Mai melukis senyum tipis sembari menutup pintu kamarnya. Saat ini, Mai tengah membaca sebuah chat dari pengacara lawan yang menangani kasus perceraian Endy Hasan.
Sang pengacara mengatakan, bahwa dirinya akan mundur dari kasus karena perbuatan kliennya pada Mai kemarin sore.
Ya, Pras sendirilah yang menelepon Lubis kemarin malam. Menceritakan perihal kejadian yang dialami putrinya di Palace Hotel. Jika Lubis masih terus saja membela kliennya, Pras bisa pastikan kalau wartawannya di Metro Ibukota, akan terus memberitakan sang pengacara dengan mengulik hal kelam yang pernah dilakukannya terus menerus.
Mai mempercepat langkahnya ketika melihat Pras dan Sinar sudah duduk berdampingan mengitari meja makan, tapi dengan sisi yang berbeda. Satu tangannya langsung mengalung pada leher Pras, dan mengecup singkat pipi sang ayah.
“Pak Lubis barusan chat, dia mundur dari kasus,” kata Mai lalu menarik kursi di samping Pras dan berhadapan dengan Sinar.
Mai mengerucutkan bibir tipisnya, memandang datar tanpa minat pada pasangan kencan butanya malam ini. Entah bagaimana dengan Qai. Kakaknya itu terlihat santai, dan berpakaian sangat kasual, ketika berangkat dengan arah tujuan yang berbeda dengannya.Sang bunda memang sudah mengatur, agar Mai dan Qai berkencan di tempat yang terpisah jauh. Hal itu untuk mengantisipasi, adanya ‘kerjasama’ diantara keduanya. Bisa saja kan, pasangan kencan yang seharusnya bertemu dengan Mai, malah dipertemukan dengan pasangan Qai. Kalau sudah begitu, retaklah sudah seluruh rencana Sinar.Malam ini, teman kencan yang dipilihkan untuk Mai sebenarnya lumayan tampan. Hanya saja, tidak ada chemistry serta percikan api yang menggelora di hati. Tidak seperti saat dirinya melihat Byakta, meskipun dari jarak jauh sekali pun. Mereka memang baru saja duduk sekitar sepuluh menit, tapi, Mai sudah mulai merasa bosan dan ingin mengakhiri pertemuannya kali ini.Bicara tentang Byakta, ta
Satu hal lagi yang membuat kekesalan Mai lengkap malam ini, yakni sang bunda ternyata meminta supir pribadi Mai untuk meninggalkannya. Alhasil, Mai kembali terperangkap dengan Rajendra selama perjalanan pulang ke rumah.Mai bisa naik taksi sebenarnya, tapi, sebuah chat yang bernada ancaman dari sang bunda, membuat Mai mau tidak mau menuruti perintahnya.“Kamu ada hubungan dengan Byakta?” tanya Rajendra ketika roda empatnya menjauh dari restoran tempat mereka mengadakan blind date. “Mantan pacar ata—”“Gak ada hubungan apa-apa,” putus Mai tidak ingin membicarakan tentang Byakta yang ternyata sudah memiliki kekasih.“Tapi, aku lihatnya gak begitu, kalian seperti—”“Bangunin aku kalau sudah sampai.” Mai kembali menyela ucapan Rajendra sembari menurunkan sandaran joknya. Ia benar-benar sudah tidak berminat dengan semua hal tentang Byakta.Rajendra semakin dibuat penasaran de
Pagi harinya, Mai keluar dari kamar dengam menggunakan bathrobe. Melenggang santai keluar rumah, menuju kolam renang yang berada diantara bangunan depan dan belakang. Sudah terlihat Qai yang lebih dulu menenggelamkan tubuhnya di dalam sana, dan Mai pun berdiri sejenak untuk mengamati. "Gimana semalem?" tanya Mai yang melihat Qai sudah berhenti dari kegiatannya, tapi masih betah berendam di kolam. Qai yang baru menyadari keberadaan Mai, akhirnya berenang ke sisi kolam, tempat adiknya itu berada. "Cakep, sih. Pintar juga, kok anaknya," seloroh Qai menjawab pertanyaan sang adik. "Tapi?" sambar Mai yang sudah mengerti dengan watak sang kakak. Wajah Qai yang tidak antusias itu, sudah menandakan kalau kencannya semalam tidak terkesan istimewa. Atau, mungkin cenderung biasa. "Tapi, gak asyik aja anaknya,” decak Qai seraya melipat kedua tangannya di sisi kolam. Mendongak untuk menatap Mai yang masih bersedekap. “Kamu juga sama pasti, kan?” kekeh Qai yan
