Baru saja Mai melangkahkan kakinya masuk ke ruang keluarga, satu tangan besar sudah langsung menyambut dan merangkulnya dengan gemas. Tidak perlu menoleh, dari baunya saja, Mai sudah tahu siapa yang saat ini berada di sebelahnya.
Mai pun seketika berdecak. Menyingkirkan tangan besar itu, lalu mundur satu langkah. “Gendong ke kamar, aku capek!”
“Ingat umur Mai! Kamu tuh bukan anak kecil lagi. Masih aja minta gendong,” dumel Qai, tapi tetap saja ia berjongkok di depan sang adik yang memang terlihat tampak lelah. “Mending, berhenti aja jadi pengacara. Di rumah aja kayak enda ngawasi saham perusahaan dari jauh.”
Mai mencebik dengan tajam di belakang sang kakak. Tanpa segan, ia langsung menjatuhkan tubuhnya dipunggung Qai dan mengalungkan tangannya dengan erat pada leher pria itu. Memilih diam dan tidak ingin menanggapi ucapan Qai yang menurutnya tidak penting itu.
Baru lima langkah Qai membawa tubuh Mai di punggungnya, Sina
Sinar menatap kesal pada Pras yang baru saja masuk ke dalam kamar. Setelah makan malam, suminya itu sibuk berada di ruang kerjanya bersama Mai. Sedangkan Qai, sudah pasti berada di depan teve tengah bermain game, dengan mengajak salah satu pelayan pria yang ada di rumah. Sebelum bergelung satu selimut dengan sang istri, Pras beranjak ke kamar mandi terlebih dahulu. Setelah itu, Pras mengganti baju dengan piyama tidurnya. Sinar menyingkap selimut dan menepuk sisi kosong yang berada di sebelahnya, ketika melihat Pras baru keluar dari walk in closet. “Jangan tidur dulu, aku mau ngomong, penting!” seru Sinar yang duduk bersandar pada headboard. “Hm, mau ngomong apa?” tanya Pras setelah duduk di samping Sinar dan membalut kakinya dengan selimut yang sama. “Suruh Mai berhenti jadi pengacara,” titah Sinar menatap tajam pada Pras. “Terus, kamu itu gak bisa manjain Mai terus-terusan seperti itu, Mas. Qai kamu biar-biarin, lah Mai, apa-apa diurusin.”
Mai melukis senyum tipis sembari menutup pintu kamarnya. Saat ini, Mai tengah membaca sebuah chat dari pengacara lawan yang menangani kasus perceraian Endy Hasan. Sang pengacara mengatakan, bahwa dirinya akan mundur dari kasus karena perbuatan kliennya pada Mai kemarin sore. Ya, Pras sendirilah yang menelepon Lubis kemarin malam. Menceritakan perihal kejadian yang dialami putrinya di Palace Hotel. Jika Lubis masih terus saja membela kliennya, Pras bisa pastikan kalau wartawannya di Metro Ibukota, akan terus memberitakan sang pengacara dengan mengulik hal kelam yang pernah dilakukannya terus menerus. Mai mempercepat langkahnya ketika melihat Pras dan Sinar sudah duduk berdampingan mengitari meja makan, tapi dengan sisi yang berbeda. Satu tangannya langsung mengalung pada leher Pras, dan mengecup singkat pipi sang ayah. “Pak Lubis barusan chat, dia mundur dari kasus,” kata Mai lalu menarik kursi di samping Pras dan berhadapan dengan Sinar.
Mai mengerucutkan bibir tipisnya, memandang datar tanpa minat pada pasangan kencan butanya malam ini. Entah bagaimana dengan Qai. Kakaknya itu terlihat santai, dan berpakaian sangat kasual, ketika berangkat dengan arah tujuan yang berbeda dengannya.Sang bunda memang sudah mengatur, agar Mai dan Qai berkencan di tempat yang terpisah jauh. Hal itu untuk mengantisipasi, adanya ‘kerjasama’ diantara keduanya. Bisa saja kan, pasangan kencan yang seharusnya bertemu dengan Mai, malah dipertemukan dengan pasangan Qai. Kalau sudah begitu, retaklah sudah seluruh rencana Sinar.Malam ini, teman kencan yang dipilihkan untuk Mai sebenarnya lumayan tampan. Hanya saja, tidak ada chemistry serta percikan api yang menggelora di hati. Tidak seperti saat dirinya melihat Byakta, meskipun dari jarak jauh sekali pun. Mereka memang baru saja duduk sekitar sepuluh menit, tapi, Mai sudah mulai merasa bosan dan ingin mengakhiri pertemuannya kali ini.Bicara tentang Byakta, ta
Satu hal lagi yang membuat kekesalan Mai lengkap malam ini, yakni sang bunda ternyata meminta supir pribadi Mai untuk meninggalkannya. Alhasil, Mai kembali terperangkap dengan Rajendra selama perjalanan pulang ke rumah.Mai bisa naik taksi sebenarnya, tapi, sebuah chat yang bernada ancaman dari sang bunda, membuat Mai mau tidak mau menuruti perintahnya.“Kamu ada hubungan dengan Byakta?” tanya Rajendra ketika roda empatnya menjauh dari restoran tempat mereka mengadakan blind date. “Mantan pacar ata—”“Gak ada hubungan apa-apa,” putus Mai tidak ingin membicarakan tentang Byakta yang ternyata sudah memiliki kekasih.“Tapi, aku lihatnya gak begitu, kalian seperti—”“Bangunin aku kalau sudah sampai.” Mai kembali menyela ucapan Rajendra sembari menurunkan sandaran joknya. Ia benar-benar sudah tidak berminat dengan semua hal tentang Byakta.Rajendra semakin dibuat penasaran de
