Nadiv tersentak dari tidurnya. Dadanya bergemuruh hebat. Tanpa ia sadari, peluh sudah membanjiri wajahnya. Matanya berpendar mengamati tempat dimana dirinya berada. Ternyata masih di kamar rawat Adelia. Lalu pandangannya beralih ke arah jarum jam yang terpajang di dinding. Waktu menunjukkan pukul 06.30 pagi. Kemudiah beralih lagi pada Adelia yang masih tertidur pulas.
Lelaki itu mengusap peluhnya dengan kasar kemudian menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Ternyata itu hanyalah mimpi. Mimpi buruk yang terasa begitu nyata. Bahkan ia sampai merasakan sesak karena kehilangan Rallin. Nadiv memejamkan memejamkan matanya sebentar. Mencoba mentralisir jantungnya yang berdegup kencang.
Rasa takut langsung menguar begitu saja. Otaknya langsung dipenuhi dengan bayangan-bayangan gadis itu. Merasa tidak tenang dan takut terjadi apa-apa, Nadiv memutuskan untuk menemui gadis itu yang kamarnya tak jauh dari kamar Adelia. Sebelum keluar, Nadiv menyempatkan diri untuk menaikkan sel
Rallin membisu saat mendengar penolakan dari Nadiv. Hatinya mendadak perih seperti ada ribuan pisau yang menancap di sana. Apa Nadiv tidak memiliki perasaan yang sama seperti dirinya? Apa Nadiv selama ini hanya mempermainkannya? Apa Nadiv hanya mencintai Adelia? Kalau memang benar begitu adanya, betapa malangnya nasibmu Rallin. Sepertinya ia memang tidak ditakdirkan untuk mencecap bagaimana rasanya bahagia. Rallin menganggukkan kepalanya mencoba mengerti. Kemudian menengadahkan wajahnya ke atas. Berusaha menghalau bulir Kristal yang mulai menggenang di pelupuk mata. Membuat pandangannya menjadi mengabur. Tanpa bisa dicegah, satu bulir itu luruh membasahi pipi putihnya. Dengan kasar Rallin mengusapnya. Nadiv yang melihat itu pun tersenyum samar. Kenapa gadis di sampingnya ini begitu perasa? Bahkan gadis itu belum sempat menanyakan alasan kenapa Nadiv menolak pernyataan cintanya. Terlihat menggemaskan di mata Nadiv. “Hei? Kok nangis?” tanya Nadiv sembari meraih
Mata Rallin langsung membola begitu mendengar ucapan lelaki yang tengah duduk di motor itu. Ini serius Rallin mau dikenalin ke orang tuanya Nadiv? Sebagai apa? Teman? Sahabat? Atau… Rallin menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin Rallin akan dikenalkan sebagai pacar. Nadiv saja sudah menolak pernyataan cintanya. Ah, memalukan saja. Padahal tadi ia sudah begitu percaya diri kalau Nadiv akan menerima cintanya, ternyata tidak. Itulah sebabnya, kita tidak boleh berekspektasi terlalu tinggi. Karena kadang luka dan kecewa itu hadir bukan dari orang lain akan tetapi hadir melalu harapan kita yang terlalu membumbung tinggi.Nadiv pun turun dari motornya. Lelaki itu menatap kaca di spion motornya kemudian menyugar rambutnya ke belakang. “Ganteng banget gue,” ujarnya narsis.Dahi Rallin langsung berkerut dalam. Merasa ingin muntah karena kenarsisan lelaki itu. Tapi kalau difikir-fikir, Nadiv ini memang tampan, makanya Rallin suka. Eh, bukan karena ketampanan Nad
Maudi tersenyum lebar sampai menampakkan giginya yang rapi ketika melihat Rallin tengah menatapnya dengan pandangan terkejut. Gadis itu bahkan sampai tidak berkedip hanya karena menatap kehadiran Maudi di rumah Nadiv.Maudi berjalan menghampiri mereka yang tengah duduk sofa keluarga. Sementara Nadiv, lelaki itu tampak acuh dan malah sibuk bermain game di ponselnya. Sesekali lelaki itu mengumpat pelan karena kalah dalam bertanding game.Maudi langsung duduk di sebelah Rallin yang masih shock. Maudi langsung menampilkan senyum manis sembari menatap Rallin."Biasa aja liatin gue. Nanti lo naksir sama gue," kelakar gadis itu sambil tertawa kecil."Lo ngapain di sini?" tanya Rallin setelah diam beberapa saat. Masih sedikit kaget dengan insiden ini.Maudi berdehem sebentar kemudian beranjak berdiri kemudian berjalan menuju dinding. Dimana letak foto-foto masa kecil Nadiv terpasang.Kemudian tangannya menunjuk salah satu foto Nadiv bersama gadis se
