Malam itu dalam suasana hikmat yang penuh dengan kebahagiaan, Reny menarik tanganku ke dalam ruangan. Ruangan itu menghadap ke barat. Dengan panjang 6 meter dari timur ke barat. Dan lebar 4 meter dari utara ke selatan. Pada bagian pojok barat laut di dalam ruangan itu terdapat kamar mandi yang menghadap ke selatan. Lalu persis di samping kiri sebelah luar tembok kamar mandi, ada satu ranjang yang membujur dari utara ke selatan. Kemudian TV LED dengan ukuran 32 inci menghadap ke ranjang. Dan di sebelah kanan TV LED, almari yang besar dan berwarna cokelat ada di sana.
Lantai dan dinding ruangan itu berselimut keramik putih bersih. Kecuali dinding pada bagian timur yang berbeda, bukan terbuat dari keramik putih. Melainkan ianya terbuat dari kaca tebal yang bening. Pada bagian tengah dinding yang terbuat dari kaca tersebut bisa dibuka untuk sirkulasi udara. Atau yang biasa kita sebut jendela. Oleh karenanya, kesemua kaca pada bagian timur itu cukup diberi penutup korden besar.Dan ketika penutup dibuka dengan menggesernya pada waktu pagi. Tentu saja tiap hari yang cerah, sinar matahari akan menyapa siapa saja yang berada dalam ruangan itu. Bau harum ruangan yang khas juga menari-nari di hidungku begitu aku memasukinya. Ruangan itu adalah kamar Reny.Setelah berada di dalam kamar, Reny tidak melepas tanganku sampai kami berada di depan ranjang. Barulah Reny memberikan gesture seperti mempersilahkan aku untuk rebahan di sana. Karena ranjang itu membujur dari utara ke selatan. Otomatis tubuhku juga mengikuti alur ranjang. Kepalaku berada di bagian utara dengan posisi rebahan miring menghadap ke timur. Aku menyanggah kepalaku dengan sebelah tangan kiriku. Antara kepala, pundak, dan tanganku terlihat seperti membentuk segitiga tumpul.Sementara itu Reny bergegas melepas jilbab lalu menggantungkannya di gantungan yang ada dalam almari. Aku hanya diam dan terus memandangnya. Namun ada rasa canggung menyusup begitu saja dalam dadaku. Keringat dingin juga mulai keluar dari dahiku.Selesai melepas jilbab, kemudian Reny menyusulku rebahan di atas ranjang. Juga dengan posisi miring, namun dia menghadap ke barat. Wajahnya tepat berada di depan wajahku. Walaupun ada sepasang bantal di sana. Sama sepertiku, Reny juga memilih berbantal sebelah tangan kanannya. Jika dilihat dari atas, aku dan Reny bagaikan orang bercermin. Posisi sama persis tapi berkebalikan.***Sungguh baru kali ini aku melihat Reny tanpa berjilbab. Rambutnya lurus namun bergelombang dibagian ujung-ujungnya. Warna hitam mengkilat di bagian lurusnya, sedang pada bagian ujung-ujung yang bergelombang itu berwarna kecokelatan. Bau harum rambutnya yang khas langsung merasuk menyusuri rongga hidungku. Reny sengaja memilih model rambut seperti itu. Dan terlihat betul bahwa ia benar-benar merawat rambutnya.Kemudian aku melihat matanya yang meneduhkan. Hidungnya yang mancung indah. Bibirnya yang berwarna merah merona. Dia begitu cantik jelita. Sejak dari tadi tak sedikitpun mataku berpaling dari dirinya. Iyah, Reny adalah istriku dan malam itu adalah malam pertama pernikahan kami.“Ada apa suamiku? Kau sepertinya salah tingkah” Tanya Reny sambil mengusap keringat dingin yang mengucur begitu saja di dahiku.Aku tersenyum dan mencoba mencairkan suasana.