[Arina POV] "Hati yang berbunga pada pandangan pertama...." "Oh, Tuhan tolonglah, Arin cinta Andree...." "Hahaha... Ibu kenapa ikutan nyanyi sih?" "Biar lagumu cepat selesai. Sudah hampir jam delapan itu." "Serius???" Aku melihat jam dinding di kamarku. Astaga!! Jam delapan kurang seperempat. Waduh, bagaimana ini? Lima belas menit lagi 'Teng!' jam kerja kantor dimulai. Aku tidak pernah terlambat masuk kantor, kecuali aku ada pekerjaan di luar dari pagi. Dengan tergesa aku menyelesaikan dandananku, menyemprotkan parfum, mengenakan jaket, dan mengambil tasku. "Hpmu ketinggalan ini." "Eh, iya. Hehehe. Makasih, Bu. Berangkat dulu ya," pamitku pada Ibu yang memandangku sambil geleng-geleng kepala. "Kalau lagi kasmaran memang begitu ya, mandi saja satu jam, danda
[Arina POV] Dengan tenang Andre mengambil buket bunga mawar yang sudah hancur itu dari tanganku, lalu menarikku keluar ruangan. "Ikut aku, yuk," ajaknya lembut. Masih menahan rasa kesal aku mengikutinya. Andre mengajakku ke pantry. Pak Paino yang sedang duduk manis di sana sambil mendengarkan radio sedikit kaget sewaktu melihat kami, terutama setelah melihat raut mukaku yang berantakan. "Duduk sini, Sayang," kata Andre setelah menyiapkan satu kursi untukku. Aku pun menurut dan duduk. Dia mengambil satu gelas dan mengisinya dengan air putih. "Minum dulu ya," katanya lagi. "Nggak haus," jawabku, tapi aku tetap menerima dan meminum air putih itu sampai tandas. Andre terkekeh, lalu mengambil kursi lagi dan duduk di sebelahku. Andre merangkulkan tangannya di pundakku, dan menepuk-nepuk lenganku. "Sabar ya. Orang sabar disayang pa
[Arina POV] Semenjak hari itu Cici seolah memutuskan untuk tidak berurusan denganku maupun Andre, kecuali untuk urusan pekerjaan, itu pun hanya formalitas. Selebihnya dia menolak untuk berakrab ria dengan kami. Lama kelamaan aku justru merasa kasihan padanya, dia seolah menutup diri. Entah apa dia masih merasa kecewa soal Andre yang berpacaran denganku, atau mungkin dia merasa malu karena ketahuan memfitnah aku dan Andre, namun gengsi untuk meminta maaf. Tindakan Andre menahan Pak Paino agar tetap bersama kami sewaktu di pantry kala itu, ternyata keputusan yang tepat. Pak Paino menjadi saksi bahwa kami tidak bermesraan apalagi berciuman seperti tuduhan Cici. Teman-teman yang lain jadi tahu kebohongannya. Mereka mencoba memaklumi, tapi Cici malah jadi semakin menutup diri. Beberapa kali aku coba mendekati dia, aku ingin mengajaknya bicara, tapi dia selalu menghindar. Aku tidak ingin masalahnya
[Arina POV] "Gedubrak!" Aku terbangun karena mendengar suara kesibukan di rumah. Matahari sudah terang, tidak mungkin ada pencuri sepagi ini. Lagi pula daerah kami relatif aman. Jadi, pasti Ibu yang menimbulkan suara ini. Aku meninggalkan tempat tidur untuk mencari tahu kebenarannya. Aku melihat Ibu sedang berkemas-kemas. Wah, ada apa gerangan? "Ibu mau pergi kemana?" tanyaku sambil mengucek mata yang masih mengantuk. "Eh, Arin. Maaf Ibu nggak bangunin kamu. Semalam ada telepon dari bulikmu (tante), katanya nenek sakit, jadi Ibu diminta datang," terangnya sembari mengemas baju ke dalam tas. Kebiasaan ibuku ini kalau berkemas memang tidak pernah tanpa suara ribut. Entah, maksudnya apa, mungkin biar didengar tetangga. "Apa? Nenek sakit apa, Bu?" tanyaku lagi kali ini dengan perasaan sedikit panik. Setahuku nenek cukup sehat sebagai orang tua, termasuk kategori Neli malahan, Nenek Lincah. Jadi berita tentang sakitnya nenek cukup mengejutkan. "Nggak tahu, bulikmu nggak bilang. Pali