Setelah menjelajah rumah belakang dan berteriak memanggil-manggil sang ayah, tapi tidak kunjung mendapat balasan. Mai pun keluar dan kembali ke kolam renang. Kini sang bunda terlihat tengah berbicara serius dengan Qai.“Ayah di mana, Nda?” tanya Mai dengan terburu. Ia harus membicarakan semua ini dengan sang ayah. Mengatakan kalau Mai benar-benar tidak tertarik dengan Rajendra dan tidak ingin menikah dengan pria itu.“Di ruang kerja,” decak Sinar yang benar-benar gemas dengan sikap putrinya itu. Semua sikap tidak acuh Mai benar-benar menurun dari Pras. Padahal kalau mengingat kebelakang, Mai adalah anak yang tidak diharapkan oleh Pras. Namun sekarang, kedua orang itu selalu saja menempel dan kerap terlihat bersama untuk membahas semua hal.Detik selanjutnya, Mai langsung berlari ke rumah depan. Masih sambil menjerit dengan memanggil-manggil sang ayah.Mai tidak lupa untuk mengetuk pintu ruang kerja sang ayah terlebih dahulu. Meskip
“Pokoknya, aku gak mau nikah sama si Raj itu, Ndaaa …” Meskipun kesal, Mai tetap menjaga tuturnya ketika berbicara dengan Sinar. Tangan Mai sudah menenteng tas kerja, dan satu per satu kakinya ia masukkan ke dalam sepatu pantofel dengan hak setinggi lima senti. “Oke, oke,” Sinar menarik napas dalam-dalam untuk menahan sebuah kekesalan kecil ketika berhadapan dengan Mai. “Gak langsung nikah, deh. Nanti biar Enda ngomong sama Raj. Tapi, bisa kan jalani dulu, saling kenal dulu? Kan, kalau tak kenal maka tak sayang, Mai … Kalian, kan baru sekali ketemu,” Satu napas kasar terbuang dari mulut Mai. Tubuh tegapnya yang sudah terlihat rapi dan elegan itu lalu menghampiri Sinar. Meraih tangan kanan sang bunda lalu menciumnya. “Aku berangkat, ada sidang bentar lagi.” Setelah berpamitan, Mai langsung berbalik dan berlari keluar dengan pantofelnya. Semua itu, demi menghindari sang bunda yang tidak akan berhenti membeo tentang Raj, jika Mai masih ada bersama wanita paruh b
Tidak … Mai tidak ingin merusak hubungan siapa pun. Ia datang ke Casteel High hanya ingin memastikan semua hal. Mai ingin mendengar sendiri, kalau pria itu benar-benar mencintai kekasihnya. Mai langsung meluncur ke lantai sepuluh. Tempat ruang pria itu itu berada. Melangkah elegan dan hanya memberi anggukan kecil, pada pegawai yang menyapanya sepanjang jalan. Tidak ada senyum, karena suasana hati yang berkecamuk tidak menentu. Mai mengetuk pintu ruang manajer HRD terlebih dahulu. Sebelum akhirnya menekan handle pintu dan mendorongnya. “Siang, Mas By,” sapa Mai yang masih berada di bibir pintu. Menunggu hingga dipersilakan masuk terlebih dahulu. “Mai?” Pria itu langsung berdiri dari kursi kebesarannya dan beranjak menghampiri Mai. “Ada perlu apa? Ada yang bisa aku bantu? Kamu ada masalah?” cecarnya diantara degup jantung yang tiba-tiba saja bertalu tidak jelas. “Boleh aku masuk?” “Oh, ya boleh,” ujarnya kemudian bergeser dari hadapan Ma
