Tiga puluh menit berjalan di alam liar—kabar baiknya: tak ada musuh yang terlihat. Kabar buruknya: aku hampir terperosok dari tebing curam.
“Sekarang aku mengerti kenapa kau bisa hilang,” kata Lavi.
“Ayolah, aku cuma melamun sedikit.”
“Jangan hilang fokus, idiot,” dia membantuku bangkit. “Jangan biarkan isi kepalamu kosong. Itu yang terjadi.”
Alam liar yang ini agak berbeda dengan alam liar saat misi pertamaku. Dan sejujurnya alam liar ini lebih bersahabat. Kami sudah di pekarangan gundul, yang Lavi bilang, “Bekas sawah.” Jadi, kami bisa melewati bagian tengahnya, tetapi saat aku penasaran dengan apa yang kelihatan dari ujung batas pekarangan, aku terkejut melihat tebing, dan terperosok. Lavi menjerit, sementara aku menemukan pegangan di ranting pohon tua. Tentu Lavi emosi setelah kami berhasil berjalan.
“Lihat kabut—sedikit saja—katakan. Lihat bangunan aneh, kataka
Kabar baiknya: kami tidak diserang musuh, berhasil menemukan sumber air jernih, dan tanda-tanda kehidupan telah kembali: pepohonan lebat. Kabar buruknya: langit sudah gelap, jadi kami perlu beristirahat setelah berjam-jam berjalan. Aku baru mau mencari tempat mendirikan tenda saat Lavi berkata, “Aku janji mengizinkanmu makan banyak, tapi bisakah kau membuat cekungan tanah? Cekungan yang muat untuk tempat istirahat?” “Tidak pakai tenda?” “Aku punya ide. Bisa, tidak?” Aku berpikir sejenak, melihat struktur tanah. Tampaknya sulit, bahkan bisa berpengaruh ke pohon sekitar. Namun, agaknya ada yang aneh. Aliran air turun di sekitar kami, mengalir cukup deras. Suaranya teredam, tetapi aku bisa mendengar sedikit. Jadi, aku pergi menyusuri semak, dan Lavi mengomel. “Jangan keluyuran.” Dugaanku benar. “Aku bisa buat gua,” kataku. “Oh, wow,” kata Lavi, melihat apa yang kulihat. “Boleh. Lakukan.” Jadi, aku melakukannya. Di dekat aliran air
Ucapan itu terbantah dengan cepat.Aku bermimpi di pekarangan vila yang sama, berdiri bersama empat orang berjubah hitam dengan aura pekat penuh nuansa membunuh. Vila itu kini tidak lagi seperti yang kulihat terakhir kali—masih ada sulur merambat di dinding vila, tetapi pekarangannya... itu hal paling mengerikan yang ingin kulihat.Suasananya kelewat gelap. Malam semakin malam, tetapi obor berkobar di sepanjang mata memandang. Pekarangan tidak lagi dipenuhi rerumputan liar, tetapi pasukan cebol tak terhitung bersuara layaknya menggeram kuat. Benakku tertekan. Jantungku berdegup kencang, dan—mendadak waktu melambat. Saat aku menatap sesuatu di dekatku, sesuatu—manusia ... kurasa, tetapi pendek, hanya satu meter. Wujudnya seperti kakek tua yang punya gigi taring runcing seperti iblis, badannya berbulu, sekilas wajahnya seperti manusia, tetapi juga seperti kera. Kami bertautan lurus, dan tiba-tiba napasku tertahan. Kupikir ini hanya mimpi, tetapi s
Aku sudah membanting Lavi, mengarahkan pedang ke lehernya.Dia hampir menuntut, tetapi matanya tercengang melihat air mataku keluar. Bibirku mengatup kuat, sampai aku berniat menggigit lidahku sendiri, dan betapa sesaknya benakku ini, rasanya semakin menjadi-jadi ketika aku harus mengarahkan ujung pedangku ke leher orang yang paling kuinginkan di sisiku.“Kau pengkhianat,” geramku.“Apa maksudmu?” tuntutnya. “Kau bicara apa?”“Tutup mulutmu! Kau bohong! Semua orang selalu bisa menyembunyikan banyak hal dariku. Tapi aku istimewa. Aku tahu aku istimewa.”“Forlan—”“Kau menipuku! Selalu dan selalu! Kapan kau bisa berhenti?!”Sedikit saja—sedikit saja aku menggesek pedang ini, leher Lavi pasti putus. Aku bisa bayangkan bagaimana dia tidak akan membocorkan informasi kami lagi. Dan barangkali raut wajah pura-pura polos itu akan berhenti. Sebentar lagi dia pa
Lavi mendesis. “Jesse, cuma ini satu-satunya cara.”Jesse dongkol. “Aku mungkin bukan pendukung Bocah Alam, tapi cara ini menyakitinya. Dan kau tahu apa kemungkinan terburuknya? Dia terbunuh sebelum kau sempat membunuhnya—kau tahu semua itu terlalu berisiko?”Mereka hampir berdebat, persis seperti yang biasa kulihat. Namun, adanya Profesor Merla berhasil membuat mereka berhenti. Sepertinya Profesor Merla baru datang karena meminta, “Ulang dari awal. Buat aku mengerti dengan cepat.”“Cewek ini punya rencana,” kata Jesse. “Seribu kali lebih bahaya.”“Musuh pasti mengincarku,” cetus Lavi. “Aku diincar Erick. Hampir setiap misi. Aku tidak pernah membicarakan ini, tapi, Prof—bahkan untuk sekali saja dia tidak pernah mencoba membunuhku. Dia mencoba membawaku pergi. Dia selalu tahu posisiku, tidak pernah berhenti mencoba merekrut.”Profesor Merla berkedip. &ldq
