makin ke sini, Allah menghadirkan rasa cinta di hati Ali.Jangan dibayangkan Ali pacaran! Bahkan berbicara secara langsung dengan perempuan yang disukainya itu, Ali tidak pernah. Ali sekali-kali bukan pemuda yang seperti kebanyakan pemuda. Dan kisah cinta
Baca selengkapnya

Bagian Kelima

Aku dan Ali kembali masuk mobil hitam. Aku duduk diam di depan bagian samping sebelah kiri. Sementara Ali berada di kananku. Dia menyandarkan kepalanya di kemudi. Kami diam beberapa saat. Aku biarkan Ali memulai pembicaraan. Karena aku yakin atas kejadian barusan bisa jadi jiwanya terguncang. Tiba-tiba Ali menyodorkan tangannya, meminta berjabat tangan sambil mengatakan..“Selamat, kamu beruntung sekali Iz..” Ali berkata kepadaku dengan air mata merembes ke mana-mana. Aku memilih tidak menyalaminya tapi langsung memeluknya. Beberapa menit kemudian, dia baru melepaskan pelukanku.“Aku mengajakmu ke sini untuk mengantarku. Tapi takdir tertulis, Putri justru memilihmu. Itulah kenyataannya”“Jika karena ini lalu kamu memilih berhenti berteman denganku. Maka aku tidak akan menerimanya!” Jawabku penuh emosional.“Hey, jangan keliru! Kamu bodoh kalau tidak menerimanya. Putri anak yang baik, pintar
Baca selengkapnya

Bagian Keenam

Bersyukur sekali aku dan Reny Putri Salsabila sudah mengikat perjanjian yang kuat. Yakni menikah. Ianya adalah ibadah seumur hidup. Jika sholat itu ibadah yang ditentukan waktunya, puasa tiap ramadhan, zakat saat ramadhan, dan haji pada musim haji. Maka ibadah menikah tidaklah terikat waktu. Lihat, memegang tangan istri adalah ibadah yang berpahala. Membeli makanan atau baju untuk istri juga berpahala. Demikian juga mencium dan merayunya. Dan itu bisa dilakukan kapanpun. Nikmat sekali bukan?Setelah ibadah malam pertama itu kami tertidur pulas. Pada pukul 03.00 aku terbangun. Aku matikan alarm di hapeku dan bergegas membersihkan diri. Mandi besar. Tanpa ku bangunkan, istriku juga sudah bangun sendiri. Mungkin dia juga mendengar alarm tadi. Lalu ia menyusul mandi besar setelahku. Kemudian kami sholat tahajud. Dilanjut membaca al Qur’an, sambil menunggu adzan shubuh yang jatuh sekitar jam 04.05.Saat adzan shubuh berkumandang, tentu saja kami berhenti m
Baca selengkapnya

Bagian Ketujuh

Saat makan malam tiba, di rumah yang terletak di Perumahan Citraland Bukit Palma Kota Surabaya hanya berpenghuni tiga orang. Iyah, rumah berlantai dua ini jadi terasa sepi. Hanya ada aku, Mama, dan asisten rumah tangga yang bernama Rahma. Di mana yang lain? Baik, aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara yang kesemuanya perempuan. Usiaku sekarang dua puluh sembilan tahun.Adikku yang bernama Farhana berusia dua puluh tujuh tahun. Farhana menikah lima tahun yang lalu atau saat berusia dua puluh dua tahun. Farhana sudah mempunyai satu anak yaitu Fiyah yang siang tadi aku kunjungi.Kemudian adik bungsuku yang bernama Sarah beda usia denganku tujuh tahun. Benar sekali, usia Sarah sekarang dua puluh dua tahun.Sama seperti Farhana, Sarah juga sudah menikah. Tepatnya satu tahun yang lalu. Namun pernikahan adik bungsuku itu cukup membuat heboh di komplek perumahan kami. Pertama, apalagi kalau bukan heboh soal aku. Aku sekali lagi didahului adik-adi
Baca selengkapnya

Bagian Kedelapan

Makan malam yang berantakan tadi, membawa dampak besar. Akibatnya malam itu aku tidak bisa tidur. Percakapan dengan Mama masih terekam jelas dalam memoriku. Aku benar-benar merasa “ditampar”.Pertama, ketakutan Mama. Mama tak mau seperti Papa yang tidak bisa melihat aku menikah. Yah, walaupun aku tahu itu cukup dramatis. Menikah agar orang tua sempat menyaksikan sebelum meninggal. Namun alasan Mama ingin melihat diriku menikah kini menjadi alasanku juga.Sehingga sekarang lebih mendesak karena alasan-alasan yang kuat. Jelas dari dalam diri aku ingin menikah, mengikuti sunnah rosul. Usiaku juga sudah lebih dari cukup. Kemudian melihat keponakanku Fiyah, ingin sekali rasanya mempunyai anak sendiri. Tak bisa dipungkiri, ini juga menjadi alasan. Ditambah keinginan Mama, membuatku ingin semakin mempercepat menikah. Kedua, ada kalimat Mama yang cukup terngiang-ngiang di kepalaku. Ialah kalimat simple ini, “…Kalau tidak
Baca selengkapnya

Bagian Kesembilan

Ridho pasti bertanya-tanya ada apa? Dia merasa ada yang aneh. Aku juga yakin dia bakal menyiapkan diri atas apa yang akan terjadi nanti. Biasanya dalam sebulan, aku dan Ridho punya agenda untuk keluar bareng. Terutama kalau gaji bulanan sudah cair. Tapi malam nanti adalah spontan. Tidak ada dalam agenda. Dan belum gajian.Tempat biasa yang kami maksud adalah sebuah restoran yang berada di Mall Tunjungan Plaza Surabaya. Kami berdua cukup sering ke restoran itu. Semua menunya seafood. Masakannya juga begitu memanjakan lidah. Tempatnya asik. Sengaja pencahayaannya dibuat remang-remang. Sehingga ada kesan romantis sejak pertama menginjakkan kaki masuk ke dalam restoran tersebut.Ternyata benar, Ridho begitu penasaran tentang apa yang akan aku katakan. Sebegitu penasarannya, sampai-sampai baru saja kami berdua bertemu di restoran, Ridho langsung menanyakan. Tapi aku katakan, selesai makan baru fokus berbincang-bincang. Ridho pun “terpaksa” mengiyakan
Baca selengkapnya

Bagian Kesepuluh

Singkat cerita, butuh waktu persiapan selama enam bulan setelah makan malam di restoran itu. Hingga akhirnya aku dan Ridho baru melangsungkan pernikahan. Saat menikah, usiaku tiga puluh tahun lebih satu bulan. Sementara Ridho berusia tiga puluh dua tahun lebih empat bulan.Jika setelah menikah tetap ada yang komentar tentang pernikahanku termasuk telat. Maka aku tidak peduli lagi. Pertama, karena hakikatnya tidak ada kata cepat atau sedang atau terlambat dalam urusan jodoh, rezeki, apalagi kematian.Kedua, secara umum kini aku tidak peduli lagi dengan komentar tidak baik. Sebab sejatinya mustahil aku bisa menyenangkan semua orang dan mustahil juga aku mencocokkan kelakuanku dengan harapan semua orang.Kenyataannya adalah aku tak mungkin bisa mengendalikan orang mau berkomentar apa tentang aku. Namun aku masih bisa mengendalikan bagaimana responku terhadap komentar mereka. Orang memang bisa berkomentar apa saja tentang aku. Tapi yang tahu pasti
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123
DMCA.com Protection Status