[Arina POV]
Draft untuk desainku sudah kelar. Nanti tinggal dipercantik, dan siap dicetak.
Si Fotografer Jahil sibuk di depan komputer Bu Jasmine. Seperti janjinya tadi dia mengerjakan pekerjaan yang tidak bisa aku lakukan, membuat website dan memasang aplikasi untuk jualan online.
Dia memang selalu bisa diandalkan untuk urusan pekerjaan, cekatan sekali, pegawai serba bisa. Entah apa yang tidak bisa dia lakukan... eh, katanya tak bisa melupakanku? Gombal, ah.
"Mbak Arin, kenapa senyum-senyum sambil ngelihatin Mas Andre?" tanya Bu Jasmine tiba-tiba.
"Nggak apa-apa, Bu. Cuma ngelihatin, takut kalau ada yang salah. Ternyata Mas Andre sudah jago, nggak perlu dibantuin," elakku sambil meringis malu. Mati gue!
Andre tersenyum mencemooh tanpa memalingkan muka dari komputer. Tampaknya dia sedang berkonsentrasi penuh, mungkin ingin pekerjaannya
[Arina POV] "I love you, Arin, so much. Maukah kau jadi kekasihku?" Oh, no! Eh, bukan, maksudku oh, yes! Yes, Andre, yes! Tapi mulutku masih tidak sanggup bicara, tenggorokanku tercekat. Ini terlalu manis, Andre. Aku sama sekali tidak menyangka kamu akan mengatakannya hari ini. Aku bisa merasakan kamu memang mencintaiku, tapi karena kamu sering bersikap seenaknya, maju mundur ganteng, terkadang aku jadi ragu. Aku merasa aku menunggu terlalu lama. Tapi hari ini semua keraguan itu sirna sudah. Penantianku berakhir. Andre mendekatiku dan berjongkok. "Jangan nangis dong, sayang," ucap Andre seraya mengusap air mata yang menggenangi pipiku. Aku tersenyum bahagia namun air mata masih belum berhenti mengalir. Salah seorang pegawai kafe mendekat dan menyerahkan satu ranting yang telah ditumbuhi bunga-bunga berwarna putih bersemburat merah muda, mirip sakura. Gokil nih orang!
[Arina POV] Sudah jam 10 pagi, tapi aku masih belum melihat kehadirannya di kantor hari ini. Belum ada kabar darinya sejak kami berpisah di kafe sore itu. Bahkan chat dari Ibu yang menanyakan kabarnya, hanya dibalas dengan kalimat 'Saya sedang sibuk'. Menyebalkan sekali orang ini, namun tetap saja aku merasa ada yang hilang saat dia tidak ada. Ada rindu yang menyesakkan kalbu. Sesekali aku melirik ke pintu, barang kali dia ada pekerjaan di luar terlebih dahulu, jadi terlambat masuk kantor. "Arin, kamu kenapa?" tanya Santi yang tampaknya memperhatikan diriku yang gelisah sejak tadi. Aku hanya meringis dan menggelengkan kepala. "Astaga, Arin! Kamu tidak tahu ya?" tanya Santi lagi. "Tahu apa, San?" aku bertanya balik. Santi mendekatkan bibirnya ke telingaku lalu berbisik, "Pujaan hatimu pergi seminar ke luar kota, tadi aku sempat dengar B
[Arina POV] Langkahku lebih ringan saat memasuki ruangan kerjaku kembali. Memang konflik yang ku alami dengan pria blasteran Timur Tengah dan Antartika (orangnya kadang panas, kadang dingin sih) itu belum nampak ujungnya, namun setidaknya akar permasalahannya sudah jelas. Membuat perhitungan dengan dia urusan belakangan. Sekarang tinggal berjuang menahan rasa rindu. Benar juga kata Dilan bahwa rindu itu berat. Aku nggak kuat, tapi nggak ada yang membantu aku menanggungnya, gimana ini, Mas Dilan? Kamu sih cuma mau menanggung rindu untuk Mbak Milea. Rinduku saat ini sudah seperti lagu jadul milik Ratih Purwasih yang sering didengarkan oleh Ibu. "Rindu rindu rindu tapi benci jua...," tanpa sadar aku menyenandungkan lagu itu, tetapi langsung memukuli mulutku karena teman-teman melihatku sambil ber-cie-cie. Gawat! Pikiranku kemana-kemana. Aku malah membuka kartuku sendiri.
