Home / Romansa / Sketsa Cinta Arina / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of Sketsa Cinta Arina: Chapter 31 - Chapter 40

80 Chapters

31. Akhirnya Jadian Juga

[Arina POV] Aku berjalan meninggalkan Andre dengan senyum culas di wajahku. Aku menanti Andre memanggilku, tak rela jika aku pergi dan menolaknya, tapi aku tak jua mendengar suaranya. Apakah terjadi sesuatu kepadanya? Jangan-jangan dia diculik oleh Tuan Plankton dan dijadikan babu? Halah! Hatiku mulai terasa berat, aku menghentikan langkahku. "Aaarkkhh," geramku pada diriku sendiri. Mengapa rencanaku tidak pernah berjalan lancar kalau itu menyangkut dia? Mungkin karena rencanaku jahat kali ya. Aku menoleh ke belakang lewat pundakku. Dia masih berdiri santai di sana dengan dua lengan menyilang di dadanya, tak berpindah satu titik pun. Aku membalikkan badan. Senyumnya melebar saat melihat diriku memandangnya dengan kesal. Ternyata aku baru berjalan sekitar delapan atau sembilan meter dari dia. Padahal tadi aku merasa sudah berjalan sangat jauh dan menanti dia memanggilku begitu lama. Mungkin hatiku memang tidak bisa jauh dari dia. "Kok kamu nggak manggil aku sih?" tanyaku kesal. K
Read more

32. Buket Bunga Mawar

[Arina POV]   "Hati yang berbunga pada pandangan pertama...."   "Oh, Tuhan tolonglah, Arin cinta Andree...."   "Hahaha... Ibu kenapa ikutan nyanyi sih?"   "Biar lagumu cepat selesai. Sudah hampir jam delapan itu."   "Serius???"   Aku melihat jam dinding di kamarku. Astaga!! Jam delapan kurang seperempat. Waduh, bagaimana ini? Lima belas menit lagi 'Teng!' jam kerja kantor dimulai. Aku tidak pernah terlambat masuk kantor, kecuali aku ada pekerjaan di luar dari pagi.   Dengan tergesa aku menyelesaikan dandananku, menyemprotkan parfum, mengenakan jaket, dan mengambil tasku.   "Hpmu ketinggalan ini."   "Eh, iya. Hehehe. Makasih, Bu. Berangkat dulu ya," pamitku pada Ibu yang memandangku sambil geleng-geleng kepala.   "Kalau lagi kasmaran memang begitu ya, mandi saja satu jam, danda
Read more

33. Berciuman???

[Arina POV]   Dengan tenang Andre mengambil buket bunga mawar yang sudah hancur itu dari tanganku, lalu menarikku keluar ruangan.   "Ikut aku, yuk," ajaknya lembut.   Masih menahan rasa kesal aku mengikutinya. Andre mengajakku ke pantry.   Pak Paino yang sedang duduk manis di sana sambil mendengarkan radio sedikit kaget sewaktu melihat kami, terutama setelah melihat raut mukaku yang berantakan.   "Duduk sini, Sayang," kata Andre setelah menyiapkan satu kursi untukku. Aku pun menurut dan duduk.   Dia mengambil satu gelas dan mengisinya dengan air putih. "Minum dulu ya," katanya lagi.   "Nggak haus," jawabku, tapi aku tetap menerima dan meminum air putih itu sampai tandas. Andre terkekeh, lalu mengambil kursi lagi dan duduk di sebelahku. Andre merangkulkan tangannya di pundakku, dan menepuk-nepuk lenganku. "Sabar ya. Orang sabar disayang pa
Read more

