Mai menyerah. Daripada harus mendengar curhatan Raj, lebih baik ia kembali ke dalam gedung. Satu hal yang Mai lakukan, agar Raj bisa menyingkir dan ia pun bisa keluar dari mobil. Mai mencapit otot perut Raj begitu keras, sembari melampiaskan kekesalan yang sudah menumpuk sedari pagi.
Dari mana lagi Mai mencontoh hal tersebut jika bukan dari sang bunda. Terkadang, Mai melihat Sinar melayangkan cubitannya pada Pras, ketika sang bunda tengah dirundung kesal.
Benar saja, hal tersebut sukses membuat Raj mengaduh, hingga berjengit keluar dari mobil.
"Mai!" desis Raj sembari meringis kesakitan. Tangannya sibuk mengusap perut bagian samping yang sudah dicubit sedemikian keras oleh Mai.
Dengan wajah kesal dan tidak mau peduli, Mai keluar dari mobil lalu beranjak meninggalkan Raj. Berniat kembali masuk ke dalam dan meminta sang bunda agar segera pulang dari yayasan. Jika sang bunga tidak mau, maka Mai akan pulang sendiri dengan menggunakan ta
“Berani macam-macam, aku bakal tuntut kamu atas perilaku tidak menyenangkan yang mengarah ke hal-hal yang berbau seksual.” Kepala Raj yang tadinya menunduk secara perlahan, seketika langsung terpeleset jatuh ke bahu Mai, ketika ancama itu dimuntahkan dengan lugas. Mulutnya menggeram singkat dengan helaan kasar. Jiwa yang baru saja melayang tinggi dan hampir menyentuh awan, tiba-tiba saja jatuh dan langsung terhempas ke punggung bumi. Sakitnya mungkin tidak seberapa, tapi, rasa malu itu, yang membuat Raj merutuk dengan hal yang ingin dilakukannya barusan. Raj pun kembali menegakkan tubuh. Berdehem untuk menghilangkan semua rasa canggung yang sebelumnya tidak pernah ada. “Minggir!” titah Mai yang hanya memberi tatapan datar pada Raj yang masih mengukung tubuh Mai. Sedari tadi, kedua tangan Raj masih memegang tali besi ayunan yang barusan Mai duduki. “Mai—“ “Minggir!” sela Mai dengan cepat. “Tapi, jadi temeni aku jalan, kan?” Raj
“Hola, sleeping beauty?” Mai terdiam sejenak. Masih menyesuaikan diri dengan situasi yang ada di depannya. Memikirkan, hal terakhir yang terjadi sebelum ia terlelap dan masih dalam keadaan duduk seperti sekarang. “Eugh …” gumam Mai lalu bangkit menegakkan tubuhnya yang terasa kaku. Kedua tangannya pun terangkat untuk memijat bahu serta leher bagian belakangnya. Meregangkan punggungnya yang saat ini terasa tidak nyaman karena baru saja tidur dengan membungkuk. Qai? Mai menoleh ke sana kemari untuk mencari sang kakak yang seingatnya, tengah duduk di sebelahnya sebelum Mai terlelap. Namun, mengapa saat ini hanya ada Raj yang menggantikan tempat Qai? “Mas Qai? Ke mana?” tanya Mai dengan malas dan suara berat khas bangun tidur. Manik Mai masih berpendar di dalam gedung, yang sepertinya sudah tidak terlalu ramai seperti ketika ia mulai tertidur. Raj yang baru kali ini melihat wajah Mai dengan surai ikal yang tergerai bebas, hanya bisa terdia
“Mai …”“Hm.” Tanpa menoleh sedikit pun, Mai terus saja menggerakkan ibu jarinya pada benda pipih yang sedari tadi ada di tangan. Bukan tanpa alasan dan bukan bermaksud tidak sopan, tapi, ada hal mendesak yang memang harus ia ketik dan kirimkan saat itu juga.“Bayaran pengacara dengan jam terbang seperti kamu itu, mahal gak, sih?” Raj menumpu siku kanannya pada sisi bingkai jendela, yang tertutup di samping kanan. Sedangkan tangan kirinya, ia pakai untuk mengendalikan kemudi dengan satu tangan. Menatap lurus dan tetap berkonsentrasi dengan kepadatan di depan sana.“Tergantung ...” Mai mengembalikan ponsel ke dalam tasnya, lalu menoleh sebentar pada Raj. “Tergantung klien dan rumitnya kasus juga sebenarnya. Tapi, semua bisa dibicarakan dulu kok, dan, kalau aku gak terlalu matok harus sekian. Lihat kemampuan klien juga.”“Bisa dapat berapa sebulan?” Raj kembali mengajukan pertany