[Arina POV] Orang-orang di kantor sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing, saat aku masuk ruangan. "Hai, halo, selamat pagi, Mbak Rere, Mas Fajar, Mas Iwan, Santi," sapaku mengabsen teman-teman satu per satu. Ternyata mereka belum lengkap. "Selamat pagi, semuanya," Andre ikut menyapa. "Pagi juga." "Hai, San," aku tersenyum pada Santi. Dia mendongak dan balas tersenyum. "Kalian hobi banget ya couple-an gitu, cie." Aku tidak menanggapinya. Ternyata Santi sudah melihat baju kembaran kami. Untung cuma Santi yang lihat, bukan wartawan gosip. "Eh, Cici kok belum nampak?" Aku mempertanyakan ketidakhadiran Cici. "Kangen ya? Kehilangan? Atau justru lega karena musuhmu nggak kelihatan?" seringai Santi. "Hush! Jangan gitu, aku nggak merasa musuhan sama siapapun." M
[Arina POV] Enaknya hidup serumah dengan Ibu adalah mau makan tinggal makan, sudah dimasakin. Baju kotor dicuciin. Sehari-hari tugas nyapu lantai ya Ibu kerjakan sendiri. Aku bangun siang pun Ibu tidak pernah memarahi, yang penting aku tidak terlambat kerja. Aku bukan anak manja, tapi Ibu sangat memanjakan aku. Namanya juga anak tunggal. Toh kalau pas libur aku sering membantu Ibu. Terus kalau nggak ada ibu dan teman serumahku adalah Santi, apakah jadi nggak enak? Tetap enak dong. Aku jadi punya teman bercerita di rumah, teman seru-seruan. Memang semua harus diurus sendiri, tapi tidak berat. Kalau tidak ingin repot masak, ya tinggal beli makanan yang sudah matang. Apalagi kami punya sponsor. Siapa sponsornya? Mangkok cap Jago Merah. Hehehe, memangnya tukang bakso? Bukan, sponsornya tentu saja pacarku yang perhatiannya selangit. Katanya motto hidupnya saat ini adalah mencurahkan banyak perhati
[Arina POV] Suara gelak tawa masih terdengar seru di ruangan ini, menimbulkan kecanggungan bagi sepasang anak manusia yang sedang kami "bulli". "Aduh, aku lupa, tadi aku menjerang air di atas kompor," dalih Santi bergegas lari ke dapur. Rupanya dia sudah tidak sanggup menghadapi ledekan kami. Sedangkan Bang Ucok hanya bisa cengar-cengir canggung, bingung harus bagaimana menanggapi kejahilan kami. "Arin, bantuin buat minum dong," pinta Santi muncul lagi di ruang tamu, minta aku temani di dapur. "Oke deh." Aku pun berdiri. "Loh, padahal Oma baru mau nanya bagaimana Arina sama Andre bisa jadian. Selera kita memang sama ya, Nduk, sama-sama suka yang ganteng. Namanya juga kembaran," celetuk Oma genit. "Ah, Oma bisa saja." Kok malah jadi aku yang tersipu malu? Bukannya tadi rencananya mau menjodohkan Santi dan Bang Ucok? &
[Arina POV] "Sepuluh menit lagi aku sampai. Sudah siap?" "Siap. Aku sudah nungguin sejak sepuluh menit lalu." "Oh ya? Wah...." "Wah kenapa?" "Biasanya kalau pasangan mau berkencan, cowoknya sudah sampai, eh ceweknya masih dandan lima jam lagi." "Hahahaha. Sebenarnya aku sudah bersiap dari jam tiga sore tadi. Hahaha." "Wadaw, ternyata! Pingin tampil maksimal di depan pacar ya? Hehehe." "Hehe, gitu deh! Oke, aku tunggu ya. Hati-hati, Andre." "Oke, Arin. Sampai ketemu nanti." Finally, sore ini kami akan menikmati kencan kedua kami. Kali ini benar-benar berkencan seperti pasangan lain di malam Minggu. Andre ingin mengajakku ke Kafe Magnolia. Setelah kantor kami, kafe ini adalah tempat penting dalam kisah cinta kami. Di tempat inilah kami
[Andre POV] "Dengan ini saya nyatakan kalian sebagai suami istri. Sekarang mempelai pria bisa mencium mempelai wanita." Dan terjadilah ciuman pertama kami, diiringi tepuk tangan meriah para tamu undangan. Selepas ciuman itu kami tersenyum dan bertatapan mesra. "Istriku...." "Suamiku...." Sekali lagi kami berciuman. Tapi.... Itu semua hanya ada dalam khayalanku. Hah! Calon istriku menolak keras acara ciuman di depan umum, walaupun itu dilakukan di saat kami sudah resmi menjadi pasangan suami istri. "Nggak mau," tolaknya tegas. "Kenapa sih nggak mau? Itu kan sudah biasa di acara nikahan, masih dalam batas kesopanan." "Iya, aku tahu. Tapi aku nggak mau. Momen ciuman pertamaku cuma boleh terjadi antara aku dan suamiku, nggak boleh ada orang lain yang lihat." Payah ni cewek! Aku tahu prinsip dia, tapi kalau kami sudah menikah kan nggak masalah. Toh kami bukan mau mesra-mesraan, itu formalitas saja. Tapi dia tetap kekeuh dengan pendiriannya. Manyun deh saya! "Senyum dong, Mas
