“Pokoknya, aku gak mau nikah sama si Raj itu, Ndaaa …” Meskipun kesal, Mai tetap menjaga tuturnya ketika berbicara dengan Sinar. Tangan Mai sudah menenteng tas kerja, dan satu per satu kakinya ia masukkan ke dalam sepatu pantofel dengan hak setinggi lima senti.
“Oke, oke,” Sinar menarik napas dalam-dalam untuk menahan sebuah kekesalan kecil ketika berhadapan dengan Mai. “Gak langsung nikah, deh. Nanti biar Enda ngomong sama Raj. Tapi, bisa kan jalani dulu, saling kenal dulu? Kan, kalau tak kenal maka tak sayang, Mai … Kalian, kan baru sekali ketemu,”
Satu napas kasar terbuang dari mulut Mai. Tubuh tegapnya yang sudah terlihat rapi dan elegan itu lalu menghampiri Sinar. Meraih tangan kanan sang bunda lalu menciumnya. “Aku berangkat, ada sidang bentar lagi.”
Setelah berpamitan, Mai langsung berbalik dan berlari keluar dengan pantofelnya. Semua itu, demi menghindari sang bunda yang tidak akan berhenti membeo tentang Raj, jika Mai masih ada bersama wanita paruh b
Tidak … Mai tidak ingin merusak hubungan siapa pun. Ia datang ke Casteel High hanya ingin memastikan semua hal. Mai ingin mendengar sendiri, kalau pria itu benar-benar mencintai kekasihnya. Mai langsung meluncur ke lantai sepuluh. Tempat ruang pria itu itu berada. Melangkah elegan dan hanya memberi anggukan kecil, pada pegawai yang menyapanya sepanjang jalan. Tidak ada senyum, karena suasana hati yang berkecamuk tidak menentu. Mai mengetuk pintu ruang manajer HRD terlebih dahulu. Sebelum akhirnya menekan handle pintu dan mendorongnya. “Siang, Mas By,” sapa Mai yang masih berada di bibir pintu. Menunggu hingga dipersilakan masuk terlebih dahulu. “Mai?” Pria itu langsung berdiri dari kursi kebesarannya dan beranjak menghampiri Mai. “Ada perlu apa? Ada yang bisa aku bantu? Kamu ada masalah?” cecarnya diantara degup jantung yang tiba-tiba saja bertalu tidak jelas. “Boleh aku masuk?” “Oh, ya boleh,” ujarnya kemudian bergeser dari hadapan Ma
Byakta segera berbalik. Meraih dan menarik kasar lengan Mai, yang baru saja melewatinya. Tubuh keduanya lantas bertemu tanpa jarak. “Aku bukan pengecut,” desis Byakta seraya memberi tatapan tajam pada Mai. Mai menjaga dagunya agar tetap terangkat tegak. Tidak merasa gentar atau pun risau, dengan tatapan yang dilayangkan oleh Byakta. Tatapan sang ayah jika sudah kesal, akan lebih menyeramkan dari ini. Jadi, sikap Byakta saat ini, benar-benar tidak berpengaruh apapun baginya. “Putuskan Raya, dan temui ayahku kalau kamu memang bukan pengecut.” Cengkraman itu langsung terlepas detik berikutnya. Byakta mundur satu langkah, untuk menjaga jarak dari Mai. Menatap hampa, dengan ketidakmungkinan yang ada diantara mereka. Jakun Byakta naik turun dengan perlahan. Pandangannya menyapu tubuh Mai dari ujung rambut, hingga kaki. Satu kata yang dapat Byakta simpulkan … Mewah. Penampilan berkelas nan mahal yang selalu melekat pada Mai, sungguh membuat Bya
