Home / Romansa / Sketsa Cinta Arina / 21. Aku Mencintai Pria Ini

Share

21. Aku Mencintai Pria Ini

Author: Teha
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

[Arina POV]

"Pak Painooo..., minta air putiiiih..., dua gelaaaas...."

Pak Paino terkekeh melihat gayaku yang bernyanyi hanya untuk meminta air putih, seperti orang yang bermain opera saja.

"Wah, tadi bernyanyi 'ingin marah', lalu minta air putihnya juga dengan gaya bernyanyi. Non Arin mestinya jadi pemain sandiwara radio saja."

"Waduh, Pak. Masih ada ya sandiwara radio? Nggak ada yang dengerin nanti," sanggahku menanggapi usul Pak Paino yang sudah tidak sesuai zaman.

Dengan penuh kebanggaan dia menyambung usulannya tadi, "Nanti saya yang dengerin, Non. Istri saya juga. Teman-teman di kantor juga."

Aku menanggapi dengan cibiran, bercanda tentunya, "Kalaupun orang kantor pada dengerin, jumlahnya nggak lebih dari sepuluh orang. Stasiun radionya nggak ada yang mau, Pak. Sudah bukan zamannya lagi."

Sembari mengambi

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Sketsa Cinta Arina   22. Drama Korea

    [Arina POV] "Santi..., sendirian aja nih?" Kudekati sahabat sekaligus teman kerjaku itu yang sedang sibuk dengan perangkat elektronik di hadapannya. "Enggak, bersama bayang-bayang masa lalu." Gadis itu menjawab dengan gaya dramatis. "Idih, yang nggak mau move-on," cibirku menggoda. "Pantesan nggak jadian juga sama si abang." Dia langsung manyun. "Diam kau, Squidward, atau ku tutup mulutmu pakai kartu kredit," ancam Santi dengan wajah sesinis kasir restoran bawah laut itu. Rupanya bila dia mau, Santi bisa lebih mirip si tokoh kartun itu ketimbang aku. "Uang tunai saja, Ratu. Kartu kredit berat cicilannya," selorohku menanggapi ancamannya yang tidak menakutkan. Santi memajukan bibir bawahnya. Akhirnya ia tersenyum juga. "Yang lain ke luar semua, ya? Mbak Resepsionis juga?" aku bertanya lagi. "Iya, urusan masing-masing. Kamu sudah selesai urusan ke penerbit, Rin?" sahut Santi tanpa melepaskan pandangan dari komputernya. "Sudah beres dong! Sekarang Arina tinggal santai," jawabku

  • Sketsa Cinta Arina   23. "Double Date"

    [Arina POV] "Wah...." Santi terpukau ketika melihat wujud kafe Magnolia, seperti aku ketika pertama datang ke sini. Akhirnya aku bisa datang ke sini lagi, sekaligus mengajak sahabatku ke tempat asyik nan romantis ini. Kesampaian juga kami pergi dengan pacar kami, eh bukan ding, gebetan. Jadi ketahuan nih kalau ngarep. Kami berempat datang berboncengan. Awalnya aku mau kami berangkat sendiri-sendiri saja, jadi nanti bisa langsung pulang ke rumah masing-masing. Tapi pria-pria kami keberatan, lebih baik kami berboncengan saja berdua-dua. Oke lah. Aku bilang aku mau berboncengan dengan Santi, tapi gebetan Santi langsung bilang kalau dia tidak setuju. Malu katanya, masa dua pria gagah membiarkan dua wanita cantik pergi sendirian, eh pergi berdua? Cowok harus boncengin cewek, bukan cewek boncengin cewek, apalagi cewek boncengin cowok, nggak boleh! Begitulah gaya bicara Pak Pr

