Ruang Anggara sudah penuh saat kami tiba.
Semua pemilik kemampuan yang kukenal ada di sini—kecuali Aaron. Saat itu nuansanya jauh berbeda dari saat aku pertama masuk.
Dalton, Jesse, dan Nuel membicarakan sesuatu di depan layar. Tampaknya mereka melihat Padang Anushka dari atas. Pemandangan hutan malam itu tampak tidak jauh beda dengan hutan belantara lain. Namun, padang rumput jelas terlihat berbeda. Reila mengajakku bergabung, dan kudapati Elton berbincang dengan Isha, sementara Lavi di dapur, membuat minuman.
“Datang juga akhirnya,” sambut Jesse.
“Ke mana saja kau?” tanya Dalton. “Latihan?”
“Latihan panah di halaman belakang,” jawab Reila, mewakiliku.
“Memangnya kelihatan?”
“Sinting,” komentar Nuel. “Aku lihat dia adu pedang dengan Elka. Mereka seperti mau saling bunuh. Tertawa tiap pedang bertemu.”
Aku tidak memikirkan ini saat memasuki
“Sudah puas berciuman?” sambut Jesse, melihat kami kembali.Isha tertawa. Dalton dan Nuel sedang bermain catur. Reila menepuk tangan, entah maksudnya apa. Namun, yang paling fenomenal: reaksi Lavi yang bertanya di punggungku. “Kau mau dicium?”“Oh tidak. Kau berharap aku jawab apa?”“Jangan suka marah,” kata Nuel, pasti ke Lavi. “Kasihan dia.”“Kau tidak keberatan, kan?” tanya Lavi, mencubit pipiku.“Astaga, diamlah,” kataku.“Dasar sensitif.” Kali ini dia menyetrum, yang membuatku mendesah.“Sepertinya kita tahu sumber masalahnya di mana,” kata Nuel. “Duduklah. Capek menunggu kalian. Kita ada cerita penting.”Akhirnya, Lavi turun. Aku ingin duduk di sisi Reila lagi, mengeluh banyak hal, tetapi Lavi tidak membiarkanku pergi. Dia menarikku, duduk di sisinya, dan bilang, “Apa masalahmu?” Isha, yang,
Keesokan paginya, sarapan berlangsung ricuh bersama Profesor Merla dan Layla—yang sungguhan berisik karena Layla menceritakan semua yang dia ingat tentang permainan masa kecil. Kupikir aku versi bocah kecil kedengaran lumayan menyenangkan, iseng—kata Profesor Merla warisan tulen ibuku—pemberani yang tidak punya takut, dan suka bicara hal-hal aneh yang tidak bisa dimengerti banyak orang—seperti, “Burung raksasa yang sayapnya lebar.”“Aku tidak yakin dinosaurus masih hidup,” kataku, tak percaya.“Itu monster,” kata Profesor Merla. “Kasus yang cukup jarang ditemui anak delapan tahun. Biasanya mereka belum bisa lihat monster.”“Oh, wow.” Sebenarnya aku sudah tahu itu, tetapi berharap ada lelucon soal monster saat bersama dewan—itu memang tidak cocok.“Omong-omong,” Layla tidak sabar mengganti topik. “Mom, aku tidak tahu Forlan punya adik. Memangnya, dia
Rapat dewan kali ini langsung mengundangku, Elton, dan Reila.Pendopo tetap pendopo yang mencekam. Bedanya, semua dewan kini hadir. Profesor Merla duduk di sebelah Mister, tersenyum penuh makna. Aku tidak terlalu masalah karena biasanya Lavi juga sering melihat dengan cara serupa. Masalahnya, pengaturan bangku ini membuatku tidak nyaman.Bangku dibuat memutar, sehingga kami membentuk satu lingkaran penuh. Reila di kiriku, Elton di kananku. Lalu di sebelah mereka para kapten yang berlanjut sampai dewan. Semestinya aku protes. Aku harus tukar dengan Reila. Jelas lebih baik bersebelahan dengan Isha daripada berhadapan dengan Jenderal. Sekitar tiga meter di depanku, Jenderal duduk dengan aura menekan kelewat kuat.“Tidak mau tukar tempat duduk?” usulku, pada Reila.“Kau pikir aku mau berhadapan dengan ... beliau?” jawabnya, sangat baik.Tampaknya suasana hati Jenderal buruk karena ketika memulai rapat, suara bernuansa kejam itu
