Setelah itu aku mengubah posisi rebahanku yang awalnya miring, menjadi rebahan telentang. Sedangkan Reny tetap miring dengan menyandarkan kepalanya ke dadaku. Kini aku bebas membelai rambutnya atau memeluknya. Semua benda yang ada di kamar itu seolah menatap kami, mereka seperti cemburu kepada kami.
Dengan terus membelai rambutnya, tanpa aku minta Reny mulai bercerita tentang dirinya, ibunya, dan ayahnya.“Sayang, dulu pas aku mengaji di TPQ (Taman Pendidikan Qur’an), aku pernah membuat guruku menangis”“Oh ya? Kok bisa?” Seruku sambil menghentikan sejenak belaian di rambutnya. Saat dia melanjutkan cerita, baru aku teruskan lagi aktifitas yang dipuji Tuhan itu.“Iyah, waktu itu ba’da maghrib kami berkumpul di rumah beliau. Nama beliau adalah Pak Ahmad Zainuri. Kami biasa memanggilnya Pak Zen. Beliau mengajari kami membaca Al Qur’an, menghafal do’a-do’a umum, dan juga menghafal surat-surat pendek. Pak Zen orangnya sangat sabar dalam menghadapi tawa canda kami, kepolosan kami, dan kenakalan kami. Beliau benar-benar guru yang bisa digugu dan ditiru.“Hingga ba’da maghrib hari itu setelah kami didampingi belajar membaca Al Qur’an, beliau meminta kami menghafal do’a. Do’a ini sangat umum diketahui, yaitu do’a untuk orang tua: Rabbighfirlii waliwaalidayya warhamhuma kamaa rabbayaanii shaghiiraa. Yang secara Bahasa Indonesia terjemahannya kurang lebih seperti ini, ‘Ya Tuhan, ampunilah aku dan kedua orang tuaku. Dan sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil’. Pak Zen tak pernah meminta murid-muridnya menghafal do’a kecuali dihafal juga terjemahannya.“Seperti biasa, murid-murid yang telah berhasil menghafalnya dipersilahkan pulang duluan. Tentu saja semua murid menghafalnya dan berusaha untuk menjadi yang pertama pulang. Satu per satu menunjukkan hafalannya kepada Pak Zen. Mereka pun pulang setelah dinyatakan hafalannya diterima. Hingga tinggal tersisa satu anak lagi. Dan anak itu adalah aku.“Aku menghafalnya tak pernah sampai selesai. Rabbighfirlii.. Waliwaalidayya.. Warhamhuma.. Sampai di situ aku berhenti. Lalu mengulanginya lagi dari awal. Sampai Pak Zen mendapatiku seperti kesulitan, kemudian beliau menimpali hafalanku, ‘Kamaa rabbayaani shaghiiraa’. Tapi aku tak menghiraukan beliau. Aku tetap menghafal sampai Warhamhuma, lalu ditimpali lagi sama beliau. Itu berulang sampai tiga kali. Kemudian aku mengumpulkan segenap keberanianku lalu mengatakan, ‘Pak Zen, aku tak mau menghafal do’a ini’. Sayang, kamu tahu mengapa aku tak mau menghafalnya?”Aku masih membelai rambut Reny. Sesekali mengecup kepalanya. Seketika bau wangi yang khas menyusuri rongga hidungku. Dan ternyata bukan hanya sidik jari saja yang berbeda diantara milyaran manusia. Tapi warna suara, juga bau tubuh, dan banyak hal lagi dalam tubuh manusia tak ada yang persis sama dengan manusia lainnya. Bahkan untuk orang-orang yang dikatakan kembar identik sekalipun!“Sayang, kenapa kamu diam saja? Kamu mendengarkan ceritaku apa tidak?” Reny merajuk manja.“Aku mendengarkan dengan seksama istriku. Emm mungkin ada sesuatu yang mengganjal di hatimu?”“Benar sekali. Setelah itu Pak Zen benar-benar heran, lalu bertanya kenapa aku tak mau menghafalnya”“Iyah kenapa? Aku kok heran juga” Aku menyela antusias.“Karena sejak aku kecil, papa dan mama sibuk bekerja. Papaku seorang manajer di PT. Bangun Sarana Baja, sebuah perusahaan besi di Gresik. Sedang ibuku seorang guru agama di salah satu sekolah elit di Surabaya yaitu SMP Al Hikmah.