Singkat cerita, butuh waktu persiapan selama enam bulan setelah makan malam di restoran itu. Hingga akhirnya aku dan Ridho baru melangsungkan pernikahan. Saat menikah, usiaku tiga puluh tahun lebih satu bulan. Sementara Ridho berusia tiga puluh dua tahun lebih empat bulan.
Jika setelah menikah tetap ada yang komentar tentang pernikahanku termasuk telat. Maka aku tidak peduli lagi. Pertama, karena hakikatnya tidak ada kata cepat atau sedang atau terlambat dalam urusan jodoh, rezeki, apalagi kematian.Kedua, secara umum kini aku tidak peduli lagi dengan komentar tidak baik. Sebab sejatinya mustahil aku bisa menyenangkan semua orang dan mustahil juga aku mencocokkan kelakuanku dengan harapan semua orang.Kenyataannya adalah aku tak mungkin bisa mengendalikan orang mau berkomentar apa tentang aku. Namun aku masih bisa mengendalikan bagaimana responku terhadap komentar mereka. Orang memang bisa berkomentar apa saja tentang aku. Tapi yang tahu pastiHidup berumah tangga memang menarik sekali. Tak pernah ada habisnya untuk dibahas. Dan lima belas bulan setelah Ridho mengucapkan ijab qobul, barulah kami diberi anugerah oleh Tuhan berupa anak yang shaleh. Karunia Tuhan itu kami beri nama Fahri. Sejak Fahri lahir jelas menambah kuota kebahagiaan kami berdua. Kehadiran Fahri bagaikan mutiara indah pembangun jiwa. Jika dulu keponakanku Fiyah bisa membuatku bersemangat, apalagi kini Fahri. Anakku sendiri. Jelas kehadirannya layaknya penyemangat untuk mengarungi samudera hidup. Kami bersyukur sekali atas hadirnya generasi penerus ini.Belajar dari Fiyah dulu. Kami mendidik Fahri pada usia dini dengan memberi ruang keleluasaan. Agar Fahri tetap kreatif dan tetap berani. Larangan tetap ada tapi tidak kebanyakan. Aku belajar mensyukuri semua aspek pada anak yang sudah dibawanya dari lahir. Karenanya aku tak mau mencubit anak yang cerewet, siapa tahu kelak ia menjadi orator ulung. Aku tak mau menghukum anak yang keras kepala,
Aku kembali ke kamar lalu menangis sejadi-jadinya di sana. Bego sekali waktu itu aku menerima pesan BBM itu sambil senyum-senyum. Aku pikir dapat kejutan indah dari Ridho. Tapi ternyata. Sakit hati ini. Pantas saja Fahri tidak boleh ikut. Pantas juga selama ini perbedaan sikap Ridho benar-benar terasa. Karena suami-istri yang sudah lama hidup bersama, pasti terasa jika pasangannya berubah. Bahkan tanpa keduanya saling mengatakan sekalipun. Karena semakin lama hidup bersama, maka gelombang resonansi diantara keduanya semakin baik. Dan akhir-akhir ini aku banyak merasa tidak connect sama Ridho. Frekuensinya jadi beda. Setelah pergi dari rumah, Ridho menyewa hotel. Waktu pun melesat begitu cepat. Menyisakan luka hati yang tak kunjung tau ujungnya. Sudah dua hari ini dia menginap di hotel. Setiap kali dia menelepon, tiap kali pula aku reject. Rasanya belum siap bertemu atau sekedar berbincang dengannya. Tapi sikap menghindar itu berefek pada datangnya