Sisa waktuku dihabiskan tim medis—terutama Tara dan Layla yang tanpa henti memperingatiku agar tidak menghabiskan empon-empon. Dan aku termasuk orang terakhir yang mengambil persediaan. Ketika akhirnya Layla sadar hari sudah larut, dia langsung menyuruhku keluar.Padang rumput sudah gelap. Tidak ada siapa-siapa. Hanya bintang cerah.Aku tengah mendongak, memikirkan pemandangan ini mungkin tidak akan bisa kulihat selama beberapa hari ke depan—hingga sebuah suara berkata, “Forlan, kau harus istirahat. Besok kalian berangkat.”Aku membawa mataku menuju sumber suara. Penampilannya bahkan masih mudah dikenali di kegelapan malam. Bedanya, ketika malam, Kara memakai jubah tebal yang tampak cukup hangat. Baru kusadari suhu Padang Anushka agak turun. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan penghuni di malam hari, tetapi Kara cukup kerepotan membawa banyak senjata di pundaknya.“Kara sedang apa?” tanyaku.“Merapikan
Setidaknya, aku harus tertidur sebelum berangkat misi.Namun, gagal. Mataku tidak bisa terpejam. Dadaku terus berdegup kencang. Kupikir aku seperti bocah yang mau diberi mainan. Aku merasa hidupku di ambang batas. Besok hanya waktu yang tepat mendorongku ke jurang.Kuputuskan melihat bintang di halaman belakang Gerha.Dan tampaknya aku tidak sendirian. Begitu melangkah ke pekarangan, suara langsung menyahut dari Gerha sebelah. “Terlalu bersemangat?”Aku tersenyum. “Aku biasa melihatmu saat pagi, tapi melihatmu sekarang? Bahkan sebelum berangkat misi? Itu langka.”Reila tersenyum, hanya saja tanpa basa-basi. “Aku takut.”“Boleh aku masuk?”“Lewat pintu depan?”“Pertanyaan retorik.” Aku mendengus.Dia tampaknya memang sengaja mengangkat obrolan itu. “Masuklah.”Jadi, aku melompati pagar. Kami sama-sama anak alam.Reila duduk d
Pagi berikutnya cerah. Aku berhasil tidur beberapa jam, tetapi itu tak terlalu menghilangkan nuansa gelap dariku yang membara seperti orang kelelahan.“Sulit tidur?” tanya Dalton, saat kami berjalan ke padang rumput.“Gugup sampai mati,” kataku.“Sebaiknya jangan perlihatkan itu ke yang lain. Perlihatkan kau siap. Kau sungguhan hanya membawa barang yang kutulis, kan?”Aku mengangguk.Dalton luar biasa hebat memberikan arahan sebelum misi. Maksudku, tanpa kehadirannya pun—cuma tulisan—dia berhasil melarang banyak hal. Jadi, ranselku ringan. Hanya berisi tenda, kantung tidur, obat-obatan, dan belati. Busur sekaligus anak panah di sisi ransel, dan pedang di pinggang. Sangat minim.Tak banyak yang berkumpul di padang rumput. Hanya Kara, Dokter Gelda, Layla, dan Profesor Neil. Sisanya—kandidat baru dan darah campuran—diarahkan latihan menunggang kuda di sekeliling area tim stok oleh Kenz
Tiga puluh menit berjalan di alam liar—kabar baiknya: tak ada musuh yang terlihat. Kabar buruknya: aku hampir terperosok dari tebing curam.“Sekarang aku mengerti kenapa kau bisa hilang,” kata Lavi.“Ayolah, aku cuma melamun sedikit.”“Jangan hilang fokus, idiot,” dia membantuku bangkit. “Jangan biarkan isi kepalamu kosong. Itu yang terjadi.”Alam liar yang ini agak berbeda dengan alam liar saat misi pertamaku. Dan sejujurnya alam liar ini lebih bersahabat. Kami sudah di pekarangan gundul, yang Lavi bilang, “Bekas sawah.” Jadi, kami bisa melewati bagian tengahnya, tetapi saat aku penasaran dengan apa yang kelihatan dari ujung batas pekarangan, aku terkejut melihat tebing, dan terperosok. Lavi menjerit, sementara aku menemukan pegangan di ranting pohon tua. Tentu Lavi emosi setelah kami berhasil berjalan.“Lihat kabut—sedikit saja—katakan. Lihat bangunan aneh, kataka
Kabar baiknya: kami tidak diserang musuh, berhasil menemukan sumber air jernih, dan tanda-tanda kehidupan telah kembali: pepohonan lebat. Kabar buruknya: langit sudah gelap, jadi kami perlu beristirahat setelah berjam-jam berjalan. Aku baru mau mencari tempat mendirikan tenda saat Lavi berkata, “Aku janji mengizinkanmu makan banyak, tapi bisakah kau membuat cekungan tanah? Cekungan yang muat untuk tempat istirahat?” “Tidak pakai tenda?” “Aku punya ide. Bisa, tidak?” Aku berpikir sejenak, melihat struktur tanah. Tampaknya sulit, bahkan bisa berpengaruh ke pohon sekitar. Namun, agaknya ada yang aneh. Aliran air turun di sekitar kami, mengalir cukup deras. Suaranya teredam, tetapi aku bisa mendengar sedikit. Jadi, aku pergi menyusuri semak, dan Lavi mengomel. “Jangan keluyuran.” Dugaanku benar. “Aku bisa buat gua,” kataku. “Oh, wow,” kata Lavi, melihat apa yang kulihat. “Boleh. Lakukan.” Jadi, aku melakukannya. Di dekat aliran air