Byakta segera berbalik. Meraih dan menarik kasar lengan Mai, yang baru saja melewatinya. Tubuh keduanya lantas bertemu tanpa jarak. “Aku bukan pengecut,” desis Byakta seraya memberi tatapan tajam pada Mai. Mai menjaga dagunya agar tetap terangkat tegak. Tidak merasa gentar atau pun risau, dengan tatapan yang dilayangkan oleh Byakta. Tatapan sang ayah jika sudah kesal, akan lebih menyeramkan dari ini. Jadi, sikap Byakta saat ini, benar-benar tidak berpengaruh apapun baginya. “Putuskan Raya, dan temui ayahku kalau kamu memang bukan pengecut.” Cengkraman itu langsung terlepas detik berikutnya. Byakta mundur satu langkah, untuk menjaga jarak dari Mai. Menatap hampa, dengan ketidakmungkinan yang ada diantara mereka. Jakun Byakta naik turun dengan perlahan. Pandangannya menyapu tubuh Mai dari ujung rambut, hingga kaki. Satu kata yang dapat Byakta simpulkan … Mewah. Penampilan berkelas nan mahal yang selalu melekat pada Mai, sungguh membuat Bya
Wajah tegang yang ditunjukkan oleh Byakta, membuat Pras semakin curiga dengan hubungan pria itu dengan putrinya. Pras yang duduk di satu-satunya arm chair yang ada di ruangan tersebut, hanya memandang datar tapi tetap bersikap santai. “Kamu sudah tahu, kan, kalau bulan depan saya sudah pensiun dari Casteel High?” tanya Pras membuka obrolah ditengah ketegangan yang masih terlihat di wajah Byakta. Padahal, tidak biasanya Byakta bersikap seperti itu jika di depan Pras. “Tahu, Pak,” jawab Byakta dengan anggukan kecil. “Saat saya pensiun nanti, juga akan ada perombakan dewan direksi beserta komisaris yang mengikutinya. Dan, saya mau kamu koordinasi dengan pak Wisnu lebih intens lagi, karena bulan depan, kamulah yang akan menggantikan beliau.” “Saya?” Wajah tegang itu kini berubah syok seketika. Masih tidak percaya, dengan apa yang sudah ia dengar barusan. “Saya yang menggantikan pak Wisnu jadi direktur personalia? Bapak gak salah tunjuk?” “Nope,” j
Hola Mba beb ...My Arrogant Lawyer beneran tamat, kok. :D :D :DMeskipun saia juga gak rela, tapi, udah waktunya mup~on. Jadi cukup sekian dan terima kasih banyak sudah nemeni Pras sama Sinar sampai beranak pinak di GoodNovel.Sediih ... karena buat saia pribadi, Pras sama Sinar emang tokoh yang paling EUGH!, sampai saia bawa karakter mereka ke GN dengan cerita yang berbeda.Udahan curcolnya, eheheh ... Dan seperti janji saia waktu itu, ada hadiah tambahan untuk top fans setelah MAL tamat yakk. Datanya saia ambil per tanggal 20 Jan 2022 tepat pukul 20.00 WIB 1. Shifa Chibii : 500 koin GN + pulsa 200rb2. Fidyani - : 500 koin GN + pulsa 200rb3. Rafa Damanhuri : 300 koin GN + pulsa 150rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshood ID lewat DM Igeh @kanietha_Kok top fans 1 dan 2 sama dapatnya? Karena total gem yang diberikan ke MAL jumlahnya sama, jadi biar fair, yakk. Saia tunggu konfirmasi sampai hari minggu ya, jadi senin bisa
Pagi yang sibuk. Seperti itulah gambaran hari libur yang selalu dihadapi oleh Mai selama lima tahun belakangan ini. Setelah bangun di pagi hari, ia akan selalu menuju dapur terlebih dahulu untuk membuat camilan juga sarapan, untuk dua orang penghuni yang masih tertidur dengan begitu lelap. Di hari libur seperti ini, putri Mai pasti akan mengungsi ke kamarnya dan mereka akan selalu berakhir dengan tidur bertiga. Meskipun ingin protes karena jatah malamnya akan berkurang, tapi Raj tidak bisa menolak jika putri kecil mereka sudah merengek untuk minta tidur bersama. Tidak hanya itu, Raj merupakan seorang ayah yang sangat memanjakan putri semata wayang mereka itu. Apapun yang gadis kecilnya itu minta, Raj pasti akan menurutinya tanpa kata tapi. “Mamiii …” Langkah kecil yang tergesa itu berlari memasuki dapur dengan ma
