Setidaknya, aku harus tertidur sebelum berangkat misi.
Namun, gagal. Mataku tidak bisa terpejam. Dadaku terus berdegup kencang. Kupikir aku seperti bocah yang mau diberi mainan. Aku merasa hidupku di ambang batas. Besok hanya waktu yang tepat mendorongku ke jurang.
Kuputuskan melihat bintang di halaman belakang Gerha.
Dan tampaknya aku tidak sendirian. Begitu melangkah ke pekarangan, suara langsung menyahut dari Gerha sebelah. “Terlalu bersemangat?”
Aku tersenyum. “Aku biasa melihatmu saat pagi, tapi melihatmu sekarang? Bahkan sebelum berangkat misi? Itu langka.”
Reila tersenyum, hanya saja tanpa basa-basi. “Aku takut.”
“Boleh aku masuk?”
“Lewat pintu depan?”
“Pertanyaan retorik.” Aku mendengus.
Dia tampaknya memang sengaja mengangkat obrolan itu. “Masuklah.”
Jadi, aku melompati pagar. Kami sama-sama anak alam.
Reila duduk d
Pagi berikutnya cerah. Aku berhasil tidur beberapa jam, tetapi itu tak terlalu menghilangkan nuansa gelap dariku yang membara seperti orang kelelahan.“Sulit tidur?” tanya Dalton, saat kami berjalan ke padang rumput.“Gugup sampai mati,” kataku.“Sebaiknya jangan perlihatkan itu ke yang lain. Perlihatkan kau siap. Kau sungguhan hanya membawa barang yang kutulis, kan?”Aku mengangguk.Dalton luar biasa hebat memberikan arahan sebelum misi. Maksudku, tanpa kehadirannya pun—cuma tulisan—dia berhasil melarang banyak hal. Jadi, ranselku ringan. Hanya berisi tenda, kantung tidur, obat-obatan, dan belati. Busur sekaligus anak panah di sisi ransel, dan pedang di pinggang. Sangat minim.Tak banyak yang berkumpul di padang rumput. Hanya Kara, Dokter Gelda, Layla, dan Profesor Neil. Sisanya—kandidat baru dan darah campuran—diarahkan latihan menunggang kuda di sekeliling area tim stok oleh Kenz
Tiga puluh menit berjalan di alam liar—kabar baiknya: tak ada musuh yang terlihat. Kabar buruknya: aku hampir terperosok dari tebing curam.“Sekarang aku mengerti kenapa kau bisa hilang,” kata Lavi.“Ayolah, aku cuma melamun sedikit.”“Jangan hilang fokus, idiot,” dia membantuku bangkit. “Jangan biarkan isi kepalamu kosong. Itu yang terjadi.”Alam liar yang ini agak berbeda dengan alam liar saat misi pertamaku. Dan sejujurnya alam liar ini lebih bersahabat. Kami sudah di pekarangan gundul, yang Lavi bilang, “Bekas sawah.” Jadi, kami bisa melewati bagian tengahnya, tetapi saat aku penasaran dengan apa yang kelihatan dari ujung batas pekarangan, aku terkejut melihat tebing, dan terperosok. Lavi menjerit, sementara aku menemukan pegangan di ranting pohon tua. Tentu Lavi emosi setelah kami berhasil berjalan.“Lihat kabut—sedikit saja—katakan. Lihat bangunan aneh, kataka
Kabar baiknya: kami tidak diserang musuh, berhasil menemukan sumber air jernih, dan tanda-tanda kehidupan telah kembali: pepohonan lebat. Kabar buruknya: langit sudah gelap, jadi kami perlu beristirahat setelah berjam-jam berjalan. Aku baru mau mencari tempat mendirikan tenda saat Lavi berkata, “Aku janji mengizinkanmu makan banyak, tapi bisakah kau membuat cekungan tanah? Cekungan yang muat untuk tempat istirahat?” “Tidak pakai tenda?” “Aku punya ide. Bisa, tidak?” Aku berpikir sejenak, melihat struktur tanah. Tampaknya sulit, bahkan bisa berpengaruh ke pohon sekitar. Namun, agaknya ada yang aneh. Aliran air turun di sekitar kami, mengalir cukup deras. Suaranya teredam, tetapi aku bisa mendengar sedikit. Jadi, aku pergi menyusuri semak, dan Lavi mengomel. “Jangan keluyuran.” Dugaanku benar. “Aku bisa buat gua,” kataku. “Oh, wow,” kata Lavi, melihat apa yang kulihat. “Boleh. Lakukan.” Jadi, aku melakukannya. Di dekat aliran air
Ucapan itu terbantah dengan cepat.Aku bermimpi di pekarangan vila yang sama, berdiri bersama empat orang berjubah hitam dengan aura pekat penuh nuansa membunuh. Vila itu kini tidak lagi seperti yang kulihat terakhir kali—masih ada sulur merambat di dinding vila, tetapi pekarangannya... itu hal paling mengerikan yang ingin kulihat.Suasananya kelewat gelap. Malam semakin malam, tetapi obor berkobar di sepanjang mata memandang. Pekarangan tidak lagi dipenuhi rerumputan liar, tetapi pasukan cebol tak terhitung bersuara layaknya menggeram kuat. Benakku tertekan. Jantungku berdegup kencang, dan—mendadak waktu melambat. Saat aku menatap sesuatu di dekatku, sesuatu—manusia ... kurasa, tetapi pendek, hanya satu meter. Wujudnya seperti kakek tua yang punya gigi taring runcing seperti iblis, badannya berbulu, sekilas wajahnya seperti manusia, tetapi juga seperti kera. Kami bertautan lurus, dan tiba-tiba napasku tertahan. Kupikir ini hanya mimpi, tetapi s
