Home / Romansa / Mutiara Lembah Hitam / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Mutiara Lembah Hitam: Chapter 21 - Chapter 30

65 Chapters

Bab 21. Rumah Hiburan-Mike House

Sementara itu, Susan pun tengah bergumul dengan permasalahan rumah tangganya yang rumit. Sikap permusuhan Lee dan perlakuan Bas yang tidak stabil membuat Susan merasa terombang ambing. Lee, anak pertama Bas yang berusia tiga puluh lima tahun, tinggal di rumah Bas sejak dua tahun lalu. Lee bercerai dengan istrinya. Kedua anak laki-lakinya  ikut dengan ibu mereka. Lee kembali hidup membujang. Ia memilih tinggal di rumah besar ayahnya dan bekerja di perusahaan Bas. Namun karena usaha mereka kian hari kian menurun, Lee menjadi malas-malasan. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Susan kerap merasa terganggu dengan keberadaannya. Apalagi Bas sering ke luar kota. Asisten rumah tangga pun kini tak ada yang tinggal di rumah. Mereka hanya datang pagi hingga menjelang siang. Berduaan bersama Lee di rumah membuat Susan merasa tidak nyaman. Apalagi setelah insiden beberapa hari yang lalu. Lee se
Read more

Bab 22. Gathering Bulanan

Tak terasa, dua tahun sudah Susan menjadi penghuni Mike House. Ia menikmati kemewahan dan petualangan yang didapat di istana megah mereka, tempat ia bebas melakukan apa pun yang ia inginkan, kecuali pergi dari sana. Tinggal di Mike House membuat Susan tak perlu pusing memikirkan uang. Setiap bulan, ia bahkan mengirimi Darsih, sang ibu uang dalam jumlah besar. Ketika Darsih bertanya pekerjaannya, Susan berkata bekerja dengan orang asing. Setiap hari ada saja tamu yang datang ke Mike House. Para gadis menyambut raja-raja itu dengan wajah sumringah. Penampilan menawan dengan senyum ramah tak henti-henti mereka ulaskan. Namun, di antara hari-hari yang sibuk itu, ada satu hari paling disukai oleh seluruh penghuni rumah, khususnya oleh Susan.  Gathering Bulanan.  Acara itu menghadirkan sensasi tersendiri bagi gadis yang selalu tampil menawan itu. Gathering dihadi
Read more

Bab 23. Jerit Tengah Malam

Susan mendorong ayunan dengan pelan. Sepoi angin mempermainkan rambutnya yang hitam tebal. Matanya terpejam, tapi berbagai kenangan seperti terpampang jelas di depan matanya.  Sejak usia sepuluh tahun, ia tinggal berdua Darsih, sang Ibu. Ayah Susan meninggal karena kecelakaan. Sebagai anak tunggal, Darsih mencurahkan kasih sayang penuh untuknya. Tapi karena keadaan keuangan mereka yang terbatas, Susan harus bekerja keras untuk bisa tampil layaknya remaja seusia. Sejak SMP ia sudah bekerja. Kala itu Susan membantu Nyonya Sinta, istri Tuan Herman, juragan terkaya di kampungnya. Tugasnya membantu Nyonya Sinta membersihkan kamar dan melayani keperluan pribadi Nyonya Sinta. Sedangkan Darsih, bekerja sebagai pembantu di rumah besar itu. Nyonya Sinta sayang padanya. Ia kerap diajak pergi jalan-jalan saat liburan. Tuan Herman dan Nyonya Sinta tak punya anak perempuan. Kedua anaknya laki-laki dan su
Read more

Bab 24. Pegawai Baru

Entah apa yang salah dengan otaknya, tiba-tiba Santi membayangkan Hendra tengah bergumul dengannya, sembari mendesah dan menjerit penuh kepuasan, seperti yang ia dengar semalam.  Wajahnya tiba-tiba memerah. Hendra mengamatinya dengan seksama. “Kamu kenapa?” tanyanya sembari mengamati Santi dari atas ke bawah. “Tidak kenapa-kenapa, Pak,” jawab Santi cepat. Suaranya bergetar. Hendra memandangnya dengan senyum dikulum. “Kamu mendengar apa semalam?” Ia mengedipkan sebelah mata pada Santi yang berdiri dengan posisi serba salah tingkah. “Tidak ada Pak,” jawabnya malu-malu. Dadanya bergemuruh kencang. “Hmm, yakin kamu gak mendengar apa-apa?” Hendra semakin senang karena kini wajah Santi bak udang rebus matang. 
Read more

Bab 25. Aku Tahu Rahasiamu

Sudah seminggu Santi tinggal di rumah Hendra. Setiap pagi, dengan antusias ia menuju ruang kantor di lantai dasar. Pukul tujuh, ia sudah berada di ruangan. Dengan senang hati, ia ikut membersihkan meja kerja dan ruangan kantor. Kini ruangan itu tampak lebih nyaman dan menyenangkan.  Ia sangat menikmati hari-harinya menjadi pegawai. Hendra dan Astra pun menyukai hasil kerjanya.    “Hebat kamu,” puji Hendra di hari ketiga ia bekerja. “Kamu belajar cepat, dan hasilnya lumayan memuaskan.”  Ia tersipu mendapat pujian Hendra.  Setiap pagi, Hendra berada di kantor hingga pukul delapan. Dengan pakaian santai dan celana pendek, ia sibuk memeriksa catatan dan beberapa dokumen. Pada saat itu, mereka hanya berdua di ruang kantor.  Terkadang Hendra tidak memedulikan kehadiran Santi. Namun ada kalan
Read more