[Arina POV] "Cangkul, cangkul, cangkul yang dalam, menanam jagung di kebun kita...." "Ibuuu, kita ini lagi bersih-bersih rumah ya, bukan berkebun. Dari tadi lagunya cangkul cangkul melulu," omelku demi mendengar lagu Menanam Jagung yang sudah lebih dari sepuluh kali dinyanyikan oleh ibuku sepagi ini. "Banyak tikus di rumahku, gara-gara kamu, malas bersih-bersih...," senandung ibuku, sudah berganti lagu akhirnya. "Ini juga lagi bersih-bersih, Bu. Lagian di rumah kita mana ada tikus?" "Ada kok. Tikusnya suka ngambil makanan dari dalam kulkas," ucap Ibu. "Tikus mana bisa buka kulkas, Bu," protesku lagi. "Yang ini bisa kok, tikus kepala hitam. Hehehe." Eh, busyet! Tikus kepala hitam! Ibu lagi nyindir aku yang memang lagi doyan makan beberapa hari terakhir ini. Biasalah kalau lagi stres tuh rasanya pingin m
[Arina POV] Aku berjalan meninggalkan Andre dengan senyum culas di wajahku. Aku menanti Andre memanggilku, tak rela jika aku pergi dan menolaknya, tapi aku tak jua mendengar suaranya. Apakah terjadi sesuatu kepadanya? Jangan-jangan dia diculik oleh Tuan Plankton dan dijadikan babu? Halah! Hatiku mulai terasa berat, aku menghentikan langkahku. "Aaarkkhh," geramku pada diriku sendiri. Mengapa rencanaku tidak pernah berjalan lancar kalau itu menyangkut dia? Mungkin karena rencanaku jahat kali ya. Aku menoleh ke belakang lewat pundakku. Dia masih berdiri santai di sana dengan dua lengan menyilang di dadanya, tak berpindah satu titik pun. Aku membalikkan badan. Senyumnya melebar saat melihat diriku memandangnya dengan kesal. Ternyata aku baru berjalan sekitar delapan atau sembilan meter dari dia. Padahal tadi aku merasa sudah berjalan sangat jauh dan menanti dia memanggilku begitu lama. Mungkin hatiku memang tidak bisa jauh dari dia. "Kok kamu nggak manggil aku sih?" tanyaku kesal. K
[Arina POV] "Hati yang berbunga pada pandangan pertama...." "Oh, Tuhan tolonglah, Arin cinta Andree...." "Hahaha... Ibu kenapa ikutan nyanyi sih?" "Biar lagumu cepat selesai. Sudah hampir jam delapan itu." "Serius???" Aku melihat jam dinding di kamarku. Astaga!! Jam delapan kurang seperempat. Waduh, bagaimana ini? Lima belas menit lagi 'Teng!' jam kerja kantor dimulai. Aku tidak pernah terlambat masuk kantor, kecuali aku ada pekerjaan di luar dari pagi. Dengan tergesa aku menyelesaikan dandananku, menyemprotkan parfum, mengenakan jaket, dan mengambil tasku. "Hpmu ketinggalan ini." "Eh, iya. Hehehe. Makasih, Bu. Berangkat dulu ya," pamitku pada Ibu yang memandangku sambil geleng-geleng kepala. "Kalau lagi kasmaran memang begitu ya, mandi saja satu jam, danda
[Arina POV] Dengan tenang Andre mengambil buket bunga mawar yang sudah hancur itu dari tanganku, lalu menarikku keluar ruangan. "Ikut aku, yuk," ajaknya lembut. Masih menahan rasa kesal aku mengikutinya. Andre mengajakku ke pantry. Pak Paino yang sedang duduk manis di sana sambil mendengarkan radio sedikit kaget sewaktu melihat kami, terutama setelah melihat raut mukaku yang berantakan. "Duduk sini, Sayang," kata Andre setelah menyiapkan satu kursi untukku. Aku pun menurut dan duduk. Dia mengambil satu gelas dan mengisinya dengan air putih. "Minum dulu ya," katanya lagi. "Nggak haus," jawabku, tapi aku tetap menerima dan meminum air putih itu sampai tandas. Andre terkekeh, lalu mengambil kursi lagi dan duduk di sebelahku. Andre merangkulkan tangannya di pundakku, dan menepuk-nepuk lenganku. "Sabar ya. Orang sabar disayang pa