Wajah tegang yang ditunjukkan oleh Byakta, membuat Pras semakin curiga dengan hubungan pria itu dengan putrinya. Pras yang duduk di satu-satunya arm chair yang ada di ruangan tersebut, hanya memandang datar tapi tetap bersikap santai. “Kamu sudah tahu, kan, kalau bulan depan saya sudah pensiun dari Casteel High?” tanya Pras membuka obrolah ditengah ketegangan yang masih terlihat di wajah Byakta. Padahal, tidak biasanya Byakta bersikap seperti itu jika di depan Pras. “Tahu, Pak,” jawab Byakta dengan anggukan kecil. “Saat saya pensiun nanti, juga akan ada perombakan dewan direksi beserta komisaris yang mengikutinya. Dan, saya mau kamu koordinasi dengan pak Wisnu lebih intens lagi, karena bulan depan, kamulah yang akan menggantikan beliau.” “Saya?” Wajah tegang itu kini berubah syok seketika. Masih tidak percaya, dengan apa yang sudah ia dengar barusan. “Saya yang menggantikan pak Wisnu jadi direktur personalia? Bapak gak salah tunjuk?” “Nope,” j
Mai menghempaskan tubuhnya pada sofa yang berada tidak jauh dari meja kerja Qai. Kakak laki-lakinya itu, tengah berbicara dengan seorang karyawan yang duduk bersebrangan dengannya. Untuk itu, Mai hanya menunggu sampai Qai selesai sembari bersandar dan memperhatikan sekeliling ruang pria itu. “Baik, Pak Qai, saya permisi dulu,” ujar sang karyawan wanita menyudahi laporannya lalu beranjak dan tidak lupa untuk menyapa Mai. “Permisi, Bu Mai.” Mai mengangguk. “Besok, kalau masih mau kerja di sini, tolong roknya dipanjangin ya. Terima kasih.” Langkah sang karyawan muda itu terhenti dan menatap gugup. “Ba-baik, Bu. Permisi,” ujarnya kemudian berlalu dengan cepat dari ruangan Qai dan menutup pintu dengan rapat. Qai yang geregatan dengan sang adik itu, langsung melempar Mai dengan pulpen yang baru saja dipakainya untuk tanda tangan. “Resek! Haknya dialah mau pake rok yang gimana!” “Hm, tapi ini kantor, bukan mall atau kelab malam,” sanggah Mai. “Waktu
Hari-hari selanjutnya, dijalani Mai seperti biasa. Berangkat pagi, menjalani sidang dan segudang pekerjaan lainnya. Kembali ke rumah, lalu beristirahat dan tidak ada yang benar-benar istimewa. Mai sudah benar-benar menjauhkan nama Byakta dari hatinya. Pria itu, ternyata tidak juga melakukan apa yang Mai minta. Jadi, cukuplah sudah ia berharap dengan sesuatu yang tidak pasti.Namun, hal yang berbeda dialami oleh Qai. Pria itu terlihat lebih banyak menatap ponsel dari pada bermain game, atau berlama-lama di garasi untuk merawat mobil-mobil milik Pras, yang nantinya tentu saja akan jadi milik Qai.“Kamu punya pacar, Mas?”Mai tahu-tahu sudah bersedekap, dan berdiri tepat di depan Qai yang sedang tersenyum sendiri menatap ponsel.“Belum,” jawab Qai santai. “Baru pe-de-ka-te!” serunya lalu terkekek tanpa melihat Mai sama sekali. Qai malah merebahkan diri pada sofa sembari terus mengetikkan sesuatu di layar ponselnya.