“Jadi sejak kecil aku diasuh oleh asisten rumah tangga, namanya Bibi Rita. Aku benar-benar memuji kebesaran hati Bibi Rita yang dengan sabar sanggup menghadapi aku. Hampir semua keperluanku diurus sama Bibi Rita. Menyiapkan aku untuk pergi ke sekolah. Tentu saja mengantar aku ke sekolah juga. Sepulang sekolah, teman bermainku juga Bibi Rita”“Sebentar, itu saat kamu sekolah apa sayang?”“Sejak TK, aku sudah diantar sama Bibi Rita”“Emm, berarti tidak satu tempat antara tempat sekolahmu dan tempat mamamu mengajar?”“Satu yayasan Al Hikmah, tapi beda tempat. Tempat mama mengajar juga full day school. Jadi seharian mama di sekolah”“Terus hubungannya sama Pak Zen menangis tadi apa sayang?”“Iyah, karena aku tau arti do’a itu. Jadi aku tidak mau menghafalnya secara penuh sayang. Coba deh perhatikan sekali lagi terjemahan pada bagian akhir do’a itu: Rabbighfirlii waliwaalidayya warhamhuma kamaa rabbayaanii shaghiiraa. Ya Tuhan, ampunilah aku dan kedua orang tuaku. Dan sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil”“Oh, jadi kamu merasa masa kecilmu kurang rasa kasih sayang dari kedua orang tuamu? Sehingga kamu tidak mau Allah menyayangi orang tuamu sebagaimana orang tuamu menyayangimu di masa kecil?”“Tepat sekali sayang..”“Masya Allah, kamu cerdas sekali istriku. Jelas saja Pak Zen sampai menangis. Kamu masih kecil saja sudah berpikiran seperti itu”“Tapi waktu itu yaa tidak kecil amat sih. Waktu kejadian itu aku sudah kelas 3 SD”“Yaa, itu juga tidak terlalu besar kan? Aku jadi sangat kagum sama kamu istriku”“Hehehe.. Akhirnya Pak Zen membolehkan aku pulang, walaupun aku hanya menghafal do’a sampai warhamhuma saja. Sayang, ternyata tanpa diduga Pak Zen menceritakan kejadian itu kepada mama. Lalu singkat cerita, mama memutuskan berhenti mengajar. Mama mau fokus membesarkan aku. Satu tahun setelah kejadian itu adikku Putra lahir. Dan dua tahun berikutnya adikku Reza juga lahir. Jadi sejak kecil mereka berdua sudah penuh diasuh oleh mama”“Luar biasa. Keputusan mamamu saat itu tepat sekali. Kalau aku berpikir dari sudut pandang mamamu. Barangkali mamamu berpikir, tiap hari beliau kan mengajar anak-anak orang. Sedangkan anaknya sendiri? Bukankah madrasah pertama bagi seorang anak adalah ibunya? Lagipula papamu juga kan seorang manajer, mungkin sudah cukup pendapatannya untuk membiayai keluarga”“Analisismu bagus sekali sayang. Tapi di awal yah mama harus adaptasi lagi. Karena mama mengajar itu kan sudah lama. Sebelum menikah sama papa malah. Bisa dibayangkan dong, aktifitas yang sudah lama dijalani, dan sudah menjadi passion. Terus harus distop lalu diganti dengan aktifitas lain. Itu kalau tidak karena buah hati mungkin akan terasa sulit.“Dan aku salut sama mama. Entah dapat inspirasi dari mana, waktu mama bilang, ‘Aku memutuskan menjadi ibu rumah tangga saja. Menitipkan barang berharga seperti emas ke asisten rumah tangga saja terkadang kurang yakin. Apalagi menitipkan seorang anak, sebuah anugerah Tuhan yang jauh lebih berharga dibanding harta’.“Tapi tentu tidak semua keluarga mempunyai keadaan yang sama. Benar katamu sayang. Mungkin karena papaku seorang manajer, jadi dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sedangkan beberapa keluarga lain yang karena keadaan mengharuskan seorang mama bekerja. Atau yang biasa disebut wanita karir. Itu juga tidak bisa disalahkan. Sebab faktor ekonomi yang mengharuskan ia membantu suaminya. Sehingga tidak memungkinkan sebagai ibu rumah tangga saja”“Masya Allah.. Selain cerdas ternyata kamu juga bijak istriku. Aku jadi merasa sangat beruntung”“Eh, kamu kan sudah bilang sayang. Kalau sudah menikah tidak ada yang lebih beruntung, keduanya sama-sama beruntung. Hayoo?”