Entah sejak kapan malam minggu atau Sabtu malam menjadi momen yang ditetapkan sebagai waktu kencan. Padahal kalau mau kencan bisa dilakukan hari apa saja. Dengan syarat sudah punya pasangan dan punya waktu tentunya. Jadi ini tak berlaku untung para jomlo, ya.
Mungkin penetapan tersebut karena akhir pekan, di mana kebanyakan orang sibuk bekerja, kuliah atau sekolah di hari – hari sebelumnya, jadi Sabtu malam menjadi saat yang tepat untuk bertemu dengan pasangan. Atau menghabiskan waktu bersama bagi mereka yang kerja pagi pulang malam dari hari Senin sampai Jumat.
Sedangkan bagi Zeino, beberapa bulan belakangan ini malam Minggu tak selalu menjadi jadwal kencannya. Zee lebih sering bekerja di akhir pekan dan mendapat jadwal shift ke dua. Hal itu tentu membuat mereka tak melakukan ritual wajib para pasangan tersebut. Hanya sejak Zeino mengantar jemput Zee bekerja kemudian mereka sempat bermalam mingguan beberapa saat di kendaraan dalam perjalanan pulang. Tak lama, karena
Berusaha menjadi orang lain adalah perkara mudah bagi mereka yang berprofesi sebagai pelakon atau pemeran watak. Sudah menjadi makanan sehari-hari ketika mereka harus menjadi karakter yang berbeda dengan dirinya sendiri. Bahkan tak jarang itu menjadi sebuah tantangan yang menguji tingkat kepiawaian mereka dalam bermain seni peran. Hal yang sama terjadi pada Talita. Gadis itu saat ini sedang berdiri di halaman sebuah rumah bertingkat. Tentu saja bukan kediamannya. Di rumah ini ada seseorang yang membuatnya harus menjadi karakter orang lain. Dengan totalitas bak pemain peran, ia telah berusaha menjiwai. Tak tanggung-tanggung, kostum dan tampilannya pun telah disesuaikan. Talita berjalan dari mobil yang membawanya sambil meggenggam pergelangan tangan mamanya. Kedua ibu dan anak itu menyusul Sony Hartawan yang telah terlebih dahulu berada di rumah itu. “Ayo, silakan masuk! Apa kabar, Jeng?” sapa Utari pada kenalannya di ujung teras. Keduanya lalu saling berpeluka
Kuda besi berwana hitam pekat itu dipacu tak tentu arah. Sang pengendara yang berhasil melarikan diri dari obrolan membosankan di rumahnya, sampai saat ini belum berniat menepi. Tak punya ia tujuan yang pasti. Alasan akan menghabiskan malam minggu dengan teman-temannya tentu saja tak benar adanya. Tak mungkin juga ia akan menjadi obat nyamuk bagi anggota gengnya yang sedang berduan pastinya. Dulu memang mereka sering menghabiskan malam minggu bersama. Waktu itu mereka dalam formasi lengkap berpasangan. Sejak Zee mulai bekerja di hotel, sangat jarang mereka bisa seperti dulu. Apa lagi Shandy dan Jeromy juga mulai punya kehidupan dunia kerja yang berbeda. Mereka juga kadang ada acara dari kantor yang harus dihadiri di akhir pekan. Dan sekarang Zeino yang tak memiliki banyak teman, mulai merasa sepi. Zeino terbawa arus kendaraan di akhir pekan yang padat merayap. Tahu-tahu ia telah berada di seputaran sebuah pusat perbelanjaan. Pemuda itu berniat menyudahi jelajah tak t
Jika sudah menjadi takdir, tak satu pun manusia bisa merubahnya. Bahkan ada yang menggambarkan di sebuah film di mana ada orang yang punya penglihatan akan masa depan berusaha menghalangi nasib buruk yang akan menimpa. Namun setiap kali ia menyelamatkan nyawa, tetap saja ada kesialan lainnya mengikuti. Seakan pengganti dari suratan yang dibelokan itu. Hal yang sama sepertinya terjadi pada Zeino. Pemuda yang menghindar dari pertemuan membosankan dengan kolega papanya, saat ini sedang menikmati malam minggu dengan ibu dari pacarnya, Bunda Kartika. Semula semuanya berjalan santai dan menyenangkan. Mereka menikmati menu makan malam di area food court pusat perbelanjaan itu sambil berbincang. Sehingga cukup mampu menghilangkan suntuk Zeino yang merasa sepi. Hampir habis santapan mereka, tiba-tiba Zeino melihat ada pengunjung yang berjalan ke arah meja kosong tak jauh dari mereka. Seakan kejadian terulang kembali. Saat ini ia mendapati Melisa dan Mauren hendak menikmati ma
