Sebelum mendapat pesan dari tim Lavi, kami memutuskan istirahat. Reila bilang ingin tidur sebentar, lalu kubilang dia tidak akan bisa tidur di tempat seperti ini, lalu dia bilang, “Kalau di dekat kalian, aku bisa. Aku mau tidur sama Falesha.”
Benar saja. Dia segera meringkuk, menggunakan jubahnya sebagai selimut pada dirinya dan Falesha, lalu mencoba memejamkan mata. Aku dan Jesse tidak tega melihatnya, jadi kami mencari sesuatu yang setidaknya layak dijadikan alas. Ini tempat tinggal peneliti, jadi setidaknya pasti menyimpan sesuatu—dan ketemu. Aku yang menemukannya, di lemari penyimpanan barang tak terpakai. Bahkan satu set: kasur lipat, bantal, selimut. Reila sampai tersenyum hanya untuk terlelap.
“Cewek Genius,” komentar Jesse, melihat Reila dengan mudah tertidur.
“Tidurlah,” kataku. “Biar aku yang jaga.”
“Nah, tidak. Aku tidak biasa tidur di alam liar. Ini misi keenamku di alam liar. Dan aku
Aku sedang mengobrak-abrik lemari penyimpanan barang tak terpakai. Di sana ada begitu banyak boneka rusak. Dan tidak cuma boneka kelinci. Ada boneka singa, gajah, kuda, ikan, sampai yang membuatku teringat pada Layla: beruang. Itu membuatku penuh peluh. Maksudku, semua sobekan di boneka ini rusuh, layaknya dihancurkan paksa. Dan yang kumaksud bukan oleh manusia.Saat itulah pintu besi terbuka.Posisiku cukup tersembunyi: di sudut ruangan, jalan masuknya hanya celah sempit. Dan aku baru mengeluarkan isi lemari, jadi satu-satunya jalan juga tertutup barang. Butuh ekstra hati-hati melangkah, terutama ketika pencahayaannya minim. Aku sudah mendengar suara Nadir. “Ini bawah tanah?”Aku sudah bisa dengar Jesse yang menuntut ke mana perginya aku.“Reila tidur?” kata suara Profesor Merla, tidak percaya.Sayangnya, Lavi tahu betul keberadaanku. Baru saja aku lolos dari barang-barang, Lavi sudah muncul di depanku, penuh keringat, dan
Hal terakhir yang kulihat dari bawah bukit vila itu: debu menguasai sejauh mata memandang. Hanya Jenderal yang tidak ada di antara kita—bahkan sepanjang perjalanan. Kata Nadir, “Itu tugasnya. Mengawasi dari area paling luas.”“Maksudnya, langit?” tanyaku.“Cuma Jenderal yang bisa mengeluarkan hawa kehadiran paling luas di sini. Darah murni yang sudah berteman dekat dengan kemampuannya pasti bisa seperti itu. Dia bisa menghalau kehadiran monster dengan sengaja menunjukkan aroma.”“Sudah lama aku bertanya-tanya,” kataku. “Kita beraroma seperti apa?”“Makanan lezat,” jawab Reila. “Seperti ikan bakar.”“Aku bisa bayangkan itu.”Jesse mencetuskan gagasan konyol: “Dari misi ini, aku benar-benar melihat bukti Forlan tidak benar-benar menghalau kehadiran monster. Bahkan, dia hampir mati. Dia bukan keajaiban yang diucapkan Lavi.”&
Perjalanan kembali cukup memotong banyak waktu.Jesse bilang kalau titiknya ada di dekat tempat istirahat—setidaknya, dalam dua jam, titiknya akan berubah lagi. Itu membuat kami segera bangkit, membakar segala kelelahan yang ada, tetapi semua hampir meleleh ketika jalur yang dihadapi sungguhan seperti neraka. Begitu banyak binatang melata. Belum lagi, penuh rawa sehingga tidak ada pijakan berarti. Itu cukup membuat Lavi menjerit karena, secara teknis, dia tidak bisa lari. Jadi, sepanjang perjalanan, dia dibantu Elton dan Profesor Merla. Kabar buruk lainnya: Jesse hampir hilang kesadaran. Arah yang ditunjuk juga keterlaluan membunuh. Reila hampir masuk jurang saking terburu-burunya. Dia pikir hanya ada semak-semak, tetapi tiba-tiba pijakan hilang. Belum lagi, dia masih menggendong Fal. Aku hampir meluncur menolong, tetapi kabar baiknya: kemampuan Reila keterlaluan superior. Itu pertama kali aku melihatnya: gaya berat. Dia seperti pengendali gravitasi. Aku ingin bertanya
Mimpi tidak menunggu waktu untuk menghantuiku.Aku kembali ke ruang bawah tanah peneliti sinting. Bedanya, peneliti itu sungguhan di depanku. Hanya saja, sudut pandang ini seperti sedang berbaring, dan pria itu memunggungiku dengan jas lab. Gerakannya seperti sedang menulis. Papan yang sebelumnya berisi begitu banyak kertas kini masih sedikit yang menempel.Kemudian pria sinting itu berbalik.Wajahnya terlihat jelas. Berjanggut lumayan tebal, kacamata membuat bola matanya terkesan cerah dan lebar—berbeda dengan para peneliti yang kutahu. Dia seperti punya aura tenang, cerdas, dan hebat dalam satu waktu.“Sudah bangun, Nak?” tanyanya, lembut, menatapku seperti kebaikan.Sudut pandangku seperti mengangguk. Kemudian terdengar suara bergema di kepalaku. “Tidak bisa tidur.”Suara yang kecil, pelan, seperti penuh lelah.Pria itu tersenyum, mengusap kepalanya. “Ayah di sini.”Dan suara gadis k
