Home / Romansa / Sketsa Cinta Arina / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Sketsa Cinta Arina: Chapter 21 - Chapter 30

80 Chapters

21. Aku Mencintai Pria Ini

[Arina POV]   "Pak Painooo..., minta air putiiiih..., dua gelaaaas...."     Pak Paino terkekeh melihat gayaku yang bernyanyi hanya untuk meminta air putih, seperti orang yang bermain opera saja.   "Wah, tadi bernyanyi 'ingin marah', lalu minta air putihnya juga dengan gaya bernyanyi. Non Arin mestinya jadi pemain sandiwara radio saja."   "Waduh, Pak. Masih ada ya sandiwara radio? Nggak ada yang dengerin nanti," sanggahku menanggapi usul Pak Paino yang sudah tidak sesuai zaman.   Dengan penuh kebanggaan dia menyambung usulannya tadi, "Nanti saya yang dengerin, Non. Istri saya juga. Teman-teman di kantor juga."   Aku menanggapi dengan cibiran, bercanda tentunya, "Kalaupun orang kantor pada dengerin, jumlahnya nggak lebih dari sepuluh orang. Stasiun radionya nggak ada yang mau, Pak. Sudah bukan zamannya lagi."   Sembari mengambi
Read more

22. Drama Korea

[Arina POV] "Santi..., sendirian aja nih?" Kudekati sahabat sekaligus teman kerjaku itu yang sedang sibuk dengan perangkat elektronik di hadapannya. "Enggak, bersama bayang-bayang masa lalu." Gadis itu menjawab dengan gaya dramatis. "Idih, yang nggak mau move-on," cibirku menggoda. "Pantesan nggak jadian juga sama si abang." Dia langsung manyun. "Diam kau, Squidward, atau ku tutup mulutmu pakai kartu kredit," ancam Santi dengan wajah sesinis kasir restoran bawah laut itu. Rupanya bila dia mau, Santi bisa lebih mirip si tokoh kartun itu ketimbang aku. "Uang tunai saja, Ratu. Kartu kredit berat cicilannya," selorohku menanggapi ancamannya yang tidak menakutkan. Santi memajukan bibir bawahnya. Akhirnya ia tersenyum juga. "Yang lain ke luar semua, ya? Mbak Resepsionis juga?" aku bertanya lagi. "Iya, urusan masing-masing. Kamu sudah selesai urusan ke penerbit, Rin?" sahut Santi tanpa melepaskan pandangan dari komputernya. "Sudah beres dong! Sekarang Arina tinggal santai," jawabku
Read more

23. "Double Date"

[Arina POV]   "Wah...." Santi terpukau ketika melihat wujud kafe Magnolia, seperti aku ketika pertama datang ke sini.   Akhirnya aku bisa datang ke sini lagi, sekaligus mengajak sahabatku ke tempat asyik nan romantis ini. Kesampaian juga kami pergi dengan pacar kami, eh bukan ding, gebetan. Jadi ketahuan nih kalau ngarep.   Kami berempat datang berboncengan. Awalnya aku mau kami berangkat sendiri-sendiri saja, jadi nanti bisa langsung pulang ke rumah masing-masing. Tapi pria-pria kami keberatan, lebih baik kami berboncengan saja berdua-dua.   Oke lah. Aku bilang aku mau berboncengan dengan Santi, tapi gebetan Santi langsung bilang kalau dia tidak setuju. Malu katanya, masa dua pria gagah membiarkan dua wanita cantik pergi sendirian, eh pergi berdua? Cowok harus boncengin cewek, bukan cewek boncengin cewek, apalagi cewek boncengin cowok, nggak boleh!   Begitulah gaya bicara Pak Pr
Read more

