Home / Fantasi / Selubung Memori / 74. VILA MONSTER #1

Share

74. VILA MONSTER #1

last update Last Updated: 2022-01-15 14:00:28

Jesse berjarak sangat dekat dari vila yang mengeluarkan aura mencekam.

Saat itu malam sudah menyelimuti sekitar. Selubung putih terasa samar di dekat kami. Jesse di dalam parit. Kalau aku tidak menyadari hawa keberadaannya, mungkin aku dan Reila sudah memutuskan menerobos masuk vila.

Tempat beristirahat Jesse lumayan asyik. Cukup sempit. Dalam parit kecil itu kami bahkan tidak bisa meluruskan kaki. Hanya bisa berdiri, jongkok, dan duduk bersila. Kalau pun bisa berbaring, kami akan memenuhi parit.

Dan itu yang terjadi.

Jesse berdiri dalam parit. Kami tidak bisa masuk karena ada yang berbaring di sebelah Jesse. Tidak sadarkan diri, dan hawa keberadaannya kosong.

Keadaan sekitar membuatku hanya bisa berbisik, “Siapa itu?”

Reila juga tercengang. “Anak kecil?”

Jesse memintaku membantunya membawa keluar mereka berdua. Dan Jesse berhasil membuatku tercengang sampai kehilangan kata-kata. Dia bersama gadis kecil berambu

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Selubung Memori   75. VILA MONSTER #2

    Gelembung terbuka. Aku melompat keluar, mengayunkan pedang. Monster itu tidak sempat bereaksi—melompat tepat ke ayunan pedang. Gerakannya masih melambat, membuatku bisa melihat ekspresi terkejutnya yang bagaikan kera.Cras!Darah menyembur. Monster itu terlempar bersama lusinan darah. Jeda itu membuat monster lain terhenti, memandangku. Sedetik, arah serangan mereka tiba-tiba berganti padaku. Jutaan kakek menyerangku. Baru kutinggal berkedip, mereka sudah di pundakku. Gigi runcingnya menggigitku.“AKH!” erangku.Aku menjentikkan jari.Angin kecil berputar, menerbangkan semua monster di dekatku. Debu-debu beterbangan, menguasai ruangan dengan bau lembap luar biasa. Momentum ini ada untukku. Aku bergerak cepat ke monster yang terlempar, mengayunkan pedang.Hujan darah baru. Aku bisa memberi cat baru di dinding.Monster-monster itu bergerak kelewat cepat. Satu hal yang berbahaya: aku makanan favoritnya. Tulang

    Last Updated : 2022-01-17
  • Selubung Memori   76. VILA MONSTER #3

    Aku seperti terombang-ambing. Mataku bisa melihat Reila.Namun, kesadaranku gagal kembali. Hanya bisa tergeletak lemah. Tepat di atasku, Reila memasang wajah serius sembari mengacungkan pedang. Sorot mata itu tidak bisa lagi dilawan—alisnya bertaut, dan ekspresinya penuh amarah.Kemudian telingaku mendengar suara khas: geraman Ebu Gogo. Mendadak angin berembus kencang. Sesuatu tertabrak keras. Potongan besi dan kayu beterbangan. Puing-puing bersebaran. Mata Reila agaknya bercahaya.Semestinya aku cepat sadar, tetapi—gagal.Tiba-tiba aku seperti melayang-layang di atas air.Sungguhan. Aku mengapung di atas samudra, dihempaskan ombak dengan tenang. Di atasku, langit dengan mentari hangat khas iklim tropis menguasai alam. Bagian atas tubuhku hangat, bagian bawah tubuhku dingin. Kepalaku terayun-ayun oleh aliran air. Aku tidak pernah merasa setenang ini.Baru saja aku mau bergumam, “Nikmatnya,” saat badai me

