Home / Fantasi / Selubung Memori / Chapter 61 - Chapter 70

All Chapters of Selubung Memori: Chapter 61 - Chapter 70

594 Chapters

60. ANGGARA #1

Di Gerha Dalton, aku menanyakan cara kerja telepon.Dia sepertinya sehabis latihan. Seluruh tubuhnya dipenuhi keringat, tetapi itu bukan hal yang cukup penting karena Gerhanya lebih bau dari keringatnya. Dan itu bukan lagi bau keringat, melainkan bensin, oli, asap pembakaran, atau apa pun yang berhubungan dengan montir. Momen kejatuhan Dalton berhasil membuatnya menciptakan banyak hal baru. Itu cukup membuatku tercengang.“Telepon?” teriaknya. Dia sedang menyalakan diesel, kami harus berteriak, meski, secara teknis, di dalam Gerha. “Kau harus punya nomor!”“Nomor apa?” teriakku.“Nomor telepon!”“Di mana aku bisa dapat nomor telepon?”Dia meminta jeda sebentar, beranjak ke ruang belakang Gerhanya, dan suara itu hilang. Dia kembali sembari membawa dua cangkir berisi cairan hitam. Kuakui aku ragu dia benar-benar membuat kopi, atau menyuguhkan oli.“Teriak bikin capek,&rdq
last updateLast Updated : 2021-12-13
Read more

61. ANGGARA #2

Ruang Anggara sudah penuh saat kami tiba.Semua pemilik kemampuan yang kukenal ada di sini—kecuali Aaron. Saat itu nuansanya jauh berbeda dari saat aku pertama masuk.Dalton, Jesse, dan Nuel membicarakan sesuatu di depan layar. Tampaknya mereka melihat Padang Anushka dari atas. Pemandangan hutan malam itu tampak tidak jauh beda dengan hutan belantara lain. Namun, padang rumput jelas terlihat berbeda. Reila mengajakku bergabung, dan kudapati Elton berbincang dengan Isha, sementara Lavi di dapur, membuat minuman.“Datang juga akhirnya,” sambut Jesse.“Ke mana saja kau?” tanya Dalton. “Latihan?”“Latihan panah di halaman belakang,” jawab Reila, mewakiliku.“Memangnya kelihatan?”“Sinting,” komentar Nuel. “Aku lihat dia adu pedang dengan Elka. Mereka seperti mau saling bunuh. Tertawa tiap pedang bertemu.”Aku tidak memikirkan ini saat memasuki
last updateLast Updated : 2021-12-16
Read more

62. ANGGARA #3

“Sudah puas berciuman?” sambut Jesse, melihat kami kembali.Isha tertawa. Dalton dan Nuel sedang bermain catur. Reila menepuk tangan, entah maksudnya apa. Namun, yang paling fenomenal: reaksi Lavi yang bertanya di punggungku. “Kau mau dicium?”“Oh tidak. Kau berharap aku jawab apa?”“Jangan suka marah,” kata Nuel, pasti ke Lavi. “Kasihan dia.”“Kau tidak keberatan, kan?” tanya Lavi, mencubit pipiku.“Astaga, diamlah,” kataku.“Dasar sensitif.” Kali ini dia menyetrum, yang membuatku mendesah.“Sepertinya kita tahu sumber masalahnya di mana,” kata Nuel. “Duduklah. Capek menunggu kalian. Kita ada cerita penting.”Akhirnya, Lavi turun. Aku ingin duduk di sisi Reila lagi, mengeluh banyak hal, tetapi Lavi tidak membiarkanku pergi. Dia menarikku, duduk di sisinya, dan bilang, “Apa masalahmu?” Isha, yang,
last updateLast Updated : 2021-12-19
Read more

