Makan malam yang berantakan tadi, membawa dampak besar. Akibatnya malam itu aku tidak bisa tidur. Percakapan dengan Mama masih terekam jelas dalam memoriku. Aku benar-benar merasa “ditampar”.
Pertama, ketakutan Mama. Mama tak mau seperti Papa yang tidak bisa melihat aku menikah. Yah, walaupun aku tahu itu cukup dramatis. Menikah agar orang tua sempat menyaksikan sebelum meninggal. Namun alasan Mama ingin melihat diriku menikah kini menjadi alasanku juga.Sehingga sekarang lebih mendesak karena alasan-alasan yang kuat. Jelas dari dalam diri aku ingin menikah, mengikuti sunnah rosul. Usiaku juga sudah lebih dari cukup. Kemudian melihat keponakanku Fiyah, ingin sekali rasanya mempunyai anak sendiri. Tak bisa dipungkiri, ini juga menjadi alasan. Ditambah keinginan Mama, membuatku ingin semakin mempercepat menikah. Kedua, ada kalimat Mama yang cukup terngiang-ngiang di kepalaku. Ialah kalimat simple ini, “…Kalau tidak jelas, buat apa kamu tunggu? Cari yang jelas saja Nak”. Aku merasa itu adalah cara Tuhan berbicara kepada diriku. Ini adalah sebuah tanda bukan?Sekarang aku jadi tahu, bahwa sebenarnya Tuhan sedang terus berbicara kepadaku. Yaitu dalam dimensi ruang sebagai wadahnya. Dimensi waktu sebagai pengukur usia dan memahami urutan peristiwa. Dimensi materi untuk membentuk benda-benda. Dimensi energi sebagai sumber kekuatan penggerak. Dimensi informasi sebagai variabel perintah. Kesemuanya itu menjadi dinamika yang berjalan dengan sangat teratur dan terkontrol menuju proses terjadinya triliunan peristiwa. Salah satunya peristiwa makan malam tadi. Saat Tuhan “menegur” aku lewat perkataan Mama.Mudahnya seperti ini. Kalau Ridho memang serius. Seharusnya ia tak membuat aku menunggu terlalu lama. Kalau Ridho memang serius. Seharusnya ia memperjelas kapan datang ke rumah dan meminta aku di depan orang tua. Kenapa aku baru menyadari ini yaa? Kenapa tidak dari dulu-dulu? Ah, barangkali dengan cara seperti inilah aku mendapat pelajaran lagi.Jadi seumpama ada mahasiswa ditanya kapan lulus, terus tidak bisa jawab. Berarti ia tidak serius dengan kuliahnya. Kalau ada manajer ditanya kapan selesai, terus tidak bisa jawab. Berarti ia tidak serius dengan pekerjaannya. Kalau ada orang islam ditanya kapan umroh, terus tidak bisa jawab. Berarti ia tidak serius ingin umroh. Kalau ada perokok ditanya kapan berhenti, terus tidak bisa jawab. Berarti ia tidak serius ingin berhenti merokok. Dan seterusnya.Aku jadi teringat minggu lalu waktu ke travel agen. Untuk pesan tiket saja harus sangat jelas: untuk kapan, tanggal berapa, jam berapa, ke kota mana, pesawat apa, cara bayar seperti apa, untuk berapa orang. Jadi kalau serius itu jelas. Sedangkan Ridho? Memastikan kapan saja tidak bisa. So lame!Seperti yang aku katakan, demi mendengar perkataan-perkataan Mama itu, secepatnya akan aku pastikan bagaimana hubunganku dengan Ridho. Bagaimana kepastiannya? Bagaimana kejelasannya? Berlanjut ke pelaminan? Atau ganti cari yang lain yang lebih pasti. Ganti cari yang lain yang lebih jelas.Dan sebelum tidur, tiba-tiba Tuhan memberiku “tanda” sekali lagi. Biasanya sepuluh menit sebelum tidur aku sekedar mengecek media sosialku. Entah itu F******k (F*), W******p (WA), atau BlackBerry Messenger (BBM). Kebetulan kali ini aku cek BBM, aku lihat pemberitahuan. Kemudian muncul DP (Display Picture) temanku. DP itu bertuliskan:“Tiga sifat hubungan cinta yang terlalu lama dan sudah membiasa: 1. Tidak pernah jelas kapan mau menikah. 2. Tidak jelas sampai kapan hubungan tanpa status itu akan berlangsung. 