Hari berjalan dengan cepat. Ini sudah enam hari sejak Ridho keluar dari rumah. Aku tak hanya bingung, bimbang, galau, juga ling-lung. Intensitas pertanyaan Fahri tentang Papanya juga semakin meningkat. Aku tak mampu berbohong lebih lama lagi. Kalau dibiarkan seperti ini terus, kalau dibiarkan berlarut-larut terus, akan berdampak pada Fahri. Suasana rumah yang tegang dan membuat takut penghuninya jelas tidak baik. Saat hatiku tak sanggup menanggung ini semua, ada angin segar menyapa. “Ada apa Nai? Kok galau terus” Kalimat itu tersusun menjadi dua pesan yang terkirim lewat media BBM. Pengirim pesan itu adalah sahabatku Nisa. “Kamu kok tahu?” Aku membalasnya. “Haha bagaimana tidak tahu? PM-mu (Personal Message) berbicara semuanya” Lalu aku membalas dengan emoticon menangis. Kemudian aku mengajak Nisa untuk bertemu nanti malam. Sahabatku itu mengiyakan setelah meminta izin terlebih dahulu kepada suaminya. ***
Entah sudah keberapakali aku terpesona dengan kata-kata dari sahabatku itu. Kata-katanya telah menguatkan hati yang lelah, rapuh, mau roboh. Juga dapat mencairkan hati yang beku. Hatiku jadi lebih cair dan aku bertambah kuat sekarang.Nisa memang seperti itu. Dia selalu menolak memberi saran secara langsung, secara to the point. Dia tidak akan mau “menyuruh” kamu harus begini dan begitu. Sama sekali dia tidak ingin menggurui. Jadi pertanyaan yang ku ajukan kepadanya, aku harus bagaimana? Apa yang harus aku lakukan? Sebenarnya tidak terjawab.Dan memang seharusnya seperti itu bukan? Sebaiknya aku sendiri yang memutuskan harus bagaimana. Buat apa ada saran, tapi tidak dilakukan. Atau kalau dilakukan, tapi atas dorongan dari luar. Bukankah lebih baik memutuskan dan melakukan sesuatu itu atas dorongan dari dalam diri sendiri?Sudah satu minggu. Telepon di hapeku berdering lagi..“Iyah, hallo..” Akhirnya aku angk
Jadi pertanyaan aku harus bagaimana? Apa yang harus aku lakukan? Terjawablah sudah. Sekali lagi, yah akhirnya kami bercerai! Aku pun kembali tinggal di rumah orang tua di Perumahan Citraland Bukit Palma. Sebenarnya Mama menyuruhku mempertahankan pernikahan demi Fahri. Tapi aku memilih pergi karena aku tak mau sakit lebih lama lagi. Hak asuh Fahri pun ada padaku. Walau aku dan Ridho kini sudah tidak menjadi suami-istri lagi, tetapi kami tetap orang tua buat Fahri. Sehingga aku tak pernah melarang Ridho mengunjungi Fahri.Solusi atas permasalahanku sudah ketemu. Tapi aku belum menemukan mutiara indah yang terkandung dalam peristiwa ini, seperti yang dikatakan Nisa. Dan arti surat Al-Baqarah ayat 216 yang diterangkan sahabatku itu kembali terngiang, “..Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”Sekitar
Dalam memperbaiki diri itu. Sebelumnya aku yang sering sholat di akhir waktu dan tidak berjamaah pula. Sekarang tidak demikian. Sebab melambat-lambatkan sholat sama dengan melambatkan terkabulnya doa, pertolongan, dan ampunan Allah. Aku benar-benar meningkatkan ibadah sholat. Melipatgandakan sedekah. Padahal sebelumnya jarang-jarang. Merutinkan puasa senin-kamis. Padahal sebelumnya hampir-hampir tidak pernah.Menakjubkan. Hanya dalam waktu enam bulan aku memperbaiki diri. Allah akhirnya memberi jawaban. Dia memberi mutiara hikmah. Mutiara hikmah yang pertama: Dia seperti berbisik, bukan di telingaku tapi ditransfer dalam pikiran dan ditancapkan di hatiku. Yaitu Allah memberiku pemahaman bagaimana “cahaya-Nya” bekerja.“Sungguh Allah Maha Pemberi. Pemberi kegelapan dan pemberi cahaya. Contoh kegelapan: Orang yang berharap jodoh, tapi tidak ketemu jodohnya. Apakah tidak ada orang yang perlu dengan jodoh? Apakah cuma dia sendiri sehingga tida
