Semua Bab Can You See Me?: Bab 61 - Bab 70

92 Bab

Bab. 60

Rallin berjalan lesu di koridor sekolah. Di tangannya tergenggam surat pengeluaran murid. Hati gadis itu sangat hancur. Pendidikan yang begitu ia agung-agungkan kini harus kandas di tengah jalan. Semua impiannya tentang sekolah yang telah disusun dengan baik harus ia kubur dalam-dalam.Hengga menatap sendu punggung gadis yang kini tengah berjalan di depannya.  Gadis kesayangannya tampak rapuh. Tidak ada binar bahagia di kedua iris matanya. Tidak ada senyum manis di bibirnya. Tidak ada raut ceria di wajahnya. Semuanya redup karena dirinya.Rallin menghentikan langkahnya kemudian berbalik menatap Henggar. “Gar?” panggil gadis itu.Henggar menatap balik mata Rallin. “Hm?” sahutnya.“Ke ruang band sebentar, ya? Gue mau pamit sama anak-anak.” Gadis itu meminta. Henggar tersenyum tipis kemudian mengangguk.Kini keduanya pun berjalan menuju ruang band. Kunci ruangan itu yang semula di pegang oleh Rallin, sekarang d
Baca selengkapnya

Bab. 61

Semilir angin di siang yang sedikit mendung ini menerbangkan beberapa helai rambut Rallin yang terurai bebas. Gadis itu menatap batang-batang pohon yang tampak lebih kecil jika dilihat dari ketinggian lantai empat ini. Sejak sepuluh menit yang lalu, gadis itu diajak seseorang ke sini. Katanya ingin mengobrol sebentar. Nyatanya dari tadi orang itu tidak membuka suara. Menciptakan keheningan di antara mereka.Rallin menolehkan kepalanya menatap orang itu. Matanya sedikit menyipit karena terkena hembusan angin. “Ada apa, Kak?” tanyanya kepada orang itu.Astan, orang itu yang semulanya ikut menatap pepohonan di bawah sana pun akhirnya ikut mengalihkan pandangannya menatap Rallin. “Lo dikeluarin dari Grand Nusa?”Mendengar pertanyaan itu, raut wajah Rallin menjadi sendu. Rasa sedih kembali menyeruak. Membuat hati gadis itu seperti tercabik-cabik namun tetap memaksakan seulas senyum. Gadis itu tampak menarik nafas panjang kemudian menghembuskan
Baca selengkapnya

Bab. 62

Henggar tampak jalan tergesa-gesa menyusuri lorong rumah sakit. Mendengar kabar bahwa Rallin masuk rumah sakit dari Astan, membuat jantung lelaki itu berpacu dua kali lebih cepat. Pikiran-pikiran buruk yang terjadi pada Rallin memenuhi kinerja otaknya.Lelaki itu langsung masuk ke kamar nomor 23, kamar dimana Rallin dirawat. Lelaki itu langsung beringsut mendekat ke brankar adiknya yang tengah tertidur pulas. Seharusnya tadi ia tidak ikut dengan Sendi untuk pergi ke kantin dan dengan bodohnya, ponsel lelaki itu malah dinonaktifkan. Dan baru tahu kabar bahwa adiknya masuk rumah sakit dari chat Astan satu jam yang lalu.Henggar meraih jemari Rallin yang tampak kurus itu. Mengusapnya dengan lembut, takut membuat gadis itu terjaga. “Sebenernya apa yang terjadi sama lo?” gumamnya pelan.Tidak ada jawaban dari gadis itu. Matanya setia terpejam erat. Henggar memejamkan matanya menahan rasa bersalah yang semakin menyeruak. “Sorry, gue nggak bisa jagain
Baca selengkapnya