Sendiri dan merasa sepi. Itulah yang dirasakan Mai, meskipun saat ini ia sedang berada di tengah keramaian. Tidak ada Qai yang menemani. Sang bunda pun masih terlihat asyik bersama Diana di sudut ruang. Menoleh ke belakang, ada Raj yang terlihat sibuk menempel dengan Widi. Yang paling menyedihkan lagi, tentu saja melihat Byakta yang sedari tadi selalu menggamit tangan sang kekasih, ke mana pun mereka berada.Mai lantas membuka cardigannya. Merebahkan diri, kemudian menutup separuh tubuhnya ke atas dengan baju luaran tersebut. Memilih memejamkan mata dan membiarkan dirinya terlelap untuk melupakan kesepian yang ada.Namun, sekeras apapun Mai berusaha memejamkan pikirannya, tetap saja rasa kesal dan gelisah yang berkecamuk di hati itu terus merajai.Mai lalu menggeram dan bangkit sembari menarik cardigannya. Kembali duduk dengan kaki menjuntai dan mengambil ponsel dari tasnya untuk menelepon seseorang.“Tante di mana?” tanya Mai setelah mengucap
Mai menyerah. Daripada harus mendengar curhatan Raj, lebih baik ia kembali ke dalam gedung. Satu hal yang Mai lakukan, agar Raj bisa menyingkir dan ia pun bisa keluar dari mobil. Mai mencapit otot perut Raj begitu keras, sembari melampiaskan kekesalan yang sudah menumpuk sedari pagi.Dari mana lagi Mai mencontoh hal tersebut jika bukan dari sang bunda. Terkadang, Mai melihat Sinar melayangkan cubitannya pada Pras, ketika sang bunda tengah dirundung kesal.Benar saja, hal tersebut sukses membuat Raj mengaduh, hingga berjengit keluar dari mobil."Mai!" desis Raj sembari meringis kesakitan. Tangannya sibuk mengusap perut bagian samping yang sudah dicubit sedemikian keras oleh Mai.Dengan wajah kesal dan tidak mau peduli, Mai keluar dari mobil lalu beranjak meninggalkan Raj. Berniat kembali masuk ke dalam dan meminta sang bunda agar segera pulang dari yayasan.Jika sang bunga tidak mau, maka Mai akan pulang sendiri dengan menggunakan ta
“Berani macam-macam, aku bakal tuntut kamu atas perilaku tidak menyenangkan yang mengarah ke hal-hal yang berbau seksual.” Kepala Raj yang tadinya menunduk secara perlahan, seketika langsung terpeleset jatuh ke bahu Mai, ketika ancama itu dimuntahkan dengan lugas. Mulutnya menggeram singkat dengan helaan kasar. Jiwa yang baru saja melayang tinggi dan hampir menyentuh awan, tiba-tiba saja jatuh dan langsung terhempas ke punggung bumi. Sakitnya mungkin tidak seberapa, tapi, rasa malu itu, yang membuat Raj merutuk dengan hal yang ingin dilakukannya barusan. Raj pun kembali menegakkan tubuh. Berdehem untuk menghilangkan semua rasa canggung yang sebelumnya tidak pernah ada. “Minggir!” titah Mai yang hanya memberi tatapan datar pada Raj yang masih mengukung tubuh Mai. Sedari tadi, kedua tangan Raj masih memegang tali besi ayunan yang barusan Mai duduki. “Mai—“ “Minggir!” sela Mai dengan cepat. “Tapi, jadi temeni aku jalan, kan?” Raj
Hola Mba beb ...My Arrogant Lawyer beneran tamat, kok. :D :D :DMeskipun saia juga gak rela, tapi, udah waktunya mup~on. Jadi cukup sekian dan terima kasih banyak sudah nemeni Pras sama Sinar sampai beranak pinak di GoodNovel.Sediih ... karena buat saia pribadi, Pras sama Sinar emang tokoh yang paling EUGH!, sampai saia bawa karakter mereka ke GN dengan cerita yang berbeda.Udahan curcolnya, eheheh ... Dan seperti janji saia waktu itu, ada hadiah tambahan untuk top fans setelah MAL tamat yakk. Datanya saia ambil per tanggal 20 Jan 2022 tepat pukul 20.00 WIB 1. Shifa Chibii : 500 koin GN + pulsa 200rb2. Fidyani - : 500 koin GN + pulsa 200rb3. Rafa Damanhuri : 300 koin GN + pulsa 150rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshood ID lewat DM Igeh @kanietha_Kok top fans 1 dan 2 sama dapatnya? Karena total gem yang diberikan ke MAL jumlahnya sama, jadi biar fair, yakk. Saia tunggu konfirmasi sampai hari minggu ya, jadi senin bisa