“Iyah, karena ini baru pertama kalinya dalam hidupku” Aku mengucapkan kalimat itu dengan ekspresi wajah semanis mungkin. Atau lebih tepatnya sok manis.Reny tertawa lalu dengan segera menutupi mulut dengan tangan kirinya. Walaupun begitu, kapasitas tawa yang jauh lebih kecil masih terdengar. Dia tak menduga aku mejawab seperti itu. Karena tentu saja, ini juga baru pertama kali dalam hidup Reny.Suasana jadi lebih cair. Kali ini Reny membelai rambutku dengan tangan kirinya. Aku biarkan saja. Aku terus memandang matanya. Aku tau, sebenarnya aku lah yang harus memulai. Tapi apa yang dia lakukan benar-benar menunjukkan begitu besar cintanya padaku.Kenyataannya aku mengenal istriku tak lebih dari satu bulan yang lalu. Dan justru sudah sejak lama Reny yang menaruh hati padaku. Mungkin dia sudah lama mengamati aku. Sedangkan aku? Tiba-tiba rasa bersalah begitu saja muncul dalam hatiku. Nanti akan aku ceritakan bagaimana proses sebelum pernikahan kami.“Suamiku, boleh kah aku memanggilmu sayang?” Reny mungkin juga merasa canggung. Tidak tau harus dimulai dari mana. Tapi dia lebih pintar menyembunyikan salah tingkahnya. Reny berkata seperti itu dengan tetap membelai rambutku. Rasa cintaku sedikit demi sedikit mulai meningkat. Namun, masih kalah besar dengan cinta Reny padaku.“Tentu saja boleh. Kau kan istriku”“Sayang, aku mau mengatakan. Sungguh beruntung sekali aku mempunyai suami sepertimu”“Itu tidak benar” Jawabku dengan cepat sesaat setelah mendapat pernyataan dari Reny.Sontak Reny kaget mendapat jawaban seperti itu dariku. Ekspresinya berubah dari senyum ke ekspresi serius, seperti ingin meminta penjelasan. Sulit sekali menggambarkan indahnya perubahan ekspresi itu. Sebelum dia bertanya, aku memberikan penjelasan.“Iyah, itu tidak benar. Karena jika laki-laki dan perempuan sudah menikah, maka tidak ada yang lebih beruntung diantara keduanya. Bukankah wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji? Dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita yang keji pula. Wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik. Dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik. Bagiku menikah itu seperti ukuran kepantasan yang diberikan Tuhan kepada manusia. Tidak ada yang lebih beruntung diantara keduanya. Dan tidak pula ada yang lebih pantas diantara keduanya. Itu yang aku yakini”Reny memperhatikan dengan seksama tiap detail yang aku katakan. Lihatlah, dari ekspresi ingin tahu berubah lagi menjadi ekspresi senyum merekah sempurna. Tatapan matanya yang berbinar seolah ingin segera menghamburkan pelukan kepadaku.“Dan perempuan di depanku ini. Dia begitu cantik, baik, terus kabar gembiranya dia sangat mencintaiku. Lalu lebih beruntung mana? Bukankah aku yang lebih beruntung, sayang?”Aku merayunya. Walaupun dari tadi dia yang terus membelai rambutku. Kali ini pipinya memancar sedikit warna merah di sana. Kemudian dengan sigap Reny langsung menimpali pertanyaanku.“Itu tidak benar” Dia meniru perkataanku dengan mimik wajah melucu.Kami berdua lantas tertawa. Saat tawa itu aku rasa agak keras hingga bisa saja terdengar sampai ke luar kamar. Aku langsung menghujaninya dengan ciuman.Hatiku terasa sejuk dan bahagia. Inilah yang membedakan yang halal dan yang haram. Bermesraan dengan yang halal, istri yang sah, adalah ibadah yang dipuji Tuhan. Sementara bermesraan dengan perempuan yang tidak halal adalah dosa yang dilaknat Tuhan.Tuhan telah membukakan pintu-pintu kenikmatan yang mendatangkan pahala, maka alangkah bodohnya manusia yang menyia-nyiakannya. Lebih bodoh lagi yang memilih pintu dosa dan neraka.Setelah itu aku mengubah posisi rebahanku yang awalnya miring, menjadi rebahan telentang. Sedangkan Reny tetap miring dengan menyandarkan kepalanya ke dadaku. Kini aku bebas membelai rambutnya atau memeluknya. Semua benda yang ada di kamar itu seolah menatap kami, mereka seperti cemburu kepada kami.Dengan terus membelai rambutnya, tanpa aku minta Reny mulai bercerita tentang dirinya, ibunya, dan ayahnya.“Sayang, dulu pas aku mengaji di TPQ (Taman Pendidikan Qur’an), aku pernah membuat guruku menangis”“Oh ya? Kok bisa?” Seruku sambil menghentikan sejenak belaian di rambutnya. Saat dia melanjutkan cerita, baru aku teruskan lagi aktifitas yang dipuji Tuhan itu.“Iyah, waktu itu ba’da maghrib kami berkumpul di rumah beliau. Nama beliau adalah Pak Ahmad Zainuri. Kami biasa memanggilnya Pak Zen. Beliau mengajari kami membaca Al Qur’an, menghafal do’a-do’a umum, dan juga mengh
