Sepasang kekasih yang tengah berjauhan harus mengucapkan terima kasih pada penemu teknologi yang semakin canggih. Dengan kecanggihan, jarak yang membentang tak menjadi kendala untuk bertegur sapa. Tinggal tekan, semua langsung terhubung. Tak terkecuali Zee dan Zeino.
Apa jadinya jika mereka hidup di jaman Nenek Ruwina. Jaman yang belum secanggih sekarang di mana perangkat komunikasi belum berkembang. Pasti mereka bisa mati menahan rindu. Atau jangan jauh-jauh, masanya Bunda Kartika saja. Masa di mana kertas, amplop, perangko dan kantor pos merupakan kebutuhan utama dalam bertukar kabar.
Namun di saat itu tentu tak semudah sekarang ini. Di jaman itu, sekarang menulis kata ‘rindu’, baru seminggu kemudian berbalas ‘aku juga rindu’. Tujuh hari menunggu balasan? Pasti Zeino langsung uring-uringan.
Di masa itu walaupun ada pesawat telepon, tapi tak semua keluarga memilikinya. Dan pastinya sambungan komunikasi yang bisa mendengar suara itu termasuk al
Benar kata orang-orang. Mata suka melihat keindahan. Lidah senang dimanjakan oleh yang enak. Sedangkan telinga menyukai hal yang merdu. Lalu lihatlah apa yang terjadi di showroom ketika seorang pemuda yang sekarang menjadi salah satu bos muda melewati para pegawai wanita. Terlalu berlebihan jika derap langkah bos muda yang tak lain adalah Zeino itu digambarkan seperti adegan slow motion. Atau menghadirkan efek angin yang menerpa. Sedangkan para pekerja wanita itu menahan napas dengan mata yang nyaris melompat dari sarangnya. Namun itu yang dirasakan oleh gadis –gadis yang telah berdandan rapi dengan blazer dan rok mini di area showroom. Tatapan mereka mengiring langkah Zeino hingga hilang di ujung tangga. Begitu pemandangan indah itu hilang, tergesa mereka mengerumuni counter informasi. Bersahutan mereka memberi komentar tentang penampilan baru bos muda. “Makin betah dong, gue di sini.” “Masih kosong ga, sih?” “Tanya aja sana kalo berani.”
Entah sejak kapan malam minggu atau Sabtu malam menjadi momen yang ditetapkan sebagai waktu kencan. Padahal kalau mau kencan bisa dilakukan hari apa saja. Dengan syarat sudah punya pasangan dan punya waktu tentunya. Jadi ini tak berlaku untung para jomlo, ya. Mungkin penetapan tersebut karena akhir pekan, di mana kebanyakan orang sibuk bekerja, kuliah atau sekolah di hari – hari sebelumnya, jadi Sabtu malam menjadi saat yang tepat untuk bertemu dengan pasangan. Atau menghabiskan waktu bersama bagi mereka yang kerja pagi pulang malam dari hari Senin sampai Jumat. Sedangkan bagi Zeino, beberapa bulan belakangan ini malam Minggu tak selalu menjadi jadwal kencannya. Zee lebih sering bekerja di akhir pekan dan mendapat jadwal shift ke dua. Hal itu tentu membuat mereka tak melakukan ritual wajib para pasangan tersebut. Hanya sejak Zeino mengantar jemput Zee bekerja kemudian mereka sempat bermalam mingguan beberapa saat di kendaraan dalam perjalanan pulang. Tak lama, karena
Berusaha menjadi orang lain adalah perkara mudah bagi mereka yang berprofesi sebagai pelakon atau pemeran watak. Sudah menjadi makanan sehari-hari ketika mereka harus menjadi karakter yang berbeda dengan dirinya sendiri. Bahkan tak jarang itu menjadi sebuah tantangan yang menguji tingkat kepiawaian mereka dalam bermain seni peran. Hal yang sama terjadi pada Talita. Gadis itu saat ini sedang berdiri di halaman sebuah rumah bertingkat. Tentu saja bukan kediamannya. Di rumah ini ada seseorang yang membuatnya harus menjadi karakter orang lain. Dengan totalitas bak pemain peran, ia telah berusaha menjiwai. Tak tanggung-tanggung, kostum dan tampilannya pun telah disesuaikan. Talita berjalan dari mobil yang membawanya sambil meggenggam pergelangan tangan mamanya. Kedua ibu dan anak itu menyusul Sony Hartawan yang telah terlebih dahulu berada di rumah itu. “Ayo, silakan masuk! Apa kabar, Jeng?” sapa Utari pada kenalannya di ujung teras. Keduanya lalu saling berpeluka