Dengan iming-iming bahwa Rajlah yang nantinya akan mengurus bayi mereka saat malam menjelang, ketika telah lahir. Akhirnya, Mai setuju untuk bertahan dan melahirkan secara normal. Meskipun, banyak drama yang diciptakan dan entah sudah berapa luka serta cubitan yang telah diterima, Raj hanya pasrah saja. Karena ada masanya nanti, ia akan membalas semua ‘dendam’ saat ini pada Mai. Tunggu saja saat masa nifas istrinya itu selesai, maka Raj benar-benar akan membalasnya. Sampai pada akhirnya, Raj benar-benar terhenyak ketika kuku-kuku nan lentik dan terawat itu kembali menusuk pada luka yang sama. Hanya saja, kali ini tancapan kelima jemari itu lebih bertenaga dari yang sudah-sudah. Ditambah, jeritan sang istri yang sangat panjang itu, ternyata mengakhiri semua perjuangan seorang Mai. Seorang bayi perempuan nan cantik, akhirnya lahir ke dunia dengan penuh perjuangan. Mendengar tangis pertama yang begitu kencang dari bayi mungil mereka, membuat Raj seketika menitikkan air
Begitu keluar dari mobil yang berhenti di depan lobi pintu rumah sakit, Sinar langsung menelepon Raj untuk bertanya mengenai kamar yang Mai tempati saat ini. Namun, satu hal yang membuat Sinar akhirnya menggelengkan kepala, karena putri dan menantunya itu masih berada di sebuah restoran Padang. Mai masih belum mau beranjak dari sana, karena beralasan perutnya masih terlalu penuh, sehingga enggan untuk melangkah. Pada akhirnya, Sinar dan Pras hanya bisa menjenguk Sila untuk sementara sembari menunggu Mai sampai ke rumah sakit. Sebenarnya, Sinar hendak mengomeli Qai karena tidak memberinya kabar sama sekali mengenai kondisi Sila. Putranya itu juga tidak mengangkat, ketika Sinar meneleponnya. Hingga rasa penasaran bercampur kesal, kini hendak ia luapkan pada putranya itu, sampai Sinar merasa puas. Namun, setelah Sinar dan Pras masuk ke dalam ruangan yang ditempati Sila saat ini, semua rasa kesal itu akhirnya hilang. Melihat Sila yang benar-benar terbarin
Pikiran Sinar dan Pras kali ini benar-benar terpecah. Sungguh merasa tidak nyaman dengan Bira dan sang istri. Setelah pagi tadi Qai tidak bisa menghadiri pernikahan, karena harus menjaga Sila yang mendadak pingsan dan langsung dibawa ke rumah sakit. Kini, Raj menelepon untuk mengabarkan hal yang sama. Tidak bisa menghadiri akad nikah yang akan berlangsung, karena kondisi Mai yang mulai kontraksi dan harus berangkat ke rumah sakit. “Gimana?” tanya Pras setelah Sinar kembali menelepon Raj. “Ini lagi mau jalan ke rumah sakit.” Sinar meraih tangan Pras dan meremasnya dengan kuat. Menyalurkan kecemasan yang kini tengah menggelayut di hatinya. Melahirkan seorang anak ke dunia tidak akan pernah mudah. Untuk itulah, rasa cemas di hati Sinar kini semakin menjadi-jadi. “Sudah ngomong sama Bira?” Pras mengangguk. “Sudah, setelah akad nikah selesai. Kita langsung ke rumah sakit.” “Aku gak enak sama Bira kalau begini,” keluh Sinar. “Terus maumu itu bagaima
