Home / Fantasi / Selubung Memori / 73. TAKTIK #6

Share

73. TAKTIK #6

last update Last Updated: 2022-01-13 14:00:05

Menyamarkan keberadaan dengan kabut tidak semudah yang dibicarakan.

Sekarang aku mengerti mengapa Profesor Merla mengatakan semua ucapan itu sebelum kami berangkat: dia ingin membuatku siap karena Lavi pasti tidak akan mengatakan sepatah kata tentang rencana—meskipun aku juga agak yakin Profesor Merla mengatakan kebenaran tentang selubung putih dan lainnya. Profesor Merla benar-benar menakutkan. Maksudku, dia bisa menjadi bunglon, memihak siapa pun yang dia mau, demi memastikan aku benar-benar selamat. Aku tidak tahu lagi sudah berapa banyak yang dia lakukan hanya demi keberhasilan misi ini.

Dan aku bertanya-tanya, mengapa Akshaya memperlihatkan citra-citra itu? Semestinya dia tahu itu hanya membuatku bimbang.

Aku ingin memikirkan banyak hal, tetapi kuputuskan fokus pada misi.

Separuh perjalananku menuju titik biru, di tengah hutan belantara, akhirnya aku menemukan Reila. Dia duduk di ranting pohon tertinggi. Aku menunjukkan diri—sebelum sempa

Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Selubung Memori   74. VILA MONSTER #1

    Jesse berjarak sangat dekat dari vila yang mengeluarkan aura mencekam.Saat itu malam sudah menyelimuti sekitar. Selubung putih terasa samar di dekat kami. Jesse di dalam parit. Kalau aku tidak menyadari hawa keberadaannya, mungkin aku dan Reila sudah memutuskan menerobos masuk vila.Tempat beristirahat Jesse lumayan asyik. Cukup sempit. Dalam parit kecil itu kami bahkan tidak bisa meluruskan kaki. Hanya bisa berdiri, jongkok, dan duduk bersila. Kalau pun bisa berbaring, kami akan memenuhi parit.Dan itu yang terjadi.Jesse berdiri dalam parit. Kami tidak bisa masuk karena ada yang berbaring di sebelah Jesse. Tidak sadarkan diri, dan hawa keberadaannya kosong.Keadaan sekitar membuatku hanya bisa berbisik, “Siapa itu?”Reila juga tercengang. “Anak kecil?”Jesse memintaku membantunya membawa keluar mereka berdua. Dan Jesse berhasil membuatku tercengang sampai kehilangan kata-kata. Dia bersama gadis kecil berambu

    Last Updated : 2022-01-15
  • Selubung Memori   75. VILA MONSTER #2

    Gelembung terbuka. Aku melompat keluar, mengayunkan pedang. Monster itu tidak sempat bereaksi—melompat tepat ke ayunan pedang. Gerakannya masih melambat, membuatku bisa melihat ekspresi terkejutnya yang bagaikan kera.Cras!Darah menyembur. Monster itu terlempar bersama lusinan darah. Jeda itu membuat monster lain terhenti, memandangku. Sedetik, arah serangan mereka tiba-tiba berganti padaku. Jutaan kakek menyerangku. Baru kutinggal berkedip, mereka sudah di pundakku. Gigi runcingnya menggigitku.“AKH!” erangku.Aku menjentikkan jari.Angin kecil berputar, menerbangkan semua monster di dekatku. Debu-debu beterbangan, menguasai ruangan dengan bau lembap luar biasa. Momentum ini ada untukku. Aku bergerak cepat ke monster yang terlempar, mengayunkan pedang.Hujan darah baru. Aku bisa memberi cat baru di dinding.Monster-monster itu bergerak kelewat cepat. Satu hal yang berbahaya: aku makanan favoritnya. Tulang