Bab, 63

Nadiv memandangi wajah Adelia yang masih setia memejamkan matanya sejak kecelakaan kemarin. Rasa bersalah akan terus menghantui dirinya selama Adelia belum sadar. Membuat Nadiv sedikit berfikir, apa mungkin kini Adelia tulus mencintainya? Bahkan gadis itu sampai rela mengorbankan nyawanya sendiri demi menyelamatkan Nadiv. Nadiv tidak tahu perasaan apa ini, yang jelas ia merasa setitik rasa bahagia kala Adelia membuktikan ucapannya kalau gadis itu memang mencintainya. Ia tahu ini salah, ia sudah memiliki Rallin dihatinya. Namun untuk masalah ini, ia tidak bisa membendung perasaannya sendiri. Jahatkah Nadiv kalau bimbang antara dua pilihan? Keduanya sama-sama memiliki tempat dihati Nadiv dengan porsi yang sama. Ia tidak tahu bagaimana Rallin kalau mengetahui fakta ini, bahkan sejak kemarin ia memilih untuk menghindar sejenak dari Rallin. Ia sengaja mengabaikan pesan serta panggilan dari gadis itu. Entahlah, rasanya ia sedang ingin menjaga jarak dengan gadisnya. Egoiska
Baca selengkapnya

Bab. 64

Setelah pertengkarannya dengan Astan beberapa waktu lalu, Nadiv masih tetap tinggal di ruangan Adelia dengan dalih, gadis itu tidak ada yang menemani. Perkataan Astan masih terngiang di benaknya. Memikirkan apa yang terjadi pada Rallin. Lagi pula untuk apa dia datang ke rumah sakit? Bahkan Sendi dan Maudi pun ada. Membuat Nadiv menjadi menerka-nerka siapa orang yang mereka jenguk. Nadiv menatap Adelia yang baru saja tertidur beberapa menit yang lalu. Ia pun mengeluarkan ponselnya dan langsung menekan nomor Rallin yang berada di urutan teratas karena Nadiv memberinya tanda paku.Pukul 19.00 WIB, terakhir gadis itu melihat aplikasi berwarna hijau. Dan sekarang sudah pukul 20.30 WIB, sudah terlewat satu setengah jam yang lalu. Nadiv pun mengirimi gadis itu pesan.Nadiv DrgntrLo dimana? Sorry baru ngabarin, gue sedikit sibuk.Sibuk? Mungkin Rallin akan tertawa ketika gadis itu tahu apa yang membuat Nadiv sibuk. Nadiv tahu ini salah, seharusnya ia mengatakan
Baca selengkapnya

Bab. 65

Jalanan ibu kota tampak lengang malam ini, tidak pada seperti biasanya. Sebuah motor sport warna merah tengah melintas dengan kecepatan sedang membelah di keheningan malam. Tatapan pemiliki motor itu tampak fokus, seolah tidak ada yang lebih menarik dari aspal yang dilintasinya.Kemudian ia membelokkan motornya masuk ke gerbang rumah mewah bergaya eropa klasik itu. Cukup lama ia terdiam memandangi pintu besar yang berjarak 10 meter di depannya. Sudah dua tahun lebih ia tidak pernah menyambangi rumah ini. Tidak ada yang berubah, semuanya masih sama. Hanya suasananya saja yang berbeda. Tidak ada kesan hangat lagi di sini.Sampai ada satu tepukan di bahunya mengagetkan lelaki itu. “Mas!” ujar orang yang menepuknya.Lelaki itu menoleh. “Iya?” sahutnya.“Mas siapa? Kalau ada keperluan bisa disampaikan ke saya. Nanti akan saya beritahu dengan Tuan atau Nyonya,” ujar orang berseragam petugas keamanan.Lelaki itu terseny
Baca selengkapnya

Bab. 66

Henggar berlari kecil menaiki anak tangga menuju ruang kerja milik Herman yang terletak di lantai dua, dekat dengan kamarnya. Sesampainya di sana, tangannya segera terulur untuk membuka knop pintu yang terbuat dari kayu jati itu. Namun sayangnya pintu itu terkunci. Membuat Henggar mendesah kesal. Ia pun menyandarkan punggungnya mencari cara agar bisa masuk ke dalam.Tak lama kemudian, kedua matanya membola. “Tolol amat jadi orang. Kan gue ada jepit rambut Rallin,” umpatnya pada diri sendiri.Segera ia keluarkan jepit rambut yang ia simpan di kantong celananya. Ia pun mulai membuka kunci itu sesuai dengan cara yang tadi ia praktekan di pintu kamar Rehan. Bedanya yang ini lebih mudah. Pintu itu terbuka hanya dengan dua kali percobaan.Henggar pun berjalan masuk dengan mengendap-endap takut menimbulkan suara. Matanya mengedar menatap penjuru atap plafon, kalau-kalau ada CCTV tersembunyi yang memantau gerakannya di sini. Setelah memastikan aman, Henggar
Baca selengkapnya