“Hehe iyah.. Eh sayang, boleh aku bertanya sesuatu? Tapi tolong dijawab dengan jujur yaa”“Iyah, apa sayang?”“Emm, apa yang kamu lihat dalam diriku? Hingga kamu mau sama aku?”Ternyata pertanyaanku itu merubah tatanan suasana yang sudah mencair sejak tadi. Reny beringsut dari sandaran di dadaku, lalu ia menatapku. Tiba-tiba rasa bersalah hinggap lagi di dadaku.“Apa kamu mau membahas hal itu lagi sayang?” Kali ini Reny menatapku tajam. Ada sedikit guratan kekecewaan dari sorotan matanya.“Istriku, alangkah celakanya aku kalau sampai aku membuatmu sedih. Tidak, sungguh aku hanya ingin tahu”“Benar yaa?”Aku mengangguk.“Sayang, aku beri tahu yaa. Kamu itu ganteng, rajin, pintar, puitis, ceria, populer, alim. Sudah lama loh aku mengamati kamu. Sejak kamu menjadi ketua dalam acara seminar Terapi Syukur waktu itu. Tapi mungkin semua itu hanya bisa membuatku kagum. Karena banyak juga aku temui sosok seperti kamu di kampus. Sekali lagi, semua alasan yang aku sebutkan barusan, hanya bisa membuatku kagum. Dan yang sebenarnya, aku mencintaimu sebab Allah memberi aku cinta yang ditujukan kepadamu. Simple”Reny menjelaskan dengan pelan, namun mantap. Suasana hati jadi lebih enak. Hanya saja rasa bersalah masih tetap ada. Dan memang benar apa yang dikatakan Reny. Mencintai yang sebenar-benarnya bukanlah karena suatu alasan tertentu. Karena jika suatu alasan itu dihilangkan, apakah masih ada cinta setelah itu?Itulah mengapa dalam pernikahan selalu dido’akan agar sakinah, mawaddah, rahmah. Padahal mawaddah dan mahabbah keduanya berarti cinta. Lalu mengapa dalam do’a itu tidak memakai mahabbah? Sehingga do’a itu menjadi sakinah, mahabbah, rahmah? Jawabannya karena mahabbah itu cinta yang pamrih. Sedang mawaddah adalah cinta yang tanpa pamrih.Katakanlah sebelum menikah seorang istri itu cantik memikat. Suatu hari di waktu pagi, si istri memasak masakan favorit si suami. Tak disangka tabung gas yang dipakai untuk memasak itu meledak. Lalu membakar bagian tubuh dan wajah si istri. Alhasil, wajah si istri melepuh dan menjadikan ia kurang memikat.Nah, jika cinta yang dimaksud itu mahabbah. Bisa jadi setelah mengetahui si istri tidak cantik lagi. Maka si suami akan berkurang atau bahkan hilang rasa cinta di hati.Tetapi karena cinta yang dimaksud adalah mawaddah. Maka si suami tidak peduli lagi dengan keadaan fisik si istri. Walaupun keadaannya begitu, si suami tetap cinta. Inilah yang dimaksud cinta tanpa pamrih atau mawaddah.Lalu benar ketika Reny mengatakan, Banyak juga aku temui sosok seperti kamu di kampus. Sebab saat Reny melabeli aku ganteng, rajin, pintar, puitis, ceria, populer, alim. Sebenarnya aku merasa tidak ada apa-apanya dengan sahabatku yang bernama Ali.Iyah, Ali adalah sahabat terbaik semasa kuliah. Dia tinggal satu kos denganku. Aku tahu betul sosok seperti apa dia. Jika Reny melabeli aku alim, maka menurutku Ali jauh lebih alim. Buktinya, ketika panggilan kasih sayang-Nya berkumandang (suara adzan). Yang dengan panggilan itu hanya mampu menggugah dan menggerakkan hati orang yang benar-benar tebal imannya. Orang yang memiliki tekad beribadah sesempurna mungkin dalam segala musim dan cuaca. Seperti karang yang tegak berdiri dalam terjangan ombak, terpaan badai, dan sengatan matahari. Atau seperti matahari yang jutaan tahun membakar tubuhnya untuk memberikan penerangan ke bumi. Tiada mengeluh sedetik pun menjalankan titah Tuhan.Dan Ali adalah orangnya. Yang term