Lalu benar ketika Reny mengatakan, Banyak juga aku temui sosok seperti kamu di kampus. Sebab saat Reny melabeli aku ganteng, rajin, pintar, puitis, ceria, populer, alim. Sebenarnya aku merasa tidak ada apa-apanya dengan sahabatku yang bernama Ali.Iyah, Ali adalah sahabat terbaik semasa kuliah. Dia tinggal satu kos denganku. Aku tahu betul sosok seperti apa dia. Jika Reny melabeli aku alim, maka menurutku Ali jauh lebih alim. Buktinya, ketika panggilan kasih sayang-Nya berkumandang (suara adzan). Yang dengan panggilan itu hanya mampu menggugah dan menggerakkan hati orang yang benar-benar tebal imannya. Orang yang memiliki tekad beribadah sesempurna mungkin dalam segala musim dan cuaca. Seperti karang yang tegak berdiri dalam terjangan ombak, terpaan badai, dan sengatan matahari. Atau seperti matahari yang jutaan tahun membakar tubuhnya untuk memberikan penerangan ke bumi. Tiada mengeluh sedetik pun menjalankan titah Tuhan.Dan Ali adalah orangnya. Yang term
Dalam sejarah persahabatanku dengan Ali, baru kali ini dia mengajakku ke rumah perempuan. Artinya ini benar-benar serius. Kira-kira semester tujuh akhir Ali pernah bercerita kepadaku tentang perempuan yang dia sukai itu. Perempuan tersebut masih adik kelas satu tahun di bawah kami. Kami Jurusan Bimbingan Konseling Islam sedangkan perempuan itu Jurusan Psikologi.Ali bercerita kepadaku bahwa dia mengenal perempuan itu lewat facebook. Siapa sangka ternyata masih satu kampus, hanya beda fakultas saja. Awalnya Ali kagum sama pemikiran-pemikiran perempuan itu yang diunggah dalam status facebook. Ali pun mulai sering stalking facebook perempuan yang dimaksud. Lalu mulai menyapa dan mengobrol lewat chat. Kemudian makin ke sini, Allah menghadirkan rasa cinta di hati Ali.Jangan dibayangkan Ali pacaran! Bahkan berbicara secara langsung dengan perempuan yang disukainya itu, Ali tidak pernah. Ali sekali-kali bukan pemuda yang seperti kebanyakan pemuda. Dan kisah cinta
Aku dan Ali kembali masuk mobil hitam. Aku duduk diam di depan bagian samping sebelah kiri. Sementara Ali berada di kananku. Dia menyandarkan kepalanya di kemudi. Kami diam beberapa saat. Aku biarkan Ali memulai pembicaraan. Karena aku yakin atas kejadian barusan bisa jadi jiwanya terguncang. Tiba-tiba Ali menyodorkan tangannya, meminta berjabat tangan sambil mengatakan..“Selamat, kamu beruntung sekali Iz..” Ali berkata kepadaku dengan air mata merembes ke mana-mana. Aku memilih tidak menyalaminya tapi langsung memeluknya. Beberapa menit kemudian, dia baru melepaskan pelukanku.“Aku mengajakmu ke sini untuk mengantarku. Tapi takdir tertulis, Putri justru memilihmu. Itulah kenyataannya”“Jika karena ini lalu kamu memilih berhenti berteman denganku. Maka aku tidak akan menerimanya!” Jawabku penuh emosional.“Hey, jangan keliru! Kamu bodoh kalau tidak menerimanya. Putri anak yang baik, pintar
