Semua Bab Can You See Me?: Bab 51 - Bab 60

92 Bab

Bab. 50

Pukul delapan pagi. Waktu yang begitu siang untuk ukuran anak sekolah. Mereka akan kalang kabut karena terlambat. Namun rasanya hal itu tidak berlaku untuk Nadiv Dirgantara. Lelaki nakal yang selalu berangkat terlambat sampai membuat bu Neni, si guru BK yang mendapat julukan sebagai pacarnya itu bingung harus memberikan hukuman apa untuk Nadiv.Bu Neni tampak menghela nafasnya lelah. Ditatapnya anak nakal yang kini tengah berdiri di depannya sambil  cengengesan. Benar-benar tidak memiliki rasa bersalah ataupun menyesal sedikitpun. Ah, iya, dia lupa tidak ada kata menyesal karena melanggar aturan sekolah dalam kamus hidup Nadiv.“Sekarang terserah kamu deh, ibu udah cape,” ujar bu Neni sambil menatap Nadiv malas. Ditambah lagi dengan penampilan pakaian seragam Nadiv yang selalu jauh dari kata rapi. Membuat mata bu Neni merasa ngantuk.Sementara itu, Nadiv yang tengah berdiri dengan kedua tangan di belakang tubuhnya, membentuk posisi istirahat di
Baca selengkapnya

Bab. 51

Rallin berdiri sembari termenung memandangi pemandangan dari ketinggian lantai 15 itu. Matanya menatap ke hamparan rumah-rumah penduduk yang tampak kecil. Pandangannya menatap kosong. Pikirannya berkelana. Bohong kalau ia tidak kecewa setelah melihat foto yang dikirim oleh nomor tidak dikenal itu.Foto Nadiv dan Adelia tengah berciuman.Rallin tersenyum sinis. Bolehkah ia marah? Bukankah Nadiv sudah berjanji akan selalu bersamanya. Lalu ini apa? Sekali lagi, bolehkah Rallin marah pada Nadiv di saat mereka tidak memiliki hubungan khusus? Atau haruskah Rallin marah pada dirinya sendiri karena terlalu tinggi menaruh harapan pada Nadiv?Bagaimanapun juga, Adelia adalah mantan yang begitu dicintai Nadiv. Mungkin akan sulit bagi Nadiv untuk melupakan gadis itu. Lalu dengan percaya dirinya Rallin yakin kalau Nadiv sudah move on dari Adelia dan akan selalu menjadi miliknya. Damn it!Sekarang ia harus menelan pil kecewa karena Nadiv untuk kesekian kalinya. Begitu
Baca selengkapnya

Bab. 52

Henggar berjalan terburu-buru ketika melewati koridor kelas Bahasa. Jika biasanya ia akan santai, namun kali ini ia tengah memiliki janji dengan seseorang. Dan orang itu sudah menunggu di tempat yang sudah dijanjikan.“Gar!” panggil seseorang membuat Henggar menghentikkan langkahnya. Lelaki itu memutar badan menghadap Sendi yang berjarak lima meter darinya.Sendi berjalan mengikis jarak di antara keduanya. “Mau kemana? Buru-buru amat,” Tanya Sendi kemudian merangkul bahu Henggar. Mengajaknya jalan bersama menuju parkiran.“Ada janji sama orang,” jawab Henggar singkat.Sendi mengernyitkan keningnya dalam. “Siapa?” tanyanya ingin tahu.Henggar tampak berdecak kemudian menonyor pelan kepala Sendi yang sedikit lebih pendek darinya. “Kepo!” ketusnya.Sendi tersenyum jenaka kemudian menunjuk-nunjuk wajah Henggar. “Mau ketemuan sama cewek lo, ya?” ledek lelaki itu sambil memain
Baca selengkapnya