  • Sketsa Cinta Arina   24. Pengakuan Mas Iwan

    [Andre POV] Akhir-akhir ini kantor desain grafis kami mulai berubah menjadi kantor tabloid gosip. Anggota klub Lambe Turah mulai bermunculan. Mereka ribut membicarakan aku dan Arin, serta Bang Ucok dan Santi. Dalam hal ini Arin ternyata ikut-ikutan, tentu saja dia bukan membicarakan dirinya sendiri. Anti! Yang ada kalau ditanya soal hubungan dia denganku, dia akan ambil langkah seribu. Begitulah Arin, tukang melarikan diri. Coba bayangkan bagaimana lambe-lambe turah bermunculan. Dari 3 karyawan dan 3 karyawati lajang sudah terbentuk 2 calon pasangan. Jangan-jangan kantor kami ini biro jodoh terselubung? Belum resmi, tapi sudah ada acara 'jodoh-jodohan'. "Ciee, Arin dan Andre," atau "Wah, Ucok dan Santi, nggak nyangka deh," atau "Kapan jadian?" semacam itulah. Sedangkan 1 pasangan tersisa yang tidak masuk kategori berjodoh, jadi ikut dijodoh-jodohkan. Bikin keki nggak sih? Pertanyaan, "Kalian nggak mau jadian juga? Biar kantor kita couple

  • Sketsa Cinta Arina   25. Andre Di Sini Untukmu

    [Arina POV] "No, thanks." Kata-kata itu diucapkan Cici dengan begitu sinis, hingga membuatku terperangah. Hari ini kami ingin makan siang di kantor saja, karena masih banyak desain yang harus dikerjakan. Aku menawarkan ide untuk beli makanan pesan antar, dan sebagian besar sudah setuju. Jadi aku berniat menawari Cici juga kalau dia mau ikutan. Aku mendatangi dia yang baru kembali dari toilet, bertanya apa dia mau join. Tapi tawaran baikku hanya ditanggapi dengan dingin. Aku pun kembali ke mejaku dengan perasaan sedikit terluka. Santi yang memperhatikan kami menyuruhku duduk lalu mengusap-usap lenganku. "Sudah, biar aku saja yang pesankan," ujarnya mengambil ponsel di tanganku. Aku menghela napas lalu menghembuskannya dengan begitu keras. Sudahlah, mari kembali bekerja. Beberapa menit kemudian Bu Bos masuk ke ruangan kami. Aku sempat melihat dia te

  • Sketsa Cinta Arina   26. If You're Not The One

    [Arina POV] Draft untuk desainku sudah kelar. Nanti tinggal dipercantik, dan siap dicetak. Si Fotografer Jahil sibuk di depan komputer Bu Jasmine. Seperti janjinya tadi dia mengerjakan pekerjaan yang tidak bisa aku lakukan, membuat website dan memasang aplikasi untuk jualan online. Dia memang selalu bisa diandalkan untuk urusan pekerjaan, cekatan sekali, pegawai serba bisa. Entah apa yang tidak bisa dia lakukan... eh, katanya tak bisa melupakanku? Gombal, ah. "Mbak Arin, kenapa senyum-senyum sambil ngelihatin Mas Andre?" tanya Bu Jasmine tiba-tiba. "Nggak apa-apa, Bu. Cuma ngelihatin, takut kalau ada yang salah. Ternyata Mas Andre sudah jago, nggak perlu dibantuin," elakku sambil meringis malu. Mati gue! Andre tersenyum mencemooh tanpa memalingkan muka dari komputer. Tampaknya dia sedang berkonsentrasi penuh, mungkin ingin pekerjaannya

  • Sketsa Cinta Arina   27. Kue Cucur, Hatiku Hancur

    [Arina POV] "I love you, Arin, so much. Maukah kau jadi kekasihku?" Oh, no! Eh, bukan, maksudku oh, yes! Yes, Andre, yes! Tapi mulutku masih tidak sanggup bicara, tenggorokanku tercekat. Ini terlalu manis, Andre. Aku sama sekali tidak menyangka kamu akan mengatakannya hari ini. Aku bisa merasakan kamu memang mencintaiku, tapi karena kamu sering bersikap seenaknya, maju mundur ganteng, terkadang aku jadi ragu. Aku merasa aku menunggu terlalu lama. Tapi hari ini semua keraguan itu sirna sudah. Penantianku berakhir. Andre mendekatiku dan berjongkok. "Jangan nangis dong, sayang," ucap Andre seraya mengusap air mata yang menggenangi pipiku. Aku tersenyum bahagia namun air mata masih belum berhenti mengalir. Salah seorang pegawai kafe mendekat dan menyerahkan satu ranting yang telah ditumbuhi bunga-bunga berwarna putih bersemburat merah muda, mirip sakura. Gokil nih orang!