Pagi harinya, Mai keluar dari kamar dengam menggunakan bathrobe. Melenggang santai keluar rumah, menuju kolam renang yang berada diantara bangunan depan dan belakang. Sudah terlihat Qai yang lebih dulu menenggelamkan tubuhnya di dalam sana, dan Mai pun berdiri sejenak untuk mengamati. "Gimana semalem?" tanya Mai yang melihat Qai sudah berhenti dari kegiatannya, tapi masih betah berendam di kolam. Qai yang baru menyadari keberadaan Mai, akhirnya berenang ke sisi kolam, tempat adiknya itu berada. "Cakep, sih. Pintar juga, kok anaknya," seloroh Qai menjawab pertanyaan sang adik. "Tapi?" sambar Mai yang sudah mengerti dengan watak sang kakak. Wajah Qai yang tidak antusias itu, sudah menandakan kalau kencannya semalam tidak terkesan istimewa. Atau, mungkin cenderung biasa. "Tapi, gak asyik aja anaknya,” decak Qai seraya melipat kedua tangannya di sisi kolam. Mendongak untuk menatap Mai yang masih bersedekap. “Kamu juga sama pasti, kan?” kekeh Qai yan
Setelah menjelajah rumah belakang dan berteriak memanggil-manggil sang ayah, tapi tidak kunjung mendapat balasan. Mai pun keluar dan kembali ke kolam renang. Kini sang bunda terlihat tengah berbicara serius dengan Qai.“Ayah di mana, Nda?” tanya Mai dengan terburu. Ia harus membicarakan semua ini dengan sang ayah. Mengatakan kalau Mai benar-benar tidak tertarik dengan Rajendra dan tidak ingin menikah dengan pria itu.“Di ruang kerja,” decak Sinar yang benar-benar gemas dengan sikap putrinya itu. Semua sikap tidak acuh Mai benar-benar menurun dari Pras. Padahal kalau mengingat kebelakang, Mai adalah anak yang tidak diharapkan oleh Pras. Namun sekarang, kedua orang itu selalu saja menempel dan kerap terlihat bersama untuk membahas semua hal.Detik selanjutnya, Mai langsung berlari ke rumah depan. Masih sambil menjerit dengan memanggil-manggil sang ayah.Mai tidak lupa untuk mengetuk pintu ruang kerja sang ayah terlebih dahulu. Meskip
“Pokoknya, aku gak mau nikah sama si Raj itu, Ndaaa …” Meskipun kesal, Mai tetap menjaga tuturnya ketika berbicara dengan Sinar. Tangan Mai sudah menenteng tas kerja, dan satu per satu kakinya ia masukkan ke dalam sepatu pantofel dengan hak setinggi lima senti. “Oke, oke,” Sinar menarik napas dalam-dalam untuk menahan sebuah kekesalan kecil ketika berhadapan dengan Mai. “Gak langsung nikah, deh. Nanti biar Enda ngomong sama Raj. Tapi, bisa kan jalani dulu, saling kenal dulu? Kan, kalau tak kenal maka tak sayang, Mai … Kalian, kan baru sekali ketemu,” Satu napas kasar terbuang dari mulut Mai. Tubuh tegapnya yang sudah terlihat rapi dan elegan itu lalu menghampiri Sinar. Meraih tangan kanan sang bunda lalu menciumnya. “Aku berangkat, ada sidang bentar lagi.” Setelah berpamitan, Mai langsung berbalik dan berlari keluar dengan pantofelnya. Semua itu, demi menghindari sang bunda yang tidak akan berhenti membeo tentang Raj, jika Mai masih ada bersama wanita paruh b
Tidak … Mai tidak ingin merusak hubungan siapa pun. Ia datang ke Casteel High hanya ingin memastikan semua hal. Mai ingin mendengar sendiri, kalau pria itu benar-benar mencintai kekasihnya. Mai langsung meluncur ke lantai sepuluh. Tempat ruang pria itu itu berada. Melangkah elegan dan hanya memberi anggukan kecil, pada pegawai yang menyapanya sepanjang jalan. Tidak ada senyum, karena suasana hati yang berkecamuk tidak menentu. Mai mengetuk pintu ruang manajer HRD terlebih dahulu. Sebelum akhirnya menekan handle pintu dan mendorongnya. “Siang, Mas By,” sapa Mai yang masih berada di bibir pintu. Menunggu hingga dipersilakan masuk terlebih dahulu. “Mai?” Pria itu langsung berdiri dari kursi kebesarannya dan beranjak menghampiri Mai. “Ada perlu apa? Ada yang bisa aku bantu? Kamu ada masalah?” cecarnya diantara degup jantung yang tiba-tiba saja bertalu tidak jelas. “Boleh aku masuk?” “Oh, ya boleh,” ujarnya kemudian bergeser dari hadapan Ma