Profesor Merla sedang istirahat, dan aku tidak punya minat menghabiskan malam di ruangannya—terutama ketika aku butuh istirahat. Masalahnya: Fal segera cemberut, menahanku, tidak mau aku pergi, dan kalau pergi, dia harus ikut. Setelah perundingan panjang, akhirnya aku tidur di sana, di ruang tamu, mengurung diriku bersama selimut, sementara Fal bermain menghabiskan malam dengan Layla.Keesokan paginya, ketika membuka mata, aku disambut langsung Fal yang berjarak kelewat dekat—plus, teriakan: “FORLAN BANGUN!”Aku tidak tahu teriakan itu untuk membangunkanku atau laporan.Profesor Merla sudah duduk di sofa, menyantap keripik kentang kesukaan Layla, sembari mendengar alunan musik pelan. “Hai, Forlan,” sambutnya.“Eh, maaf tiba-tiba menginap,” kataku.“Kau seperti tidak pernah mengenalku saja,” Profesor Merla tertawa. “Tidur saja di sini sebanyak yang kau bisa.”Aku celinguk
Acara memancing kami memakan banyak waktu, terutama karena obrolan kami cukup penting, dan tidak ada yang bisa mendengar kami ketika bibir danau terpisah sangat jauh. Dari tempat ini pun, tidak ada suara yang terdengar, kecuali suara satu sama lain dan air yang gemercik mengenai kano. “Bukannya menyebalkan melihat emberku masih kosong?” gerutu Dalton. “Kau dibenci ikan, itu faktanya,” kataku. Emberku lumayan penuh, dan Kara sudah sampai dua ember besar. Dalton masih berisi air, kailnya berulang kali kehilangan umpan, dan dia jauh lebih banyak melempar kail dari kami—tetapi masih belum dapat ikan. Kara hanya tertawa, mengatakan memancing itu tentang menikmati waktu. Jadi, obrolan kembali serius saat Dalton bertanya padaku bagaimana kinerja tiap orang dalam misi. Kubilang, lumayan, dan Dalton kelihatan muram. “Kara,” ratap Dalton. “Aku belum diizinkan misi?” “Sayangnya, itu bukan wewenangku, Nak. Kalau memang ada yang mampu membu
Kudengar ada Rapat Dewan dan pesta api unggun dalam waktu dekat.Sejak pembicaraan dengan Kara dan Dalton berakhir, aku terus memikirkan bagaimana cara bertemu Ratu Arwah. Aku tahu semestinya memaksa mereka untuk mengizinkanku pergi. Sebaik-baiknya, aku hanya akan gagal masuk, tersesat, tetapi karena pelacak, Dalton pasti menemukanku. Seburuk-buruknya, aku bisa berhasil masuk, mendapatkan ingatan, dan mencoba membujuk Ratu Arwah agar bisa keluar karena peperangan tengah meledak. Namun, Dalton memberiku tantangan kelewat berat: kalau Lavi mengizinkanku, mereka akan mempertimbangkannya. Aku tahu Lavi tidak akan membiarkanku pergi. Dan kalau aku memaksanya, dia pasti akan menangis, menuntut mengapa aku selalu membantah setiap ucapannya. Kalau pun Lavi mengizinkan, belum tentu mereka mau mengirimku di tengah situasi ini.Kara bilang, semua itu hanya hipotesis, tentang penghuni yang tidak pernah kembali, tetapi kupikirkan baik itu ke arah bagus atau buruk: fakta penghuni it
Aku ingat saat pertama datang ke danau bersama Jesse, ada banyak darah biru yang menghabiskan waktu di danau kano dengan bergandengan tangan. Saat itu aku tidak pernah berpikir akan melakukan hal serupa di suatu titik waktu.Hal baiknya: tidak ada siapa pun di danau kano. Hal buruknya: agak dingin, jadi kami harus memakai lapisan jaket. Hal yang kubenci: aku baru sadar kalau ini sama persis seperti yang dilakukan orang terdahulu bersama Lavi. Jadi, detik-detik sebelum pergi ke danau kano, aku mendobrak Gerha Dalton, meminta lampu yang dia buat di padang rumput: lampu berkelip warna-warni. Hal yang kusuka: di tengah misi penyelidikan, Dalton memperbarui lampu warna-warni itu jadi lampion. Maka ketika kami mendayung ke danau kano, bukan senter atau lampu minyak yang akan menemani kami. Namun, lampion kemerahan yang membuat suasananya dipenuhi pendar hangat. Agaknya nuansanya jadi lebih romantis dari yang kupikirkan.Lavi juga memiliki gagasan keren. Ketika kami mengatur
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t
Aku pergi ke makam Ibu karena di sanalah satu-satunya bagian Ibu tersisa. Reila tidak ingin ikut. Dia ingin menjemput Fal. “Makam membuatku merasa aneh. Rasanya Ibu benar-benar sudah meninggal,” katanya.“Jangan melakukan hal tidak perlu saat aku tidak ada,” kataku.“Selama ini kita juga sering terpisah,” erangnya, “jangan cemas berlebih.”Jadi, aku tetap bergerak. Lavi tidak membiarkanku sendiri. Dia tidak bilang apa alasannya tetap menempel, tetapi kubilang padanya, “Aku tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu kau cemaskan. Percayalah padaku. Kau boleh meninggalkanku.”“Jangan salah,” balasnya. “Berhenti berpikiran buruk. Sebelum tahu kabar ini pun, aku sudah bersamamu sepanjang waktu. Ini hal normal. Kalau kau berpikir ini bukan hal normal dan kau pikir aku bersamamu karena mencemaskanmu, berarti memang ada hal yang kau tidak ingin aku tahu.”Logika berpikirnya kadan