34. Kencan Pertama

[Arina POV]   Semenjak hari itu Cici seolah memutuskan untuk tidak berurusan denganku maupun Andre, kecuali untuk urusan pekerjaan, itu pun hanya formalitas. Selebihnya dia menolak untuk berakrab ria dengan kami.   Lama kelamaan aku justru merasa kasihan padanya, dia seolah menutup diri. Entah apa dia masih merasa kecewa soal Andre yang berpacaran denganku, atau mungkin dia merasa malu karena ketahuan memfitnah aku dan Andre, namun gengsi untuk meminta maaf.   Tindakan Andre menahan Pak Paino agar tetap bersama kami sewaktu di pantry kala itu, ternyata keputusan yang tepat. Pak Paino menjadi saksi bahwa kami tidak bermesraan apalagi berciuman seperti tuduhan Cici. Teman-teman yang lain jadi tahu kebohongannya. Mereka mencoba memaklumi, tapi Cici malah jadi semakin menutup diri.   Beberapa kali aku coba mendekati dia, aku ingin mengajaknya bicara, tapi dia selalu menghindar. Aku tidak ingin masalahnya
Read more

35. Ibu Pulang Kampung

[Arina POV] "Gedubrak!" Aku terbangun karena mendengar suara kesibukan di rumah. Matahari sudah terang, tidak mungkin ada pencuri sepagi ini. Lagi pula daerah kami relatif aman. Jadi, pasti Ibu yang menimbulkan suara ini. Aku meninggalkan tempat tidur untuk mencari tahu kebenarannya. Aku melihat Ibu sedang berkemas-kemas. Wah, ada apa gerangan? "Ibu mau pergi kemana?" tanyaku sambil mengucek mata yang masih mengantuk. "Eh, Arin. Maaf Ibu nggak bangunin kamu. Semalam ada telepon dari bulikmu (tante), katanya nenek sakit, jadi Ibu diminta datang," terangnya sembari mengemas baju ke dalam tas. Kebiasaan ibuku ini kalau berkemas memang tidak pernah tanpa suara ribut. Entah, maksudnya apa, mungkin biar didengar tetangga. "Apa? Nenek sakit apa, Bu?" tanyaku lagi kali ini dengan perasaan sedikit panik. Setahuku nenek cukup sehat sebagai orang tua, termasuk kategori Neli malahan, Nenek Lincah. Jadi berita tentang sakitnya nenek cukup mengejutkan. "Nggak tahu, bulikmu nggak bilang. Pali
Read more

36. Andre Posesif, Arin Agresif?

[Arina POV]   Orang-orang di kantor sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing, saat aku masuk ruangan.   "Hai, halo, selamat pagi, Mbak Rere, Mas Fajar, Mas Iwan, Santi," sapaku mengabsen teman-teman satu per satu. Ternyata mereka belum lengkap.   "Selamat pagi, semuanya," Andre ikut menyapa.   "Pagi juga."   "Hai, San," aku tersenyum pada Santi. Dia mendongak dan balas tersenyum.   "Kalian hobi banget ya couple-an gitu, cie."   Aku tidak menanggapinya. Ternyata Santi sudah melihat baju kembaran kami. Untung cuma Santi yang lihat, bukan wartawan gosip.   "Eh, Cici kok belum nampak?" Aku mempertanyakan ketidakhadiran Cici.   "Kangen ya? Kehilangan? Atau justru lega karena musuhmu nggak kelihatan?" seringai Santi.   "Hush! Jangan gitu, aku nggak merasa musuhan sama siapapun." M
Read more