    Last Updated : 2022-01-17
  • Selubung Memori   76. VILA MONSTER #3

    Aku seperti terombang-ambing. Mataku bisa melihat Reila.Namun, kesadaranku gagal kembali. Hanya bisa tergeletak lemah. Tepat di atasku, Reila memasang wajah serius sembari mengacungkan pedang. Sorot mata itu tidak bisa lagi dilawan—alisnya bertaut, dan ekspresinya penuh amarah.Kemudian telingaku mendengar suara khas: geraman Ebu Gogo. Mendadak angin berembus kencang. Sesuatu tertabrak keras. Potongan besi dan kayu beterbangan. Puing-puing bersebaran. Mata Reila agaknya bercahaya.Semestinya aku cepat sadar, tetapi—gagal.Tiba-tiba aku seperti melayang-layang di atas air.Sungguhan. Aku mengapung di atas samudra, dihempaskan ombak dengan tenang. Di atasku, langit dengan mentari hangat khas iklim tropis menguasai alam. Bagian atas tubuhku hangat, bagian bawah tubuhku dingin. Kepalaku terayun-ayun oleh aliran air. Aku tidak pernah merasa setenang ini.Baru saja aku mau bergumam, “Nikmatnya,” saat badai me

    Last Updated : 2022-01-19
  • Selubung Memori   77. VILA MONSTER #4

    Napasku habis. Rasanya melelahkan.Kami akhirnya berhenti setelah bertemu pintu besi baru. Sepertinya hampir sejauh lima ratus meter dari pintu besi pertama. Dindingnya hampir sama. Bedanya, tidak perlu kartu lagi. Menurut Jesse, hanya tinggal memencet tombol di sisi pintu. Lambang di tombol itu terlihat tidak asing, seperti radioaktif.Sepanjang lorong dilapisi besi campuran. Lantai, dinding, langit-langit—di sekeliling ini—semua besi campuran. Hawanya dingin, tetapi seluruh tubuh kami terbakar adrenalin. Keringat terus bercucuran.Aku ingat bagaimana misi selalu membuat dewan resah. Tiba-tiba aku rindu Layla, bagaimana dia memperingatiku untuk kembali di setiap misi. Aku tak pernah memikirkannya sehebat ini—tentang misi. Keseharian di Padang Anushka terkesan masuk akal. Itu merindukan. Setelah dua kali melewati perjalanan hidup dan mati, aku benar-benar tahu bahwa misi, pada dasarnya, memang pertaruhan nyawa.“Aku tidak kuat lagi

    Last Updated : 2022-01-21
  • Selubung Memori   78. VILA MONSTER #5

    Kesan pertamaku pada ruang bawah tanah itu: mengagumkan.Hal pertama yang menarik perhatianku: desain ruangan. Dikelilingi dinding tanah asli, dengan lantai berupa batuan yang dihaluskan. Lampu putih tergantung di segala arah, menyinari ruangan dengan cahaya menyilaukan. Ruangan itu seperti bengkel kerja arsitek. Peta besar terpampang di ujung ruangan, lemari, dan rak buku mengelilinginya. Dokumen berserakan di lantai, dan kupikirkan ciri khas mereka yang disebut ilmuwan—atau tim peneliti: ruang kerjanya rusuh.Dan begitu memasuki ruang utama, kesanku berubah.Tempat ini mengerikan.Di sisi kanan terdapat begitu banyak tabung laboratorium. Kupikir itu cuma cairan berisi potongan-potongan tertentu, tetapi Reila hampir muntah ketika melihat dari dekat—dan kusadari aku juga. Jujur saja, aku tidak berpikir itu bisa dilakukan, tetapi melihat cairan hijau berisi taring monster—atau cairan kuning berisi rambut monster—aku pasti gila. Itu

    Last Updated : 2022-01-23
  • Selubung Memori   79. VILA MONSTER #6

    Kubilang tim lain sedang di perjalanan. Setidaknya, delapan jam lagi.Dan Jesse menemukan berbagai macam informasi. Dia menemukan laptop berisikan banyak berkas penelitian. Kubilang aku tidak mau mengerti itu, dan tiba-tiba dia bilang, “Anak ini darah murni.”Dia meminta kami menghampirinya, melihat laptop. Di sana ada halaman tertentu yang punya foto Falesha beserta keterangan-keterangan khusus. Tertulis sangat jelas tentang darah murni.“Berarti—”“Peneliti ini darah murni juga,” tukas Jesse.“Aku benci gagasan itu,” kataku, jujur-jujur saja.Kuputuskan kembali melihat papan, sementara Jesse menelusuri area lain. Reila lebih tertarik mengikutiku. Jesse yang sudah dipenuhi rasa ingin tahu bukan salah satu yang ingin dia ikuti.Sebenarnya tidak ada informasi berarti lagi di papan, kecuali alur pemikiran si peneliti sinting ini. Jadi, yang kulakukan hanya melamun, memikirkan semua h