Laki-laki itu bernama Anas. Kami bertemu di pengajian sebulan sekali yang diasuh Kyai Lukman Hakim. Oh iya tempat pengajiannya berada di masjid. Dan tidak ada sekat atau pembatas antara jamaah laki-laki dan jamaah perempuan. Hanya saja jarak antara laki-laki dan perempuan lumayan jauh. Laki-laki berada di bagian kanan sedangkan perempuan berada di sebelah kiri.Aku tak akan melupakan detail kejadiannya ketika pertama kali Anas memberanikan diri berkenalan denganku. Saat itu selesai pengajian, aku keluar dari masjid dan menuju mobil bersama anakku Fahri. Tiba-tiba.“Assalamu’alaikum. Permisi Bu”“Wa’alaikum salam. Iyah Pak?” Jawabku.“Emm, Ibu ikut pengajian tadi yaa?”Pertanyaan basa-basi. Sudah tahu kok bertanya.“Iyah betul. Ada apa Pak?”“Aaa.. Emm..” Bapak itu memegang bibir dengan ujung jarinya. Lama sekali ia dalam k
“Bagaimana sayang ceritanya?” Kataku pada Reny.“Luar biasa. Senang sekali bisa baca cerita ini. Aku jadi ingin lebih banyak membaca karya-karya lain dari orang ini”“Nah, kan? Jadi ketagihan kan? Terus pelajarannya apa dari baca cerita tadi?” Tanyaku lagi.“Banyak sih pelajarannya. Salah satunya yang paling penting adalah dalam berumah tangga harus menjaga hubungan baik dengan Allah. Supaya hubungan kita dengan pasangan juga menjadi baik. Dan supaya hidup kita selalu dalam naungan cahaya Allah”“Mantab. Semoga kita kuat beribadah dan taat pada Allah sehingga cahaya-Nya selalu meliputi kita”“Aamiin..” Kami berdua hampir bersamaan mengucapkannya.“Nah, bacanya sudah selesai. Sekarang ayuk” Aku mengingatkan.“Kemana sayang?” Tanya Reny. Yang diingatkan malah lupa.“Loh? Kamu lupa y
Sebelum menikah, aku sudah hidup bahagia. Karena aku yakin Allah selalu baik kepadaku di manapun aku berada dan dalam kondisi apapun diriku. Aku juga percaya, bahwa semua perkara orang yang beriman amatlah bagus. Allah memberi kabar baik, lalu aku bersyukur itu bagus. Allah memberi kabar buruk, yang sesungguhnya itu juga demi kebaikan diriku. Lalu aku bersabar, itu juga bagus. Maka setelah menikah tujuanku bukanlah mencari bahagia. Yang terjadi adalah aku dan istriku Reny saling berbagi kebahagiaan. Bukan saling menuntut kebahagiaan.Waktu melesat begitu cepat. Dan kebahagiaan kini bertambah sebab aku punya momongan. Buah hati itu kami beri nama Muhammad Abdullah. Nama panggilan Abdul atau lebih pendek lagi Dul. Usianya kini satu tahun delapan bulan. Setiap melihat Dul. Tanpa diperintah, bahagia menyeruak begitu saja mengisi jantungku. Dipompa oleh jantung dan kebahagiaan itu ikut mengalir layaknya aliran darah yang menyebar ke seluruh tubuh.“Gimana
Pernah juga aku melihat ada staf yang tidak nyaman bekerja. Mudah saja melihatnya. Yaitu dari sikap, perilaku yang ditampilkan, dan tentu saja yang paling utama yakni mimik wajah. Karena pada wajah seseorang terkadang berbagai informasi dengan jelas terlihat di sana. Langsung saja aku menyuruh menghadap ke ruangku. Dalam ruangan.“Rizky, kamu tahu kenapa aku memanggilmu ke sini?”“Tidak tahu. Ada apa ya Pak?”“Begini ya Riz. Aku perhatikan kamu itu kok seperti tidak nyaman bekerja. Ada apa?” Tanyaku kepada Rizky.“Oh iya betul Pak. Sebenarnya saya bukan tidak nyaman dengan pekerjaannya. Tetapi saya tidak nyaman dengan staf-staf yang lain” Jawab Rizky.“Memang ada masalah apa kamu dengan staf yang lain?”“Mereka itu suka ngomong di belakang Pak. Saya dari awal sudah terasa. Hingga akhirnya saya dengar sendiri”“Mereka
