Aku dan Ali kembali masuk mobil hitam. Aku duduk diam di depan bagian samping sebelah kiri. Sementara Ali berada di kananku. Dia menyandarkan kepalanya di kemudi. Kami diam beberapa saat. Aku biarkan Ali memulai pembicaraan. Karena aku yakin atas kejadian barusan bisa jadi jiwanya terguncang. Tiba-tiba Ali menyodorkan tangannya, meminta berjabat tangan sambil mengatakan..
“Selamat, kamu beruntung sekali Iz..” Ali berkata kepadaku dengan air mata merembes ke mana-mana. Aku memilih tidak menyalaminya tapi langsung memeluknya. Beberapa menit kemudian, dia baru melepaskan pelukanku.“Aku mengajakmu ke sini untuk mengantarku. Tapi takdir tertulis, Putri justru memilihmu. Itulah kenyataannya”“Jika karena ini lalu kamu memilih berhenti berteman denganku. Maka aku tidak akan menerimanya!” Jawabku penuh emosional.“Hey, jangan keliru! Kamu bodoh kalau tidak menerimanya. Putri anak yang baik, pintar, cantik, dan ternyata juga kaya. Dia sudah mengetuk hatimu, kalau kamu menutup pintu hatimu gara-gara aku. Kamu pasti menyesal”“Aku juga belum ada rasa cinta..”“Kamu sudah tahu kalau cinta bakal datang karena terbiasa. Sekarang berjanjilah kamu akan menerimanya”“Kamu ini aneh. Apa maksudmu? Apa kamu mau menunjukkan kalau aku teman makan teman begitu?”“Kamu yang aneh. Jangan kekanak-kanakan! Mungkin seumur hidup sekali ini kamu dapat kesempatan sebagus hari ini. Demi Allah dan demi aku sahabatmu, terimalah. Justru ketika aku tahu Putri bersama orang sepertimu aku jadi ikut bahagia”Dari situ aku belajar lagi, karena seringkali orang kalap setelah tahu kenyataan yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Lalu tiba-tiba menjadi tidak dewasa dengan memilih menghindar atau menjauh. Dan Ali tampil dengan gentle, dia rela dan bahkan meyakinkan aku agar menerimanya. Ah sahabatku Ali, ilmumu tingkat tinggi. Mungkin kamu akan disandingkan dengan perempuan yang benar-benar sesuai dengan kebesaran hatimu.“Akan aku fikirkan..”“Jangan sampai salah mengambil keputusan. Aku jadi tahu, pantas saja beberapakali dia tanya tentang kamu Iz..”“Oh ya? Kok kamu tidak pernah bilang?”“Lah dia sendiri punya akun f******k-mu kok. Aku suruh tanya langsung saja ke orangnya”“Emm, dia tidak pernah tanya. Aku juga tidak tahu kalau ternyata dia sudah berteman denganku”“Nanti kamu chek, nama f******k-nya Reny Putri Salsabila”***Persis tiga jam setelah kejadian itu Putri yang memulai chat aku. Dan memang kami sudah berteman di f******k. Setelah aku chek, ternyata dia juga beberapa kali pernah like statusku. Sejak itu kami berdua jadi sering chatting, kemudian saling tukar nomor handphone, lalu teleponan, nyambung, ada chemistry. Yup, betul. Dua hari setelah pertemuan yang mendebarkan hati itu, aku memutuskan menerima Reny Putri Salsabila. Karena Ali juga menyuruh aku menerimanya, jadi tidak ada alasan bagiku untuk menolaknya. Dan tiga minggu setelah itu kami berdua menikah. Berarti tidak sampai satu bulan aku mengenal Putri, dan sekarang dia sudah menjadi istriku.Oh iya, sebenarnya sejak kecil Reny Putri Salsabila dipanggil Reny. Hingga suatu hari Reny sering sakit lalu mengganti panggilan namanya menjadi Putri. Sejak itu dia tidak kambuh lagi dari sakitnya. Alhasil setiap berkenalan dia selalu meminta dipanggil Putri. Hanya