Tak ada yang menjamin jika tubuh yang dialiri sumber darah yang sama akan membuat jalinan persaudaraan mengakar kuat. Sering terdengar saudara kandung yang berselisih paham dan saling acuh karena banyak persoalan. Bahkan ada yang sampai saling melenyapkan nyawa. Ini bukan hal yang baru, hal seperti itu telah terjadi di awal kisah peradaban Adam dan Hawa nenek moyang manusia. Jalinan darah saja tidak menjamin, apa lagi ikatan pernikahan. Bukan hal yang aneh, setelah perceraian tak ada lagi komunikasi yang terjalin di antara kedua belah pihak. Entah antar suami isteri atau antar kedua keluarga. Dan ini yang terjadi dengan Kartika dan Mauren. Meski perceraian yang terjadi karena maut, bukan karena selisih paham. “Status kami memang saudara karena ikatan pernikahan. Tapi banyak hal yang menyebabkan kami sekarang terlihat seperti orang asing.” Kalimat yang meluncur dari bibir Kartika itu kembali terngiang di telinga Zeino. “Jika Mauren diam saja ketika ber
“Cinta sih cinta, tapi jangan sampai kamu hilang logika. Pikir rasional. Pakai akal!” Suara bariton Handoko menghentikan kunyahan Zeino. Mendadak ia kehilangan selera untuk menghabiskan sarapannya. Perkataan papanya itu menohok hatinya. “Cuaca jelek seperti ini, hujan lebat. Jalan ke pegunungan di utara sering longsor. Berbahaya!” Utari yang juga sedang berada di meja makan, memeriksa raut wajah puteranya yang sedang mendapat ceramah pagi dari sang ayah. Melihat Zeino yang diam dan menjatuhkan sendok garpu di atas makanannya, Utari tahu jika anaknya itu tidak senang atas tanggapan Handoko. Beberapa saat yang lalu, Zeino mengabarkan jika ia akan menyambangi Zee ke resort. Niatnya itu menyulut komentar dari Handoko. “Lagipula, seharusnya kamu fokus sama sidang kamu yang tinggal 3 hari lagi. Zee itu kan juga masih sibuk di sana. Setelah selesai kerjanya pasti dia pulang.” Zeino belum bersuara. Ia kembali menjadi Zeino yang lebih memilih d
Segumpal daging yang dinamai hati, apakah sama dengan hati yang memiliki rasa? Jika organ yang salah satu fungsinya untuk menetralisir racun yang masuk ke tubuh manusia, lalu apakah hati yang katanya menjadi sumber semua rasa juga bisa menetralisir rasa yang menyerang? Sering kali kita dengar kalimat ‘biar hati yang bicara’, ‘biar hati yang menuntunmu’ atau ‘hati tak kan salah memilih’. Dan tentunya banyak lagi kalimat-kalimat penuh filosopi tentang hebatnya kekuatan hati itu. Tak melulu urusan cinta, untuk urusan kerja juga sering didengungkan ‘bekerjalah dengan hati’. Bahkan ada juga yang menyebut jika wanita cenderung bertindak memakai hati, sedangkan laki-laki lebih menggunakan logika. Dan sepertinya gadis yang baru saja menepi dari posisi berdirinya di depan lobby, sedang berusaha menata hatinya. Permintaan panggilan dari sebuah nama yang tak pernah absen sekalipun menghubungi, harus ia jawab secepatnya kalau tak mau dibilang terburu-buru. Zee ha
Memang banyak terjadi kebetulan-kebetulan di dunia ini. Baik itu ketidaksengajaan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, atau sesuatu yang direncanakan agar terkesan alami. Segala kemungkinan bisa saja terjadi. Apa lagi hanya sebuah kebetulan di ruang publik yang mudah diakses semua orang. Pantai merupakan tempat umum, bukan? Ya, pantai yang didatangi Zeino bukan pantai pribadi. Semua orang leluasa untuk datang dan pergi. Tempat itu salah satu spot yang menjadi pilihan masyarakat kota untuk sekedar melepas kepenatan atau bahkan mencari penghidupan. Sehingga tak ada yang salah dengan kebetulan yang terjadi. Seorang gadis cantik datang ke pantai di hari Minggu sore. Kebetulan lagi ia menemukan seorang pemuda yang ia kenal. Lalu ia sapa. Lumrah, bukan? Nah di saat yang sama, ada seorang pemuda yang sedang menjalankan siasat untuk menggoda kekasihnya. Pemuda yang juga sedang sendiri itu mengatakan pada pacarnya jika ia sedang menunggu seorang perempuan. Ajaibnya