63. RAPAT KOMBAT #1

Keesokan paginya, sarapan berlangsung ricuh bersama Profesor Merla dan Layla—yang sungguhan berisik karena Layla menceritakan semua yang dia ingat tentang permainan masa kecil. Kupikir aku versi bocah kecil kedengaran lumayan menyenangkan, iseng—kata Profesor Merla warisan tulen ibuku—pemberani yang tidak punya takut, dan suka bicara hal-hal aneh yang tidak bisa dimengerti banyak orang—seperti, “Burung raksasa yang sayapnya lebar.”“Aku tidak yakin dinosaurus masih hidup,” kataku, tak percaya.“Itu monster,” kata Profesor Merla. “Kasus yang cukup jarang ditemui anak delapan tahun. Biasanya mereka belum bisa lihat monster.”“Oh, wow.” Sebenarnya aku sudah tahu itu, tetapi berharap ada lelucon soal monster saat bersama dewan—itu memang tidak cocok.“Omong-omong,” Layla tidak sabar mengganti topik. “Mom, aku tidak tahu Forlan punya adik. Memangnya, dia
last updateLast Updated : 2021-12-22
Read more

64. RAPAT KOMBAT #2

Rapat dewan kali ini langsung mengundangku, Elton, dan Reila.Pendopo tetap pendopo yang mencekam. Bedanya, semua dewan kini hadir. Profesor Merla duduk di sebelah Mister, tersenyum penuh makna. Aku tidak terlalu masalah karena biasanya Lavi juga sering melihat dengan cara serupa. Masalahnya, pengaturan bangku ini membuatku tidak nyaman.Bangku dibuat memutar, sehingga kami membentuk satu lingkaran penuh. Reila di kiriku, Elton di kananku. Lalu di sebelah mereka para kapten yang berlanjut sampai dewan. Semestinya aku protes. Aku harus tukar dengan Reila. Jelas lebih baik bersebelahan dengan Isha daripada berhadapan dengan Jenderal. Sekitar tiga meter di depanku, Jenderal duduk dengan aura menekan kelewat kuat.“Tidak mau tukar tempat duduk?” usulku, pada Reila.“Kau pikir aku mau berhadapan dengan ... beliau?” jawabnya, sangat baik.Tampaknya suasana hati Jenderal buruk karena ketika memulai rapat, suara bernuansa kejam itu
last updateLast Updated : 2021-12-25
Read more

65. RAPAT KOMBAT #3

Sisa waktuku dihabiskan tim medis—terutama Tara dan Layla yang tanpa henti memperingatiku agar tidak menghabiskan empon-empon. Dan aku termasuk orang terakhir yang mengambil persediaan. Ketika akhirnya Layla sadar hari sudah larut, dia langsung menyuruhku keluar.Padang rumput sudah gelap. Tidak ada siapa-siapa. Hanya bintang cerah.Aku tengah mendongak, memikirkan pemandangan ini mungkin tidak akan bisa kulihat selama beberapa hari ke depan—hingga sebuah suara berkata, “Forlan, kau harus istirahat. Besok kalian berangkat.”Aku membawa mataku menuju sumber suara. Penampilannya bahkan masih mudah dikenali di kegelapan malam. Bedanya, ketika malam, Kara memakai jubah tebal yang tampak cukup hangat. Baru kusadari suhu Padang Anushka agak turun. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan penghuni di malam hari, tetapi Kara cukup kerepotan membawa banyak senjata di pundaknya.“Kara sedang apa?” tanyaku.“Merapikan
last updateLast Updated : 2021-12-28
Read more

66. BINTANG #1

Setidaknya, aku harus tertidur sebelum berangkat misi.Namun, gagal. Mataku tidak bisa terpejam. Dadaku terus berdegup kencang. Kupikir aku seperti bocah yang mau diberi mainan. Aku merasa hidupku di ambang batas. Besok hanya waktu yang tepat mendorongku ke jurang.Kuputuskan melihat bintang di halaman belakang Gerha.Dan tampaknya aku tidak sendirian. Begitu melangkah ke pekarangan, suara langsung menyahut dari Gerha sebelah. “Terlalu bersemangat?”Aku tersenyum. “Aku biasa melihatmu saat pagi, tapi melihatmu sekarang? Bahkan sebelum berangkat misi? Itu langka.”Reila tersenyum, hanya saja tanpa basa-basi. “Aku takut.”“Boleh aku masuk?”“Lewat pintu depan?”“Pertanyaan retorik.” Aku mendengus.Dia tampaknya memang sengaja mengangkat obrolan itu. “Masuklah.”Jadi, aku melompati pagar. Kami sama-sama anak alam.Reila duduk d
last updateLast Updated : 2021-12-31
Read more