Bab. 67

Suara denting jarum jam mengusik tidur seorang gadis yang terlihat tenang. Gadis itu tampak menggeliat dari tidurnya. Matanya perlahan terbuka, sedikit menyipit karena cahaya mentari menerobos masuk ke retina matanya. Ia menatap ke sekitarnya. Pandangannya terhenti dengan sesosok lelaki berjas putih tengah tertidur di sofa yang ada di ruangan kamarnya.“Dokter Arden?” gumamnya pelan. Ia mengucek matanya berulang kali, siapa tahu ia salah lihat. Namun sosok itu tidak hilang sama sekali. Artinya nyata.“Dokter?” panggil Rallin dengan suara yang sedikit keras.Arden tampak tersentak mendengar panggilan itu. Lelaki itu mengerjapkan matanya berulang kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk. Ia kemudian bangkit dari tidurnya. Membenarkan jas yang sedikit kusut. Lalu melirik jam yang bertengger di dinding. Pukul 07.00 WIB pagi, kemudian Arden berjalan mendekati brankar Ralln yang tengah terduduk sembari menatap dirinya.Arden berdehem se
Baca selengkapnya

Bab. 68

Nadiv tersentak dari tidurnya. Dadanya bergemuruh hebat. Tanpa ia sadari, peluh sudah membanjiri wajahnya. Matanya berpendar mengamati tempat dimana dirinya berada. Ternyata masih di kamar rawat Adelia. Lalu pandangannya beralih ke arah jarum jam yang terpajang di dinding. Waktu menunjukkan pukul 06.30 pagi. Kemudiah beralih lagi pada Adelia yang masih tertidur pulas.Lelaki itu mengusap peluhnya dengan kasar kemudian menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Ternyata itu hanyalah mimpi. Mimpi buruk yang terasa begitu nyata. Bahkan ia sampai merasakan sesak karena kehilangan Rallin. Nadiv memejamkan memejamkan matanya sebentar. Mencoba mentralisir jantungnya yang berdegup kencang.Rasa takut langsung menguar begitu saja. Otaknya langsung dipenuhi dengan bayangan-bayangan gadis itu. Merasa tidak tenang dan takut terjadi apa-apa, Nadiv memutuskan untuk menemui gadis itu yang kamarnya tak jauh dari kamar Adelia. Sebelum keluar, Nadiv menyempatkan diri untuk menaikkan sel
Baca selengkapnya

Bab. 69

Rallin membisu saat mendengar penolakan dari Nadiv. Hatinya mendadak perih seperti ada ribuan pisau yang menancap di sana. Apa Nadiv tidak memiliki perasaan yang sama seperti dirinya? Apa Nadiv selama ini hanya mempermainkannya? Apa Nadiv hanya mencintai Adelia? Kalau memang benar begitu adanya, betapa malangnya nasibmu Rallin. Sepertinya ia memang tidak ditakdirkan untuk mencecap bagaimana rasanya bahagia. Rallin menganggukkan kepalanya mencoba mengerti. Kemudian menengadahkan wajahnya ke atas. Berusaha menghalau bulir Kristal yang mulai menggenang di pelupuk mata. Membuat pandangannya menjadi mengabur. Tanpa bisa dicegah, satu bulir itu luruh membasahi pipi putihnya. Dengan kasar Rallin mengusapnya. Nadiv yang melihat itu pun tersenyum samar. Kenapa gadis di sampingnya ini begitu perasa? Bahkan gadis itu belum sempat menanyakan alasan kenapa Nadiv menolak pernyataan cintanya. Terlihat menggemaskan di mata Nadiv. “Hei? Kok nangis?” tanya Nadiv sembari meraih
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
5678910
DMCA.com Protection Status