Henggar menatap sekumpulan flashdisk yang ia biarkan tergeletak di ranjangnya. Ia cukup kaget ketika membuka bungkusan plastik yang ternyata isinya lebih dari satu flashdisk. Mungkin ada sekitar sepuluh flashdik di sana dengan bentuk, model, dan ukuran yang sama. Membuat Henggar yakin kalau salah satu flashdisk itu menyimpan bukti rekaman kejadian dua tahun yang lalu.Henggar mengambil laptop yang ia simpan di laci meja belajarnya kemudian memangkunya. Ia mengambil satu flashdsik lalu memasangnya. Keningnya berkerut dalam saat ketika tidak mendapati satupn file yang tersimpan di sana. flahdisk itu tampak seperti baru.“Kenapa bisa gini?” tanyanya sendiri dengan bingung.Ia pun melepaskan flashdisk itu kemudian memasang flashdisk yang lainnya. Tapi herannya, semua flashdisk yang ia pasang tidak ada satupun yang memiliki file di dalamnya. Semuanya masih baru. Membuat Henggar mengerang kesal.“Pasti dia udah tau kalo gue bakal meriksa pos i
Tidak ada yang mengeluarkan suara selama perjalanan. Hanya terdengar suara bising kendaraan yang berlalu lalang. Nadiv fokus menyetir dengan kecepatan sedang, sesuai perintah Tiya, mamanya. Pikirannya melayang ke pesan yang dikirimkan oleh Adelia beberapa waktu lalu. Gadis itu tengah membutuhkannya. Membuat setitik hati kecil Nadiv ingin menemui Adelia. Tapi ia sudah berjanji untuk tidak terlibat dengan gadis itu lagi demi menjaga perasaan Rallin. Lalu apa yang harus ia lakukan?Sementara Rallin, suasana hatinya sedang tidak baik. Perasaan sesak selalu menggerogoti hatinya setiap ia mengingat tentang penyakit yang diidapnya itu. Membuat Rallin merasa hidupnya begitu hancur. ia bahkan sampai membayangkan kalau nanti, ia benar-benar ditakdirkan untuk pulang lebih dulu, lalu siapa gadis beruntung yang akan menemani Nadiv sampai hari tua? Rallin selalu berdoa agar diberikan umur yang panjang agar bisa bersama Nadiv untuk selamanya.Sibuk dengan pikiran masing-masing, sampa
Rallin berjalan pelan menyusuri lorong rumah sakit. Langkahnya terasa berat. Tatapannya kosong, tidak ada binary cerah yang biasa ia tunjukkan dihadapan banyak orang. Tidak ada lagi topeng ceria yang senantiasa menghiasi wajahnya. Semuanya hilang, sama seperti semangat Rallin yang hilang sejak mendengar penjelasan dari Arden. Mungkin ia berdosa melakukan ini, tapi bolehkah ia menyesal karena sudah terlahir ke dunia? Bukan karena ia tidak mau bersyukur atas nikmat nyawa yang diberikan Tuhan untuknya. Hanya saja ia merasa kalau ini semua percuma. Percuma ia hidup kalau ia tidak pernah merasakan kebahagiaan. Iya, dia pernah mendengar seseorang berucap, Tuhan tidak akan memberikan ujian yang berat kecuali Dia yakin umatnya mampu melewati itu. Mampu, ya? Batin Rallin bersuara. Gadis itu menghela nafas berat. Apa mungkin ia mampu? Pandangan gadis itu mengedar, mencari keberadaan Nadiv. Keningnya berkerut dalam saat tidak menemukan Nadiv di tempat lelaki itu menungg