[Satu bulan kemudian] "Lari, Arina... Larii.... Ayo katakan lari... lari... lari." "Hahahaha." Aku tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan Andre menirukan gaya Dora the Explorer. Kami berlarian di tepi pantai, pantai cinta kami. Kemarin Santi telah mengakhiri masa lajangnya, dengan menikahi Bang Firman. Setelah sekian lama dia dipanggil 'Ucok' untuk kali pertama, istrinya memanggilnya dengan nama aslinya 'Firman'. Emang lebih cocok Firman sih, orang ganteng gitu masa dipanggil Ucok? Tapi buat aku dia tetaplah Bang Ucok, si profesor linglung. Resepsinya berlangsung lancar dan meriah. Santi dan Bang Ucok maunya acara mereka sederhana saja, tapi orang tua Santi berpikiran lain. Papanya mengundang kolega-koleganya, jadi akhirnya mereka menggelar acara resepsi yang cukup besar. Mereka menyewa gedung serba guna yang terletak tidak
Sepanjang pekan ini kami punya double kesibukan. Selain urusan pekerjaan, kami mempersiapkan acara lamaran Bang Ucok dan Santi. Akhir pekan ini mereka lamaran, bulan depan menikah. Nggak mau lama-lama katanya, maklum Pak Profesor memang sudah ingin meminang Santi dan menjadikannya pendamping hidup. Kalau ku bilang sih Pak Profesor sudah tua. Hehe. "Jangan repot-repot dong, kami kan baru mau tunangan, belum nikah," Santi mencoba mencegah kami bertindak berlebihan. "Nggak bisa, mau lamaran kek, mau nikah kek, ini hajatan pertama kantor kita, jadi semua mesti ikut mendukung dan memeriahkan," titah Mas Fajar yang jadi ketua panitia. "Nikmati saja, San, sekali seumur hidup," timpalku mendukung Mas Fajar. "Wah, Arin. Harusnya kamu yang pertama dapat acara kayak gini, malah kalah dari si bontot," kata Mbak Rere. Ia sebenarnya berharap aku bisa menikah se
Cuti seminggu rasanya seperti nggak cuti. Selain urusan 'perdetektifan', aku memang nggak ngapa-ngapain. Tapi tetap saja aku nggak ada kesempatan untuk mengistirahatkan pikiran. Setidaknya sekarang semua masalah itu sudah selesai, dan aku kembali lagi ke kantor dengan semangat baru. Aku sangat merindukan pekerjaanku dan teman-temanku di kantor, termasuk si itu. Hehe. Walaupun selama tiga hari kemarin kami bersama, tetap saja masih ingin ketemu. Namanya juga cinta. Betul begitu? Suasana ramai terasa di kantor, tidak seperti biasanya. Sedikit heboh kali ini. "Nah, ini dia artis kita," seru Mbak Rere yang langsung menarik tanganku dan menyuruhku duduk di sofa di ruang resepsionis. Sudah ada Andre juga di sana, dan tampaknya sudah mulai 'dibulli' oleh para wartawan gosip. Dia cengar-cengir tidak jelas. Kami disandingkan berdua. Aku memandang Andre pen
Rencana kepulangan kami harus diwarnai drama. Chelsea merengek-rengek meminta aku tidak pergi. Udah gitu, emaknya ikutan mellow. Kacau deh!Aku jadi bingung sendiri. Untung Om Handoko turun tangan dan menenangkan Chelsea."Semalam kan Chelsea sudah pinky promise sama Kak Arina, jadi nggak boleh gitu. Kak Arina harus kerja, juga ketemu ibunya. Lain waktu kalau Kak Arina libur, pasti Kak Arina ke sini lagi. Betul kan, Kak?" Om Handoko memeluk dan mengusap-usap punggung anak perempuannya yang manja itu."Betul. Kak Arina pasti ke sini lagi kok. Kalau kita sama-sama libur, kita bisa main sampai puas. Oke?" tandasku.Syukurlah bocah itu bisa diyakinkan dan merelakan kami pergi."Baru dua hari kenal mereka, tapi rasanya kayak udah bertahun-tahun, dan udah sayang banget," kataku saat aku dan Andre sudah berada di mobil untuk pulang."Apalagi sama aku yang sudah berb