Alhamdulillah aku diterima PNS pada Kementerian Agama. Bagian yang mengurus tentang Perlindungan Jama’ah Haji. Aku suka sekali pada devisi ini. Karena para jama’ah haji adalah tamu Allah. Dan aku ingin menjadi salah satu yang terbaik dalam melayani tamu-tamu Allah tersebut.Segenap jiwa, raga, dan hati aku hadirkan sebagai abdi negara. Bekerja dengan cinta, agar jerih payah tak terasa. Bekerja dengan cinta, agar bernilai ibadah. Tak menunggu waktu lama. Karirku meningkat. Awalnya staf biasa. Sekarang sudah jadi Kepala Bagian. Seperti yang ku bilang. Aku hanya berpindah dari satu takdir ke takdir yang lain. Dan aku yakin takdir itulah yang dipilihkan Allah yang terbaik untuk diriku. Karena Allah yang paling tahu keadaan diriku, yang paling tahu kebutuhanku dibandingkan diriku sendiri. Terimakasih Allahku. Dan aku juga sering memperhatikan staf-staf yang ada di bawahku. Bukan untuk menghakimi tapi untuk memotivasi mereka. Supaya mereka mengeluarkan potensi ter
“Bagaimana sayang ceritanya?” Kataku pada Reny.“Luar biasa. Senang sekali bisa baca cerita ini. Aku jadi ingin lebih banyak membaca karya-karya lain dari orang ini”“Nah, kan? Jadi ketagihan kan? Terus pelajarannya apa dari baca cerita tadi?” Tanyaku lagi.“Banyak sih pelajarannya. Salah satunya yang paling penting adalah dalam berumah tangga harus menjaga hubungan baik dengan Allah. Supaya hubungan kita dengan pasangan juga menjadi baik. Dan supaya hidup kita selalu dalam naungan cahaya Allah”“Mantab. Semoga kita kuat beribadah dan taat pada Allah sehingga cahaya-Nya selalu meliputi kita”“Aamiin..” Kami berdua hampir bersamaan mengucapkannya.“Nah, bacanya sudah selesai. Sekarang ayuk” Aku mengingatkan.“Kemana sayang?” Tanya Reny. Yang diingatkan malah lupa.“Loh? Kamu lupa y
Laki-laki itu bernama Anas. Kami bertemu di pengajian sebulan sekali yang diasuh Kyai Lukman Hakim. Oh iya tempat pengajiannya berada di masjid. Dan tidak ada sekat atau pembatas antara jamaah laki-laki dan jamaah perempuan. Hanya saja jarak antara laki-laki dan perempuan lumayan jauh. Laki-laki berada di bagian kanan sedangkan perempuan berada di sebelah kiri.Aku tak akan melupakan detail kejadiannya ketika pertama kali Anas memberanikan diri berkenalan denganku. Saat itu selesai pengajian, aku keluar dari masjid dan menuju mobil bersama anakku Fahri. Tiba-tiba.“Assalamu’alaikum. Permisi Bu”“Wa’alaikum salam. Iyah Pak?” Jawabku.“Emm, Ibu ikut pengajian tadi yaa?”Pertanyaan basa-basi. Sudah tahu kok bertanya.“Iyah betul. Ada apa Pak?”“Aaa.. Emm..” Bapak itu memegang bibir dengan ujung jarinya. Lama sekali ia dalam k