Bersyukur sekali aku dan Reny Putri Salsabila sudah mengikat perjanjian yang kuat. Yakni menikah. Ianya adalah ibadah seumur hidup. Jika sholat itu ibadah yang ditentukan waktunya, puasa tiap ramadhan, zakat saat ramadhan, dan haji pada musim haji. Maka ibadah menikah tidaklah terikat waktu. Lihat, memegang tangan istri adalah ibadah yang berpahala. Membeli makanan atau baju untuk istri juga berpahala. Demikian juga mencium dan merayunya. Dan itu bisa dilakukan kapanpun. Nikmat sekali bukan?Setelah ibadah malam pertama itu kami tertidur pulas. Pada pukul 03.00 aku terbangun. Aku matikan alarm di hapeku dan bergegas membersihkan diri. Mandi besar. Tanpa ku bangunkan, istriku juga sudah bangun sendiri. Mungkin dia juga mendengar alarm tadi. Lalu ia menyusul mandi besar setelahku. Kemudian kami sholat tahajud. Dilanjut membaca al Qur’an, sambil menunggu adzan shubuh yang jatuh sekitar jam 04.05.Saat adzan shubuh berkumandang, tentu saja kami berhenti m
Saat makan malam tiba, di rumah yang terletak di Perumahan Citraland Bukit Palma Kota Surabaya hanya berpenghuni tiga orang. Iyah, rumah berlantai dua ini jadi terasa sepi. Hanya ada aku, Mama, dan asisten rumah tangga yang bernama Rahma. Di mana yang lain? Baik, aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara yang kesemuanya perempuan. Usiaku sekarang dua puluh sembilan tahun.Adikku yang bernama Farhana berusia dua puluh tujuh tahun. Farhana menikah lima tahun yang lalu atau saat berusia dua puluh dua tahun. Farhana sudah mempunyai satu anak yaitu Fiyah yang siang tadi aku kunjungi.Kemudian adik bungsuku yang bernama Sarah beda usia denganku tujuh tahun. Benar sekali, usia Sarah sekarang dua puluh dua tahun.Sama seperti Farhana, Sarah juga sudah menikah. Tepatnya satu tahun yang lalu. Namun pernikahan adik bungsuku itu cukup membuat heboh di komplek perumahan kami. Pertama, apalagi kalau bukan heboh soal aku. Aku sekali lagi didahului adik-adi
Makan malam yang berantakan tadi, membawa dampak besar. Akibatnya malam itu aku tidak bisa tidur. Percakapan dengan Mama masih terekam jelas dalam memoriku. Aku benar-benar merasa “ditampar”.Pertama, ketakutan Mama. Mama tak mau seperti Papa yang tidak bisa melihat aku menikah. Yah, walaupun aku tahu itu cukup dramatis. Menikah agar orang tua sempat menyaksikan sebelum meninggal. Namun alasan Mama ingin melihat diriku menikah kini menjadi alasanku juga.Sehingga sekarang lebih mendesak karena alasan-alasan yang kuat. Jelas dari dalam diri aku ingin menikah, mengikuti sunnah rosul. Usiaku juga sudah lebih dari cukup. Kemudian melihat keponakanku Fiyah, ingin sekali rasanya mempunyai anak sendiri. Tak bisa dipungkiri, ini juga menjadi alasan. Ditambah keinginan Mama, membuatku ingin semakin mempercepat menikah.Kedua, ada kalimat Mama yang cukup terngiang-ngiang di kepalaku. Ialah kalimat simple ini, “…Kalau tidak
Ridho pasti bertanya-tanya ada apa? Dia merasa ada yang aneh. Aku juga yakin dia bakal menyiapkan diri atas apa yang akan terjadi nanti. Biasanya dalam sebulan, aku dan Ridho punya agenda untuk keluar bareng. Terutama kalau gaji bulanan sudah cair. Tapi malam nanti adalah spontan. Tidak ada dalam agenda. Dan belum gajian.Tempat biasa yang kami maksud adalah sebuah restoran yang berada di Mall Tunjungan Plaza Surabaya. Kami berdua cukup sering ke restoran itu. Semua menunya seafood. Masakannya juga begitu memanjakan lidah. Tempatnya asik. Sengaja pencahayaannya dibuat remang-remang. Sehingga ada kesan romantis sejak pertama menginjakkan kaki masuk ke dalam restoran tersebut.Ternyata benar, Ridho begitu penasaran tentang apa yang akan aku katakan. Sebegitu penasarannya, sampai-sampai baru saja kami berdua bertemu di restoran, Ridho langsung menanyakan. Tapi aku katakan, selesai makan baru fokus berbincang-bincang. Ridho pun “terpaksa” mengiyakan