Layaknya menaiki trampolin, dilambungkan begitu tinggi lalu dihempaskan begitu keras sampai ke dasar. Mungkin itulah yang dapat menggambarkan perasaan Rallin saat ini. Sakit, hancur, dan kecewa semuanya berpadu menjadi satu. Membuat dadanya begitu sesak ketika melihat bagaimana Nadiv, lelaki yang ia yakini akan selalu bersamanya dalam situasi apapun nyatanya lelaki itu juga yang kembali menorehkan luka begitu dalam. Dulunya ia kira ia telah mendapatkan hati Nadiv sepenuhnya. Tapi kenyataannya hanyalah angan belaka. Tidak ada yang lebih hancur daripada melihat orang yang dicintai lebih mementingkan masa lalunya. Lalu untuk apa hadirnya Rallin kalau ternyata lelaki itu masih menaruh perasaan pada Adelia? Untuk apa lelaki itu memberikan harapan yang begitu manis kalau nyatanya harus berujung pahit? Rallin mengusap air matanya yang terus berjatuhan sejak tadi. Tidak ada isakan yang terdengar, namun yang ia tahu menangis dalam diam seperti inilah yang paling
Rallin dan Arden berjalan berdampingan ketika mereka menyusuri jalanan menuju taman kota. Tempat itu tampak ramai karen hari sudah menjelang sore. Kemarin Rallin sering pergi kesini bersama Nadiv. Tapi itu kemarin, untuk saat ini Rallin masih belum ingin membahas tentang lelaki itu.Bahkan Rallin sengaja menonaktifkan ponselnya lantaran tidak ingin Nadiv menghubunginya. Entahlah, Rallin juga merasa bimbang dengan perasaannya. Ia sangat mencintai Nadiv tapi melihat kelakuan Nadiv yang seperti itu membuat ia menjadi ragu.Rallin mengalihkan pandangannya menatap wajah teduh milik Arden. Lelaki itu, Rallin bahkan baru mengenalnya beberapa waktu yang lalu. Tapi entah kenapa, setiap berasa di dekat lelaki itu Rallin merasa aman.Bukan, bukannya Rallin mulai menyimpan rasa diam-diam. Hanya saja ia bisa merasakan kalau Arden itu memang tulus untuk membantunya. Setidaknya lelaki itu bisa sedikit mengurangi beban pikiran Rallin yang terus menghantuinya.Arden menga
Seorang lelaki berusia 20 tahun menatap wanita paruh baya dari kaca tembus pandang. Tatapannya terlihat datar.“Setiap malam dia menangis. Setiap aku mengantarkan makanan, dia selalu mengira aku putrinya,” ujar seorang gadis berpakaian perawat membuat lelaki itu mengalihkan pandangannya.“Apa kau kenal dengan putrinya? Apa kau bisa membawakan putrinya kemari?” tanya perawat.Lelaki itu tersenyum getir. “Putrinya sudah meninggal. Membuat dia hidup penuh dengan penyesalan,” jawab lelaki itu.Perawat hanya diam saja. Merasa tidak enak karena telah menanyakan hal itu. Lalu perawat itupun pamit permisi, meninggalkan lelaki itu sendiri.Lelaki itu berjalan pergi meninggalkan ruangan. Tangannya merogoh saku celananya kemudian mengeluarkan sebuah kertas yang sudah usang. Ia membuka kertas itu dan kembali membaca isinya yang hampir tiap malam ia baca tanpa bosan.“Teruntuk kamu, aku selalu mencintai kamu samp
“Nyokap gue bukan pelakor,”tekan lelaki di depan Henggar dengan matanya yang menyorot tajam.“Sudah, biar saya jelaskan,” lerai wanita itu dengan lembut.Kemudian tatapannya beralih ke Henggar. Wanita itu menatap sendu ke arah Henggar. “Saya tidak pernah merebut Papa kamu dari Mama kamu. Tapi Mama kamu yang telah merebut mas Herman dari saya,” terang wanita itu.Henggar menggeleng tak percaya. “Saya tidak percaya!”“Kamu bisa tahu saya, pasti kamu punya kalung berliontin hati, kan? Di dalamnya ada foto saya dan mas Herman,” ujar wanita itu.Henggar langsung bungkam. Benar yang dikatakan wanita itu, ia bisa tahu wanita itu karena dari liontin. Wanita itu tampak mengulas senyum tipis kemudian ia menepuk bahu Henggar.“Saya adalah istri pertama mas Herman tapi Mama kamu tidak pernah tahu tentang ini. Kenapa? Karena hubungan saya dan mas Herman tidak mendapat restu dari kedu