saja ayah, ibu, dan keluarga terdekatnya masih tetap memanggilnya Reny. Dan aku termasuk yang diminta untuk memanggilnya Reny, plus sayang.Semua jodoh, tidak ditentukan oleh panjangnya masa berkenalan. Tetapi yang menentukan adalah kesesuaian jiwa. Kau adalah aku. Aku adalah kau. Dukamu dukaku. Dukaku dukamu. Sukamu sukaku. Sukaku sukamu. Cita-citamu cita-citaku. Cita-citaku cita-citamu. Senangmu senangku. Senangku senangmu. Bencimu benciku. Benciku bencimu. Kurangmu kurangku. Kurangku kurangmu. Kelebihanmu kelebihanku. Kelebihanku kelebihanmu. Milikmu milikku. Milikku milikmu. Hidupmu hidupku. Hidupku hidupmu.***Inilah kenyataan kisah sebelum pernikahan kami. Makanya terkadang tanpa disuruh, rasa bersalah tiba-tiba hadir menyusuri dadaku ketika teringat kisah itu. “Sudah puas dengan jawabanku sayang?” Tanya Reny.“Sangat puas”“Sekarang aku bertanya pertanyaan yang sama. Apa yang membuatmu yakin hingga akhirnya kamu mau menerima aku? Padahal aku tahu, sebenarnya kamu banyak pilihan. Tapi mengapa kamu masih tetap memilih bersamaku?”“Sebab di chat f******k kamu bilang, bahwa kamu tidak pernah pacaran. Aku percaya itu. Dan itu-lah yang membuat aku yakin bahwa kau lah bidadari yang dikirimkan Tuhan hanya untukku.“Istriku, ketahuilah aku juga sama sepertimu. Sungguh aku juga tidak pernah mempunyai pacar. Sengaja aku menyimpan diri secara khusus untuk orang yang sesuai bagiku untuk mengabdikan cinta. Dan aku rasa kamu lah orangnya”“Kamu luar biasa romantis sayang”Ku pandangi lekat-lekat wajah Reny sambil terus memuji keagungan Tuhan. Hasrat yang terlukis di wajahnya dapat kubaca dengan jelas. Setelah berdo’a diubun-ubun Reny. Kemudian aku mengecupnya.Kami lalu memainkan melodi cinta paling indah dalam sejarah percintaan manusia, dengan mengharap jihad fi sabilillah, dan mengharap lahirnya generasi pilihan yang bertasbih mengagungkan asma Allah Azza wa Jalla di mana saja kelak mereka berada.Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?Seakan-akan bidadari itu seperti permata Yajut dan Marjan.Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula.Bersyukur sekali aku dan Reny Putri Salsabila sudah mengikat perjanjian yang kuat. Yakni menikah. Ianya adalah ibadah seumur hidup. Jika sholat itu ibadah yang ditentukan waktunya, puasa tiap ramadhan, zakat saat ramadhan, dan haji pada musim haji. Maka ibadah menikah tidaklah terikat waktu. Lihat, memegang tangan istri adalah ibadah yang berpahala. Membeli makanan atau baju untuk istri juga berpahala. Demikian juga mencium dan merayunya. Dan itu bisa dilakukan kapanpun. Nikmat sekali bukan?Setelah ibadah malam pertama itu kami tertidur pulas. Pada pukul 03.00 aku terbangun. Aku matikan alarm di hapeku dan bergegas membersihkan diri. Mandi besar. Tanpa ku bangunkan, istriku juga sudah bangun sendiri. Mungkin dia juga mendengar alarm tadi. Lalu ia menyusul mandi besar setelahku. Kemudian kami sholat tahajud. Dilanjut membaca al Qur’an, sambil menunggu adzan shubuh yang jatuh sekitar jam 04.05.Saat adzan shubuh berkumandang, tentu saja kami berhenti m