[Arina POV] Semenjak hari itu Cici seolah memutuskan untuk tidak berurusan denganku maupun Andre, kecuali untuk urusan pekerjaan, itu pun hanya formalitas. Selebihnya dia menolak untuk berakrab ria dengan kami. Lama kelamaan aku justru merasa kasihan padanya, dia seolah menutup diri. Entah apa dia masih merasa kecewa soal Andre yang berpacaran denganku, atau mungkin dia merasa malu karena ketahuan memfitnah aku dan Andre, namun gengsi untuk meminta maaf. Tindakan Andre menahan Pak Paino agar tetap bersama kami sewaktu di pantry kala itu, ternyata keputusan yang tepat. Pak Paino menjadi saksi bahwa kami tidak bermesraan apalagi berciuman seperti tuduhan Cici. Teman-teman yang lain jadi tahu kebohongannya. Mereka mencoba memaklumi, tapi Cici malah jadi semakin menutup diri. Beberapa kali aku coba mendekati dia, aku ingin mengajaknya bicara, tapi dia selalu menghindar. Aku tidak ingin masalahnya
[Andre POV] "Dengan ini saya nyatakan kalian sebagai suami istri. Sekarang mempelai pria bisa mencium mempelai wanita." Dan terjadilah ciuman pertama kami, diiringi tepuk tangan meriah para tamu undangan. Selepas ciuman itu kami tersenyum dan bertatapan mesra. "Istriku...." "Suamiku...." Sekali lagi kami berciuman. Tapi.... Itu semua hanya ada dalam khayalanku. Hah! Calon istriku menolak keras acara ciuman di depan umum, walaupun itu dilakukan di saat kami sudah resmi menjadi pasangan suami istri. "Nggak mau," tolaknya tegas. "Kenapa sih nggak mau? Itu kan sudah biasa di acara nikahan, masih dalam batas kesopanan." "Iya, aku tahu. Tapi aku nggak mau. Momen ciuman pertamaku cuma boleh terjadi antara aku dan suamiku, nggak boleh ada orang lain yang lihat." Payah ni cewek! Aku tahu prinsip dia, tapi kalau kami sudah menikah kan nggak masalah. Toh kami bukan mau mesra-mesraan, itu formalitas saja. Tapi dia tetap kekeuh dengan pendiriannya. Manyun deh saya! "Senyum dong, Mas
[Satu bulan kemudian] "Lari, Arina... Larii.... Ayo katakan lari... lari... lari." "Hahahaha." Aku tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan Andre menirukan gaya Dora the Explorer. Kami berlarian di tepi pantai, pantai cinta kami. Kemarin Santi telah mengakhiri masa lajangnya, dengan menikahi Bang Firman. Setelah sekian lama dia dipanggil 'Ucok' untuk kali pertama, istrinya memanggilnya dengan nama aslinya 'Firman'. Emang lebih cocok Firman sih, orang ganteng gitu masa dipanggil Ucok? Tapi buat aku dia tetaplah Bang Ucok, si profesor linglung. Resepsinya berlangsung lancar dan meriah. Santi dan Bang Ucok maunya acara mereka sederhana saja, tapi orang tua Santi berpikiran lain. Papanya mengundang kolega-koleganya, jadi akhirnya mereka menggelar acara resepsi yang cukup besar. Mereka menyewa gedung serba guna yang terletak tidak