    Last Updated : 2022-01-19
  • Selubung Memori   77. VILA MONSTER #4

    Napasku habis. Rasanya melelahkan.Kami akhirnya berhenti setelah bertemu pintu besi baru. Sepertinya hampir sejauh lima ratus meter dari pintu besi pertama. Dindingnya hampir sama. Bedanya, tidak perlu kartu lagi. Menurut Jesse, hanya tinggal memencet tombol di sisi pintu. Lambang di tombol itu terlihat tidak asing, seperti radioaktif.Sepanjang lorong dilapisi besi campuran. Lantai, dinding, langit-langit—di sekeliling ini—semua besi campuran. Hawanya dingin, tetapi seluruh tubuh kami terbakar adrenalin. Keringat terus bercucuran.Aku ingat bagaimana misi selalu membuat dewan resah. Tiba-tiba aku rindu Layla, bagaimana dia memperingatiku untuk kembali di setiap misi. Aku tak pernah memikirkannya sehebat ini—tentang misi. Keseharian di Padang Anushka terkesan masuk akal. Itu merindukan. Setelah dua kali melewati perjalanan hidup dan mati, aku benar-benar tahu bahwa misi, pada dasarnya, memang pertaruhan nyawa.“Aku tidak kuat lagi

    Last Updated : 2022-01-21
  • Selubung Memori   78. VILA MONSTER #5

    Kesan pertamaku pada ruang bawah tanah itu: mengagumkan.Hal pertama yang menarik perhatianku: desain ruangan. Dikelilingi dinding tanah asli, dengan lantai berupa batuan yang dihaluskan. Lampu putih tergantung di segala arah, menyinari ruangan dengan cahaya menyilaukan. Ruangan itu seperti bengkel kerja arsitek. Peta besar terpampang di ujung ruangan, lemari, dan rak buku mengelilinginya. Dokumen berserakan di lantai, dan kupikirkan ciri khas mereka yang disebut ilmuwan—atau tim peneliti: ruang kerjanya rusuh.Dan begitu memasuki ruang utama, kesanku berubah.Tempat ini mengerikan.Di sisi kanan terdapat begitu banyak tabung laboratorium. Kupikir itu cuma cairan berisi potongan-potongan tertentu, tetapi Reila hampir muntah ketika melihat dari dekat—dan kusadari aku juga. Jujur saja, aku tidak berpikir itu bisa dilakukan, tetapi melihat cairan hijau berisi taring monster—atau cairan kuning berisi rambut monster—aku pasti gila. Itu

    Last Updated : 2022-01-23
  • Selubung Memori   79. VILA MONSTER #6

    Kubilang tim lain sedang di perjalanan. Setidaknya, delapan jam lagi.Dan Jesse menemukan berbagai macam informasi. Dia menemukan laptop berisikan banyak berkas penelitian. Kubilang aku tidak mau mengerti itu, dan tiba-tiba dia bilang, “Anak ini darah murni.”Dia meminta kami menghampirinya, melihat laptop. Di sana ada halaman tertentu yang punya foto Falesha beserta keterangan-keterangan khusus. Tertulis sangat jelas tentang darah murni.“Berarti—”“Peneliti ini darah murni juga,” tukas Jesse.“Aku benci gagasan itu,” kataku, jujur-jujur saja.Kuputuskan kembali melihat papan, sementara Jesse menelusuri area lain. Reila lebih tertarik mengikutiku. Jesse yang sudah dipenuhi rasa ingin tahu bukan salah satu yang ingin dia ikuti.Sebenarnya tidak ada informasi berarti lagi di papan, kecuali alur pemikiran si peneliti sinting ini. Jadi, yang kulakukan hanya melamun, memikirkan semua h

    Last Updated : 2022-01-25
  • Selubung Memori   80. VILA MONSTER #7

    Sebelum mendapat pesan dari tim Lavi, kami memutuskan istirahat. Reila bilang ingin tidur sebentar, lalu kubilang dia tidak akan bisa tidur di tempat seperti ini, lalu dia bilang, “Kalau di dekat kalian, aku bisa. Aku mau tidur sama Falesha.”Benar saja. Dia segera meringkuk, menggunakan jubahnya sebagai selimut pada dirinya dan Falesha, lalu mencoba memejamkan mata. Aku dan Jesse tidak tega melihatnya, jadi kami mencari sesuatu yang setidaknya layak dijadikan alas. Ini tempat tinggal peneliti, jadi setidaknya pasti menyimpan sesuatu—dan ketemu. Aku yang menemukannya, di lemari penyimpanan barang tak terpakai. Bahkan satu set: kasur lipat, bantal, selimut. Reila sampai tersenyum hanya untuk terlelap.“Cewek Genius,” komentar Jesse, melihat Reila dengan mudah tertidur.“Tidurlah,” kataku. “Biar aku yang jaga.”“Nah, tidak. Aku tidak biasa tidur di alam liar. Ini misi keenamku di alam liar. Dan aku