Kuda besi berwana hitam pekat itu dipacu tak tentu arah. Sang pengendara yang berhasil melarikan diri dari obrolan membosankan di rumahnya, sampai saat ini belum berniat menepi. Tak punya ia tujuan yang pasti. Alasan akan menghabiskan malam minggu dengan teman-temannya tentu saja tak benar adanya. Tak mungkin juga ia akan menjadi obat nyamuk bagi anggota gengnya yang sedang berduan pastinya. Dulu memang mereka sering menghabiskan malam minggu bersama. Waktu itu mereka dalam formasi lengkap berpasangan. Sejak Zee mulai bekerja di hotel, sangat jarang mereka bisa seperti dulu. Apa lagi Shandy dan Jeromy juga mulai punya kehidupan dunia kerja yang berbeda. Mereka juga kadang ada acara dari kantor yang harus dihadiri di akhir pekan. Dan sekarang Zeino yang tak memiliki banyak teman, mulai merasa sepi. Zeino terbawa arus kendaraan di akhir pekan yang padat merayap. Tahu-tahu ia telah berada di seputaran sebuah pusat perbelanjaan. Pemuda itu berniat menyudahi jelajah tak t
Jika sudah menjadi takdir, tak satu pun manusia bisa merubahnya. Bahkan ada yang menggambarkan di sebuah film di mana ada orang yang punya penglihatan akan masa depan berusaha menghalangi nasib buruk yang akan menimpa. Namun setiap kali ia menyelamatkan nyawa, tetap saja ada kesialan lainnya mengikuti. Seakan pengganti dari suratan yang dibelokan itu. Hal yang sama sepertinya terjadi pada Zeino. Pemuda yang menghindar dari pertemuan membosankan dengan kolega papanya, saat ini sedang menikmati malam minggu dengan ibu dari pacarnya, Bunda Kartika. Semula semuanya berjalan santai dan menyenangkan. Mereka menikmati menu makan malam di area food court pusat perbelanjaan itu sambil berbincang. Sehingga cukup mampu menghilangkan suntuk Zeino yang merasa sepi. Hampir habis santapan mereka, tiba-tiba Zeino melihat ada pengunjung yang berjalan ke arah meja kosong tak jauh dari mereka. Seakan kejadian terulang kembali. Saat ini ia mendapati Melisa dan Mauren hendak menikmati ma
Tak ada yang menjamin jika tubuh yang dialiri sumber darah yang sama akan membuat jalinan persaudaraan mengakar kuat. Sering terdengar saudara kandung yang berselisih paham dan saling acuh karena banyak persoalan. Bahkan ada yang sampai saling melenyapkan nyawa. Ini bukan hal yang baru, hal seperti itu telah terjadi di awal kisah peradaban Adam dan Hawa nenek moyang manusia. Jalinan darah saja tidak menjamin, apa lagi ikatan pernikahan. Bukan hal yang aneh, setelah perceraian tak ada lagi komunikasi yang terjalin di antara kedua belah pihak. Entah antar suami isteri atau antar kedua keluarga. Dan ini yang terjadi dengan Kartika dan Mauren. Meski perceraian yang terjadi karena maut, bukan karena selisih paham. “Status kami memang saudara karena ikatan pernikahan. Tapi banyak hal yang menyebabkan kami sekarang terlihat seperti orang asing.” Kalimat yang meluncur dari bibir Kartika itu kembali terngiang di telinga Zeino. “Jika Mauren diam saja ketika ber
“Cinta sih cinta, tapi jangan sampai kamu hilang logika. Pikir rasional. Pakai akal!” Suara bariton Handoko menghentikan kunyahan Zeino. Mendadak ia kehilangan selera untuk menghabiskan sarapannya. Perkataan papanya itu menohok hatinya. “Cuaca jelek seperti ini, hujan lebat. Jalan ke pegunungan di utara sering longsor. Berbahaya!” Utari yang juga sedang berada di meja makan, memeriksa raut wajah puteranya yang sedang mendapat ceramah pagi dari sang ayah. Melihat Zeino yang diam dan menjatuhkan sendok garpu di atas makanannya, Utari tahu jika anaknya itu tidak senang atas tanggapan Handoko. Beberapa saat yang lalu, Zeino mengabarkan jika ia akan menyambangi Zee ke resort. Niatnya itu menyulut komentar dari Handoko. “Lagipula, seharusnya kamu fokus sama sidang kamu yang tinggal 3 hari lagi. Zee itu kan juga masih sibuk di sana. Setelah selesai kerjanya pasti dia pulang.” Zeino belum bersuara. Ia kembali menjadi Zeino yang lebih memilih d
Segumpal daging yang dinamai hati, apakah sama dengan hati yang memiliki rasa? Jika organ yang salah satu fungsinya untuk menetralisir racun yang masuk ke tubuh manusia, lalu apakah hati yang katanya menjadi sumber semua rasa juga bisa menetralisir rasa yang menyerang? Sering kali kita dengar kalimat ‘biar hati yang bicara’, ‘biar hati yang menuntunmu’ atau ‘hati tak kan salah memilih’. Dan tentunya banyak lagi kalimat-kalimat penuh filosopi tentang hebatnya kekuatan hati itu. Tak melulu urusan cinta, untuk urusan kerja juga sering didengungkan ‘bekerjalah dengan hati’. Bahkan ada juga yang menyebut jika wanita cenderung bertindak memakai hati, sedangkan laki-laki lebih menggunakan logika. Dan sepertinya gadis yang baru saja menepi dari posisi berdirinya di depan lobby, sedang berusaha menata hatinya. Permintaan panggilan dari sebuah nama yang tak pernah absen sekalipun menghubungi, harus ia jawab secepatnya kalau tak mau dibilang terburu-buru. Zee ha