Semua Bab Bukan Semata Fisik: Bab 1 - Bab 10

67 Bab

Prolog

Bisakah kita meminta terlahir sempurna? Menjadi primadona dunia fana ini, apakah layak? Seorang manusia berlumur dosa namun berkeinginan sempurna, kurang ajar kah?   Bunga mulai bermekaran, menyerbak harum wangi khas. Bersamaan dengan matahari yang menunjukan dirinya secara malu-malu, warna hangat menyebar perlahan menembus celah jendela para penduduk bumi. Sedikit demi sedikit terdengar aktifitas para mahluk bumi untuk memulai hari.   Aroma kopi sangat kental dipagi hari terutama disalah satu kedai Kopi, ya Kedai Kopi yang cukup tersohor di kota tersebut, meskipun hanya sebuah Kedai sederhana. Namun, cita rasa yang disajikan begitu kuat dan kental, apalagi dengan bangunannya yang masih terlihat klasik. Sungguh sempurna rasanya memulai aktifitas dengan secangkir kopi dan sehelai roti gandum menurut beberapa pikiran manusia dewasa yang beranjak paksa.   Pintu kedai terbuka dengan otomatis suara dentingan lonceng terdengar
Baca selengkapnya

Chapter 1 Permulaan Hari

Langkah pertama yang dibuat sesaat memasuki lingkup yang berbau ketajaman pendidikan itu sekejap terasa berbeda dengan suasana yang mulai tak enak bahkan sangat asing, telinga yang mendengar bisingan para bibir tajam dan sorot mata yang melihat dari pangkal rambut hingga ujung kaki seaakan ingin berpaling pada tempat itu.   Tiap hentak langkah dipercepat, menghiraukan kicau bibir pedas dan berusaha sekuat tenaga untuk bersifat tidak peduli, tangannya masih merangkul kuat beberapa buku yang dia bawa mungkin dua sampai tiga buku yang cukup tebal.    “Ayo ... Linara kamu bisa! Sebentar lagi sampai,” gertaknya dalam hati lembut Linara untuk memperkuat benteng mental dari segala ucapan yang mungkin tak enak rasa untuk didengar.   Bagaimana tidak menjadi sorot perhatian seorang gadis dengan perawakan tubuh mungil yang bertinggi badan 163 cm saja dan berbobot sekitar 52kg. Dengan pakaian cukup tertutup dari atas hingga baw
Baca selengkapnya

Chapter 2 Secangkir Americano

“Masuk jam berapa hari ini, Linara?” tanya Aathif pada Linara yang anteng dengan beberapa gelas yang dia bersihkan dengan secempal kain bersih, Linara menyahut dengan nuansa malas ditambah nada yang tidak bersemangat, seakan dia tidak ingin ditanya soal perkuliahannya.   “Jam sepuluh pagi, Kek.” Ya begitulah sahutnya yang dipastikan terdengar sangat membosankan, sang Kakek Aathif hanya bisa merasakan tanpa melibatkan perbincangan kembali, dia tahu betul kondisi hati Linara yang kurang baik.Linara memandangan pandangan kedai dipagi hari, terasa damai dan sangat rapih. Namun, sesaat batinnya bertanya kemanakah Rahyan? Bukannya dia adalah Waiters kedai yang harus selalu hadir tepat waktu, apakah dia kesiangan lagi? Pikir Linara akan memberi peringatan apabila dia yang menjadi pemilik Kedai ini.   Suara dentingan lonceng khas dari kedai terdengar jelas, seseorang masuk kedalam kedai. Linara pikir itu adalah Rayhan. Tapi, sayang sekali pikir
Baca selengkapnya