    Last Updated : 2022-01-25
  • Selubung Memori   80. VILA MONSTER #7

    Sebelum mendapat pesan dari tim Lavi, kami memutuskan istirahat. Reila bilang ingin tidur sebentar, lalu kubilang dia tidak akan bisa tidur di tempat seperti ini, lalu dia bilang, “Kalau di dekat kalian, aku bisa. Aku mau tidur sama Falesha.”Benar saja. Dia segera meringkuk, menggunakan jubahnya sebagai selimut pada dirinya dan Falesha, lalu mencoba memejamkan mata. Aku dan Jesse tidak tega melihatnya, jadi kami mencari sesuatu yang setidaknya layak dijadikan alas. Ini tempat tinggal peneliti, jadi setidaknya pasti menyimpan sesuatu—dan ketemu. Aku yang menemukannya, di lemari penyimpanan barang tak terpakai. Bahkan satu set: kasur lipat, bantal, selimut. Reila sampai tersenyum hanya untuk terlelap.“Cewek Genius,” komentar Jesse, melihat Reila dengan mudah tertidur.“Tidurlah,” kataku. “Biar aku yang jaga.”“Nah, tidak. Aku tidak biasa tidur di alam liar. Ini misi keenamku di alam liar. Dan aku

    Last Updated : 2022-01-27
  • Selubung Memori   81. VILA MONSTER #8

    Aku sedang mengobrak-abrik lemari penyimpanan barang tak terpakai. Di sana ada begitu banyak boneka rusak. Dan tidak cuma boneka kelinci. Ada boneka singa, gajah, kuda, ikan, sampai yang membuatku teringat pada Layla: beruang. Itu membuatku penuh peluh. Maksudku, semua sobekan di boneka ini rusuh, layaknya dihancurkan paksa. Dan yang kumaksud bukan oleh manusia.Saat itulah pintu besi terbuka.Posisiku cukup tersembunyi: di sudut ruangan, jalan masuknya hanya celah sempit. Dan aku baru mengeluarkan isi lemari, jadi satu-satunya jalan juga tertutup barang. Butuh ekstra hati-hati melangkah, terutama ketika pencahayaannya minim. Aku sudah mendengar suara Nadir. “Ini bawah tanah?”Aku sudah bisa dengar Jesse yang menuntut ke mana perginya aku.“Reila tidur?” kata suara Profesor Merla, tidak percaya.Sayangnya, Lavi tahu betul keberadaanku. Baru saja aku lolos dari barang-barang, Lavi sudah muncul di depanku, penuh keringat, dan

    Last Updated : 2022-01-29

Latest chapter

  • Selubung Memori   609. GUA TEBING #6

    [“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P

  • Selubung Memori   608. GUA TEBING #5

    Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga

  • Selubung Memori   607. GUA TEBING #4

    Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit

  • Selubung Memori   606. GUA TEBING #3

    Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny

  • Selubung Memori   605. GUA TEBING #2

    Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak

  • Selubung Memori   604. GUA TEBING #1

    Aku, Lavi, dan Leo baru menyantap sisa daging rusa ketika Reila terlelap di bahu Profesor Merla. Aku sudah menduga Reila kelelahan, tetapi tidak ada yang menduga dia sampai tidur. Leo akhirnya bersuara. “Tadi aku terus memastikan dia kelelahan atau tidak, dia bilang oke.”“Dua saudara ini memang suka memaksakan diri,” cetus Lavi.“Aku tidak pernah sampai seperti itu,” belaku.“Aku sudah memberinya empon-empon, seperitnya itu efek sampingnya.”“Aku baru tahu empon-empon punya efek samping,” balasku, lagi.“Untuk beberapa orang, sejujurnya memang punya efek samping,” Profesor Merla ikut membenarkan. “Reila cenderung gampang tidur setelah minum. Meski minuman itu khasiatnya mujarab, belum tentu semua orang cocok. Kalau kau bisa meminumnya tanpa efek samping, itu hal lebih darimu.”“Bagaimana rasanya saat pertama kali kau minum?” tanya Lavi.&l