Bab. 53

Seorang gadis tengah berdiri di tepi pembatas rooftop sekolah. Rambutnya yang terurai berterbangan karena tersapu angin. Matanya terpejam menikmati hembusan angin sore ini. Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak beberapa jam yang lalu. Namun tampaknya gadis itu enggan beranjak untuk pulang.Helaan nafas berat begitu terdengar dari gadis itu. Pikirannya bercabang tak tentu arah. Rasa penyesalan kembali menghantui benaknya. Menciptakan sesak yang begitu menyakitkan untuknya.Kehilangan orang yang dicintainya untuk kedua kalinya. Bukankah itu terlalu menyedihkan?Ingatannya kembali terlempar ke masa lalu. Masa dimana semuanya masih begitu indah. Masih begitu berwarna membuatnya seakan lupa bagaimana caranya bersedih.Dua tahun yang lalu…Gadis berseragam putih biru tengah berdiri di dekat halte bus yang letaknya tak jauh dari gerbang sekolahnya. Gadis itu tampak menyampirkan tas di bahu sebelah kanannya. Tangannya terlihat tengah mendekap bebe
Baca selengkapnya

Bab. 54

Malam yang tampak cerah ditemani dengan ribuan bintang yang gemerlapan di angkasa. Lampu-lampu kota terlihat berpendar menerangi setiap sudut ibukota. Banyak pasangan muda-mudi yang berlalu lalang, menghabiskan waktu bersama. Mereka tampak seperti pasangan paling bahagia. Taman kota selalu ramai pengunjung saat malam tiba. Biasanya, kebanyakan anak lelaki yang sering nongkrong di sini. Berkumpul, duduk melingkar sambil memainkan gitar. Menyanyikan banyak lagu-lagu galau yang sempat booming di era tahun 90-an. Ditambah lagi dengan beberapa cemilan untuk menemani malam mereka. Benar-benar menyenangkan. Sama seperti kebanyakan orang, sepasang muda-mudi tengah berjalan sembari bergandengan tangan seolah enggan terpisahkan. Keduanya tampak bahagia. Saling melemparkan tawa satu sama lain. Tatapan penuh cinta terpancar jelas di mata keduanya. “Lo mau beli apa?” tanya sang lelaki sambil membenarkan anak rambut gadisnya yang tampak berterbangan ke depan karena tersapu
Baca selengkapnya

Bab. 55

Seorang gadis berpakaian kasual tampak berjalan seorang diri di keramaian taman kota malam ini. Pandangan gadis itu tampak lurus ke depan. Tatapannya kosong. Seperti ada kehampaan dalam hidupnya. Tak ada binar semangat yang terpancar dari kedua bola matanya. Persis seperti orang yang kehilangan semangat untuk hidup. Di tangannya, ia menggenggam sebuah kalung yang ia temukan beberapa hari yang lalu di tangga rooftop. Kemudian pandangannya menurun, menatap kalung itu. “Kalung siapa? Cantik banget,” ujarnya sembari menatap setiap sisi kalung berliontin setengah hati itu. Adelia, gadis itu mengernyit heran. “Ini kayak kalung couple,” ujarnya lagi. Pasalnya, liontin kalung hanya berbentuk setengah hati. Kalau menurut logika, tidak mungkin, kan, kalung seperti ini hanya dijual setengah saja? Pasti ada satu lagi. Dan yang menjadi pertanyaan Adelia adalah siapa pemilik kalung ini? Jika mengingat ia menemukannya di tangga rooftop, waktu itu yang berada
Baca selengkapnya

Bab. 56

Suara sirine ambulan menggema di penjuru jalan. Para pengendara pun memberi akses untuk mobil itu. Tidak ada yang baik-baik saja saat ini. Termasuk lelaki yang berada di dalam mobil. Air matanya tidak berhenti mengalir menatap gadis yang kini terbaring lemah di atas bangkar. Mata gadis itu terpejam. Nafasnya tampak tersengal. Nadiv, lelaki itu menggenggam erat tangan Adelia. Bayangan-bayangan masa lalu dengan gadis itu seolah terus berputar di otaknya bagai kaset rusak. Tawa, senyum, dan canda gadis itu seolah terus menari-nari di kepalanya tiada henti. Hatinya teriris kala menyaksikan gadis itu mengorbankan nyawa demi dirinya. Rasa bersalah menggerogoti relung hatinya. Andai saja tadi ia lebih berhati-hati, tidak mungkin kejadian ini terjadi. Andai saja ia bisa memutar waktu, mungkin ia akan mengajak Adelia untuk pergi dari tempat ini. Andai saja ia bisa melihat masa depan, mungkin Adelia tidak terbaring mengenaskan seperti saat ini. Terlalu banyak kata anda
Baca selengkapnya