Sejak kejadian hari itu, Raj sangat berhati-hati dalam mengeluarkan ucapannya. Semua Raj lakukan demi calon putrinya, demi Mai dan tentu saja demi keluarga kecilnya. Mengingat wajah Pras ketika mengancamnya kala itu, hati Raj juga sempat waswas dengan nasibnya jika Mai sampai tidak ingin berbaikan dengannya. Bukan karir yang Raj permasalahkan, tapi, nasib rumah tangga yang sudah pasti akan tercerai berai. Apalagi, jika nantinya ia tidak bisa bertemu dengan istri dan anaknya ketika telah terlahir ke dunia. Hanya satu hal itu yang Raj cemaskan, ketika sang mertua sempat memberi ancaman sedemikian rupa. Namun, nasib akhirnya berpihak pada Raj. Sang istri ternyata tidak sesulit itu ketika dibujuk. Bahkan, jika dipikir lagi, Mai itu cenderung penurut meskipun harus banyak drama yang tercipta sebelumnya. Asal kemauannya dituruti, maka dunia akan aman sejahtera. Hanya itu kuncinya jika ingin berhasil saat bernegosiasi dan berhadapan dengan Mai. Masalah hati, R
Begitu mendengar penjelasan dokter, mengenai kondisi Mai dan kandungannya baik-baik saja, ketiga orang yang saat ini berada di kamar VVIP itu langsung bernapas lega.“Meskipun baik-baik saja, tapi tingkat stresnya tetap harus dijaga,” lanjut dokter menjelaskan kondisi psikis Mai yang memang harus tetap diperhatikan karena tengah hamil besar. “Karena dampaknya, tidak akan baik bagi kondisi janin.”Manik Sinar dan Pras kompak menatap Raj dengan sebuah tanda tanya besar. Tampaknya, rumah tangga putrinya dengan Raj, sedang tidak baik-baik saja. Kalau Mai tidak stres, tidak mungkin putri mereka itu akan terdampar di rumah sakit seperti sekarang.“Baik, Dok, terima kasih,” ucap Sinar dan sang dokter itu berlalu dari ruang rawat inap tersebut. Menyisakan keempat orang yang kini saling pandang dalam diam.“Stres?” Pras menghampiri sang putri lalu duduk di tepi tempat tidurnya. “Kalian berdua bertengkar?”
Raj memang sengaja pulang terlambat. Bahkan, Raj pulang ke rumah saat langit sudah berubah kelam. Hatinya masih merasa kesal karena kejadian siang tadi. Ia bahkan sampai melupakan, kalau sudah membayar kamar hotel yang akan ditempati malam ini bersama sang istri.Ketika roda empatnya sudah berhenti di depan pagar, Raj mengernyit memandang rumahnya yang gelap gulita. Tidak mungkin kalau Mai belum pulang sampai semalam ini. Atau, Raj telah melewatkan sesuatu?Mengeluarkan ponselnya dari saku jas, Raj meneliti satu pesatu telepon masuk beserta chat yang ia terima dari siang sampai detik ini. Namun, tidak ada nama istrinya di dalam sana.Atau, jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan Mai di dalam sana?Bulu kuduk Raj merinding seketika membayangkannya. Ia buru-buru keluar, membuka pagar dan masuk ke dalam rumah dengan tergesa. Menyalakan seluruh penerangan yang ada dan mencari sang istri di setiap sudut rumah.“Mi …”Setelah
“Ke rumah sakit, Pak,” titah Mai setelah Ibam masuk ke dalam mobil dan sudah berada di belakang kemudi.“Ke rumah sakit?” tanya Ibam membalik badan seraya memasang sabuk pengaman. “Rumah sakit mana, Bu? Tadi kata pak Raj, saya disur—”“Ke rumah sakit ibu dan anak,” putus Mai lalu menyebutkan nama rumah sakit yang biasa ia kunjungi setiap bulannya untuk kontrol kandungan. “Nanti sampai sana, Pak Ibam bisa pulang aja.”“Loh, Bu? Kena—”“Jangan bilang sama pak Raj, kalau saya di rumah sakit.” Mai kembali memotong ucapan Ibam. “Udalah Pak, jalan aja. Saya capek banget mau ngomong.”“I-iya, Bu.” Ibam mana berani membantah. Ia langsung melajukan mobilnya ke tempat yang sudah disebut oleh sang majikan. Meskipun banyak tanya yang ada di kepala, tapi Ibam tidak berani bertanya ketika mood Mai terlihat buruk seperti sekarang.Selama