Di depan sebuah bangunan besar berlantai tiga yang berdinding kaca di bagian depan, terlihat kesibukan. Ramai orang-orang yang bekerja mengatur berbagai jenis sepeda motor keluaran terbaru di dalam ruang kaca. Sedang di halaman parkir telah berdiri tenda besar dengan kursi-kursi tersusun rapi. Terdapat dekorasi balon dan papan bunga ucapan selamat dan sukses berjejer di sepanjang jalan. Di antara keramaian itu ada beberapa orang yang sedari tadi memerhatikan pekerjaan yang berlangsung. Mereka sedang berbincang. “Semua persiapan sudah 95% on schedule. Jadwal pembukaan showroom bisa tepat waktu.” “Good job Talita. Kamu memang berbakat.” “Ini kerja tim, Pa. Tanpa bimbingan dari Papa dan bantuan dari Kak Zeino, belum tentu saya bisa sendiri.” “Jadi setelah showroom selesai, kita bisa lanjutkan dengan proyek masa depan kalian. Bagaimana? Kapan?” “Kenapa diam? Talita? Zeino?” “Ya, Pa.” “Terserah Kak Zeino saja.” “Kali
Untuk apa menunggu, jika yang kau mau telah ada di hadapanmu. Untuk apa menunda jika hanya bersamanya kau merasa bahagia. Untuk apa meragu jika hanya dia yang ada di hatimu. Untuk apa bersama jika tak ada ikatan yang sah dan nyata. Kali kedua sepasang anak manusia itu membicarakan kelanjutan hubungan mereka. Sesaat setelah pembukaan showroom berbulan-bulan yang lalu, mereka sepakat untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Memenuhi komitmen pekerjaan dan meresmikan ikatan cinta setelahnya. Sekarang ketika menjalani hubungan jarak jauh, keduanya berusaha mempersingkat jarak. Dan upaya itu bersyarat, harus berlabel sah jika tetap memaksa. Memang lebih cepat dari apa yang mereka rencanakan. Tentu belum semua sempurna seperti angan. Namun apa tolak ukur sempurna itu perlu ketika ada rasa terpenuhi dengan apa yang ada di tangan? Keraguan karena ketakutan akan terulang sejarah pahit dari orang-orang terdekat, tak seharusnya menjadi pemata
Di sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Zeino, Zee tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Bukan karena grogi, ia sudah sering berkunjung ke sana, tapi kali ini Zee tak bisa menghalau kecemasannya. Kepergok oleh orangtua Zeino saat mereka sedang berpelukan, membuat Zee gundah dan malu. Zeino berusaha menenangkan Zee. Genggaman jemarinya tak lepas meski sebelah tangannya harus memegang kemudi. Zeino sendiri tak bisa menerka apa yang akan dilakukan oleh papanya, hingga meminta mereka menyusul ke rumah. Sesampai di kediamannya, Zeino melangkah pasti dengan tak membiarkan Zee menarik genggaman jemarinya. Keduanya memasuki ruang tamu namun tak menemukan Handoko di sana. Seorang pelayan yang datang menghampiri memberitahu jika mereka diminta menunggu di ruang kerja. Pilihan ruang kerja sebagai tempat bertemu tentu memberi kesan berbeda. Zee merasakan ada hal serius yang akan dibicarakan. Dan tentu akan ada hubungannya dengan kejadian di kan
“Kamu pasti tahu, untuk membuka cabang showroom di daerah utara, penjualan harus setengah break even point dulu. Kalau tidak, harus ada sumber dana lain.” “Pa, modal kita yang terpakai hanya setengah. Karena yang di sini ada kerjasama dengan Pak Sony. Zei, mau ijin Papa untuk pakai dana yang tesisa untuk memulai buka cabang di wilayah utara.” “Belum cukup Zei. Harga tanah dan bangunan di wilayah utara cukup tinggi. Apa mau kerjasama lagi dengan Pak Sony.” “Kali ini cukup kita saja, Pa.” “Lalu kamu mau dapat tambahan modal dari mana?” “Waktu kunjugan ke kantor lisensi, ada pihak bank yang menawarkan kredit usaha. Beberapa hari ini Zei pelajari, bunganya cukup rendah. Zei akan coba ini, Pa.” Handoko tak langsung menanggapi. Pria paruh baya itu meraih cangkir berisi kopi hitam di atas meja. Menyeruput perlahan lalu menaruh kembali cangkir porselen itu ke tempat semula. “Coba kamu buat proposalnya. Papa mau pelajari