Sepanjang pekan ini kami punya double kesibukan. Selain urusan pekerjaan, kami mempersiapkan acara lamaran Bang Ucok dan Santi. Akhir pekan ini mereka lamaran, bulan depan menikah. Nggak mau lama-lama katanya, maklum Pak Profesor memang sudah ingin meminang Santi dan menjadikannya pendamping hidup. Kalau ku bilang sih Pak Profesor sudah tua. Hehe. "Jangan repot-repot dong, kami kan baru mau tunangan, belum nikah," Santi mencoba mencegah kami bertindak berlebihan. "Nggak bisa, mau lamaran kek, mau nikah kek, ini hajatan pertama kantor kita, jadi semua mesti ikut mendukung dan memeriahkan," titah Mas Fajar yang jadi ketua panitia. "Nikmati saja, San, sekali seumur hidup," timpalku mendukung Mas Fajar. "Wah, Arin. Harusnya kamu yang pertama dapat acara kayak gini, malah kalah dari si bontot," kata Mbak Rere. Ia sebenarnya berharap aku bisa menikah se
Cuti seminggu rasanya seperti nggak cuti. Selain urusan 'perdetektifan', aku memang nggak ngapa-ngapain. Tapi tetap saja aku nggak ada kesempatan untuk mengistirahatkan pikiran. Setidaknya sekarang semua masalah itu sudah selesai, dan aku kembali lagi ke kantor dengan semangat baru. Aku sangat merindukan pekerjaanku dan teman-temanku di kantor, termasuk si itu. Hehe. Walaupun selama tiga hari kemarin kami bersama, tetap saja masih ingin ketemu. Namanya juga cinta. Betul begitu? Suasana ramai terasa di kantor, tidak seperti biasanya. Sedikit heboh kali ini. "Nah, ini dia artis kita," seru Mbak Rere yang langsung menarik tanganku dan menyuruhku duduk di sofa di ruang resepsionis. Sudah ada Andre juga di sana, dan tampaknya sudah mulai 'dibulli' oleh para wartawan gosip. Dia cengar-cengir tidak jelas. Kami disandingkan berdua. Aku memandang Andre pen
Rencana kepulangan kami harus diwarnai drama. Chelsea merengek-rengek meminta aku tidak pergi. Udah gitu, emaknya ikutan mellow. Kacau deh!Aku jadi bingung sendiri. Untung Om Handoko turun tangan dan menenangkan Chelsea."Semalam kan Chelsea sudah pinky promise sama Kak Arina, jadi nggak boleh gitu. Kak Arina harus kerja, juga ketemu ibunya. Lain waktu kalau Kak Arina libur, pasti Kak Arina ke sini lagi. Betul kan, Kak?" Om Handoko memeluk dan mengusap-usap punggung anak perempuannya yang manja itu."Betul. Kak Arina pasti ke sini lagi kok. Kalau kita sama-sama libur, kita bisa main sampai puas. Oke?" tandasku.Syukurlah bocah itu bisa diyakinkan dan merelakan kami pergi."Baru dua hari kenal mereka, tapi rasanya kayak udah bertahun-tahun, dan udah sayang banget," kataku saat aku dan Andre sudah berada di mobil untuk pulang."Apalagi sama aku yang sudah berb
