Lalu benar ketika Reny mengatakan, Banyak juga aku temui sosok seperti kamu di kampus. Sebab saat Reny melabeli aku ganteng, rajin, pintar, puitis, ceria, populer, alim. Sebenarnya aku merasa tidak ada apa-apanya dengan sahabatku yang bernama Ali.
Iyah, Ali adalah sahabat terbaik semasa kuliah. Dia tinggal satu kos denganku. Aku tahu betul sosok seperti apa dia. Jika Reny melabeli aku alim, maka menurutku Ali jauh lebih alim. Buktinya, ketika panggilan kasih sayang-Nya berkumandang (suara adzan). Yang dengan panggilan itu hanya mampu menggugah dan menggerakkan hati orang yang benar-benar tebal imannya. Orang yang memiliki tekad beribadah sesempurna mungkin dalam segala musim dan cuaca. Seperti karang yang tegak berdiri dalam terjangan ombak, terpaan badai, dan sengatan matahari. Atau seperti matahari yang jutaan tahun membakar tubuhnya untuk memberikan penerangan ke bumi. Tiada mengeluh sedetik pun menjalankan titah Tuhan.Dan Ali adalah orangnya. Yang termasuk menyegerakan menghadap jika panggilan kasih sayang-Nya sudah terdengar. Dia benar-benar pemuda yang tidak dikalahkan oleh segala aktifitas lalu memilih mengabaikan panggilan. Lima kali panggilan diperdengarkan dalam sehari. Dia selalu menghadap tepat waktu pada tiap panggilannya. Sedangkan aku? Kadang-kadang menghadiri panggilan di akhir waktu. Kalah oleh aktifitas yang ku jalani. Dan masih banyak lalai. Kemudian jika Reny melabeli aku populer, maka menurutku Ali jauh lebih populer. Memang aku pernah menjadi ketua panitia dalam suatu acara. Lalu bagaimana dengan Ali? Malah dia menjadi ketua dalam suatu organisasi. Jika Reny melabeli aku ceria. Maka yang aku tahu Ali adalah teman yang paling ceria dan paling pintar menghidupkan suasana. Pokoknya banyak hal kelebihan Ali dibanding aku.Aku jadi ingat kisah tentang Ali yang ternyata dapat merubah jalan hidupku. Kisahnya dimulai ketika aku dan Ali semester delapan. Saat itu libur hari raya idul fitri. Tentu saja posisiku sedang di rumah Gresik. Sedang Ali juga berada di rumahnya di Mojokerto.“Assalamu’alaikum. Faiz, kamu lagi sibuk apa ini?” Suara Ali dari kejauhan. Dia berbicara lewat telepon. Aku ingat betul, saat itu H+3 atau tiga hari setelah hari raya.“Wa’alaikum salam. Alhamdulillah lagi santai saja di rumah Al. Habis keliling silaturrahim ke rumah sanak saudara”“Berarti aku tidak mengganggu yaa” Dia mulai basa-basi.“Kalau kamu yang telepon, tidak mengganggu kok.. hehe. Iyah-iyah ada apa Al?”Walaupun Ali sudah tahu kalau aku jarang menolak ajakannya, tapi dia selalu basa-basi. Dia seperti tidak mau kalau saja ajakannya itu menjadi beban. Terus bagaimana aku menolak ajakannya? Sedang Ali selalu mengajak ke dalam kebaikan? Ketika libur kuliah sabtu-minggu misalnya, biasanya aku menghabiskan waktu di kos. Ali malah mencetuskan ide yang membuatku susah untuk mengatakan tidak.Seperti dia mengajak aku mengikuti pengajian Pak Agus Mustofa, penulis buku-buku best seller tasawuf modern itu. Atau mengajak jalan-jalan menikmati eksotisme Kota Pahlawan. Di lain waktu mengajak ke toko buku. Dan pada liburan yang lain mengajak aku berburu film berkualitas agar mendapat pelajaran.Oh iya, ketika Ali mau mengajak. Selain dia menggunakan kata ajakan seperti “ayo”, dia juga selalu menggunakan kata “tolong”. Tak lupa juga dia akan menggunakan kata “terimakasih” jika sudah berhasil mengajak. Dan pada bagian akhir akan menggunakan kata “maaf” karena telah merepotkan. Sudah lama aku mengamati perilaku sahabatku itu. Aku rasa caranya itu cukup ampuh untuk membuat orang mau mengikuti ajakannya.“Kalau besok kamu sibuk apa Iz?” Ali masih basa-basi juga.“Langsung saja, mau apa? Aku sudah hafal gayamu broo.. hehe”“Hehe.. Kira-kira besok bisa tidak kamu ke Surabaya?”“Besok? Emm sebentar-sebentar, ada perlu apa dulu?”“Besok, aku mau mengajak kamu ke rumahnya Putri. Tolong, bisa yaa?” Kata “tolong” pertama.“Putri siapa?” Aku pura-pura tidak tahu.“Yang waktu itu aku ceritakan ke kamu loh. Tidak mungkin kalau aku ke rumahnya sendiri. Jadi aku minta tolong sama kamu untuk menemani aku” Kata “tolong” kedua.