24. Pengakuan Mas Iwan

[Andre POV]   Akhir-akhir ini kantor desain grafis kami mulai berubah menjadi kantor tabloid gosip. Anggota klub Lambe Turah mulai bermunculan. Mereka ribut membicarakan aku dan Arin, serta Bang Ucok dan Santi. Dalam hal ini Arin ternyata ikut-ikutan, tentu saja dia bukan membicarakan dirinya sendiri. Anti! Yang ada kalau ditanya soal hubungan dia denganku, dia akan ambil langkah seribu. Begitulah Arin, tukang melarikan diri.   Coba bayangkan bagaimana lambe-lambe turah bermunculan. Dari 3 karyawan dan 3 karyawati lajang sudah terbentuk 2 calon pasangan. Jangan-jangan kantor kami ini biro jodoh terselubung? Belum resmi, tapi sudah ada acara 'jodoh-jodohan'. "Ciee, Arin dan Andre," atau "Wah, Ucok dan Santi, nggak nyangka deh," atau "Kapan jadian?" semacam itulah. Sedangkan 1 pasangan tersisa yang tidak masuk kategori berjodoh, jadi ikut dijodoh-jodohkan. Bikin keki nggak sih? Pertanyaan, "Kalian nggak mau jadian juga? Biar kantor kita couple
Read more

25. Andre Di Sini Untukmu

[Arina POV]   "No, thanks." Kata-kata itu diucapkan Cici dengan begitu sinis, hingga membuatku terperangah.   Hari ini kami ingin makan siang di kantor saja, karena masih banyak desain yang harus dikerjakan. Aku menawarkan ide untuk beli makanan pesan antar, dan sebagian besar sudah setuju. Jadi aku berniat menawari Cici juga kalau dia mau ikutan.   Aku mendatangi dia yang baru kembali dari toilet, bertanya apa dia mau join. Tapi tawaran baikku hanya ditanggapi dengan dingin.   Aku pun kembali ke mejaku dengan perasaan sedikit terluka. Santi yang memperhatikan kami menyuruhku duduk lalu mengusap-usap lenganku. "Sudah, biar aku saja yang pesankan," ujarnya mengambil ponsel di tanganku.   Aku menghela napas lalu menghembuskannya dengan begitu keras. Sudahlah, mari kembali bekerja.   Beberapa menit kemudian Bu Bos masuk ke ruangan kami. Aku sempat melihat dia te
Read more

26. If You're Not The One

[Arina POV]   Draft untuk desainku sudah kelar. Nanti tinggal dipercantik, dan siap dicetak.   Si Fotografer Jahil sibuk di depan komputer Bu Jasmine. Seperti janjinya tadi dia mengerjakan pekerjaan yang tidak bisa aku lakukan, membuat website dan memasang aplikasi untuk jualan online.    Dia memang selalu bisa diandalkan untuk urusan pekerjaan, cekatan sekali, pegawai serba bisa. Entah apa yang tidak bisa dia lakukan... eh, katanya tak bisa melupakanku? Gombal, ah.   "Mbak Arin, kenapa senyum-senyum sambil ngelihatin Mas Andre?" tanya Bu Jasmine tiba-tiba.    "Nggak apa-apa, Bu. Cuma ngelihatin, takut kalau ada yang salah. Ternyata Mas Andre sudah jago, nggak perlu dibantuin," elakku sambil meringis malu. Mati gue!   Andre tersenyum mencemooh tanpa memalingkan muka dari komputer. Tampaknya dia sedang berkonsentrasi penuh, mungkin ingin pekerjaannya
Read more

27. Kue Cucur, Hatiku Hancur

[Arina POV]   "I love you, Arin, so much. Maukah kau jadi kekasihku?"   Oh, no! Eh, bukan, maksudku oh, yes! Yes, Andre, yes! Tapi mulutku masih tidak sanggup bicara, tenggorokanku tercekat. Ini terlalu manis, Andre. Aku sama sekali tidak menyangka kamu akan mengatakannya hari ini.   Aku bisa merasakan kamu memang mencintaiku, tapi karena kamu sering bersikap seenaknya, maju mundur ganteng, terkadang aku jadi ragu. Aku merasa aku menunggu terlalu lama. Tapi hari ini semua keraguan itu sirna sudah. Penantianku berakhir.   Andre mendekatiku dan berjongkok. "Jangan nangis dong, sayang," ucap Andre seraya mengusap air mata yang menggenangi pipiku. Aku tersenyum bahagia namun air mata masih belum berhenti mengalir.   Salah seorang pegawai kafe mendekat dan menyerahkan satu ranting yang telah ditumbuhi bunga-bunga berwarna putih bersemburat merah muda, mirip sakura. Gokil nih orang!
Read more