Pagi yang sibuk. Seperti itulah gambaran hari libur yang selalu dihadapi oleh Mai selama lima tahun belakangan ini. Setelah bangun di pagi hari, ia akan selalu menuju dapur terlebih dahulu untuk membuat camilan juga sarapan, untuk dua orang penghuni yang masih tertidur dengan begitu lelap. Di hari libur seperti ini, putri Mai pasti akan mengungsi ke kamarnya dan mereka akan selalu berakhir dengan tidur bertiga. Meskipun ingin protes karena jatah malamnya akan berkurang, tapi Raj tidak bisa menolak jika putri kecil mereka sudah merengek untuk minta tidur bersama. Tidak hanya itu, Raj merupakan seorang ayah yang sangat memanjakan putri semata wayang mereka itu. Apapun yang gadis kecilnya itu minta, Raj pasti akan menurutinya tanpa kata tapi. “Mamiii …” Langkah kecil yang tergesa itu berlari memasuki dapur dengan ma
Dengan iming-iming bahwa Rajlah yang nantinya akan mengurus bayi mereka saat malam menjelang, ketika telah lahir. Akhirnya, Mai setuju untuk bertahan dan melahirkan secara normal. Meskipun, banyak drama yang diciptakan dan entah sudah berapa luka serta cubitan yang telah diterima, Raj hanya pasrah saja. Karena ada masanya nanti, ia akan membalas semua ‘dendam’ saat ini pada Mai. Tunggu saja saat masa nifas istrinya itu selesai, maka Raj benar-benar akan membalasnya. Sampai pada akhirnya, Raj benar-benar terhenyak ketika kuku-kuku nan lentik dan terawat itu kembali menusuk pada luka yang sama. Hanya saja, kali ini tancapan kelima jemari itu lebih bertenaga dari yang sudah-sudah. Ditambah, jeritan sang istri yang sangat panjang itu, ternyata mengakhiri semua perjuangan seorang Mai. Seorang bayi perempuan nan cantik, akhirnya lahir ke dunia dengan penuh perjuangan. Mendengar tangis pertama yang begitu kencang dari bayi mungil mereka, membuat Raj seketika menitikkan air
Begitu keluar dari mobil yang berhenti di depan lobi pintu rumah sakit, Sinar langsung menelepon Raj untuk bertanya mengenai kamar yang Mai tempati saat ini. Namun, satu hal yang membuat Sinar akhirnya menggelengkan kepala, karena putri dan menantunya itu masih berada di sebuah restoran Padang. Mai masih belum mau beranjak dari sana, karena beralasan perutnya masih terlalu penuh, sehingga enggan untuk melangkah. Pada akhirnya, Sinar dan Pras hanya bisa menjenguk Sila untuk sementara sembari menunggu Mai sampai ke rumah sakit. Sebenarnya, Sinar hendak mengomeli Qai karena tidak memberinya kabar sama sekali mengenai kondisi Sila. Putranya itu juga tidak mengangkat, ketika Sinar meneleponnya. Hingga rasa penasaran bercampur kesal, kini hendak ia luapkan pada putranya itu, sampai Sinar merasa puas. Namun, setelah Sinar dan Pras masuk ke dalam ruangan yang ditempati Sila saat ini, semua rasa kesal itu akhirnya hilang. Melihat Sila yang benar-benar terbarin
Pikiran Sinar dan Pras kali ini benar-benar terpecah. Sungguh merasa tidak nyaman dengan Bira dan sang istri. Setelah pagi tadi Qai tidak bisa menghadiri pernikahan, karena harus menjaga Sila yang mendadak pingsan dan langsung dibawa ke rumah sakit. Kini, Raj menelepon untuk mengabarkan hal yang sama. Tidak bisa menghadiri akad nikah yang akan berlangsung, karena kondisi Mai yang mulai kontraksi dan harus berangkat ke rumah sakit. “Gimana?” tanya Pras setelah Sinar kembali menelepon Raj. “Ini lagi mau jalan ke rumah sakit.” Sinar meraih tangan Pras dan meremasnya dengan kuat. Menyalurkan kecemasan yang kini tengah menggelayut di hatinya. Melahirkan seorang anak ke dunia tidak akan pernah mudah. Untuk itulah, rasa cemas di hati Sinar kini semakin menjadi-jadi. “Sudah ngomong sama Bira?” Pras mengangguk. “Sudah, setelah akad nikah selesai. Kita langsung ke rumah sakit.” “Aku gak enak sama Bira kalau begini,” keluh Sinar. “Terus maumu itu bagaima