3. Keduanya merugi, tapi yang paling rugi selalu pihak wanita”Oh Tuhan. Aku jadi ketawa-ketawa sendiri lagi. Itu pas sekali, benar-benar menggambarkan aku. Maksudku hubungan diriku dengan Ridho. Terimakasih Tuhan atas teguran demi teguran yang Kau beri.***Kisahku dengan Ridho, bermula di tempat kerja. Kami dipertemukan di tempat kerja yang sama yaitu di salah satu bank nasional di negeri ini. Saat pertama bertemu, kami sama-sama bekerja sebagai Sales Support Specialist.Usia Ridho lebih tua dua tahun dari usiaku. Namun jika dilihat dari track record-nya, aku memang lebih beruntung. Karena aku fresh graduate (baru lulus kuliah, usia dua puluh dua tahun) yang langsung diterima kerja sebagai Sales Support Specialist di bank tersebut. Sedangkan Ridho yang lulus kuliah dua tahun lebih dulu dari aku, tidak langsung menempati posisi itu.Pertama-pertama Ridho menempati posisi Direct Sales Representative selama satu tahun. Kemudian naik posisi sebagai Team Leader, juga ia jalani selama satu tahun. Nah, barulah pada tahun berikutnya Ridho naik jabatan lagi di posisi yang sama seperti aku, yaitu Sales Support Specialist saat usianya dua puluh empat tahun.Gedung bank nasional yang merupakan regional Surabaya dan berada di jalan Raya Darmo tersebut berlantai delapan. Pada lantai empat terdapat beberapa ruangan. Salah satunya adalah ruang Sales Support Specialist yang berada di bagian tenggara atau pojok timur-selatan. Ruangannya serba putih. Dinding, meja, dan sekat berwarna putih. Sampai alat pendukung pekerjaan seperti komputer dan telepon pun berwarna putih.Masing-masing karyawan di ruangan serba putih itu dipisahkan sekat-sekat setinggi dada. Terbentuklah menjadi bilik-bilik yang kalau dilihat mirip seperti di warnet. Hanya saja jarak antar sekat lumayan lebar. Sehingga membuat nyaman para karyawan dalam privasi pekerjaan. Jumlah karyawan pada posisi Sales Support Specialist ada dua puluh enam orang.Jam menunjukkan pukul dua belas. Berarti waktunya istirahat siang..“Nai, ayo ke kantin” Ajak Ridho menghampiri bilikku. Aku dan Ridho terpisah satu bilik milik Candra.“Kamu ke sana dulu sama Candra. Setelah ini aku menyusul”“Yakin?”“Iyaaaah” Kataku tanpa menoleh lagi.“Okee baiklah”Ridho, Candra, Vera, Ningrum, Agnes, dan juga beberapa teman yang lain menuju ke kantin. Tempatnya berada di lantai dua bersebelahan dengan musholla. Jadi harus turun dua lantai. Dan kami terbiasa makan siang terlebih dahulu baru sholat dhuhur. Kecuali yang beragama non muslim, mereka akan lebih lama menghabiskan waktu istirahat di kantin.Sepuluh menit berlalu, aku tak kunjung turun. “Nai, kamu ada apa? Seperti ada yang aneh deh. Ayoo turun, nanti keburu habis waktunya” Kalimat itu terkirim lewat media BBM yang tersusun menjadi empat pesan.Mungkin Ridho sudah terasa. Karena kami biasanya turun sama-sama. Dan yang benar adalah aku sedang menyiapkan kata-kata. Aku harus mengatakan hari ini juga. Setelah merasa cukup untuk membayangkan segala kemungkinannya. Aku bergegas turun dengan lapang dada.“Kok lama sekali? Ada apa Nai?” Tanya Ridho sesaat setelah aku sampai di meja makan mereka.“Iyah, tumben deh” Saut Candra.