Menyamarkan keberadaan dengan kabut tidak semudah yang dibicarakan.Sekarang aku mengerti mengapa Profesor Merla mengatakan semua ucapan itu sebelum kami berangkat: dia ingin membuatku siap karena Lavi pasti tidak akan mengatakan sepatah kata tentang rencana—meskipun aku juga agak yakin Profesor Merla mengatakan kebenaran tentang selubung putih dan lainnya. Profesor Merla benar-benar menakutkan. Maksudku, dia bisa menjadi bunglon, memihak siapa pun yang dia mau, demi memastikan aku benar-benar selamat. Aku tidak tahu lagi sudah berapa banyak yang dia lakukan hanya demi keberhasilan misi ini.Dan aku bertanya-tanya, mengapa Akshaya memperlihatkan citra-citra itu? Semestinya dia tahu itu hanya membuatku bimbang.Aku ingin memikirkan banyak hal, tetapi kuputuskan fokus pada misi.Separuh perjalananku menuju titik biru, di tengah hutan belantara, akhirnya aku menemukan Reila. Dia duduk di ranting pohon tertinggi. Aku menunjukkan diri—sebelum sempa
Jesse berjarak sangat dekat dari vila yang mengeluarkan aura mencekam.Saat itu malam sudah menyelimuti sekitar. Selubung putih terasa samar di dekat kami. Jesse di dalam parit. Kalau aku tidak menyadari hawa keberadaannya, mungkin aku dan Reila sudah memutuskan menerobos masuk vila.Tempat beristirahat Jesse lumayan asyik. Cukup sempit. Dalam parit kecil itu kami bahkan tidak bisa meluruskan kaki. Hanya bisa berdiri, jongkok, dan duduk bersila. Kalau pun bisa berbaring, kami akan memenuhi parit.Dan itu yang terjadi.Jesse berdiri dalam parit. Kami tidak bisa masuk karena ada yang berbaring di sebelah Jesse. Tidak sadarkan diri, dan hawa keberadaannya kosong.Keadaan sekitar membuatku hanya bisa berbisik, “Siapa itu?”Reila juga tercengang. “Anak kecil?”Jesse memintaku membantunya membawa keluar mereka berdua. Dan Jesse berhasil membuatku tercengang sampai kehilangan kata-kata. Dia bersama gadis kecil berambu
Gelembung terbuka. Aku melompat keluar, mengayunkan pedang. Monster itu tidak sempat bereaksi—melompat tepat ke ayunan pedang. Gerakannya masih melambat, membuatku bisa melihat ekspresi terkejutnya yang bagaikan kera.Cras!Darah menyembur. Monster itu terlempar bersama lusinan darah. Jeda itu membuat monster lain terhenti, memandangku. Sedetik, arah serangan mereka tiba-tiba berganti padaku. Jutaan kakek menyerangku. Baru kutinggal berkedip, mereka sudah di pundakku. Gigi runcingnya menggigitku.“AKH!” erangku.Aku menjentikkan jari.Angin kecil berputar, menerbangkan semua monster di dekatku. Debu-debu beterbangan, menguasai ruangan dengan bau lembap luar biasa. Momentum ini ada untukku. Aku bergerak cepat ke monster yang terlempar, mengayunkan pedang.Hujan darah baru. Aku bisa memberi cat baru di dinding.Monster-monster itu bergerak kelewat cepat. Satu hal yang berbahaya: aku makanan favoritnya. Tulang
Aku seperti terombang-ambing. Mataku bisa melihat Reila.Namun, kesadaranku gagal kembali. Hanya bisa tergeletak lemah. Tepat di atasku, Reila memasang wajah serius sembari mengacungkan pedang. Sorot mata itu tidak bisa lagi dilawan—alisnya bertaut, dan ekspresinya penuh amarah.Kemudian telingaku mendengar suara khas: geraman Ebu Gogo. Mendadak angin berembus kencang. Sesuatu tertabrak keras. Potongan besi dan kayu beterbangan. Puing-puing bersebaran. Mata Reila agaknya bercahaya.Semestinya aku cepat sadar, tetapi—gagal.Tiba-tiba aku seperti melayang-layang di atas air.Sungguhan. Aku mengapung di atas samudra, dihempaskan ombak dengan tenang. Di atasku, langit dengan mentari hangat khas iklim tropis menguasai alam. Bagian atas tubuhku hangat, bagian bawah tubuhku dingin. Kepalaku terayun-ayun oleh aliran air. Aku tidak pernah merasa setenang ini.Baru saja aku mau bergumam, “Nikmatnya,” saat badai me
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t
Aku pergi ke makam Ibu karena di sanalah satu-satunya bagian Ibu tersisa. Reila tidak ingin ikut. Dia ingin menjemput Fal. “Makam membuatku merasa aneh. Rasanya Ibu benar-benar sudah meninggal,” katanya.“Jangan melakukan hal tidak perlu saat aku tidak ada,” kataku.“Selama ini kita juga sering terpisah,” erangnya, “jangan cemas berlebih.”Jadi, aku tetap bergerak. Lavi tidak membiarkanku sendiri. Dia tidak bilang apa alasannya tetap menempel, tetapi kubilang padanya, “Aku tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu kau cemaskan. Percayalah padaku. Kau boleh meninggalkanku.”“Jangan salah,” balasnya. “Berhenti berpikiran buruk. Sebelum tahu kabar ini pun, aku sudah bersamamu sepanjang waktu. Ini hal normal. Kalau kau berpikir ini bukan hal normal dan kau pikir aku bersamamu karena mencemaskanmu, berarti memang ada hal yang kau tidak ingin aku tahu.”Logika berpikirnya kadan