37. Pacar yang Tertukar

[Arina POV]   Enaknya hidup serumah dengan Ibu adalah mau makan tinggal makan, sudah dimasakin. Baju kotor dicuciin. Sehari-hari tugas nyapu lantai ya Ibu kerjakan sendiri. Aku bangun siang pun Ibu tidak pernah memarahi, yang penting aku tidak terlambat kerja. Aku bukan anak manja, tapi Ibu sangat memanjakan aku. Namanya juga anak tunggal. Toh kalau pas libur aku sering membantu Ibu.   Terus kalau nggak ada ibu dan teman serumahku adalah Santi, apakah jadi nggak enak? Tetap enak dong. Aku jadi punya teman bercerita di rumah, teman seru-seruan. Memang semua harus diurus sendiri, tapi tidak berat. Kalau tidak ingin repot masak, ya tinggal beli makanan yang sudah matang. Apalagi kami punya sponsor.   Siapa sponsornya? Mangkok cap Jago Merah. Hehehe, memangnya tukang bakso?   Bukan, sponsornya tentu saja pacarku yang perhatiannya selangit. Katanya motto hidupnya saat ini adalah mencurahkan banyak perhati
Read more

38. Tatapan Sang Pemilik

[Arina POV]   Suara gelak tawa masih terdengar seru di ruangan ini, menimbulkan kecanggungan bagi sepasang anak manusia yang sedang kami "bulli".   "Aduh, aku lupa, tadi aku menjerang air di atas kompor," dalih Santi bergegas lari ke dapur. Rupanya dia sudah tidak sanggup menghadapi ledekan kami. Sedangkan Bang Ucok hanya bisa cengar-cengir canggung, bingung harus bagaimana menanggapi kejahilan kami.   "Arin, bantuin buat minum dong," pinta Santi muncul lagi di ruang tamu, minta aku temani di dapur.   "Oke deh." Aku pun berdiri.   "Loh, padahal Oma baru mau nanya bagaimana Arina sama Andre bisa jadian. Selera kita memang sama ya, Nduk, sama-sama suka yang ganteng. Namanya juga kembaran," celetuk Oma genit.   "Ah, Oma bisa saja."   Kok malah jadi aku yang tersipu malu? Bukannya tadi rencananya mau menjodohkan Santi dan Bang Ucok? &
Read more

39. Kencan Kedua

[Arina POV]   "Sepuluh menit lagi aku sampai. Sudah siap?"   "Siap. Aku sudah nungguin sejak sepuluh menit lalu."   "Oh ya? Wah...."   "Wah kenapa?"   "Biasanya kalau pasangan mau berkencan, cowoknya sudah sampai, eh ceweknya masih dandan lima jam lagi."   "Hahahaha. Sebenarnya aku sudah bersiap dari jam tiga sore tadi. Hahaha."   "Wadaw, ternyata! Pingin tampil maksimal di depan pacar ya? Hehehe."   "Hehe, gitu deh! Oke, aku tunggu ya. Hati-hati, Andre."   "Oke, Arin. Sampai ketemu nanti."   Finally, sore ini kami akan menikmati kencan kedua kami. Kali ini benar-benar berkencan seperti pasangan lain di malam Minggu.   Andre ingin mengajakku ke Kafe Magnolia. Setelah kantor kami, kafe ini adalah tempat penting dalam kisah cinta kami. Di tempat inilah kami
Read more

40. Sahabat yang Mencurigakan

[Andre POV]   "Senang sekali akhirnya aku bisa bertemu kalian di sini."   Dengan antusias aku menyambut pria yang baru datang itu, menyalaminya dan memberikan pelukan persahabatan.   "What's up, Bro?" sapaku.   "Hey! Lama nggak ke sini ya?"   "Sorry, kantor lagi sibuk, banyak kerjaan."   "Sibuk karena kerjaan, atau sibuk karena pacaran?" godanya.   "Sambil menyelam minum air lah," jawabku. "Kamu juga nampaknya akhir-akhir ini sibuk banget, pergi-pergi terus. Lagi menyusun rencana apa nih?"   "Rencana indah demi masa depan yang cerah," jawabnya diplomatis. "Jadi ini Arina ya?" tanyanya berpaling pada Arin yang dari tadi terbengong menyaksikan kami.   "Oh, ya. Hai! Saya Arina."   "Saya Martin, teman Andre." Mereka berjabat tangan.   "Martin? Pak Martin? Bos
Read more
PREV
1234568
DMCA.com Protection Status