“Hehe iyah-iyah paham. Bercanda tadi. Ciyee tiba-tiba ada yang mau silaturrahmi.. Hihihi”“Hehe silaturrahmi itu baik”“Tapi besok aku tidak bisa Al. Kalau lusa bagaimana? Soalnya besok masih ada berkunjung satu lagi ke rumah saudara”“Okee setuju, besok lusa yaa. Kita ketemunya di kampus jam 10:00 bagaimana?”“Siap, jam 10:00 aku sudah sampai kampus”“Siiip. Terimakasih banyak sahabat..” Kata “terimakasih” pertama.“Okee deh”“Maaf juga loh.. Sudah mengganggu waktu santainya tadi.. hehe” Sudah komplit. Tolong, makasih, lalu maaf.“Hahaha biasa saja broo..”“Okee. Assalamu’alaikum”“Wa’alaikum salam”Dalam sejarah persahabatanku dengan Ali, baru kali ini dia mengajakku ke rumah perempuan. Artinya ini benar-benar serius. Kira-kira semester tujuh akhir Ali pernah bercerita kepadaku tentang perempuan yang dia sukai itu. Perempuan tersebut masih adik kelas satu tahun di bawah kami. Kami Jurusan Bimbingan Konseling Islam sedangkan perempuan itu Jurusan Psikologi.Ali bercerita kepadaku bahwa dia mengenal perempuan itu lewat facebook. Siapa sangka ternyata masih satu kampus, hanya beda fakultas saja. Awalnya Ali kagum sama pemikiran-pemikiran perempuan itu yang diunggah dalam status facebook. Ali pun mulai sering stalking facebook perempuan yang dimaksud. Lalu mulai menyapa dan mengobrol lewat chat. Kemudian makin ke sini, Allah menghadirkan rasa cinta di hati Ali.Jangan dibayangkan Ali pacaran! Bahkan berbicara secara langsung dengan perempuan yang disukainya itu, Ali tidak pernah. Ali sekali-kali bukan pemuda yang seperti kebanyakan pemuda. Dan kisah cinta
Aku dan Ali kembali masuk mobil hitam. Aku duduk diam di depan bagian samping sebelah kiri. Sementara Ali berada di kananku. Dia menyandarkan kepalanya di kemudi. Kami diam beberapa saat. Aku biarkan Ali memulai pembicaraan. Karena aku yakin atas kejadian barusan bisa jadi jiwanya terguncang. Tiba-tiba Ali menyodorkan tangannya, meminta berjabat tangan sambil mengatakan..“Selamat, kamu beruntung sekali Iz..” Ali berkata kepadaku dengan air mata merembes ke mana-mana. Aku memilih tidak menyalaminya tapi langsung memeluknya. Beberapa menit kemudian, dia baru melepaskan pelukanku.“Aku mengajakmu ke sini untuk mengantarku. Tapi takdir tertulis, Putri justru memilihmu. Itulah kenyataannya”“Jika karena ini lalu kamu memilih berhenti berteman denganku. Maka aku tidak akan menerimanya!” Jawabku penuh emosional.“Hey, jangan keliru! Kamu bodoh kalau tidak menerimanya. Putri anak yang baik, pintar
Bersyukur sekali aku dan Reny Putri Salsabila sudah mengikat perjanjian yang kuat. Yakni menikah. Ianya adalah ibadah seumur hidup. Jika sholat itu ibadah yang ditentukan waktunya, puasa tiap ramadhan, zakat saat ramadhan, dan haji pada musim haji. Maka ibadah menikah tidaklah terikat waktu. Lihat, memegang tangan istri adalah ibadah yang berpahala. Membeli makanan atau baju untuk istri juga berpahala. Demikian juga mencium dan merayunya. Dan itu bisa dilakukan kapanpun. Nikmat sekali bukan?Setelah ibadah malam pertama itu kami tertidur pulas. Pada pukul 03.00 aku terbangun. Aku matikan alarm di hapeku dan bergegas membersihkan diri. Mandi besar. Tanpa ku bangunkan, istriku juga sudah bangun sendiri. Mungkin dia juga mendengar alarm tadi. Lalu ia menyusul mandi besar setelahku. Kemudian kami sholat tahajud. Dilanjut membaca al Qur’an, sambil menunggu adzan shubuh yang jatuh sekitar jam 04.05.Saat adzan shubuh berkumandang, tentu saja kami berhenti m
Saat makan malam tiba, di rumah yang terletak di Perumahan Citraland Bukit Palma Kota Surabaya hanya berpenghuni tiga orang. Iyah, rumah berlantai dua ini jadi terasa sepi. Hanya ada aku, Mama, dan asisten rumah tangga yang bernama Rahma. Di mana yang lain? Baik, aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara yang kesemuanya perempuan. Usiaku sekarang dua puluh sembilan tahun.Adikku yang bernama Farhana berusia dua puluh tujuh tahun. Farhana menikah lima tahun yang lalu atau saat berusia dua puluh dua tahun. Farhana sudah mempunyai satu anak yaitu Fiyah yang siang tadi aku kunjungi.Kemudian adik bungsuku yang bernama Sarah beda usia denganku tujuh tahun. Benar sekali, usia Sarah sekarang dua puluh dua tahun.Sama seperti Farhana, Sarah juga sudah menikah. Tepatnya satu tahun yang lalu. Namun pernikahan adik bungsuku itu cukup membuat heboh di komplek perumahan kami. Pertama, apalagi kalau bukan heboh soal aku. Aku sekali lagi didahului adik-adi