Chapter 3 Masih dalam Ukiran Kisah

“Paman Aathif, ada yang ingin Rayhan tanyakan, boleh?” secuil pertanyaan Rayhan yang sedari tadi ingin ia tanyakan, baru sempat diwaktu sekarang. Karena, keadaan kedai sangatlah ramai, membuat Rayhan menunda pertanyaannya itu hingga masa lenggang hadir.   “Tentu boleh, apa yang kau ingin tanyakan?” balasnya Aathif dengan tangan yang sedang asik memijat pundaknya yang terasa pegal itu, membuat Rayhan merasa ingin membantu memijat pria tua tersebut.    “Sambil Rayhan bertanya, bagaimana kalau Rayhan bantu Paman untuk memijatmu. Sepertinya anda terlihat sangat lelah.”   “Ah ... Ide yang sangat bagus!” wajahnya terlihat sumringah mendapati bantuan dari anak buahnya itu, bagaimana tidak lelah dengan kunjungan pelanggan yang cukup ramai hari ini, tidak seperti biasanya. Perlahan Rayhan mulai memijit pangkal pundak Aathif, terasa nyaman dan sedikit meringankan pegalnya Aathif, dia sangat menikmatinya.  
Baca selengkapnya

Chapter 4 Patah

“Hei, gadis bodoh!” suara yang terdengar lantang dari sisi belakang , Linara tidak memperdulikannya, dia beranggapan mungkin seseorang itu sedang menyahut orang lain.  “Hei, apa kau tuli?” teriaknya kembali semakin terasa dekat. Linara menambah kecepatan dia berjalan, dia tidak mau berhadapan dengan orang aneh lagi.Cepat Linara!Semakin Linara mempercepat langkahnya, semakin terdengar jelas sahutan itu. Seakan dia mengikuti Linara, ada apa dengan manusia ini? Apa yang dia mau dari seorang Linara?  “Aku bilang tunggu!” dari arah belakang dia menarik Linara, membuat langkah Linara berhenti. Tertahan dengan tangannya yang mengepal blazer Linara. Mau tidak mau Linara menoleh kearah sahutannya itu. Linara memperhatikan orang tersebut, rasanya dia orang asing. Tidak ada kata sepatahpun yang keluar dari Linara saat bertemu dengan orang asing baginya, Linara hanya menatap aneh padanya.
Baca selengkapnya

Chapter 5 Sedikit terobati

Pintu Kedai terbuka, seperti biasa dentingan selalu terdengar, yang pastinya Rayhan menyambut dengan kalimat Selamat datang! Akan tetapi, bukanlah pelanggan yang datang, melainkan Linara yang dibopong di punggung seorang pria asing. Tentu membuat Kakek Aathif dan Rayhan terkejut. Terutama sang Kakek, dia sedikit berlari melihat Linara dalam keadaan payah itu. Wajah Aathif terlukis begitu cemas, mata yang membulat sempurna dan tangan yang sedikit bergetar. Pasti hal utama yang ditanya seorang Kakek itu perihal kondisi Cucunya.  Perlahan Kaivan menaruh Linara untuk duduk disalah satu sofa yang telah diarahkan Rayhan, guna untuk Linara duduk ditempat yang nyaman. Lalu Kakek Aathif duduk disebelah Linara, mengusap genangan air mata yang tersisa diwajah manis Linara. Tak lupa Aathif menyuruh Rayhan untuk memberinya segelas air hangat untuk menenangkan Linara. “Kamu kenapa Cucuku, Linara?” Hal yang berulang Aa
Baca selengkapnya

Chapter 6 Sebuah Rasa

“Ah sial! Aku ingin segera besok, rasanya waktu berputar lama sekali!” Itulah gerutu Avraam saat melihat jam dinding di kamarnya yang berputar terlalu lama baginya, seaakan Avraam ingin memutarnya lebih cepat.  Sepasang mata Avraam enggan untuk tertutup, rasanya terlalu bersemangat dalam pikirnya. Dengusan kesal selalu berkicau dalam hati Avraam. Seketika dia bangkit dan beralih tempat menuju dapur, melangkah dekat menuju lemari pendingan. Tangannya mengambil sekotak susu siap saji yang bervarian rasa mangga.Meneguk sedikit demi sedikit, tak terasa Avraam menghabiskannya begitu cepat. Sesaat memandangi nuansa malam didapurnya, terasa begitu sepi dan dingin yang menusuk. Bukan dingin udara namun kesan kehidupan yang seakan mati termakan waktu gelap. Bagaimana tidak terlihat sunyi, rumah yang begitu besar yang dilengkapi furniture minimalis terkesan elok dipandang. Namun sayang, jarang sekali terdengar tawa disana sete
Baca selengkapnya