  • Sketsa Cinta Arina   28. Hari-hari Tanpamu

    [Arina POV] Sudah jam 10 pagi, tapi aku masih belum melihat kehadirannya di kantor hari ini. Belum ada kabar darinya sejak kami berpisah di kafe sore itu. Bahkan chat dari Ibu yang menanyakan kabarnya, hanya dibalas dengan kalimat 'Saya sedang sibuk'. Menyebalkan sekali orang ini, namun tetap saja aku merasa ada yang hilang saat dia tidak ada. Ada rindu yang menyesakkan kalbu. Sesekali aku melirik ke pintu, barang kali dia ada pekerjaan di luar terlebih dahulu, jadi terlambat masuk kantor. "Arin, kamu kenapa?" tanya Santi yang tampaknya memperhatikan diriku yang gelisah sejak tadi. Aku hanya meringis dan menggelengkan kepala. "Astaga, Arin! Kamu tidak tahu ya?" tanya Santi lagi. "Tahu apa, San?" aku bertanya balik. Santi mendekatkan bibirnya ke telingaku lalu berbisik, "Pujaan hatimu pergi seminar ke luar kota, tadi aku sempat dengar B

  • Sketsa Cinta Arina   29. Pelukku Untuk Pelikmu

    [Arina POV] Langkahku lebih ringan saat memasuki ruangan kerjaku kembali. Memang konflik yang ku alami dengan pria blasteran Timur Tengah dan Antartika (orangnya kadang panas, kadang dingin sih) itu belum nampak ujungnya, namun setidaknya akar permasalahannya sudah jelas. Membuat perhitungan dengan dia urusan belakangan. Sekarang tinggal berjuang menahan rasa rindu. Benar juga kata Dilan bahwa rindu itu berat. Aku nggak kuat, tapi nggak ada yang membantu aku menanggungnya, gimana ini, Mas Dilan? Kamu sih cuma mau menanggung rindu untuk Mbak Milea. Rinduku saat ini sudah seperti lagu jadul milik Ratih Purwasih yang sering didengarkan oleh Ibu. "Rindu rindu rindu tapi benci jua...," tanpa sadar aku menyenandungkan lagu itu, tetapi langsung memukuli mulutku karena teman-teman melihatku sambil ber-cie-cie. Gawat! Pikiranku kemana-kemana. Aku malah membuka kartuku sendiri.

Latest chapter

  • Sketsa Cinta Arina   Extra Part - The Wedding

    [Andre POV] "Dengan ini saya nyatakan kalian sebagai suami istri. Sekarang mempelai pria bisa mencium mempelai wanita." Dan terjadilah ciuman pertama kami, diiringi tepuk tangan meriah para tamu undangan. Selepas ciuman itu kami tersenyum dan bertatapan mesra. "Istriku...." "Suamiku...." Sekali lagi kami berciuman. Tapi.... Itu semua hanya ada dalam khayalanku. Hah! Calon istriku menolak keras acara ciuman di depan umum, walaupun itu dilakukan di saat kami sudah resmi menjadi pasangan suami istri. "Nggak mau," tolaknya tegas. "Kenapa sih nggak mau? Itu kan sudah biasa di acara nikahan, masih dalam batas kesopanan." "Iya, aku tahu. Tapi aku nggak mau. Momen ciuman pertamaku cuma boleh terjadi antara aku dan suamiku, nggak boleh ada orang lain yang lihat." Payah ni cewek! Aku tahu prinsip dia, tapi kalau kami sudah menikah kan nggak masalah. Toh kami bukan mau mesra-mesraan, itu formalitas saja. Tapi dia tetap kekeuh dengan pendiriannya. Manyun deh saya! "Senyum dong, Mas

