Menyamarkan keberadaan dengan kabut tidak semudah yang dibicarakan.
Sekarang aku mengerti mengapa Profesor Merla mengatakan semua ucapan itu sebelum kami berangkat: dia ingin membuatku siap karena Lavi pasti tidak akan mengatakan sepatah kata tentang rencana—meskipun aku juga agak yakin Profesor Merla mengatakan kebenaran tentang selubung putih dan lainnya. Profesor Merla benar-benar menakutkan. Maksudku, dia bisa menjadi bunglon, memihak siapa pun yang dia mau, demi memastikan aku benar-benar selamat. Aku tidak tahu lagi sudah berapa banyak yang dia lakukan hanya demi keberhasilan misi ini.
Dan aku bertanya-tanya, mengapa Akshaya memperlihatkan citra-citra itu? Semestinya dia tahu itu hanya membuatku bimbang.
Aku ingin memikirkan banyak hal, tetapi kuputuskan fokus pada misi.
Separuh perjalananku menuju titik biru, di tengah hutan belantara, akhirnya aku menemukan Reila. Dia duduk di ranting pohon tertinggi. Aku menunjukkan diri—sebelum sempa
Jesse berjarak sangat dekat dari vila yang mengeluarkan aura mencekam.Saat itu malam sudah menyelimuti sekitar. Selubung putih terasa samar di dekat kami. Jesse di dalam parit. Kalau aku tidak menyadari hawa keberadaannya, mungkin aku dan Reila sudah memutuskan menerobos masuk vila.Tempat beristirahat Jesse lumayan asyik. Cukup sempit. Dalam parit kecil itu kami bahkan tidak bisa meluruskan kaki. Hanya bisa berdiri, jongkok, dan duduk bersila. Kalau pun bisa berbaring, kami akan memenuhi parit.Dan itu yang terjadi.Jesse berdiri dalam parit. Kami tidak bisa masuk karena ada yang berbaring di sebelah Jesse. Tidak sadarkan diri, dan hawa keberadaannya kosong.Keadaan sekitar membuatku hanya bisa berbisik, “Siapa itu?”Reila juga tercengang. “Anak kecil?”Jesse memintaku membantunya membawa keluar mereka berdua. Dan Jesse berhasil membuatku tercengang sampai kehilangan kata-kata. Dia bersama gadis kecil berambu
Gelembung terbuka. Aku melompat keluar, mengayunkan pedang. Monster itu tidak sempat bereaksi—melompat tepat ke ayunan pedang. Gerakannya masih melambat, membuatku bisa melihat ekspresi terkejutnya yang bagaikan kera.Cras!Darah menyembur. Monster itu terlempar bersama lusinan darah. Jeda itu membuat monster lain terhenti, memandangku. Sedetik, arah serangan mereka tiba-tiba berganti padaku. Jutaan kakek menyerangku. Baru kutinggal berkedip, mereka sudah di pundakku. Gigi runcingnya menggigitku.“AKH!” erangku.Aku menjentikkan jari.Angin kecil berputar, menerbangkan semua monster di dekatku. Debu-debu beterbangan, menguasai ruangan dengan bau lembap luar biasa. Momentum ini ada untukku. Aku bergerak cepat ke monster yang terlempar, mengayunkan pedang.Hujan darah baru. Aku bisa memberi cat baru di dinding.Monster-monster itu bergerak kelewat cepat. Satu hal yang berbahaya: aku makanan favoritnya. Tulang
Aku seperti terombang-ambing. Mataku bisa melihat Reila.Namun, kesadaranku gagal kembali. Hanya bisa tergeletak lemah. Tepat di atasku, Reila memasang wajah serius sembari mengacungkan pedang. Sorot mata itu tidak bisa lagi dilawan—alisnya bertaut, dan ekspresinya penuh amarah.Kemudian telingaku mendengar suara khas: geraman Ebu Gogo. Mendadak angin berembus kencang. Sesuatu tertabrak keras. Potongan besi dan kayu beterbangan. Puing-puing bersebaran. Mata Reila agaknya bercahaya.Semestinya aku cepat sadar, tetapi—gagal.Tiba-tiba aku seperti melayang-layang di atas air.Sungguhan. Aku mengapung di atas samudra, dihempaskan ombak dengan tenang. Di atasku, langit dengan mentari hangat khas iklim tropis menguasai alam. Bagian atas tubuhku hangat, bagian bawah tubuhku dingin. Kepalaku terayun-ayun oleh aliran air. Aku tidak pernah merasa setenang ini.Baru saja aku mau bergumam, “Nikmatnya,” saat badai me