Saat makan malam tiba, di rumah yang terletak di Perumahan Citraland Bukit Palma Kota Surabaya hanya berpenghuni tiga orang. Iyah, rumah berlantai dua ini jadi terasa sepi. Hanya ada aku, Mama, dan asisten rumah tangga yang bernama Rahma. Di mana yang lain? Baik, aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara yang kesemuanya perempuan. Usiaku sekarang dua puluh sembilan tahun.Adikku yang bernama Farhana berusia dua puluh tujuh tahun. Farhana menikah lima tahun yang lalu atau saat berusia dua puluh dua tahun. Farhana sudah mempunyai satu anak yaitu Fiyah yang siang tadi aku kunjungi.Kemudian adik bungsuku yang bernama Sarah beda usia denganku tujuh tahun. Benar sekali, usia Sarah sekarang dua puluh dua tahun.Sama seperti Farhana, Sarah juga sudah menikah. Tepatnya satu tahun yang lalu. Namun pernikahan adik bungsuku itu cukup membuat heboh di komplek perumahan kami. Pertama, apalagi kalau bukan heboh soal aku. Aku sekali lagi didahului adik-adi
Makan malam yang berantakan tadi, membawa dampak besar. Akibatnya malam itu aku tidak bisa tidur. Percakapan dengan Mama masih terekam jelas dalam memoriku. Aku benar-benar merasa “ditampar”.Pertama, ketakutan Mama. Mama tak mau seperti Papa yang tidak bisa melihat aku menikah. Yah, walaupun aku tahu itu cukup dramatis. Menikah agar orang tua sempat menyaksikan sebelum meninggal. Namun alasan Mama ingin melihat diriku menikah kini menjadi alasanku juga.Sehingga sekarang lebih mendesak karena alasan-alasan yang kuat. Jelas dari dalam diri aku ingin menikah, mengikuti sunnah rosul. Usiaku juga sudah lebih dari cukup. Kemudian melihat keponakanku Fiyah, ingin sekali rasanya mempunyai anak sendiri. Tak bisa dipungkiri, ini juga menjadi alasan. Ditambah keinginan Mama, membuatku ingin semakin mempercepat menikah.Kedua, ada kalimat Mama yang cukup terngiang-ngiang di kepalaku. Ialah kalimat simple ini, “…Kalau tidak
Ridho pasti bertanya-tanya ada apa? Dia merasa ada yang aneh. Aku juga yakin dia bakal menyiapkan diri atas apa yang akan terjadi nanti. Biasanya dalam sebulan, aku dan Ridho punya agenda untuk keluar bareng. Terutama kalau gaji bulanan sudah cair. Tapi malam nanti adalah spontan. Tidak ada dalam agenda. Dan belum gajian.Tempat biasa yang kami maksud adalah sebuah restoran yang berada di Mall Tunjungan Plaza Surabaya. Kami berdua cukup sering ke restoran itu. Semua menunya seafood. Masakannya juga begitu memanjakan lidah. Tempatnya asik. Sengaja pencahayaannya dibuat remang-remang. Sehingga ada kesan romantis sejak pertama menginjakkan kaki masuk ke dalam restoran tersebut.Ternyata benar, Ridho begitu penasaran tentang apa yang akan aku katakan. Sebegitu penasarannya, sampai-sampai baru saja kami berdua bertemu di restoran, Ridho langsung menanyakan. Tapi aku katakan, selesai makan baru fokus berbincang-bincang. Ridho pun “terpaksa” mengiyakan
Singkat cerita, butuh waktu persiapan selama enam bulan setelah makan malam di restoran itu. Hingga akhirnya aku dan Ridho baru melangsungkan pernikahan. Saat menikah, usiaku tiga puluh tahun lebih satu bulan. Sementara Ridho berusia tiga puluh dua tahun lebih empat bulan.Jika setelah menikah tetap ada yang komentar tentang pernikahanku termasuk telat. Maka aku tidak peduli lagi. Pertama, karena hakikatnya tidak ada kata cepat atau sedang atau terlambat dalam urusan jodoh, rezeki, apalagi kematian.Kedua, secara umum kini aku tidak peduli lagi dengan komentar tidak baik. Sebab sejatinya mustahil aku bisa menyenangkan semua orang dan mustahil juga aku mencocokkan kelakuanku dengan harapan semua orang.Kenyataannya adalah aku tak mungkin bisa mengendalikan orang mau berkomentar apa tentang aku. Namun aku masih bisa mengendalikan bagaimana responku terhadap komentar mereka. Orang memang bisa berkomentar apa saja tentang aku. Tapi yang tahu pasti