Dalam sejarah persahabatanku dengan Ali, baru kali ini dia mengajakku ke rumah perempuan. Artinya ini benar-benar serius. Kira-kira semester tujuh akhir Ali pernah bercerita kepadaku tentang perempuan yang dia sukai itu. Perempuan tersebut masih adik kelas satu tahun di bawah kami. Kami Jurusan Bimbingan Konseling Islam sedangkan perempuan itu Jurusan Psikologi.Ali bercerita kepadaku bahwa dia mengenal perempuan itu lewat facebook. Siapa sangka ternyata masih satu kampus, hanya beda fakultas saja. Awalnya Ali kagum sama pemikiran-pemikiran perempuan itu yang diunggah dalam status facebook. Ali pun mulai sering stalking facebook perempuan yang dimaksud. Lalu mulai menyapa dan mengobrol lewat chat. Kemudian makin ke sini, Allah menghadirkan rasa cinta di hati Ali.Jangan dibayangkan Ali pacaran! Bahkan berbicara secara langsung dengan perempuan yang disukainya itu, Ali tidak pernah. Ali sekali-kali bukan pemuda yang seperti kebanyakan pemuda. Dan kisah cinta
Aku dan Ali kembali masuk mobil hitam. Aku duduk diam di depan bagian samping sebelah kiri. Sementara Ali berada di kananku. Dia menyandarkan kepalanya di kemudi. Kami diam beberapa saat. Aku biarkan Ali memulai pembicaraan. Karena aku yakin atas kejadian barusan bisa jadi jiwanya terguncang. Tiba-tiba Ali menyodorkan tangannya, meminta berjabat tangan sambil mengatakan..“Selamat, kamu beruntung sekali Iz..” Ali berkata kepadaku dengan air mata merembes ke mana-mana. Aku memilih tidak menyalaminya tapi langsung memeluknya. Beberapa menit kemudian, dia baru melepaskan pelukanku.“Aku mengajakmu ke sini untuk mengantarku. Tapi takdir tertulis, Putri justru memilihmu. Itulah kenyataannya”“Jika karena ini lalu kamu memilih berhenti berteman denganku. Maka aku tidak akan menerimanya!” Jawabku penuh emosional.“Hey, jangan keliru! Kamu bodoh kalau tidak menerimanya. Putri anak yang baik, pintar
Bersyukur sekali aku dan Reny Putri Salsabila sudah mengikat perjanjian yang kuat. Yakni menikah. Ianya adalah ibadah seumur hidup. Jika sholat itu ibadah yang ditentukan waktunya, puasa tiap ramadhan, zakat saat ramadhan, dan haji pada musim haji. Maka ibadah menikah tidaklah terikat waktu. Lihat, memegang tangan istri adalah ibadah yang berpahala. Membeli makanan atau baju untuk istri juga berpahala. Demikian juga mencium dan merayunya. Dan itu bisa dilakukan kapanpun. Nikmat sekali bukan?Setelah ibadah malam pertama itu kami tertidur pulas. Pada pukul 03.00 aku terbangun. Aku matikan alarm di hapeku dan bergegas membersihkan diri. Mandi besar. Tanpa ku bangunkan, istriku juga sudah bangun sendiri. Mungkin dia juga mendengar alarm tadi. Lalu ia menyusul mandi besar setelahku. Kemudian kami sholat tahajud. Dilanjut membaca al Qur’an, sambil menunggu adzan shubuh yang jatuh sekitar jam 04.05.Saat adzan shubuh berkumandang, tentu saja kami berhenti m