Napasku habis. Rasanya melelahkan.Kami akhirnya berhenti setelah bertemu pintu besi baru. Sepertinya hampir sejauh lima ratus meter dari pintu besi pertama. Dindingnya hampir sama. Bedanya, tidak perlu kartu lagi. Menurut Jesse, hanya tinggal memencet tombol di sisi pintu. Lambang di tombol itu terlihat tidak asing, seperti radioaktif.Sepanjang lorong dilapisi besi campuran. Lantai, dinding, langit-langit—di sekeliling ini—semua besi campuran. Hawanya dingin, tetapi seluruh tubuh kami terbakar adrenalin. Keringat terus bercucuran.Aku ingat bagaimana misi selalu membuat dewan resah. Tiba-tiba aku rindu Layla, bagaimana dia memperingatiku untuk kembali di setiap misi. Aku tak pernah memikirkannya sehebat ini—tentang misi. Keseharian di Padang Anushka terkesan masuk akal. Itu merindukan. Setelah dua kali melewati perjalanan hidup dan mati, aku benar-benar tahu bahwa misi, pada dasarnya, memang pertaruhan nyawa.“Aku tidak kuat lagi
Kesan pertamaku pada ruang bawah tanah itu: mengagumkan.Hal pertama yang menarik perhatianku: desain ruangan. Dikelilingi dinding tanah asli, dengan lantai berupa batuan yang dihaluskan. Lampu putih tergantung di segala arah, menyinari ruangan dengan cahaya menyilaukan. Ruangan itu seperti bengkel kerja arsitek. Peta besar terpampang di ujung ruangan, lemari, dan rak buku mengelilinginya. Dokumen berserakan di lantai, dan kupikirkan ciri khas mereka yang disebut ilmuwan—atau tim peneliti: ruang kerjanya rusuh.Dan begitu memasuki ruang utama, kesanku berubah.Tempat ini mengerikan.Di sisi kanan terdapat begitu banyak tabung laboratorium. Kupikir itu cuma cairan berisi potongan-potongan tertentu, tetapi Reila hampir muntah ketika melihat dari dekat—dan kusadari aku juga. Jujur saja, aku tidak berpikir itu bisa dilakukan, tetapi melihat cairan hijau berisi taring monster—atau cairan kuning berisi rambut monster—aku pasti gila. Itu
Kubilang tim lain sedang di perjalanan. Setidaknya, delapan jam lagi.Dan Jesse menemukan berbagai macam informasi. Dia menemukan laptop berisikan banyak berkas penelitian. Kubilang aku tidak mau mengerti itu, dan tiba-tiba dia bilang, “Anak ini darah murni.”Dia meminta kami menghampirinya, melihat laptop. Di sana ada halaman tertentu yang punya foto Falesha beserta keterangan-keterangan khusus. Tertulis sangat jelas tentang darah murni.“Berarti—”“Peneliti ini darah murni juga,” tukas Jesse.“Aku benci gagasan itu,” kataku, jujur-jujur saja.Kuputuskan kembali melihat papan, sementara Jesse menelusuri area lain. Reila lebih tertarik mengikutiku. Jesse yang sudah dipenuhi rasa ingin tahu bukan salah satu yang ingin dia ikuti.Sebenarnya tidak ada informasi berarti lagi di papan, kecuali alur pemikiran si peneliti sinting ini. Jadi, yang kulakukan hanya melamun, memikirkan semua h
Sebelum mendapat pesan dari tim Lavi, kami memutuskan istirahat. Reila bilang ingin tidur sebentar, lalu kubilang dia tidak akan bisa tidur di tempat seperti ini, lalu dia bilang, “Kalau di dekat kalian, aku bisa. Aku mau tidur sama Falesha.”Benar saja. Dia segera meringkuk, menggunakan jubahnya sebagai selimut pada dirinya dan Falesha, lalu mencoba memejamkan mata. Aku dan Jesse tidak tega melihatnya, jadi kami mencari sesuatu yang setidaknya layak dijadikan alas. Ini tempat tinggal peneliti, jadi setidaknya pasti menyimpan sesuatu—dan ketemu. Aku yang menemukannya, di lemari penyimpanan barang tak terpakai. Bahkan satu set: kasur lipat, bantal, selimut. Reila sampai tersenyum hanya untuk terlelap.“Cewek Genius,” komentar Jesse, melihat Reila dengan mudah tertidur.“Tidurlah,” kataku. “Biar aku yang jaga.”“Nah, tidak. Aku tidak biasa tidur di alam liar. Ini misi keenamku di alam liar. Dan aku
Aku sedang mengobrak-abrik lemari penyimpanan barang tak terpakai. Di sana ada begitu banyak boneka rusak. Dan tidak cuma boneka kelinci. Ada boneka singa, gajah, kuda, ikan, sampai yang membuatku teringat pada Layla: beruang. Itu membuatku penuh peluh. Maksudku, semua sobekan di boneka ini rusuh, layaknya dihancurkan paksa. Dan yang kumaksud bukan oleh manusia.Saat itulah pintu besi terbuka.Posisiku cukup tersembunyi: di sudut ruangan, jalan masuknya hanya celah sempit. Dan aku baru mengeluarkan isi lemari, jadi satu-satunya jalan juga tertutup barang. Butuh ekstra hati-hati melangkah, terutama ketika pencahayaannya minim. Aku sudah mendengar suara Nadir. “Ini bawah tanah?”Aku sudah bisa dengar Jesse yang menuntut ke mana perginya aku.“Reila tidur?” kata suara Profesor Merla, tidak percaya.Sayangnya, Lavi tahu betul keberadaanku. Baru saja aku lolos dari barang-barang, Lavi sudah muncul di depanku, penuh keringat, dan