[“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P
Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga
Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit
Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny
Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak
Aku, Lavi, dan Leo baru menyantap sisa daging rusa ketika Reila terlelap di bahu Profesor Merla. Aku sudah menduga Reila kelelahan, tetapi tidak ada yang menduga dia sampai tidur. Leo akhirnya bersuara. “Tadi aku terus memastikan dia kelelahan atau tidak, dia bilang oke.”“Dua saudara ini memang suka memaksakan diri,” cetus Lavi.“Aku tidak pernah sampai seperti itu,” belaku.“Aku sudah memberinya empon-empon, seperitnya itu efek sampingnya.”“Aku baru tahu empon-empon punya efek samping,” balasku, lagi.“Untuk beberapa orang, sejujurnya memang punya efek samping,” Profesor Merla ikut membenarkan. “Reila cenderung gampang tidur setelah minum. Meski minuman itu khasiatnya mujarab, belum tentu semua orang cocok. Kalau kau bisa meminumnya tanpa efek samping, itu hal lebih darimu.”“Bagaimana rasanya saat pertama kali kau minum?” tanya Lavi.&l
Lavi memutuskan agar kami turun sebelum benar-benar tiba di air terjun.Sekitar jam enam kami menapak lagi di permukaan. Napas Reila mulai agak berat. Dia berusaha menyembunyikannya, tetapi sulit baginya untuk bersembunyi dariku dan Lavi. Aku ingat satu gagasan dan aku mengatakannya di depan semua orang. “Aku ingat sewaktu latihan di Pulau Pendiri, kau sebenarnya tidak terbiasa dengan terbang di udara dalam waktu lama. Ada batasnya.”“Oya?” sahut Lavi. “Reila, benar?” Kemudian Lavi kesal menatapku. “Dan kau baru ingat sekarang? Kenapa tidak sejak tadi?”“Biasanya dia oke,” kataku. “Aku baru ingat kami tidak pernah selama ini.”“Aku oke,” sela Reila, mengambil napas. “Aku oke. Sejauh ini aku oke.”“Orang yang menyebut oke tiga kali biasanya tidak oke,” kataku.“Aku sudah melatih ini,” protes Reila. “Aku bisa bertahan l
Lavi bisa sedikit memanipulasi kabut, jadi dia bisa membuat kabut di sekitar menghilang sekejap. Dia mengaburkan kabut di sekitar tangannya agar dia bisa lihat arlojinya. Saat itulah Lavi berkata padaku, “Sudah setengah jam.”Aku belum merasa lelah, tetapi aku turun. Reila juga ikut turun.Kami menapak di dahan besar yang cukup tinggi. Aku menghilangkan kabut di sekitar kami. Lavi turun dari punggungku, menawarkan minum ke semua orang. Reila juga turun dari punggung Leo, menerima air dari Lavi.Leo tidak banyak komentar, hanya berkata, “Aku tidak lelah sama sekali.”“Kau tidak banyak bergerak,” balasku. “Reila?”“Biasa saja. Lebih baik seperti ini. Bisa lebih cepat. Kakak bagaimana?”“Lavi terus membagi energi. Aku tidak terlalu lelah. Kita juga tidak bertemu apa-apa. Tidak ada yang kurasakan juga. Kita menghindari kemungkinan bertemu sesuatu yang bisa ditemukan saat jalan. La
Lavi memeriksa arah, titik koordinat, perkiraan waktu—hingga kapan kami harus istirahat. Formasi kami cukup oke. Aku jelas membawa Lavi di punggung—dan kupikir Reila hanya akan melayang di udara bersama Leo. Namun, Leo punya ide yang lebih oke lagi: dia menggendong Reila.Tentunya Reila menolak. Dia bisa bergerak sendiri dengan membuat dia dan Leo melayang. Dia bisa menggerakkan dua orang dengan cepat mengikutiku. Leo protes. Jauh lebih efisien bila dia meringankan bobot dua orang dalam satu orang. Semestinya Reila yang paling tahu itu bisa lebih mudah dilakukan atau tidak, tetapi Leo yakin itu lebih efektif dan efisien. Lavi dan aku mempertimbangkan itu. Pada akhirnya, tidak ada yang tahu itu bisa lebih oke atau tidak—karena ini pertama kali, jadi keputusan dikembalikan ke mereka berdua. Jadi, Leo mendebat Reila tentang waktu istirahat yang mungkin bisa lebih lama dan formasi yang bisa melebar jika tiga orang bergerak bersama. Dengan dirinya menggendong Rei