“Tidak ada apa-apa. Silahkan-silahkan dilanjutkan makannya. Aku pesan (makan) dulu”Meja di kantin itu berjajar memanjang membentuk lima barisan. Tiap barisan ada enam meja. Antara satu meja dengan meja yang ada di sampingnya terdapat jarak yang cukup buat orang untuk lewat. Dan satu meja terdiri dari empat kursi. Saling berhadapan dua-dua. Jika semua kursi terisi penuh, maka total kantin di lantai dua itu dapat menampung seratus dua puluh orang.Ridho dan Candra duduk berjajar. Dua kursi di meja yang ditempati mereka berdua masih kosong. Biasanya masing-masing devisi memilih duduk satu meja. Mungkin karena ada rasa kesamaan nasib, jadi lebih suka duduk bergerombol sesuai devisinya. Kecuali kalau kebetulan banyak yang istirahat jam dua belas, kantin akan penuh. Kalau sudah begitu asal saja memilih meja. Yang penting bisa duduk.Setelah aku memesan makanan, aku duduk di depan Ridho dan Candra. Aku memilih fokus melahap makan siangku. Sementara mereka berdua mengobrol ini itu. Di sela-sela mengobrol dengan Candra, mata Ridho beberapa kali tertuju padaku. Aku tahu kalau Ridho sedang terus memperhatikan. Tetapi aku memilih tetap fokus melahap makananku.Rasa penasaran Ridho pun sudah berada di ketinggian. Sehingga kalimat ini terjun bebas dari mulutnya, “Kamu ada apa sih?”Candra juga ikut menimpali, “Iya nih, dari tadi diam terus deh. Tidak seperti biasanya”Aku menjawab, “Tidak ada apa-apa kok, beneran”Hening sejenak.Aku meneruskan, “Oh iya Dho, nanti malam kita ke tempat biasanya yuk?”Padahal aku siap mengatakannya. Tapi ketika fokus makan tadi aku pikir-pikir, ternyata aku keliru. Karena tidak mungkin aku katakan di tempat seperti ini.“Aku boleh ikut tidak?” Candra menawarkan diri. Dia memang kadang-kadang ikut nimbrung bersama teman-teman yang lain.Ridho lantas memandang ke arahku. Ingin tahu apa jawabanku atas pertanyaan Candra. Mataku pun melirik ke Candra dengan ekspresi keberatan. Sehingga tanpa aku katakan, Candra sudah menangkap pesan itu. Candra tahu kalau khusus nanti, aku cuma mau berdua sama Ridho.“Oh, tidak boleh yaa?” Candra bertanya yang dia sendiri tidak butuh jawabannya. “Ya sudah. Aku sholat dulu yaa, mau bareng?” Candra bertanya lagi sembari menoleh ke arah Ridho.Ridho mengibaskan tangan. Tanda menyuruh duluan.“Oke, oke, bersiaplah Dho” Kata selamat tinggal dari Candra.Ridho pun membuka suara setelah Candra sudah berlalu, “Ada apa sih? Random sekali tiba-tiba kamu mengajak ke sana”“Ada yang mau aku katakan”“Apa itu?”“Ya ada, nanti”“Tidak bisa dikatakan sekarang yaa? Di sini?” Aku menggelengkan kepala dengan sedikit memonyongkan bibir.“Ya sudah. Nanti kita ke sana” Jawaban Ridho.Saat pertama bertemu di tempat kerja dulu, tidak serta merta aku langsung suka sama Ridho. Malah Ridho yang lebih dulu tertarik untuk mengenal aku lebih jauh. Sedangkan aku awalnya merasa biasa saja.Namun karena intensitas pertemuan yang terlalu sering. Sering berinteraksi. Sering mengobrol. Makin ke sini makin nyambung. Makin ke sini makin nyaman. Benih-benih rasa pun tumbuh subur di hatiku. Akhirnya di tahun ketiga rasa itu sempurna bersemayam di jantung hatiku. Maka sejak tahun ketiga itulah kami menjalin hubungan. Berarti saat itu aku berusia dua puluh lima tahun. Sekarang usiaku dua puluh sembilan tahun lebih tujuh bulan. Mendekati usia kepala tiga.Jadi kenyataannya, hubungan antara aku dengan Ridho juga sebentar lagi akan mencapai lima tahun. Itu kalau dalam sistem demokrasi Indonesia, pergantian pemimpin harus dilakukan pemilihan umum (pemilu) tiap lima tahun sekali. Sehingga diperoleh pemimpin petahana yang tetap bertahan atau diganti pemimpin yang baru. Agaknya demikianlah deskripsi hubunganku dengan Ridho. Aku akan mempertegas, masih terus berhubungan dengan syarat Ridho menikahi aku. Atau ganti cari “pemimpin” baru, yang jelas kapan mau daftar ke KUA bersamaku.Ridho pasti bertanya-tanya ada apa? Dia merasa ada yang aneh. Aku juga yakin dia bakal menyiapkan diri atas apa yang akan terjadi nanti. Biasanya dalam sebulan, aku dan Ridho punya agenda untuk keluar bareng. Terutama kalau gaji bulanan sudah cair. Tapi malam nanti adalah spontan. Tidak