Hidup berumah tangga memang menarik sekali. Tak pernah ada habisnya untuk dibahas. Dan lima belas bulan setelah Ridho mengucapkan ijab qobul, barulah kami diberi anugerah oleh Tuhan berupa anak yang shaleh. Karunia Tuhan itu kami beri nama Fahri. Sejak Fahri lahir jelas menambah kuota kebahagiaan kami berdua. Kehadiran Fahri bagaikan mutiara indah pembangun jiwa. Jika dulu keponakanku Fiyah bisa membuatku bersemangat, apalagi kini Fahri. Anakku sendiri. Jelas kehadirannya layaknya penyemangat untuk mengarungi samudera hidup. Kami bersyukur sekali atas hadirnya generasi penerus ini.Belajar dari Fiyah dulu. Kami mendidik Fahri pada usia dini dengan memberi ruang keleluasaan. Agar Fahri tetap kreatif dan tetap berani. Larangan tetap ada tapi tidak kebanyakan. Aku belajar mensyukuri semua aspek pada anak yang sudah dibawanya dari lahir. Karenanya aku tak mau mencubit anak yang cerewet, siapa tahu kelak ia menjadi orator ulung. Aku tak mau menghukum anak yang keras kepala,
Aku kembali ke kamar lalu menangis sejadi-jadinya di sana. Bego sekali waktu itu aku menerima pesan BBM itu sambil senyum-senyum. Aku pikir dapat kejutan indah dari Ridho. Tapi ternyata. Sakit hati ini. Pantas saja Fahri tidak boleh ikut. Pantas juga selama ini perbedaan sikap Ridho benar-benar terasa. Karena suami-istri yang sudah lama hidup bersama, pasti terasa jika pasangannya berubah. Bahkan tanpa keduanya saling mengatakan sekalipun. Karena semakin lama hidup bersama, maka gelombang resonansi diantara keduanya semakin baik. Dan akhir-akhir ini aku banyak merasa tidak connect sama Ridho. Frekuensinya jadi beda. Setelah pergi dari rumah, Ridho menyewa hotel. Waktu pun melesat begitu cepat. Menyisakan luka hati yang tak kunjung tau ujungnya. Sudah dua hari ini dia menginap di hotel. Setiap kali dia menelepon, tiap kali pula aku reject. Rasanya belum siap bertemu atau sekedar berbincang dengannya. Tapi sikap menghindar itu berefek pada datangnya
Hari berjalan dengan cepat. Ini sudah enam hari sejak Ridho keluar dari rumah. Aku tak hanya bingung, bimbang, galau, juga ling-lung. Intensitas pertanyaan Fahri tentang Papanya juga semakin meningkat. Aku tak mampu berbohong lebih lama lagi. Kalau dibiarkan seperti ini terus, kalau dibiarkan berlarut-larut terus, akan berdampak pada Fahri. Suasana rumah yang tegang dan membuat takut penghuninya jelas tidak baik. Saat hatiku tak sanggup menanggung ini semua, ada angin segar menyapa. “Ada apa Nai? Kok galau terus” Kalimat itu tersusun menjadi dua pesan yang terkirim lewat media BBM. Pengirim pesan itu adalah sahabatku Nisa. “Kamu kok tahu?” Aku membalasnya. “Haha bagaimana tidak tahu? PM-mu (Personal Message) berbicara semuanya” Lalu aku membalas dengan emoticon menangis. Kemudian aku mengajak Nisa untuk bertemu nanti malam. Sahabatku itu mengiyakan setelah meminta izin terlebih dahulu kepada suaminya. ***