Area rooftop Palace High kini sudah didesain ala Eropa dengan tema modern garden. Berbagai bunga dengan dominasi warna putih, dipilih sebagai dekorasi yang menghiasi setiap area. Benar-benar terlihat mewah dan begitu elegan.Qai yang duduk diapit oleh kedua orang tuanya terlihat sedikit tegang. Sang bunda sampai harus berkali-kali membisikkan sesuatu untuk menenangkan putra kesayangannya tersebut.Mai yang duduk tepat di belakang Qai, sedari tadi merapatkan kursinya dan melipat kedua tangan pada sandaran kursi yang diduduki sang kakak.“Baru tunangan aja, udah heboh gini acaranya,” cibir Mai yang berbicara tepat di belakang telinga Qai. “Kamu udah ketemu mbak Chandie belum? Dia duduk di belakang sama anaknya, tapi gak tahu ke mana suaminya.”“Mai …” tegur Sinar dengan melirik tajam. “Suaminya mbak Chandie lagi di Surabaya sama om Lee.”Mai menutup mulutnya. Lalu berpindah ke sisi yang berlawana
Saat ini, Mai seperti seorang terdakwa yang tengah disudutkan dan tidak memiliki pembelaan sama sekali. Ia benar-benar terjebak dan tidak siap dengan semua hal yang menimpanya kali ini. Ternyata, Raj benar-benar gila. Bukankah Mai sudah menolak pria itu? Hubungan mereka pun sudah berada dalam taraf pertemanan.Namun, mengapa jadi seperti ini?“Raj.” Mai menahan napasnya sejenak, lalu membuang perlahan untuk melepas rasa yang ia sendiri tidak mampu mejelaskannya. “Maaf, tapi dari awal aku sud …”Kalimat itu terjeda, ketika Mai melihat wajah Raj sudah terantuk pasrah. Pria itu pasti sudah tahu, kalau Mai akan memuntahkan kalimat penolakan pada dirinya.“Sekali lagi, maaf.” Mai hanya ingin bersikap tegas. Tidak ingin berpura-pura menerima cincin tersebut untuk menyenangkan orang banyak. Tidak … sedari dulu, Mai bukanlah tipe people pleaser, yang membahagiakan orang lain padahal diri sendiri menderita. Namun,
Setelah acara pertunangan Qai dan Sila selesai, Sinar yang merasa tidak enak hati di sisa acara dengan keluarga Raj, buru-buru pergi ke kamar yang sudah dipesan sebelumnya. Malam ini, kedua keluarga yang mengadakan acara sudah disediakan kamar family suit untuk beristirahat, agar tidak terlalu lelah jika harus pulang kembali ke rumah.Di dalam sana, sudah ada Mai yang duduk santai di atas sofa, sembari menatap keluar jendela.“Mai,” panggil Sinar berjalan tergesa menghampiri sang putri yang belum mengganti pakaiannya. “Kamu itu, ck!” Sinar tidak memiliki kata-kata lagi untuk memarahi putrinya yang hanya menatap datar.Mai berdiri. Sedikit menelengkan kepala dan menangkap sosok sang ayah yang baru memasuki kamar. “Tasku, Nda,” pinta Mai, tidak ingin membahas apapun dengan Sinar.Sinar menyerahkan tas Mai yang sedari tadi ia bawa dengan kesal.“Aku mau pulang, tidur di rumah,” kata Mai sambil meng
Mai berwajah masam, ketika mengetahui kedua orang tuanya akan liburan dalam jangka waktu yang tidak bisa ditentukan. Bukankah tadinya, Pras mengatakan kalau mereka hanya akan berada selama seminggu di Raja Ampat? Namun, setelah pulang dari hotel kala itu, Pras menyampaikan, kalau setelah dari Raja Ampat, mereka akan pergi ke Bali, Lombok dan menjelajahi tempat wisata lainnya yang ada di Indonesia.Akhirnya, Pras bisa menikmati hari tuanya dengan beristirahat dari semua urusan pekerjaan. Menua dengan bahagia bersama wanita yang selalu sabar dan setia mendampinginya sejak mereka menikah.“Baik-baik sama masmu,” pesan Sinar sekali lagi ketika hendak berangkat ke bandara. “Kalau mau pergi-pergi, harus sama supir. Enda sudah kasih tahu pak Ibam, kalau libur harus bilang ke supir yang lain biar bisa gantian nyupirin kamu.”
Sepanjang makan malam yang diadakan oleh Bira, posisi duduk Mai diapit oleh sang kayak, juga Byakta yang berada di sisi kanannya. Mai sudah tahu, kalau Byakta saat ini sudah diangkat menjadi salah satu direktur di Casteel High. Namun, untuk duduk bersebelahan seperti sekarang sungguh membuat kekesalan dan luka Mai kembali terbuka. Tidak ada sepatah kata pun yang diucapkan Mai untuk menyapa atau sekadar berbasa-basi dengan Byakta, Karena baginya, semua hal mengenai perasaannya sudah selesai. Ketika mendengar Byakta telah melamar Raya, sejak saat itulah Mai berhenti untuk berharap. Sedangkan Byakta, sepanjang malam ini juga tidak menegur Mai. Ia tahu kalau Mai sudah memendam kekecewaan, yang teramat dalam untuknya. Karena itulah, Byakta lebih memilih mengalihkan semua perhatiannya dengan tamu lain yang masih berada satu meja dengannya.