28. Hari-hari Tanpamu

[Arina POV]   Sudah jam 10 pagi, tapi aku masih belum melihat kehadirannya di kantor hari ini. Belum ada kabar darinya sejak kami berpisah di kafe sore itu. Bahkan chat dari Ibu yang menanyakan kabarnya, hanya dibalas dengan kalimat 'Saya sedang sibuk'.   Menyebalkan sekali orang ini, namun tetap saja aku merasa ada yang hilang saat dia tidak ada. Ada rindu yang menyesakkan kalbu. Sesekali aku melirik ke pintu, barang kali dia ada pekerjaan di luar terlebih dahulu, jadi terlambat masuk kantor.   "Arin, kamu kenapa?" tanya Santi yang tampaknya memperhatikan diriku yang gelisah sejak tadi. Aku hanya meringis dan menggelengkan kepala.   "Astaga, Arin! Kamu tidak tahu ya?" tanya Santi lagi.    "Tahu apa, San?" aku bertanya balik.    Santi mendekatkan bibirnya ke telingaku lalu berbisik, "Pujaan hatimu pergi seminar ke luar kota, tadi aku sempat dengar B
Read more

29. Pelukku Untuk Pelikmu

[Arina POV]   Langkahku lebih ringan saat memasuki ruangan kerjaku kembali. Memang konflik yang ku alami dengan pria blasteran Timur Tengah dan Antartika (orangnya kadang panas, kadang dingin sih) itu belum nampak ujungnya, namun setidaknya akar permasalahannya sudah jelas. Membuat perhitungan dengan dia urusan belakangan.   Sekarang tinggal berjuang menahan rasa rindu. Benar juga kata Dilan bahwa rindu itu berat. Aku nggak kuat, tapi nggak ada yang membantu aku menanggungnya, gimana ini, Mas Dilan? Kamu sih cuma mau menanggung rindu untuk Mbak Milea.   Rinduku saat ini sudah seperti lagu jadul milik Ratih Purwasih yang sering didengarkan oleh Ibu.    "Rindu rindu rindu tapi benci jua...," tanpa sadar aku menyenandungkan lagu itu, tetapi langsung memukuli mulutku karena teman-teman melihatku sambil ber-cie-cie. Gawat! Pikiranku kemana-kemana. Aku malah membuka kartuku sendiri.  
Read more

30. "Diculik"

[Arina POV]   "Cangkul, cangkul, cangkul yang dalam, menanam jagung di kebun kita...."   "Ibuuu, kita ini lagi bersih-bersih rumah ya, bukan berkebun. Dari tadi lagunya cangkul cangkul melulu," omelku demi mendengar lagu Menanam Jagung yang sudah lebih dari sepuluh kali dinyanyikan oleh ibuku sepagi ini.   "Banyak tikus di rumahku, gara-gara kamu, malas bersih-bersih...," senandung ibuku, sudah berganti lagu akhirnya.   "Ini juga lagi bersih-bersih, Bu. Lagian di rumah kita mana ada tikus?"   "Ada kok. Tikusnya suka ngambil makanan dari dalam kulkas," ucap Ibu.   "Tikus mana bisa buka kulkas, Bu," protesku lagi.   "Yang ini bisa kok, tikus kepala hitam. Hehehe."   Eh, busyet! Tikus kepala hitam! Ibu lagi nyindir aku yang memang lagi doyan makan beberapa hari terakhir ini. Biasalah kalau lagi stres tuh rasanya pingin m
Read more
PREV
1234568
DMCA.com Protection Status