Aku sudah membanting Lavi, mengarahkan pedang ke lehernya.Dia hampir menuntut, tetapi matanya tercengang melihat air mataku keluar. Bibirku mengatup kuat, sampai aku berniat menggigit lidahku sendiri, dan betapa sesaknya benakku ini, rasanya semakin menjadi-jadi ketika aku harus mengarahkan ujung pedangku ke leher orang yang paling kuinginkan di sisiku.“Kau pengkhianat,” geramku.“Apa maksudmu?” tuntutnya. “Kau bicara apa?”“Tutup mulutmu! Kau bohong! Semua orang selalu bisa menyembunyikan banyak hal dariku. Tapi aku istimewa. Aku tahu aku istimewa.”“Forlan—”“Kau menipuku! Selalu dan selalu! Kapan kau bisa berhenti?!”Sedikit saja—sedikit saja aku menggesek pedang ini, leher Lavi pasti putus. Aku bisa bayangkan bagaimana dia tidak akan membocorkan informasi kami lagi. Dan barangkali raut wajah pura-pura polos itu akan berhenti. Sebentar lagi dia pa
Lavi mendesis. “Jesse, cuma ini satu-satunya cara.”Jesse dongkol. “Aku mungkin bukan pendukung Bocah Alam, tapi cara ini menyakitinya. Dan kau tahu apa kemungkinan terburuknya? Dia terbunuh sebelum kau sempat membunuhnya—kau tahu semua itu terlalu berisiko?”Mereka hampir berdebat, persis seperti yang biasa kulihat. Namun, adanya Profesor Merla berhasil membuat mereka berhenti. Sepertinya Profesor Merla baru datang karena meminta, “Ulang dari awal. Buat aku mengerti dengan cepat.”“Cewek ini punya rencana,” kata Jesse. “Seribu kali lebih bahaya.”“Musuh pasti mengincarku,” cetus Lavi. “Aku diincar Erick. Hampir setiap misi. Aku tidak pernah membicarakan ini, tapi, Prof—bahkan untuk sekali saja dia tidak pernah mencoba membunuhku. Dia mencoba membawaku pergi. Dia selalu tahu posisiku, tidak pernah berhenti mencoba merekrut.”Profesor Merla berkedip. &ldq
Menyamarkan keberadaan dengan kabut tidak semudah yang dibicarakan.Sekarang aku mengerti mengapa Profesor Merla mengatakan semua ucapan itu sebelum kami berangkat: dia ingin membuatku siap karena Lavi pasti tidak akan mengatakan sepatah kata tentang rencana—meskipun aku juga agak yakin Profesor Merla mengatakan kebenaran tentang selubung putih dan lainnya. Profesor Merla benar-benar menakutkan. Maksudku, dia bisa menjadi bunglon, memihak siapa pun yang dia mau, demi memastikan aku benar-benar selamat. Aku tidak tahu lagi sudah berapa banyak yang dia lakukan hanya demi keberhasilan misi ini.Dan aku bertanya-tanya, mengapa Akshaya memperlihatkan citra-citra itu? Semestinya dia tahu itu hanya membuatku bimbang.Aku ingin memikirkan banyak hal, tetapi kuputuskan fokus pada misi.Separuh perjalananku menuju titik biru, di tengah hutan belantara, akhirnya aku menemukan Reila. Dia duduk di ranting pohon tertinggi. Aku menunjukkan diri—sebelum sempa
Jesse berjarak sangat dekat dari vila yang mengeluarkan aura mencekam.Saat itu malam sudah menyelimuti sekitar. Selubung putih terasa samar di dekat kami. Jesse di dalam parit. Kalau aku tidak menyadari hawa keberadaannya, mungkin aku dan Reila sudah memutuskan menerobos masuk vila.Tempat beristirahat Jesse lumayan asyik. Cukup sempit. Dalam parit kecil itu kami bahkan tidak bisa meluruskan kaki. Hanya bisa berdiri, jongkok, dan duduk bersila. Kalau pun bisa berbaring, kami akan memenuhi parit.Dan itu yang terjadi.Jesse berdiri dalam parit. Kami tidak bisa masuk karena ada yang berbaring di sebelah Jesse. Tidak sadarkan diri, dan hawa keberadaannya kosong.Keadaan sekitar membuatku hanya bisa berbisik, “Siapa itu?”Reila juga tercengang. “Anak kecil?”Jesse memintaku membantunya membawa keluar mereka berdua. Dan Jesse berhasil membuatku tercengang sampai kehilangan kata-kata. Dia bersama gadis kecil berambu