[Arina POV]Udara sore yang mulai sejuk mengiringi perjalanan pulang kami. Andre tersenyum lebar dan bernyanyi riang di atas motor.Rasanya menyenangkan sekali, namun sungguh ada satu hal yang harus segera aku tuntaskan. Aku tidak mungkin melakukannya di atas sepeda motor ini.Saat kami melewati area persawahan yang cukup luas, aku meminta Andre untuk menghentikan kendaraannya."Mau apa, Sayang?" tanya Andre.Tanpa menjawab pertanyaan itu aku berjalan menuju tepi sawah. Kebetulan ada tanah berumput yang cukup nyaman untuk duduk.Aku duduk di situ dengan kedua kaki aku tekuk di depan tubuhku. Aku letakkan wajahku pada siku tangan di atas lututku, dan mulai menangis.Awalnya Andre diam saja. Mungkin dia tahu sejak tadi aku sudah menahan gejolak perasaan. Aku menumpahkan semua air mata yang bisa aku hasilkan, meluapkan semua perasaan yang be
[Arina POV] "Mampir sebentar ya, ketemu temanku dulu." Kami berhenti sejenak di depan sebuah toko yang merangkap studio foto. Sepertinya Andre ingin menemui temannya sesama fotografer yang tinggal di kota ini. Kami memasuki studio foto itu, hanya ada beberapa orang customer dan karyawan yang melayani. Seorang pria yang mungkin seumuran Andre menyambut kami dengan senyum lebar. "What's up, Bro?" "What's up?" Mereka melakukan serangkaian gaya salaman dan tos yang entah berapa jumlahnya, serta menanyakan kabar masing-masing. Ternyata Andre bisa sok gaul juga. "Jadi...?" Teman Andre menggantungkan pertanyaannya sambil menunjuk aku. "Oh ya, Arina, ini Bagas, temanku yang tadi ngasih alamat. Bagas, ini Arina, calon istri gue," kata Andre dengan bangga memperkenalkan kami kepada satu sa
[Arina POV] Dengan bantuan GPS kami mencoba mencari alamat yang tertera di kartu nama Pak Gumelar. Aku tidak yakin sepenuhnya, tapi sangat berharap alamat di kartu itu memang betul-betul rumah pria yang sudah menipu bapakku. Namun harapan kami mulai memudar ketika mendapati area itu telah menjadi perumahan yang cukup mewah. Rasanya tidak mungkin kalau orang yang sudah kaya raya sampai jadi penipu, tapi siapa juga yang tahu. Orang-orang yang kami temui rata-rata penghuni baru di wilayah itu, dan tidak ada yang mengenal Pak Gumelar. Aku sudah nyaris putus asa. Andre mungkin juga merasa lelah melihat tidak adanya kemajuan dalam pencarian kami, namun ia tidak menunjukkannya. Dengan penuh kesabaran dia menemani aku berkeliling dan terus mencari. Ketika menjelang sore aku sudah kelelahan secara fisik dan emosi. Andre mengajakku beristirahat di depan sebuah mini market. Pria m
[Arina POV] Dalam benakku selama ini Tante Andre yang tinggal di Surabaya itu umurnya nggak jauh beda dari mamanya. Tapi wanita yang ada di hadapanku sekarang ini jelas belum tua, mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dariku. "Duh, Arina ini lagi bengong saja cantik lho. Hati-hati disambar Andre nanti," goda Tante Sherly demi melihat aku yang melongo. Andre terkekeh mendengar pernyataan tantenya itu. "Beneran tante? Bukan sepupu? Kok masih muda? Tadi Andre juga manggil 'mbak' kan?" Aku masih belum bisa percaya. "Huh, itu karena dia keponakan durhaka," sungutnya. Andre terpingkal-pingkal menyaksikan wajah kesal tantenya itu. Wanita muda itu mengabaikan Andre dan kembali tersenyum genit padaku. "Udah, ayo masuk dulu, makan siang sambil ngobrol-ngobrol. Kalian pasti sudah lapar," ajaknya sembari menarik tanganku untuk memasuki rumah. Memang sudah wa