  • Selubung Memori   603. UJUNG TALI #9

    Lavi memutuskan agar kami turun sebelum benar-benar tiba di air terjun.Sekitar jam enam kami menapak lagi di permukaan. Napas Reila mulai agak berat. Dia berusaha menyembunyikannya, tetapi sulit baginya untuk bersembunyi dariku dan Lavi. Aku ingat satu gagasan dan aku mengatakannya di depan semua orang. “Aku ingat sewaktu latihan di Pulau Pendiri, kau sebenarnya tidak terbiasa dengan terbang di udara dalam waktu lama. Ada batasnya.”“Oya?” sahut Lavi. “Reila, benar?” Kemudian Lavi kesal menatapku. “Dan kau baru ingat sekarang? Kenapa tidak sejak tadi?”“Biasanya dia oke,” kataku. “Aku baru ingat kami tidak pernah selama ini.”“Aku oke,” sela Reila, mengambil napas. “Aku oke. Sejauh ini aku oke.”“Orang yang menyebut oke tiga kali biasanya tidak oke,” kataku.“Aku sudah melatih ini,” protes Reila. “Aku bisa bertahan l

  • Selubung Memori   602. UJUNG TALI #8

    Lavi bisa sedikit memanipulasi kabut, jadi dia bisa membuat kabut di sekitar menghilang sekejap. Dia mengaburkan kabut di sekitar tangannya agar dia bisa lihat arlojinya. Saat itulah Lavi berkata padaku, “Sudah setengah jam.”Aku belum merasa lelah, tetapi aku turun. Reila juga ikut turun.Kami menapak di dahan besar yang cukup tinggi. Aku menghilangkan kabut di sekitar kami. Lavi turun dari punggungku, menawarkan minum ke semua orang. Reila juga turun dari punggung Leo, menerima air dari Lavi.Leo tidak banyak komentar, hanya berkata, “Aku tidak lelah sama sekali.”“Kau tidak banyak bergerak,” balasku. “Reila?”“Biasa saja. Lebih baik seperti ini. Bisa lebih cepat. Kakak bagaimana?”“Lavi terus membagi energi. Aku tidak terlalu lelah. Kita juga tidak bertemu apa-apa. Tidak ada yang kurasakan juga. Kita menghindari kemungkinan bertemu sesuatu yang bisa ditemukan saat jalan. La

  • Selubung Memori   601. UJUNG TALI #7

    Lavi memeriksa arah, titik koordinat, perkiraan waktu—hingga kapan kami harus istirahat. Formasi kami cukup oke. Aku jelas membawa Lavi di punggung—dan kupikir Reila hanya akan melayang di udara bersama Leo. Namun, Leo punya ide yang lebih oke lagi: dia menggendong Reila.Tentunya Reila menolak. Dia bisa bergerak sendiri dengan membuat dia dan Leo melayang. Dia bisa menggerakkan dua orang dengan cepat mengikutiku. Leo protes. Jauh lebih efisien bila dia meringankan bobot dua orang dalam satu orang. Semestinya Reila yang paling tahu itu bisa lebih mudah dilakukan atau tidak, tetapi Leo yakin itu lebih efektif dan efisien. Lavi dan aku mempertimbangkan itu. Pada akhirnya, tidak ada yang tahu itu bisa lebih oke atau tidak—karena ini pertama kali, jadi keputusan dikembalikan ke mereka berdua. Jadi, Leo mendebat Reila tentang waktu istirahat yang mungkin bisa lebih lama dan formasi yang bisa melebar jika tiga orang bergerak bersama. Dengan dirinya menggendong Rei

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status