Makan malam yang berantakan tadi, membawa dampak besar. Akibatnya malam itu aku tidak bisa tidur. Percakapan dengan Mama masih terekam jelas dalam memoriku. Aku benar-benar merasa “ditampar”.Pertama, ketakutan Mama. Mama tak mau seperti Papa yang tidak bisa melihat aku menikah. Yah, walaupun aku tahu itu cukup dramatis. Menikah agar orang tua sempat menyaksikan sebelum meninggal. Namun alasan Mama ingin melihat diriku menikah kini menjadi alasanku juga.Sehingga sekarang lebih mendesak karena alasan-alasan yang kuat. Jelas dari dalam diri aku ingin menikah, mengikuti sunnah rosul. Usiaku juga sudah lebih dari cukup. Kemudian melihat keponakanku Fiyah, ingin sekali rasanya mempunyai anak sendiri. Tak bisa dipungkiri, ini juga menjadi alasan. Ditambah keinginan Mama, membuatku ingin semakin mempercepat menikah.Kedua, ada kalimat Mama yang cukup terngiang-ngiang di kepalaku. Ialah kalimat simple ini, “…Kalau tidak
Ridho pasti bertanya-tanya ada apa? Dia merasa ada yang aneh. Aku juga yakin dia bakal menyiapkan diri atas apa yang akan terjadi nanti. Biasanya dalam sebulan, aku dan Ridho punya agenda untuk keluar bareng. Terutama kalau gaji bulanan sudah cair. Tapi malam nanti adalah spontan. Tidak ada dalam agenda. Dan belum gajian.Tempat biasa yang kami maksud adalah sebuah restoran yang berada di Mall Tunjungan Plaza Surabaya. Kami berdua cukup sering ke restoran itu. Semua menunya seafood. Masakannya juga begitu memanjakan lidah. Tempatnya asik. Sengaja pencahayaannya dibuat remang-remang. Sehingga ada kesan romantis sejak pertama menginjakkan kaki masuk ke dalam restoran tersebut.Ternyata benar, Ridho begitu penasaran tentang apa yang akan aku katakan. Sebegitu penasarannya, sampai-sampai baru saja kami berdua bertemu di restoran, Ridho langsung menanyakan. Tapi aku katakan, selesai makan baru fokus berbincang-bincang. Ridho pun “terpaksa” mengiyakan
Singkat cerita, butuh waktu persiapan selama enam bulan setelah makan malam di restoran itu. Hingga akhirnya aku dan Ridho baru melangsungkan pernikahan. Saat menikah, usiaku tiga puluh tahun lebih satu bulan. Sementara Ridho berusia tiga puluh dua tahun lebih empat bulan.Jika setelah menikah tetap ada yang komentar tentang pernikahanku termasuk telat. Maka aku tidak peduli lagi. Pertama, karena hakikatnya tidak ada kata cepat atau sedang atau terlambat dalam urusan jodoh, rezeki, apalagi kematian.Kedua, secara umum kini aku tidak peduli lagi dengan komentar tidak baik. Sebab sejatinya mustahil aku bisa menyenangkan semua orang dan mustahil juga aku mencocokkan kelakuanku dengan harapan semua orang.Kenyataannya adalah aku tak mungkin bisa mengendalikan orang mau berkomentar apa tentang aku. Namun aku masih bisa mengendalikan bagaimana responku terhadap komentar mereka. Orang memang bisa berkomentar apa saja tentang aku. Tapi yang tahu pasti
Hidup berumah tangga memang menarik sekali. Tak pernah ada habisnya untuk dibahas. Dan lima belas bulan setelah Ridho mengucapkan ijab qobul, barulah kami diberi anugerah oleh Tuhan berupa anak yang shaleh. Karunia Tuhan itu kami beri nama Fahri. Sejak Fahri lahir jelas menambah kuota kebahagiaan kami berdua. Kehadiran Fahri bagaikan mutiara indah pembangun jiwa. Jika dulu keponakanku Fiyah bisa membuatku bersemangat, apalagi kini Fahri. Anakku sendiri. Jelas kehadirannya layaknya penyemangat untuk mengarungi samudera hidup. Kami bersyukur sekali atas hadirnya generasi penerus ini.Belajar dari Fiyah dulu. Kami mendidik Fahri pada usia dini dengan memberi ruang keleluasaan. Agar Fahri tetap kreatif dan tetap berani. Larangan tetap ada tapi tidak kebanyakan. Aku belajar mensyukuri semua aspek pada anak yang sudah dibawanya dari lahir. Karenanya aku tak mau mencubit anak yang cerewet, siapa tahu kelak ia menjadi orator ulung. Aku tak mau menghukum anak yang keras kepala,