Sejak kejadian hari itu, Raj sangat berhati-hati dalam mengeluarkan ucapannya. Semua Raj lakukan demi calon putrinya, demi Mai dan tentu saja demi keluarga kecilnya. Mengingat wajah Pras ketika mengancamnya kala itu, hati Raj juga sempat waswas dengan nasibnya jika Mai sampai tidak ingin berbaikan dengannya. Bukan karir yang Raj permasalahkan, tapi, nasib rumah tangga yang sudah pasti akan tercerai berai. Apalagi, jika nantinya ia tidak bisa bertemu dengan istri dan anaknya ketika telah terlahir ke dunia. Hanya satu hal itu yang Raj cemaskan, ketika sang mertua sempat memberi ancaman sedemikian rupa. Namun, nasib akhirnya berpihak pada Raj. Sang istri ternyata tidak sesulit itu ketika dibujuk. Bahkan, jika dipikir lagi, Mai itu cenderung penurut meskipun harus banyak drama yang tercipta sebelumnya. Asal kemauannya dituruti, maka dunia akan aman sejahtera. Hanya itu kuncinya jika ingin berhasil saat bernegosiasi dan berhadapan dengan Mai. Masalah hati, R
Begitu mendengar penjelasan dokter, mengenai kondisi Mai dan kandungannya baik-baik saja, ketiga orang yang saat ini berada di kamar VVIP itu langsung bernapas lega.“Meskipun baik-baik saja, tapi tingkat stresnya tetap harus dijaga,” lanjut dokter menjelaskan kondisi psikis Mai yang memang harus tetap diperhatikan karena tengah hamil besar. “Karena dampaknya, tidak akan baik bagi kondisi janin.”Manik Sinar dan Pras kompak menatap Raj dengan sebuah tanda tanya besar. Tampaknya, rumah tangga putrinya dengan Raj, sedang tidak baik-baik saja. Kalau Mai tidak stres, tidak mungkin putri mereka itu akan terdampar di rumah sakit seperti sekarang.“Baik, Dok, terima kasih,” ucap Sinar dan sang dokter itu berlalu dari ruang rawat inap tersebut. Menyisakan keempat orang yang kini saling pandang dalam diam.“Stres?” Pras menghampiri sang putri lalu duduk di tepi tempat tidurnya. “Kalian berdua bertengkar?”
Raj memang sengaja pulang terlambat. Bahkan, Raj pulang ke rumah saat langit sudah berubah kelam. Hatinya masih merasa kesal karena kejadian siang tadi. Ia bahkan sampai melupakan, kalau sudah membayar kamar hotel yang akan ditempati malam ini bersama sang istri.Ketika roda empatnya sudah berhenti di depan pagar, Raj mengernyit memandang rumahnya yang gelap gulita. Tidak mungkin kalau Mai belum pulang sampai semalam ini. Atau, Raj telah melewatkan sesuatu?Mengeluarkan ponselnya dari saku jas, Raj meneliti satu pesatu telepon masuk beserta chat yang ia terima dari siang sampai detik ini. Namun, tidak ada nama istrinya di dalam sana.Atau, jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan Mai di dalam sana?Bulu kuduk Raj merinding seketika membayangkannya. Ia buru-buru keluar, membuka pagar dan masuk ke dalam rumah dengan tergesa. Menyalakan seluruh penerangan yang ada dan mencari sang istri di setiap sudut rumah.“Mi …”Setelah
“Ke rumah sakit, Pak,” titah Mai setelah Ibam masuk ke dalam mobil dan sudah berada di belakang kemudi.“Ke rumah sakit?” tanya Ibam membalik badan seraya memasang sabuk pengaman. “Rumah sakit mana, Bu? Tadi kata pak Raj, saya disur—”“Ke rumah sakit ibu dan anak,” putus Mai lalu menyebutkan nama rumah sakit yang biasa ia kunjungi setiap bulannya untuk kontrol kandungan. “Nanti sampai sana, Pak Ibam bisa pulang aja.”“Loh, Bu? Kena—”“Jangan bilang sama pak Raj, kalau saya di rumah sakit.” Mai kembali memotong ucapan Ibam. “Udalah Pak, jalan aja. Saya capek banget mau ngomong.”“I-iya, Bu.” Ibam mana berani membantah. Ia langsung melajukan mobilnya ke tempat yang sudah disebut oleh sang majikan. Meskipun banyak tanya yang ada di kepala, tapi Ibam tidak berani bertanya ketika mood Mai terlihat buruk seperti sekarang.Selama