Dalam memperbaiki diri itu. Sebelumnya aku yang sering sholat di akhir waktu dan tidak berjamaah pula. Sekarang tidak demikian. Sebab melambat-lambatkan sholat sama dengan melambatkan terkabulnya doa, pertolongan, dan ampunan Allah. Aku benar-benar meningkatkan ibadah sholat. Melipatgandakan sedekah. Padahal sebelumnya jarang-jarang. Merutinkan puasa senin-kamis. Padahal sebelumnya hampir-hampir tidak pernah.Menakjubkan. Hanya dalam waktu enam bulan aku memperbaiki diri. Allah akhirnya memberi jawaban. Dia memberi mutiara hikmah. Mutiara hikmah yang pertama: Dia seperti berbisik, bukan di telingaku tapi ditransfer dalam pikiran dan ditancapkan di hatiku. Yaitu Allah memberiku pemahaman bagaimana “cahaya-Nya” bekerja.“Sungguh Allah Maha Pemberi. Pemberi kegelapan dan pemberi cahaya. Contoh kegelapan: Orang yang berharap jodoh, tapi tidak ketemu jodohnya. Apakah tidak ada orang yang perlu dengan jodoh? Apakah cuma dia sendiri sehingga tida
Jadi pertanyaan aku harus bagaimana? Apa yang harus aku lakukan? Terjawablah sudah. Sekali lagi, yah akhirnya kami bercerai! Aku pun kembali tinggal di rumah orang tua di Perumahan Citraland Bukit Palma. Sebenarnya Mama menyuruhku mempertahankan pernikahan demi Fahri. Tapi aku memilih pergi karena aku tak mau sakit lebih lama lagi. Hak asuh Fahri pun ada padaku. Walau aku dan Ridho kini sudah tidak menjadi suami-istri lagi, tetapi kami tetap orang tua buat Fahri. Sehingga aku tak pernah melarang Ridho mengunjungi Fahri.Solusi atas permasalahanku sudah ketemu. Tapi aku belum menemukan mutiara indah yang terkandung dalam peristiwa ini, seperti yang dikatakan Nisa. Dan arti surat Al-Baqarah ayat 216 yang diterangkan sahabatku itu kembali terngiang, “..Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”Sekitar
Entah sudah keberapakali aku terpesona dengan kata-kata dari sahabatku itu. Kata-katanya telah menguatkan hati yang lelah, rapuh, mau roboh. Juga dapat mencairkan hati yang beku. Hatiku jadi lebih cair dan aku bertambah kuat sekarang.Nisa memang seperti itu. Dia selalu menolak memberi saran secara langsung, secara to the point. Dia tidak akan mau “menyuruh” kamu harus begini dan begitu. Sama sekali dia tidak ingin menggurui. Jadi pertanyaan yang ku ajukan kepadanya, aku harus bagaimana? Apa yang harus aku lakukan? Sebenarnya tidak terjawab.Dan memang seharusnya seperti itu bukan? Sebaiknya aku sendiri yang memutuskan harus bagaimana. Buat apa ada saran, tapi tidak dilakukan. Atau kalau dilakukan, tapi atas dorongan dari luar. Bukankah lebih baik memutuskan dan melakukan sesuatu itu atas dorongan dari dalam diri sendiri?Sudah satu minggu. Telepon di hapeku berdering lagi..“Iyah, hallo..” Akhirnya aku angk
Hari berjalan dengan cepat. Ini sudah enam hari sejak Ridho keluar dari rumah. Aku tak hanya bingung, bimbang, galau, juga ling-lung. Intensitas pertanyaan Fahri tentang Papanya juga semakin meningkat. Aku tak mampu berbohong lebih lama lagi. Kalau dibiarkan seperti ini terus, kalau dibiarkan berlarut-larut terus, akan berdampak pada Fahri. Suasana rumah yang tegang dan membuat takut penghuninya jelas tidak baik. Saat hatiku tak sanggup menanggung ini semua, ada angin segar menyapa. “Ada apa Nai? Kok galau terus” Kalimat itu tersusun menjadi dua pesan yang terkirim lewat media BBM. Pengirim pesan itu adalah sahabatku Nisa. “Kamu kok tahu?” Aku membalasnya. “Haha bagaimana tidak tahu? PM-mu (Personal Message) berbicara semuanya” Lalu aku membalas dengan emoticon menangis. Kemudian aku mengajak Nisa untuk bertemu nanti malam. Sahabatku itu mengiyakan setelah meminta izin terlebih dahulu kepada suaminya. ***