Seorang wanita dengan pakaian yang tampak glamour serta elegan itu tengah berada di sebuah studio foto. Sepertinya tengah melakukan photoshoot. Wanita itu terlihat sedang berjalan menuju ruang make up.“Ibu masih saja awet muda. Padahal sudah punya anak tiga,” puji seorang gadis yang berada di belakangnya. Sepertinya tengah membenarkan rambut yang berantakan.Wanita itu tersenyum tipis. Matanya menatap ke arah cermin yang ada di depannya. “Anakku hanya dua,” ujarnya tegas seolah tanpa beban.Gadis di belakangnya itu mengernyit. “Oh, iya? Bukankah ada tiga? Yang satu lagi perempuan?” tanya gadis itu lagi.“Hanya dua dan semuanya laki-laki. Satu anak lelakiku sudah meninggal,” tegas wanita itu lagi.Gadis hanya tersenyum simpul. Tak lagi melanjutkan pertanyaannya. Kemudian ia kembali membenahi tatanan rambut milik wanita di depannya itu.“Pemirsa, sebuah fakta mengejutkan terungkap dari sal
Tidak ada yang baik-baik saja jika berada di posisi Henggar. Lelaki itu tampak putus asa. Ia bahkan berulang kali menyalahkan dirinya karena tidak bisa menjaga Rallin dengan baik. Adiknya yang begitu ia sayangi, kini terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan keadaan belum sadarkan diri. Ia tidak tahu apa yang membuat adiknya drop seperti itu.“Kemarin dia masih baik-baik aja, Di.” Henggar berkata lirih. Tatapan lelaki itu tampak kosong. Seperti tidak ada gairah hidup di dalam tatapannya.Maudi yang setia menemani Henggar pun ikut merasakan kehampaan lelaki itu. Ia juga merasa sangat terpukul. Terlebih lagi Rallin adalah sahabat satu-satunya yang mampu mengerti dirinya bahkan lebih dari siapapun termasuk orang tuanya. Melihat Rallin lemah tak berdaya membuat relung hatinya berdenyut sakit.“Doain aja yang terbaik buat dia, Gar. Gue bahkan ngerasa orang paling bodoh karena sahabat gue sakit aja gue nggak tau,” ujar Maudi miris.K
Dalam hidupnya, Henggar tidak pernah berfikir akan mengalami hal seburuk ini. Kehilangan saudara kembar dengan cara yang tragis menyisakan trauma yang dalam untuknya. Terjadinya perpecahan di dalam keluarganya, membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih dingin dan tertutup.Menjadi pribadi yang dingin, membuat Henggar tidak pernah merasa takut dengan apapun. Ia merasa, hatinya sudah mati. Namun untuk kedua kalinya, rasa takut yang begitu hebat kembali menyerang ulu hatinya.Derap langkah kaki yang begitu cepat seperti tengah berlari, membuat para pengunjung rumah sakit menatapnya dengan heran. Pandangan lelaki itu tampak mengabur karena buliran kristal mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak peduli dengan tatapan yang tertuju padanya. Pikirannya sekarang hanya terfokus pada adiknya, Rallin.Detak jantung Henggar mendadak terhenti saat tadi mendapati pesan dari Maudi yang mengabarkan kalau Rallin tiba-tiba mimisan lalu pingsan. Maudi juga memberitahu ruma