Saat makan malam tiba, di rumah yang terletak di Perumahan Citraland Bukit Palma Kota Surabaya hanya berpenghuni tiga orang. Iyah, rumah berlantai dua ini jadi terasa sepi. Hanya ada aku, Mama, dan asisten rumah tangga yang bernama Rahma. Di mana yang lain? Baik, aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara yang kesemuanya perempuan. Usiaku sekarang dua puluh sembilan tahun.Adikku yang bernama Farhana berusia dua puluh tujuh tahun. Farhana menikah lima tahun yang lalu atau saat berusia dua puluh dua tahun. Farhana sudah mempunyai satu anak yaitu Fiyah yang siang tadi aku kunjungi.Kemudian adik bungsuku yang bernama Sarah beda usia denganku tujuh tahun. Benar sekali, usia Sarah sekarang dua puluh dua tahun.Sama seperti Farhana, Sarah juga sudah menikah. Tepatnya satu tahun yang lalu. Namun pernikahan adik bungsuku itu cukup membuat heboh di komplek perumahan kami. Pertama, apalagi kalau bukan heboh soal aku. Aku sekali lagi didahului adik-adi
Makan malam yang berantakan tadi, membawa dampak besar. Akibatnya malam itu aku tidak bisa tidur. Percakapan dengan Mama masih terekam jelas dalam memoriku. Aku benar-benar merasa “ditampar”.Pertama, ketakutan Mama. Mama tak mau seperti Papa yang tidak bisa melihat aku menikah. Yah, walaupun aku tahu itu cukup dramatis. Menikah agar orang tua sempat menyaksikan sebelum meninggal. Namun alasan Mama ingin melihat diriku menikah kini menjadi alasanku juga.Sehingga sekarang lebih mendesak karena alasan-alasan yang kuat. Jelas dari dalam diri aku ingin menikah, mengikuti sunnah rosul. Usiaku juga sudah lebih dari cukup. Kemudian melihat keponakanku Fiyah, ingin sekali rasanya mempunyai anak sendiri. Tak bisa dipungkiri, ini juga menjadi alasan. Ditambah keinginan Mama, membuatku ingin semakin mempercepat menikah.Kedua, ada kalimat Mama yang cukup terngiang-ngiang di kepalaku. Ialah kalimat simple ini, “…Kalau tidak
Ridho pasti bertanya-tanya ada apa? Dia merasa ada yang aneh. Aku juga yakin dia bakal menyiapkan diri atas apa yang akan terjadi nanti. Biasanya dalam sebulan, aku dan Ridho punya agenda untuk keluar bareng. Terutama kalau gaji bulanan sudah cair. Tapi malam nanti adalah spontan. Tidak ada dalam agenda. Dan belum gajian.Tempat biasa yang kami maksud adalah sebuah restoran yang berada di Mall Tunjungan Plaza Surabaya. Kami berdua cukup sering ke restoran itu. Semua menunya seafood. Masakannya juga begitu memanjakan lidah. Tempatnya asik. Sengaja pencahayaannya dibuat remang-remang. Sehingga ada kesan romantis sejak pertama menginjakkan kaki masuk ke dalam restoran tersebut.Ternyata benar, Ridho begitu penasaran tentang apa yang akan aku katakan. Sebegitu penasarannya, sampai-sampai baru saja kami berdua bertemu di restoran, Ridho langsung menanyakan. Tapi aku katakan, selesai makan baru fokus berbincang-bincang. Ridho pun “terpaksa” mengiyakan
Singkat cerita, butuh waktu persiapan selama enam bulan setelah makan malam di restoran itu. Hingga akhirnya aku dan Ridho baru melangsungkan pernikahan. Saat menikah, usiaku tiga puluh tahun lebih satu bulan. Sementara Ridho berusia tiga puluh dua tahun lebih empat bulan.Jika setelah menikah tetap ada yang komentar tentang pernikahanku termasuk telat. Maka aku tidak peduli lagi. Pertama, karena hakikatnya tidak ada kata cepat atau sedang atau terlambat dalam urusan jodoh, rezeki, apalagi kematian.Kedua, secara umum kini aku tidak peduli lagi dengan komentar tidak baik. Sebab sejatinya mustahil aku bisa menyenangkan semua orang dan mustahil juga aku mencocokkan kelakuanku dengan harapan semua orang.Kenyataannya adalah aku tak mungkin bisa mengendalikan orang mau berkomentar apa tentang aku. Namun aku masih bisa mengendalikan bagaimana responku terhadap komentar mereka. Orang memang bisa berkomentar apa saja tentang aku. Tapi yang tahu pasti