Sinar berdecak kecil dengan wajah memberengut, ketika membelitkan dasi di leher Pras. Sebentar lagi suaminya itu akan berangkat ke kantor. Namun, sisa-sisa perdebatan keluarga semalam, masih saja menggantung di sanubari. “Sudahlah, Nar. Gak usah dipikirkan.” Setelah bertahun-tahun mereka menikah, tidak perubahan yang signifikan pada diri Pras. Ia masih saja memanggil Sinar dengan namanya saja jika sedang berdua, dan akan memanggil sayang, jika tengah ada maunya. “Gimana gak dipikirin,” decaknya sekali lagi. “Aku dulu, umur segitu udah mau punya anak dua, eh, udah punya anak dua apa belum ya?” tanya Sinar pada diri sendiri, sembari mengingat kembali dan menghitung-hitung usianya, ketika melahirkan anak kedua. “Itu karena jodohmu cepat, makanya umur segitu sudah punya anak dua,” papar Pras lalu menepuk kepala Sinar satu kali. “Harusnya Qai yang kamu buru buat nikah dan bawa calonnya ke sini, bukan adeknya.” Sinar menurunkan kerah baju sang suami, setela
Read more