  • Sketsa Cinta Arina   79. Bab Terakhir - Dream Boy Comes True

    [Satu bulan kemudian] "Lari, Arina... Larii.... Ayo katakan lari... lari... lari." "Hahahaha." Aku tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan Andre menirukan gaya Dora the Explorer. Kami berlarian di tepi pantai, pantai cinta kami. Kemarin Santi telah mengakhiri masa lajangnya, dengan menikahi Bang Firman. Setelah sekian lama dia dipanggil 'Ucok' untuk kali pertama, istrinya memanggilnya dengan nama aslinya 'Firman'. Emang lebih cocok Firman sih, orang ganteng gitu masa dipanggil Ucok? Tapi buat aku dia tetaplah Bang Ucok, si profesor linglung. Resepsinya berlangsung lancar dan meriah. Santi dan Bang Ucok maunya acara mereka sederhana saja, tapi orang tua Santi berpikiran lain. Papanya mengundang kolega-koleganya, jadi akhirnya mereka menggelar acara resepsi yang cukup besar. Mereka menyewa gedung serba guna yang terletak tidak

  • Sketsa Cinta Arina   78. Lamaran

    Sepanjang pekan ini kami punya double kesibukan. Selain urusan pekerjaan, kami mempersiapkan acara lamaran Bang Ucok dan Santi. Akhir pekan ini mereka lamaran, bulan depan menikah. Nggak mau lama-lama katanya, maklum Pak Profesor memang sudah ingin meminang Santi dan menjadikannya pendamping hidup. Kalau ku bilang sih Pak Profesor sudah tua. Hehe. "Jangan repot-repot dong, kami kan baru mau tunangan, belum nikah," Santi mencoba mencegah kami bertindak berlebihan. "Nggak bisa, mau lamaran kek, mau nikah kek, ini hajatan pertama kantor kita, jadi semua mesti ikut mendukung dan memeriahkan," titah Mas Fajar yang jadi ketua panitia. "Nikmati saja, San, sekali seumur hidup," timpalku mendukung Mas Fajar. "Wah, Arin. Harusnya kamu yang pertama dapat acara kayak gini, malah kalah dari si bontot," kata Mbak Rere. Ia sebenarnya berharap aku bisa menikah se

  • Sketsa Cinta Arina   77. Calon Ipar

    Cuti seminggu rasanya seperti nggak cuti. Selain urusan 'perdetektifan', aku memang nggak ngapa-ngapain. Tapi tetap saja aku nggak ada kesempatan untuk mengistirahatkan pikiran. Setidaknya sekarang semua masalah itu sudah selesai, dan aku kembali lagi ke kantor dengan semangat baru. Aku sangat merindukan pekerjaanku dan teman-temanku di kantor, termasuk si itu. Hehe. Walaupun selama tiga hari kemarin kami bersama, tetap saja masih ingin ketemu. Namanya juga cinta. Betul begitu? Suasana ramai terasa di kantor, tidak seperti biasanya. Sedikit heboh kali ini. "Nah, ini dia artis kita," seru Mbak Rere yang langsung menarik tanganku dan menyuruhku duduk di sofa di ruang resepsionis. Sudah ada Andre juga di sana, dan tampaknya sudah mulai 'dibulli' oleh para wartawan gosip. Dia cengar-cengir tidak jelas. Kami disandingkan berdua. Aku memandang Andre pen

  • Sketsa Cinta Arina   76. Pelukan Papa

    Rencana kepulangan kami harus diwarnai drama. Chelsea merengek-rengek meminta aku tidak pergi. Udah gitu, emaknya ikutan mellow. Kacau deh!Aku jadi bingung sendiri. Untung Om Handoko turun tangan dan menenangkan Chelsea."Semalam kan Chelsea sudah pinky promise sama Kak Arina, jadi nggak boleh gitu. Kak Arina harus kerja, juga ketemu ibunya. Lain waktu kalau Kak Arina libur, pasti Kak Arina ke sini lagi. Betul kan, Kak?" Om Handoko memeluk dan mengusap-usap punggung anak perempuannya yang manja itu."Betul. Kak Arina pasti ke sini lagi kok. Kalau kita sama-sama libur, kita bisa main sampai puas. Oke?" tandasku.Syukurlah bocah itu bisa diyakinkan dan merelakan kami pergi."Baru dua hari kenal mereka, tapi rasanya kayak udah bertahun-tahun, dan udah sayang banget," kataku saat aku dan Andre sudah berada di mobil untuk pulang."Apalagi sama aku yang sudah berb

