Home / Fiksi Remaja / Zee 'n Zeino / Chapter 51 - Chapter 60

All Chapters of Zee 'n Zeino: Chapter 51 - Chapter 60

101 Chapters

51. Curiga

Pertemuan kedua keluarga yang terkenal handal di bidang masing-masing itu berjalan hangat. Tentu saja kehadiran sosok Talita yang ceria dan ceriwis membuat ada saja obrolan sambung menyambung di antara mereka. Zeino yang seperti biasa tak banyak mengumbar kata sangat jarang memperhatikan gerak-gerik gadis itu. Ia lebih memilih melihat-lihat kondisi deretan ruko empat pintu berlantai 3 yang sedang ditawarkan oleh Sony. Zeino bahkan tak menyadari adanya perubahan penampilan pada diri Talita. Adalah Utari yang kemudian menyadari ada yang berubah pada gaya rambut Talita. Ketika mereka akhirnya melanjutkan perbincangan di sebuah restoran yang tak jauh dari ruko, wanita yang telah berusia 50 tahun itu menyuarakan hasil pengamatannya. “Talita, Tante sampai pangling. Kamu ganti gaya rambut, ya? Terakhir ketemu kayaknya wavy caramel brown gitu, deh?” Dengan senyum malu-malu, Talita mengelus sambutnya sendiri. Gadis itu tak langsung menjawab. Sekilas ia melirik ke arah
Read more

52. Caption Ambigu

Gadis dengan stelan baju polo shirt dan celana panjang serta sepatu kets yang baru saja mendapat perintah untuk menghadap Batara Bramantyo di lantai 2, segera menyeret langkah. Ia memilih menaiki tangga yang ada di ujung lobby dari pada menaiki lift. Gadis itu mematuhi kampanye hemat energi yang didengung-dengungkan manajemen hotel selama ini. Gunakan tangga jika hanya naik atau turun 1 lantai dan tidak membawa beban. Sesampai di ruang yang bertuliskan nama holding company The Mountain View Hotel, tanda tanya besar masih menyelimuti pikiran Zee. Setelah mengetuk daun pintu 3 kali, ia mendapati seseorang membukakan akses masuk. Zee melempar senyum dan mengangguk sebelum melangkah masuk. Gadis itu dipersilakan mengambil tempat di sebuah sofa panjang. Sementara di depan sofa terlihat Batara Bramantyo dan Andrew Smith sedang duduk di kursi di depan meja menghadap Bu Cokro. Tak berniat menguping pembicaraan, tapi Zee bisa mendengar ketiga orang yang sedang serius
Read more

53. Insiden

Semua orang yang berkerumun di bawah tangga bisa melihat raut ketakukan masih membias di wajah Zee. Bulir keringat dingin masih nampak di sekitar keningnya. Wajahnya masih pucat pasi. Tenggorokannya terasa kering. “Are you OK?” tanya Tyo. Zee mengangguk pelan. Tak lama terlihat Vanda menyeruak dari kerumun dengan membawa segelas air. Gadis itu meminta Zee untuk meneguk cairan bening itu di bawah tatapan Batara Bramantyo dan berapa pegawai hotel lain yang masih tersisa. Melihat tidak ada hal yang mengkhawatirkan dari gadis yang mulai tenang itu, satu per satu rekannya menjauh dari area tangga meninggalkan Vanda, Zee dan penolongnya di sofa. Membayang di pelupuk mata Zee, detik-detik ia terpeleset di tangga karena hilang fokus. Saat ia sudah pasrah tubuhnya akan berakhir di dinginnya lantai granit di bawah tangga, tiba-tiba ia merasakan sebuah tangan menarik tubuhnya. Ia tersentak ke teralis tangga. Tubuhnya tertumpuk pada sebuah tubuh lain yang mendeka
Read more