    Last Updated : 2022-01-27
  • Selubung Memori   81. VILA MONSTER #8

    Aku sedang mengobrak-abrik lemari penyimpanan barang tak terpakai. Di sana ada begitu banyak boneka rusak. Dan tidak cuma boneka kelinci. Ada boneka singa, gajah, kuda, ikan, sampai yang membuatku teringat pada Layla: beruang. Itu membuatku penuh peluh. Maksudku, semua sobekan di boneka ini rusuh, layaknya dihancurkan paksa. Dan yang kumaksud bukan oleh manusia.Saat itulah pintu besi terbuka.Posisiku cukup tersembunyi: di sudut ruangan, jalan masuknya hanya celah sempit. Dan aku baru mengeluarkan isi lemari, jadi satu-satunya jalan juga tertutup barang. Butuh ekstra hati-hati melangkah, terutama ketika pencahayaannya minim. Aku sudah mendengar suara Nadir. “Ini bawah tanah?”Aku sudah bisa dengar Jesse yang menuntut ke mana perginya aku.“Reila tidur?” kata suara Profesor Merla, tidak percaya.Sayangnya, Lavi tahu betul keberadaanku. Baru saja aku lolos dari barang-barang, Lavi sudah muncul di depanku, penuh keringat, dan

    Last Updated : 2022-01-29
  • Selubung Memori   82. VILA MONSTER #9

    Hal terakhir yang kulihat dari bawah bukit vila itu: debu menguasai sejauh mata memandang. Hanya Jenderal yang tidak ada di antara kita—bahkan sepanjang perjalanan. Kata Nadir, “Itu tugasnya. Mengawasi dari area paling luas.”“Maksudnya, langit?” tanyaku.“Cuma Jenderal yang bisa mengeluarkan hawa kehadiran paling luas di sini. Darah murni yang sudah berteman dekat dengan kemampuannya pasti bisa seperti itu. Dia bisa menghalau kehadiran monster dengan sengaja menunjukkan aroma.”“Sudah lama aku bertanya-tanya,” kataku. “Kita beraroma seperti apa?”“Makanan lezat,” jawab Reila. “Seperti ikan bakar.”“Aku bisa bayangkan itu.”Jesse mencetuskan gagasan konyol: “Dari misi ini, aku benar-benar melihat bukti Forlan tidak benar-benar menghalau kehadiran monster. Bahkan, dia hampir mati. Dia bukan keajaiban yang diucapkan Lavi.”&

    Last Updated : 2022-01-31

Latest chapter

  • Selubung Memori   593. BENANG BUNGA #7

    Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&

  • Selubung Memori   592. BENANG BUNGA #6

    Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla

  • Selubung Memori   591. BENANG BUNGA #5

    Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw

  • Selubung Memori   590. BENANG BUNGA #4

    Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar

  • Selubung Memori   589. BENANG BUNGA #3

    Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud

  • Selubung Memori   588. BENANG BUNGA #2

    Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c

  • Selubung Memori   587. BENANG BUNGA #1

    Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da

  • Selubung Memori   586. RODA MIMPI #9

    Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t

  • Selubung Memori   585. RODA MIMPI #8

    Aku pergi ke makam Ibu karena di sanalah satu-satunya bagian Ibu tersisa. Reila tidak ingin ikut. Dia ingin menjemput Fal. “Makam membuatku merasa aneh. Rasanya Ibu benar-benar sudah meninggal,” katanya.“Jangan melakukan hal tidak perlu saat aku tidak ada,” kataku.“Selama ini kita juga sering terpisah,” erangnya, “jangan cemas berlebih.”Jadi, aku tetap bergerak. Lavi tidak membiarkanku sendiri. Dia tidak bilang apa alasannya tetap menempel, tetapi kubilang padanya, “Aku tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu kau cemaskan. Percayalah padaku. Kau boleh meninggalkanku.”“Jangan salah,” balasnya. “Berhenti berpikiran buruk. Sebelum tahu kabar ini pun, aku sudah bersamamu sepanjang waktu. Ini hal normal. Kalau kau berpikir ini bukan hal normal dan kau pikir aku bersamamu karena mencemaskanmu, berarti memang ada hal yang kau tidak ingin aku tahu.”Logika berpikirnya kadan

DMCA.com Protection Status