[Arina POV]Udara sore yang mulai sejuk mengiringi perjalanan pulang kami. Andre tersenyum lebar dan bernyanyi riang di atas motor.Rasanya menyenangkan sekali, namun sungguh ada satu hal yang harus segera aku tuntaskan. Aku tidak mungkin melakukannya di atas sepeda motor ini.Saat kami melewati area persawahan yang cukup luas, aku meminta Andre untuk menghentikan kendaraannya."Mau apa, Sayang?" tanya Andre.Tanpa menjawab pertanyaan itu aku berjalan menuju tepi sawah. Kebetulan ada tanah berumput yang cukup nyaman untuk duduk.Aku duduk di situ dengan kedua kaki aku tekuk di depan tubuhku. Aku letakkan wajahku pada siku tangan di atas lututku, dan mulai menangis.Awalnya Andre diam saja. Mungkin dia tahu sejak tadi aku sudah menahan gejolak perasaan. Aku menumpahkan semua air mata yang bisa aku hasilkan, meluapkan semua perasaan yang be
[Arina POV] "Mampir sebentar ya, ketemu temanku dulu." Kami berhenti sejenak di depan sebuah toko yang merangkap studio foto. Sepertinya Andre ingin menemui temannya sesama fotografer yang tinggal di kota ini. Kami memasuki studio foto itu, hanya ada beberapa orang customer dan karyawan yang melayani. Seorang pria yang mungkin seumuran Andre menyambut kami dengan senyum lebar. "What's up, Bro?" "What's up?" Mereka melakukan serangkaian gaya salaman dan tos yang entah berapa jumlahnya, serta menanyakan kabar masing-masing. Ternyata Andre bisa sok gaul juga. "Jadi...?" Teman Andre menggantungkan pertanyaannya sambil menunjuk aku. "Oh ya, Arina, ini Bagas, temanku yang tadi ngasih alamat. Bagas, ini Arina, calon istri gue," kata Andre dengan bangga memperkenalkan kami kepada satu sa
[Arina POV] Dengan bantuan GPS kami mencoba mencari alamat yang tertera di kartu nama Pak Gumelar. Aku tidak yakin sepenuhnya, tapi sangat berharap alamat di kartu itu memang betul-betul rumah pria yang sudah menipu bapakku. Namun harapan kami mulai memudar ketika mendapati area itu telah menjadi perumahan yang cukup mewah. Rasanya tidak mungkin kalau orang yang sudah kaya raya sampai jadi penipu, tapi siapa juga yang tahu. Orang-orang yang kami temui rata-rata penghuni baru di wilayah itu, dan tidak ada yang mengenal Pak Gumelar. Aku sudah nyaris putus asa. Andre mungkin juga merasa lelah melihat tidak adanya kemajuan dalam pencarian kami, namun ia tidak menunjukkannya. Dengan penuh kesabaran dia menemani aku berkeliling dan terus mencari. Ketika menjelang sore aku sudah kelelahan secara fisik dan emosi. Andre mengajakku beristirahat di depan sebuah mini market. Pria m
[Arina POV] Dalam benakku selama ini Tante Andre yang tinggal di Surabaya itu umurnya nggak jauh beda dari mamanya. Tapi wanita yang ada di hadapanku sekarang ini jelas belum tua, mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dariku. "Duh, Arina ini lagi bengong saja cantik lho. Hati-hati disambar Andre nanti," goda Tante Sherly demi melihat aku yang melongo. Andre terkekeh mendengar pernyataan tantenya itu. "Beneran tante? Bukan sepupu? Kok masih muda? Tadi Andre juga manggil 'mbak' kan?" Aku masih belum bisa percaya. "Huh, itu karena dia keponakan durhaka," sungutnya. Andre terpingkal-pingkal menyaksikan wajah kesal tantenya itu. Wanita muda itu mengabaikan Andre dan kembali tersenyum genit padaku. "Udah, ayo masuk dulu, makan siang sambil ngobrol-ngobrol. Kalian pasti sudah lapar," ajaknya sembari menarik tanganku untuk memasuki rumah. Memang sudah wa