54. Bapak-bapak?

Gadis yang kakinya berbalut perban elastis, sekarang tubuh rampingnya juga berbalut sebuah jaket kulit berwarna hitam. Pakaian pelindung itu menghangatkan tubuh sang gadis dari terpaan angin sore pegunungan yang semakin dingin. Kedua lengannya memeluk tubuh penunggang sepeda motor sport berwarna hitam yang tiba-tiba hadir di pelataran parkir resort. Tak salah lagi, penunggang sepeda motor itu adalah Zeino Ardhana. Pemuda yang empat jam yang lalu secara tak sengaja mengetahui jika gadisnya baru saja hampir jatuh dari tangga, tak dapat memusatkan perhatiannya pada pekerjaan di kantor. Setiap jawaban yang diterimanya melalui sambungan suara, tak mampu menghalau resahnya. Ia meyakini jika kata-kata ‘ga apa-apa’ yang disampaikan Zee benar - benar menyatakan sebaliknya, gadis itu tak baik-baik saja. “Kalau Zee baik-baik saja, kenapa sampai handphonenya dipegang Sammy?” pikir Zeino. Zeino narik napas berat. Reka adegan seorang gadis yang terpeleset di tangga hadir d
Read more

55. Ulah Tyo

Untuk kedua kalinya seorang laki-laki bertubuh tegap dan berpenampilan rapi menyaksikan romansa sepasang muda-mudi di parkiran resort. Kali pertama ia menginjakan kaki di resort itu ia melihat kedua anak manusia yang sama sedang berpelukan dan memberi salam perpisahan. Kali ini pun sama. Bedanya hari Minggu lalu ada 3 kendaraan roda empat yang mengantar. Malam ini sang pemuda menunggang sepeda motor sendirian. Batara Bramantyo yang secara tak sengaja sedang menjajal kuliner di sekitar resort, mendengarkan percakapan Zee dan Zeino di rumah makan. Laki-laki itu mendahului untuk pulang ke resort dan sekarang menyaksikan kembali romansa keduanya. Tyo lumayan kesal ketika mendengar Zee menyebutnya dengan istilah ‘bapak-bapak’. Memangnya dia sudah setua itu di mata Zee? Apa harus berambut gondrong seperti pacarnya itu, baru dianggap muda? Teringat akan cara pacar Zee menatapnya saat di tempat makan, Tyo bisa nebak jika pemuda itu tipikal yang gampang cemburu. Terbe
Read more

56. Hari Yang Melelahkan

Tak menghiraukan tubuhnya yang masih berbalut baju yang sama dari pagi hari, Zee menghempaskan tubuhnya di ranjang hotel yang empuk. Gadis itu sedikit meringis ketika ia lupa jika pergelangan kakinya baru cidera. Perlahan ia memperbaiki posisi tubuhnya dari tengkurap menjadi terlentang. Kejadian demi kejadian yang menimpanya di hari kedua sebagai bagian dari task force team, sungguh membuatnya lelah. Dari pagi hari hingga menjelang tengah malam, ada saja peristiwa yang mewarnai hidupnya. Tak perlu diingat lagi bagaimana ia hilang konsentrasi gara-gara foto praha itu. Bagaimana seorang Batara Bramantyo yang menjadi superhero-nya saat itu. Tak lupa kedatangan tak terduga sang pacar, Zeino Ardhana. Lalu apakah kejadian di dalam lift beberapa saat yang lalu akan menjadi pelengkap catatan hariannya hari ini? Nanar tatapan Zee menatap panel lift yang telah sampai di angka 2, tiba-tiba kehilangan cahaya. Tentu ia tak dapat menyaksikan area sekitarnya sempit itu. Sek
Read more

57. Tamu

Entah karena musim yang telah berganti, atau karena perubahan cuaca yang tak menentu akhir-akhir ini. Angin membawa serta seorang tamu dekat yang terasa jauh. Siang yang cukup terik tak menghalangi tamu tersebut menunggu di ruangan yang hanya dilengkapi sebuah kipas angin di langit-langit. Berkali jemari lentiknya menyeka buliran kristal yang membayang di sela pori-porinya. “Maaf menunggu lama.” Terdengar suara seorang wanita yang setengah bergegas memasuki ruang tunggu di kantor pemerintahan itu. “Mana berkas yang diberikan mama?” Tanpa basa-basi wanita berwajah blasteran itu memberitahu keperluannya. Bahkan ia tak memberi kesempatan pada wanita yang baru saja tergopoh-gopoh menghampiri duduk nyaman terlebih dahulu. “Apa kabar, Tante Mauren?” sapa wanita yang tak lain adalah Kartika. Kartika memang selalu memanggil para iparnya dengan sebutan yang dia ajarkan pada Amara dan Zee. Sudah menjadi kebiasaannya sejak anak-anaknya lahir, hingga kini. Meski
Read more