Chapter 7 Mengukir Hari Indah

Suara perut keroncongan terdengar jelas disaat pejalanan menuju kampus, membuat suasana hening seketika. Linara menoleh kearah temannya Kayu, siapa lagi selain Kaivan dengan panggilan istimewanya Kayu. Membuat Linara sedikit menahan tawa. “Kamu lapar, Kayu?” tanya Linara membuat Kaivan tersipu malu dan menggaruk kepalanya yang tak teras gatal itu, Kaivan hanya mengangguk pelan, membenarkan apa yang Linara ucapkan. Linara segera merogoh isi tas bekal yang telah Kakek siapkan sebelum Linara berangkat, beruntung ada sepotong Sandwich telur yang begitu nikmat. Linara segera memberinya kepada Kaivan, yang jelas Kaivan menerimanya tanpa sungkan. “Terima kasih! Kenapa engga dari tadi sih..,” candanya Kaivan dengan tangan yang segera merampas Sandwich Telur dari Linara. Linara hanya tertawa kecil melihat gelagat Kaivan, diberi hati minta jantung mungkin itulah ist
Baca selengkapnya

Chapter 8 Festival

Sepertinya ada yang salah persepsi, Rayhan yang berpenampilan rapih dan wangi mendadak ciut saat Kaivan yang tidak diharapkannya hadir. Ekspektasi yang jauh dari realita, mungkin itu yang Rayhan rasakan sekarang. Apalagi saat Kaivan lebih dekat dengan Linara, dirinya merasa jadi kambing conge berada diantara mereka. Muka Rayhan yang berubah kecut dengan tatapan datarnya masih menatap Linara yang berbincang sembari bersenda gurau dengan Kaivan saat masih didepan Kedai Kopi, mereka masih menunggu Kakek Aathif untuk berpamitan. “Kalau gini jadinya gue engga akan ikut, sayangkan waktu istirahat gue! Shit!” gerutu Rayhan dengan menggigit bibir bawahnya.  Tak selang lama Aathif muncul, Linara mulai berpamitan. Aathif memberikan kepercayaan penuh pada Kaivan dan Rayhan untuk menjaga Linara. Semoga Cucunya itu terus mengurai bahagia, harap Aathif saat Linara, Kaivan, dan Rayhan mulai perlahan meninggalkannya.
Baca selengkapnya

Chapter 9 Masih ada Badai

Masih berada di suasana Festival, Kaivan yang berlalu begitu saja meninggalkan Linara dan Rayhan dalam lingkup canggung saat mendapati scene yang cukup tidak terpikirkan, bagaimana tidak tertuai rona merah saat sikap Rayhan yang sedikit pemalu itu mendadak berubah siasat dalam sekejap. Linara masih tertunduk malu sedangkan Rayhan memalingkan wajahnya berupaya menyembunyikan merah jambu pipinya. Rasanya Linara geram, ingin sekali mencabik Kaivan yang menyebalkan itu. Dalam situasi kaya gini dia malah kabur saat sepasang Mata genitnya melirik dua wanita cantik yang berbadan sintal, siapa lagi selain Kakak Tingkat dikampus yang memberinya Tiket gratis ke Festival ini.  Seketika ponsel Linara berdering, mendapati notif panggilan masuk dari Kakek Aathif, segera Linara mengangkat panggilan tersebut, batin Linara berpikir bahwa Kakek pasti mengkhawatirkannya. Betul saja, Aathif menelpon Linara untuk segera pulang karna waktu akan semakin larut
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status