67. BINTANG #2

Pagi berikutnya cerah. Aku berhasil tidur beberapa jam, tetapi itu tak terlalu menghilangkan nuansa gelap dariku yang membara seperti orang kelelahan.“Sulit tidur?” tanya Dalton, saat kami berjalan ke padang rumput.“Gugup sampai mati,” kataku.“Sebaiknya jangan perlihatkan itu ke yang lain. Perlihatkan kau siap. Kau sungguhan hanya membawa barang yang kutulis, kan?”Aku mengangguk.Dalton luar biasa hebat memberikan arahan sebelum misi. Maksudku, tanpa kehadirannya pun—cuma tulisan—dia berhasil melarang banyak hal. Jadi, ranselku ringan. Hanya berisi tenda, kantung tidur, obat-obatan, dan belati. Busur sekaligus anak panah di sisi ransel, dan pedang di pinggang. Sangat minim.Tak banyak yang berkumpul di padang rumput. Hanya Kara, Dokter Gelda, Layla, dan Profesor Neil. Sisanya—kandidat baru dan darah campuran—diarahkan latihan menunggang kuda di sekeliling area tim stok oleh Kenz
last updateLast Updated : 2022-01-01
Read more

68. TAKTIK #1

Tiga puluh menit berjalan di alam liar—kabar baiknya: tak ada musuh yang terlihat. Kabar buruknya: aku hampir terperosok dari tebing curam.“Sekarang aku mengerti kenapa kau bisa hilang,” kata Lavi.“Ayolah, aku cuma melamun sedikit.”“Jangan hilang fokus, idiot,” dia membantuku bangkit. “Jangan biarkan isi kepalamu kosong. Itu yang terjadi.”Alam liar yang ini agak berbeda dengan alam liar saat misi pertamaku. Dan sejujurnya alam liar ini lebih bersahabat. Kami sudah di pekarangan gundul, yang Lavi bilang, “Bekas sawah.” Jadi, kami bisa melewati bagian tengahnya, tetapi saat aku penasaran dengan apa yang kelihatan dari ujung batas pekarangan, aku terkejut melihat tebing, dan terperosok. Lavi menjerit, sementara aku menemukan pegangan di ranting pohon tua. Tentu Lavi emosi setelah kami berhasil berjalan.“Lihat kabut—sedikit saja—katakan. Lihat bangunan aneh, kataka
last updateLast Updated : 2022-01-05
Read more

69. TAKTIK #2

Kabar baiknya: kami tidak diserang musuh, berhasil menemukan sumber air jernih, dan tanda-tanda kehidupan telah kembali: pepohonan lebat. Kabar buruknya: langit sudah gelap, jadi kami perlu beristirahat setelah berjam-jam berjalan. Aku baru mau mencari tempat mendirikan tenda saat Lavi berkata, “Aku janji mengizinkanmu makan banyak, tapi bisakah kau membuat cekungan tanah? Cekungan yang muat untuk tempat istirahat?” “Tidak pakai tenda?” “Aku punya ide. Bisa, tidak?” Aku berpikir sejenak, melihat struktur tanah. Tampaknya sulit, bahkan bisa berpengaruh ke pohon sekitar. Namun, agaknya ada yang aneh. Aliran air turun di sekitar kami, mengalir cukup deras. Suaranya teredam, tetapi aku bisa mendengar sedikit. Jadi, aku pergi menyusuri semak, dan Lavi mengomel. “Jangan keluyuran.” Dugaanku benar. “Aku bisa buat gua,” kataku. “Oh, wow,” kata Lavi, melihat apa yang kulihat. “Boleh. Lakukan.” Jadi, aku melakukannya. Di dekat aliran air
last updateLast Updated : 2022-01-05
Read more
PREV
1
...
56789
...
60
DMCA.com Protection Status