  • Sketsa Cinta Arina   75. Senja yang Menyatukan Kita

    [Arina POV]Udara sore yang mulai sejuk mengiringi perjalanan pulang kami. Andre tersenyum lebar dan bernyanyi riang di atas motor.Rasanya menyenangkan sekali, namun sungguh ada satu hal yang harus segera aku tuntaskan. Aku tidak mungkin melakukannya di atas sepeda motor ini.Saat kami melewati area persawahan yang cukup luas, aku meminta Andre untuk menghentikan kendaraannya."Mau apa, Sayang?" tanya Andre.Tanpa menjawab pertanyaan itu aku berjalan menuju tepi sawah. Kebetulan ada tanah berumput yang cukup nyaman untuk duduk.Aku duduk di situ dengan kedua kaki aku tekuk di depan tubuhku. Aku letakkan wajahku pada siku tangan di atas lututku, dan mulai menangis.Awalnya Andre diam saja. Mungkin dia tahu sejak tadi aku sudah menahan gejolak perasaan. Aku menumpahkan semua air mata yang bisa aku hasilkan, meluapkan semua perasaan yang be

  • Sketsa Cinta Arina   74. Jawaban

    [Arina POV] "Mampir sebentar ya, ketemu temanku dulu." Kami berhenti sejenak di depan sebuah toko yang merangkap studio foto. Sepertinya Andre ingin menemui temannya sesama fotografer yang tinggal di kota ini. Kami memasuki studio foto itu, hanya ada beberapa orang customer dan karyawan yang melayani. Seorang pria yang mungkin seumuran Andre menyambut kami dengan senyum lebar. "What's up, Bro?" "What's up?" Mereka melakukan serangkaian gaya salaman dan tos yang entah berapa jumlahnya, serta menanyakan kabar masing-masing. Ternyata Andre bisa sok gaul juga. "Jadi...?" Teman Andre menggantungkan pertanyaannya sambil menunjuk aku. "Oh ya, Arina, ini Bagas, temanku yang tadi ngasih alamat. Bagas, ini Arina, calon istri gue," kata Andre dengan bangga memperkenalkan kami kepada satu sa

  • Sketsa Cinta Arina   73. Mencari

    [Arina POV] Dengan bantuan GPS kami mencoba mencari alamat yang tertera di kartu nama Pak Gumelar. Aku tidak yakin sepenuhnya, tapi sangat berharap alamat di kartu itu memang betul-betul rumah pria yang sudah menipu bapakku. Namun harapan kami mulai memudar ketika mendapati area itu telah menjadi perumahan yang cukup mewah. Rasanya tidak mungkin kalau orang yang sudah kaya raya sampai jadi penipu, tapi siapa juga yang tahu. Orang-orang yang kami temui rata-rata penghuni baru di wilayah itu, dan tidak ada yang mengenal Pak Gumelar. Aku sudah nyaris putus asa. Andre mungkin juga merasa lelah melihat tidak adanya kemajuan dalam pencarian kami, namun ia tidak menunjukkannya. Dengan penuh kesabaran dia menemani aku berkeliling dan terus mencari. Ketika menjelang sore aku sudah kelelahan secara fisik dan emosi. Andre mengajakku beristirahat di depan sebuah mini market. Pria m

  • Sketsa Cinta Arina   72. Tante Sherly

    [Arina POV] Dalam benakku selama ini Tante Andre yang tinggal di Surabaya itu umurnya nggak jauh beda dari mamanya. Tapi wanita yang ada di hadapanku sekarang ini jelas belum tua, mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dariku. "Duh, Arina ini lagi bengong saja cantik lho. Hati-hati disambar Andre nanti," goda Tante Sherly demi melihat aku yang melongo. Andre terkekeh mendengar pernyataan tantenya itu. "Beneran tante? Bukan sepupu? Kok masih muda? Tadi Andre juga manggil 'mbak' kan?" Aku masih belum bisa percaya. "Huh, itu karena dia keponakan durhaka," sungutnya. Andre terpingkal-pingkal menyaksikan wajah kesal tantenya itu. Wanita muda itu mengabaikan Andre dan kembali tersenyum genit padaku. "Udah, ayo masuk dulu, makan siang sambil ngobrol-ngobrol. Kalian pasti sudah lapar," ajaknya sembari menarik tanganku untuk memasuki rumah. Memang sudah wa

DMCA.com Protection Status