ada dalam agenda. Dan belum gajian.Tempat biasa yang kami maksud adalah sebuah restoran yang berada di Mall Tunjungan Plaza Surabaya. Kami berdua cukup sering ke restoran itu. Semua menunya seafood. Masakannya juga begitu memanjakan lidah. Tempatnya asik. Sengaja pencahayaannya dibuat remang-remang. Sehingga ada kesan romantis sejak pertama menginjakkan kaki masuk ke dalam restoran tersebut.Ternyata benar, Ridho begitu penasaran tentang apa yang akan aku katakan. Sebegitu penasarannya, sampai-sampai baru saja kami berdua bertemu di restoran, Ridho langsung menanyakan. Tapi aku katakan, selesai makan baru fokus berbincang-bincang. Ridho pun “terpaksa” mengiyakan
Singkat cerita, butuh waktu persiapan selama enam bulan setelah makan malam di restoran itu. Hingga akhirnya aku dan Ridho baru melangsungkan pernikahan. Saat menikah, usiaku tiga puluh tahun lebih satu bulan. Sementara Ridho berusia tiga puluh dua tahun lebih empat bulan.Jika setelah menikah tetap ada yang komentar tentang pernikahanku termasuk telat. Maka aku tidak peduli lagi. Pertama, karena hakikatnya tidak ada kata cepat atau sedang atau terlambat dalam urusan jodoh, rezeki, apalagi kematian.Kedua, secara umum kini aku tidak peduli lagi dengan komentar tidak baik. Sebab sejatinya mustahil aku bisa menyenangkan semua orang dan mustahil juga aku mencocokkan kelakuanku dengan harapan semua orang.Kenyataannya adalah aku tak mungkin bisa mengendalikan orang mau berkomentar apa tentang aku. Namun aku masih bisa mengendalikan bagaimana responku terhadap komentar mereka. Orang memang bisa berkomentar apa saja tentang aku. Tapi yang tahu pasti
Hidup berumah tangga memang menarik sekali. Tak pernah ada habisnya untuk dibahas. Dan lima belas bulan setelah Ridho mengucapkan ijab qobul, barulah kami diberi anugerah oleh Tuhan berupa anak yang shaleh. Karunia Tuhan itu kami beri nama Fahri. Sejak Fahri lahir jelas menambah kuota kebahagiaan kami berdua. Kehadiran Fahri bagaikan mutiara indah pembangun jiwa. Jika dulu keponakanku Fiyah bisa membuatku bersemangat, apalagi kini Fahri. Anakku sendiri. Jelas kehadirannya layaknya penyemangat untuk mengarungi samudera hidup. Kami bersyukur sekali atas hadirnya generasi penerus ini.Belajar dari Fiyah dulu. Kami mendidik Fahri pada usia dini dengan memberi ruang keleluasaan. Agar Fahri tetap kreatif dan tetap berani. Larangan tetap ada tapi tidak kebanyakan. Aku belajar mensyukuri semua aspek pada anak yang sudah dibawanya dari lahir. Karenanya aku tak mau mencubit anak yang cerewet, siapa tahu kelak ia menjadi orator ulung. Aku tak mau menghukum anak yang keras kepala,
Aku kembali ke kamar lalu menangis sejadi-jadinya di sana. Bego sekali waktu itu aku menerima pesan BBM itu sambil senyum-senyum. Aku pikir dapat kejutan indah dari Ridho. Tapi ternyata. Sakit hati ini. Pantas saja Fahri tidak boleh ikut. Pantas juga selama ini perbedaan sikap Ridho benar-benar terasa. Karena suami-istri yang sudah lama hidup bersama, pasti terasa jika pasangannya berubah. Bahkan tanpa keduanya saling mengatakan sekalipun. Karena semakin lama hidup bersama, maka gelombang resonansi diantara keduanya semakin baik. Dan akhir-akhir ini aku banyak merasa tidak connect sama Ridho. Frekuensinya jadi beda. Setelah pergi dari rumah, Ridho menyewa hotel. Waktu pun melesat begitu cepat. Menyisakan luka hati yang tak kunjung tau ujungnya. Sudah dua hari ini dia menginap di hotel. Setiap kali dia menelepon, tiap kali pula aku reject. Rasanya belum siap bertemu atau sekedar berbincang dengannya. Tapi sikap menghindar itu berefek pada datangnya