Bab 26. Hanya Peran Pengganti

“Pak Hendra…. Jangan Pak….” keluhnya dengan rintihan tertahan.    “Saya tidak akan memaksa kamu, Sayang.” Hendra berbisik sembari mempermainkan cuping kuping Santi dengan bibirnya. Hembusan nafasnya membuat bulu-bulu halus di tubuh Santi meremang. Pada saat yang sama, jemari tangan Hendra mulai mengembara dan berlabuh di inti tubuhnya dengan gerakan keluar masuk yang membuat Santi tak mampu lagi berpikir.    "Pak Hendra..... Jangan," keluhnya.   “Aku tidak akan memaksa kamu, Sayang,” ucap Hendra berulang-ulang. “Jika kamu tidak mau, aku akan hentikan.” Namun, tangan dan mulutnya terus bergerak menjelajahi bukit dan lembah di tubuh belia Susanti. Sentuhan dan gerakan-gerakan Hendra membuat gadis itu kian kehilangan nalar. Ia terbang ke langit tinggi, melayang di awang-awang. Namun itu tak cukup. Ia ingin lebih. Ia ingin mencapai nirwana. Ia mendambakan H
Read more

Bab 27. Cinta Memang Gila

Kebencian tampak jelas di kedua mata Aril.  “Gara-gara kamu, Mamaku menderita dan mati sia-sia!” Ia berkata dengan tatapan sinis. “Kini kamu harus jadi istriku.” “Aku tidak mengerti arah pembicaraan kamu, Mas Aril.” Nesa merasa sudah cukup mendengar kesimpangsiuran pembicaraan Aril. Omongannya tidak terstruktur dan tercampur aduk.  “Sepertinya Mas Aril sedang mabuk. Biar aku antar ke rumah.” “Mabuk, hah? Iya, aku mabuk gara-gara kamu!”Aril tampak kian marah. “Aku mau menginap di sini. Ada masalah?” Raga kehilangan kesabaran.  “Hei. Cukup kamu meracau di sini. Jika tidak mau panjang urusan, silahkan kamu pergi. Kalau tidak aku panggil keamaan.” “Mas Raga, sepertinya M
Read more

Bab 28. Kamu Milikku!

Nesa terperanjat. Ia berusaha melepaskan diri dari gendongan Raga. Namun tenaganya tak sebanding dengan tenaga lelaki bertubuh tinggi besar itu. Ia bagai anak kecil di dalam dekapan tubuh Raga yang kekar.  “Lepasin aku, Mas. Kita tidak boleh melakukan itu.” Ia berupaya menyadarkan Raga yang mulai kehilangan kendali. Raga tak lagi peduli. Ia menutup pintu kamar Nesa dan menguncinya. Dengan nafas memburu, ia baringkan gadis yang membuat perasaannya berhari-hari terombang ambing tidak karuan. Kata-kata Aril tentang Nesa dan ayah Aril menimbulkan rasa sakit yang teramat sangat, tetapi pada saat yang bersamaan juga membuat adrenalinnya melonjak tajam.  “Aku tidak mau lagi mendengar alasan apa pun dari kamu, Sayang. Aku menginginkan kamu dan tak ada yang bisa menghalangi.” Ia menciumi Nesa dengan perasaan campur aduk. Semakin Nesa meronta, hasrat Raga kian merasa dita
Read more

Bab 29. Rumah Kenangan

"Apa yang terjadi padaku?”  Nesa mencengkeram kitchen set dengaan erat. Pandangannya buram. Tiba-tiba semua tampak bergerak. Dengan tertatih-tatih, ia kembali ke sofa. Kepalanya terasa sangat berat. Ia merebahkan tubuh.  “Apa ini hukuman karena aku melakukan hubungan terlarang?” tiba-tiba wajahnya memucat. Sakit kepala yang tak terkira membuat Nesa tak melanjutkan membuat sarapan. Ia meringkuk di sofa dengan pikiran berkecamuk. “Aku pasti dikutuk,” batinnya lirih. Tak berselang lama, Raga keluar kamar mandi dengan wajah cerah. Lalu tertegun melihat Nesa yang terbaring sambil memijit kepala. “Sayang, kamu kenapa?” Ia mendekat dan terkejut mendapati tubuh Nesa sangat panas. Dengan panik ia menempelkan tangan di kening dan leher Nesa
Read more

Bab 30. Waktu Mengubah Segalanya

Aroma ruangan yang menusuk membuat nafas Nesa sesak. Tatapan Andin pun seakan tengah menghakimi tanpa suara. Namun ia tak boleh lemah. Nesa tak ingin Andin makin curiga.  “Temanin aku ke kamar Om Beno, Ndin.” Sedikit rasa was-was menyelinap saat harus bertemu laki-laki yang pernah sangat beruasa atas dirinya. Meskipun dalam situasi yang sangat berbeda. Andin kembali menatap Nesa dengan ekspresi datar.  “Kamu masih tahu kan kamar Mama dan Papaku? Masuk aja. Gak ada siapa-siapa. Cuma ada Papa.” “Papa kamu kan sakit. Gak enaklah aku sendirian. Kalo beliau mau sesuatu, aku kan gak paham.”  Dengan malas-malasan, Andin beranjak dari duduknya. “Sudah berapa lama kamu tidak ke sini, Nes?” Pertanyaan sekilas, tapi membuat Nesa menghela nafas panjang.
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status