“Gila lo? Demi apa, anjir?!”Rallin menutup telinganya dengan kedua tangan. Meredam suara Maudi yang begitu melengking memekakkan telinga. Raut wajah Maudi tampak begitu terkejut setelah Rallin menceritakan kejadian di rumah sakit tadi. Tepat saat Arden menyatakan perasaannya pada Rallin.Jangankan Maudi, Rallin saja sangat terkejut bahkan gadis itu tidak bisa berkata apa-apa tadi. Setelah pulang dari rumah sakit, Rallin meminta Sendi untuk mengantarkannya ke rumah Maudi. Pasalnya gadis itu tidak sedang ada di apartemen. Toh, Rallin juga enggan pergi ke apartemen Maudi yang berdekatan dengan apartemen milik Nadiv.Entahlah, Rallin rasanya sudah mati rasa dengan lelaki yang sampai saat ini masih merajai hatinya. Perlakuan serta sikap lelaki itu seolah meminta Rallin untuk pergi dari sisinya. Rallin tersenyum getir, lalu untuk apa kemarin Nadiv melontarkan janji untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi kalau pada akhirnya akan terus terulang seperti in
“Mungkin mengikhlaskan adalah cara terbaik untuk menyelamatkan diri, sebelum semuanya semakin dalam dan semakin sakit lagi.”Rallin menarik nafas panjang kala mendengar penuturan Arden yang menyentuh hatinya itu. Lelaki itu selalu tahu apa yang dipikirkan Rallin. Kini keduanya tengah duduk di sebuah bangku taman yang ada di halaman belakang rumah sakit. Tempat yang jarang dikunjungi, sehingga mampu menenangkan hati yang tengah gundah.Gadis itu menatap jauh ke depan. Pandangannya tampak kosong. Ada rasa hampa dalam dirinya ketika tidak bersama Nadiv. Nyatanya ia tak bisa membohongi perasaannya sendiri. Terlalu dalam mencintai rupanya salah satu cara mendekatkan diri dengan kecewa yang dalam juga. Ingin marah, tapi percuma. Sama saja seperti dirinya membuang-buang tenaga.Kemudian gadis itu mengalihkan pandangannya ke samping. Menatap Arden yang tampak ikut diam. “Kenapa saya nggak pernah beruntung dalam hal percintaan, Dok?” tanyanya send
Mulai saat ini, bersikaplah seharusnya. Tanpa harus membiarkan diri terluka hanya demi menjaga perasaan orang lain. Karena pada dasarnya, setiap hati juga ingin dihargai. Bukan terus memaklumi mereka yang tak pernah mencoba mengerti. Semua hal itu butuh waktu, dan hal baik datang di waktu yang tepat.Rallin menghela nafasnya panjang. Rasa sesak masih terus menggerogoti relung hatinya. Baru saja berjanji, namun langsung ingkar. Tidak pernah habis fikir dengan sikap Nadiv saat ini. Kalau memang ia masih mencintai Adelia, kenapa ia enggan kembali? Malah meminta Rallin untuk terus bersamanya.Sekarang, Rallin hanya ingin tenang. Ia tidak ingin terbebani dengan hal apapun termasuk asmara. Ia sadar, selama ini ia terlalu dalam melukai hatinya sendiri. Gadis itu mengusap air matanya yang tiba-tiba saja menetes.Bohong kalau ia tidak sakit hati. Cewek mana yang rela liat cowoknya mentingin cewek lain terlebih itu adalah mantannya sendiri. Namun sekarang, ia sudah meyaki
Ucapan Rallin membuat kepala Nadiv berputar 180 derajat menghadap Rallin. Tak mengerti dengan ucapan gadis itu. Wajahnya tampak bingung.Melihat itu, Rallin mengulas senyum getir. “Setidaknya, kalo lo emang nggak cinta, jangan bertingkah seolah-olah lo bakal cinta sama gue. Dibohongi kayak gini lebih menyakitkan daripada ditinggalkan.”Kening Nadiv berkerut. Ia tak suka dengan apa yang dibicarakan oleh Rallin. Apa maksud gadis itu menyuruhnya pergi? Apa Rallin sudah tidak mencintai dirinya lagi?“Maksud lo apa?”Rallin mengalihkan pandangannya ke depan. Menatap bunga-bunga yang tampaknya lebih menarik. “Pada akhirnya, yang pernah mencintai tanpa tapi, pernah bertahan tanpa paksaan, dan pernah sabar menanti sadar pun, akan melepaskan tanpa pesan,” ujarnya tanpa menatap Nadiv.“Lo mau ngelepasin gue? Kenapa?” tanya Nadiv. Ia tak terima dengan Rallin yang seperti ini. Ini hanya perkara ia menjaga Adelia