Hari berjalan dengan cepat. Ini sudah enam hari sejak Ridho keluar dari rumah. Aku tak hanya bingung, bimbang, galau, juga ling-lung. Intensitas pertanyaan Fahri tentang Papanya juga semakin meningkat. Aku tak mampu berbohong lebih lama lagi. Kalau dibiarkan seperti ini terus, kalau dibiarkan berlarut-larut terus, akan berdampak pada Fahri. Suasana rumah yang tegang dan membuat takut penghuninya jelas tidak baik. Saat hatiku tak sanggup menanggung ini semua, ada angin segar menyapa. “Ada apa Nai? Kok galau terus” Kalimat itu tersusun menjadi dua pesan yang terkirim lewat media BBM. Pengirim pesan itu adalah sahabatku Nisa. “Kamu kok tahu?” Aku membalasnya. “Haha bagaimana tidak tahu? PM-mu (Personal Message) berbicara semuanya” Lalu aku membalas dengan emoticon menangis. Kemudian aku mengajak Nisa untuk bertemu nanti malam. Sahabatku itu mengiyakan setelah meminta izin terlebih dahulu kepada suaminya. ***
Entah sudah keberapakali aku terpesona dengan kata-kata dari sahabatku itu. Kata-katanya telah menguatkan hati yang lelah, rapuh, mau roboh. Juga dapat mencairkan hati yang beku. Hatiku jadi lebih cair dan aku bertambah kuat sekarang.Nisa memang seperti itu. Dia selalu menolak memberi saran secara langsung, secara to the point. Dia tidak akan mau “menyuruh” kamu harus begini dan begitu. Sama sekali dia tidak ingin menggurui. Jadi pertanyaan yang ku ajukan kepadanya, aku harus bagaimana? Apa yang harus aku lakukan? Sebenarnya tidak terjawab.Dan memang seharusnya seperti itu bukan? Sebaiknya aku sendiri yang memutuskan harus bagaimana. Buat apa ada saran, tapi tidak dilakukan. Atau kalau dilakukan, tapi atas dorongan dari luar. Bukankah lebih baik memutuskan dan melakukan sesuatu itu atas dorongan dari dalam diri sendiri?Sudah satu minggu. Telepon di hapeku berdering lagi..“Iyah, hallo..” Akhirnya aku angk
Jadi pertanyaan aku harus bagaimana? Apa yang harus aku lakukan? Terjawablah sudah. Sekali lagi, yah akhirnya kami bercerai! Aku pun kembali tinggal di rumah orang tua di Perumahan Citraland Bukit Palma. Sebenarnya Mama menyuruhku mempertahankan pernikahan demi Fahri. Tapi aku memilih pergi karena aku tak mau sakit lebih lama lagi. Hak asuh Fahri pun ada padaku. Walau aku dan Ridho kini sudah tidak menjadi suami-istri lagi, tetapi kami tetap orang tua buat Fahri. Sehingga aku tak pernah melarang Ridho mengunjungi Fahri.Solusi atas permasalahanku sudah ketemu. Tapi aku belum menemukan mutiara indah yang terkandung dalam peristiwa ini, seperti yang dikatakan Nisa. Dan arti surat Al-Baqarah ayat 216 yang diterangkan sahabatku itu kembali terngiang, “..Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”Sekitar
Dalam memperbaiki diri itu. Sebelumnya aku yang sering sholat di akhir waktu dan tidak berjamaah pula. Sekarang tidak demikian. Sebab melambat-lambatkan sholat sama dengan melambatkan terkabulnya doa, pertolongan, dan ampunan Allah. Aku benar-benar meningkatkan ibadah sholat. Melipatgandakan sedekah. Padahal sebelumnya jarang-jarang. Merutinkan puasa senin-kamis. Padahal sebelumnya hampir-hampir tidak pernah.Menakjubkan. Hanya dalam waktu enam bulan aku memperbaiki diri. Allah akhirnya memberi jawaban. Dia memberi mutiara hikmah. Mutiara hikmah yang pertama: Dia seperti berbisik, bukan di telingaku tapi ditransfer dalam pikiran dan ditancapkan di hatiku. Yaitu Allah memberiku pemahaman bagaimana “cahaya-Nya” bekerja.“Sungguh Allah Maha Pemberi. Pemberi kegelapan dan pemberi cahaya. Contoh kegelapan: Orang yang berharap jodoh, tapi tidak ketemu jodohnya. Apakah tidak ada orang yang perlu dengan jodoh? Apakah cuma dia sendiri sehingga tida