58. Penguntit

Jarum pendek jam dinding besar yang tergantung di sudut showroom baru sampai di angka lima, ketika langkah kaki gadis cantik yang baru saja bertindak sebagai utusan perusahaan keluarganya melewati pintu kaca otomatis. Tangan kanannya menentang tas, sedang tangannya yang kiri memegang kunci mobil. Dengan cekatan jemarinya menekan remote, lalu dengan luwes ia menaiki mobil. Si gadis yang tak lain adalah Talita tak langsung memacu kendaraannya. Ia masih berdiam diri sambil memainkan telepon genggamnya. Talita langsung merubah mimik wajahnya. Gadis yang masuk mobil dengan gaya anggun, dewasa, sekarang memperlihatkan ekspresi kesalnya. Bibirnya mengerucut, pipinya mengembung. Jemarinya menekan-nekan kasar layar telepon genggamnya. Sangat jelas suasananya hatinya tak seceria ketika ia berada di dalam showroom. Huh! Talita mendengus. “Mau deket aja, susah banget! Dasar cowok kulkas!” teriaknya sambil memukul setir. Namun sekian detik kemudian raut wajahnya berubah. Tiba-tib
Read more

59. Mencari Cara

  Sepasang kekasih yang tengah berjauhan harus mengucapkan terima kasih pada penemu teknologi yang semakin canggih. Dengan kecanggihan, jarak yang membentang tak menjadi kendala untuk bertegur sapa. Tinggal tekan, semua langsung terhubung. Tak terkecuali Zee dan Zeino. Apa jadinya jika mereka hidup di jaman Nenek Ruwina. Jaman yang belum secanggih sekarang di mana perangkat komunikasi belum berkembang. Pasti mereka bisa mati menahan rindu. Atau jangan jauh-jauh, masanya Bunda Kartika saja. Masa di mana kertas, amplop, perangko dan kantor pos merupakan kebutuhan utama dalam bertukar kabar. Namun di saat itu tentu tak semudah sekarang ini. Di jaman itu, sekarang menulis kata ‘rindu’, baru seminggu kemudian berbalas ‘aku juga rindu’. Tujuh hari menunggu balasan? Pasti Zeino langsung uring-uringan. Di masa itu walaupun ada pesawat telepon, tapi tak semua keluarga memilikinya. Dan pastinya sambungan komunikasi yang bisa mendengar suara itu termasuk al
Read more

60. Pesona

Benar kata orang-orang. Mata suka melihat keindahan. Lidah senang dimanjakan oleh yang enak. Sedangkan telinga menyukai hal yang merdu. Lalu lihatlah apa yang terjadi di showroom ketika seorang pemuda yang sekarang menjadi salah satu bos muda melewati para pegawai wanita. Terlalu berlebihan jika derap langkah bos muda yang tak lain adalah Zeino itu digambarkan seperti adegan slow motion. Atau menghadirkan efek angin yang menerpa. Sedangkan para pekerja wanita itu menahan napas dengan mata yang nyaris melompat dari sarangnya. Namun itu yang dirasakan oleh gadis –gadis yang telah berdandan rapi dengan blazer dan rok mini di area showroom. Tatapan mereka mengiring langkah Zeino hingga hilang di ujung tangga. Begitu pemandangan indah itu hilang, tergesa mereka mengerumuni counter informasi. Bersahutan mereka memberi komentar tentang penampilan baru bos muda. “Makin betah dong, gue di sini.” “Masih kosong ga, sih?” “Tanya aja sana kalo berani.”
Read more
PREV
1
...
45678
...
11
DMCA.com Protection Status