Bab. 57

Hari mulai gelap. Mentari sudah kembali ke peraduannya. Lampu-lampu rumah sudah mulai menyala, menerangi disetiap jalur jalan. Di taman bermain yang mulai sepi, tampak tiga remaja tengah duduk sembari mengawasi pos petugas keamanan yang jaraknya tidak begitu jauh dari tempat mereka duduk. Pandangan mereka menatap intens ke pos itu. Berharap agar petugas itu lengah dan mereka memiliki akses untuk masuk ke dalam pos itu. “Lama banget dah perginya,” celetuk Sendi yang sudah mulai bosan karena terlalu lama menunggu. Jika dihitung, mungkin sudah empat jam mereka berada di sini. Henggar mendecak kemudian menyentil pelan lengan lelaki itu. “Ngapain ikut kalo lo nggak sabaran kayak gini,” sinisnya sembari melirik Sendi dengan ekor matanya. “Gue pengen bantuin adik gue,” ujar Sendi kalem. Henggar memutar bola matanya kesal. “Ngaku-ngaku,” cibirnya. Sendi tidak membalas lagi. Lelaki itu memilih untuk membuka ponselnya, berniat mengecek pukul berapa saat
Baca selengkapnya

Bab. 58

Mentari mulai menampakkan dirinya dengan malu-malu di ufuk timur. Kicauan burung pun telah terdengar saling bersahutan. Membuat gadis yang kini tengah bergelung manja di bawah selimut itu terganggu. Gadis itu menggeliatkan badannya kemudian tangannya meraba jam beker yang ada di atas nakas. Gadis itu mengucek matanya kemudian mengerjap pelan. “Jam 06.00 WIB, harusnya sih hari ini gue sekolah,” ujarnya kemudian memilih untuk bangun dari tidurnya. Meski terasa malas, namun ini adalah hari pertama dia sekolah setelah di skors selama seminggu. Gadis itu tertunduk lesu, hari terakhir di skors, ya? Sama saja dengan hari terakhir ia sekolah karena sampai saat ini Henggar belum menemukan bukti tentang pembunuhan Rehan. Rallin sebenarnya tidak tega membiarkan lelaki itu mencarinya sendiri, namun Henggar selalu melarangnya untuk turut andil. Ia tidak mau Rallin terlibat appaun lagi. Beruntung bukan memiliki kakak seperti Henggar? Rallin mengulas senyum tipisnya. Bagi R
Baca selengkapnya

Bab. 59

Rallin menarik Henggar agar menjauh dari Ayuna. Bukannya apa, ia hanya kasian melihat wajah Ayuna yang sudah ketakutan karena di intimidasi oleh Henggar. Tidak ada lagi yang bersuara setelah itu. Semuanya bungkam, tidak mau mencari masalah dengan Rallin atau mereka akan berurusan dengan Henggar.Kini dua orang itu berjalan menuju kelas Henggar, lelaki itu ingin mencari Sendi, katanya. Sesampainya di sana, sudah banyak pasang mata yang menatap sinis ke arah Rallin. Hanya sekedar menatap tanpa berani mengeluarkan suara.Tampak Sendi sedang duduk di bangku pojok sembari bermain ponsel. Sepertinya lelaki itu tengah bermain game. Henggar berjalan mendekati Sendi. Merundukkan badan kemudian membisikan sesuatu pada lelaki itu. Sendi sempat menatap Rallin sebentar sebelum akhirnya mengangguk. Entah apa yang mereka bicarakan, Rallin juga tidak tahu.Disisi lain, Didan dan juga Rangga yang tadi sedang mengobrol pun mereka kompak menatap Rallin. Kemudian berjalan mendekati
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
45678
...
10
DMCA.com Protection Status