Memenuhi janjinya, Zee menerima kunjungan Batara Bramantyo di restoran hotel sambil sarapan. Gadis itu tak sendiri, tentu Zeino ada di sampingnya. Keduanya menempati sebuah meja yang berkapasitas empat orang. Dua buah kursi masih belum ditempati. Tak lama berselang sejak kedatangan mereka, seorang pria datang mendekat. Pria itu dibalut stelan baju kerja formal lengkap dengan jas dan dasi yang senada. Terlihat ia mengedarkan pandangan ke suluruh penjuru restoran. Ia mengukir senyum begitu menemukan sosok yang dicarinya. Pria yang tak lain adalah Batara Bramantyo itu disambut dengan baik oleh sepasang muda-mudi yang terlihat berdiri sambil menyapa dengan senyuman. “Selamat pagi, Pak Batara.” Zee menyapa terlebih dahulu. Lalu menyusul Zeino mengakat tubuhnya dari kursi. Mereka saling berjabat tangan. “Pagi. Apa kabar kalian?” Percakapan basa-basi sekedar pembuka bicara itu berlangsung singkat. Mereka sepakat untuk melanjutkan bincang santai sambi
Kecenderungan anak laki-laki akan lebih dekat pada ibu daripada ayah, sepertinya berlaku pada Zeino. Pemuda yang sangat irit bicara apalagi mengungkapkan isi hati pada orang lain itu, perlahan memang lebih terbuka pada Utari, sang ibu. Tentu sikapnya itu tak lepas karena tanggapan Utari yang bisa disebut sangat menerima kehadiran Zee sebagai orang terdekatnya. Malam ini sebelum berangkat menenuhi undangan perusahaan lisensi, Zeino berbincang dengan Utari di sudut taman rumah. Hanya ada mereka berdua. Handoko masih ada kegiatan di luar bersama rekan bisnisnya. “Jadi karena alasan Talita akhirnya kamu membawa Zee ikut serta?” tanya Utari yang kemudian mendengar tentang Talita yang mengadu pada mamanya tentang Zeino yang tak berangkat bersama. Tentu saja Silvia langsung menghubungi Utari untuk merubah semua rencana Zeino. “Salah satunya karena itu, Ma. Ini juga sekalian mau meyakinkan Zee tentang pilihan tempat kerjanya yang baru nantinya.” “Zee jadi pin
“Jadi, elo tetep pindah kota?” Kedua bola mata Rayesa semakin membulat mendengar cerita Zee. “Kak Zeino ngijinin?” tanyanya lagi. Terlihat Zee menganggukan kepala. “Serius?” Kali ini terlihat raut tak percaya terpampang di wajah Lulu. “Bakal LDR-an 2 tahun?” Lampita ikut menimpali. “Iya.” Akhirnya Zee bersuara tak hanya sekedar menggoyang kepala turun naik. “Tujuh ratus tiga puluh hari loh, Zee. Ga bakal ketemuan, gitu?!” timpal Lampita setelah bermain hitung-hitungan dengan jemarinya. “Ya ga gitu juga kali ngitungnya. Emang jadi TKW ga pulang-pulang 2 tahun. Kan ada hari libur, cuti. Aku bisa pulang. Ato Kak Zeino yang nyamperin.” Zee dan teman-teman gengnya menyempatkan diri untuk bertemu di sela-sela kesibukan masing-masing. Lulu yang masih harus memutar otak untuk mendapat restu, Rayesa yang sudah mulai bekerja di salah satu perusahaan telekomunikasi dan Lampita yang menjalankan bisnis onlinenya. Mereka mengh
Senja telah menelan semesta. Lenyap kuasa cahaya sang surya berganti sinar rembulan yang belum bulat sempurna. Ditemani setitik sinar yang berpijar tanpa jeda, sang bintang kejora. Zee dan Zeino beranjak dari Panorama. Keduanya kembali berkendara meninggalkan sepenggal percakapan yang masih diakhiri tanda koma. “Sudah gelap, kita cari makan dulu, ya.” Sebuah restoran yang berada tak jauh dari Panorama menjadi pilihan Zeino. Restoran itu juga memiliki pemandangan lepas ke arah pusat kota karena terletak di dataran yang cukup tinggi. “Kita udah pacaran berapa tahun ya, Zee?” Zeino membuka percakapan lagi sambil menunggu pesanan mereka datang. “Berapa tahun, ya? Ngitungnya dari kapan? Bingung.” Zee menerawang. Kilas peristiwa pertemuan pertama mereka bermain di pelupuk mata. Mereka berdua sering bertemu ketika Lulu dan Dito saling mengunjugi fakultas masing-masing. Atau ketika mereka mengajak bertemu di luar kampus. Baik Zee maupun Zeino
Bagaimana pun untuk menghalau resah, perasaan tetaplah hal yang gampang diombang – ambing oleh kenyataan dan peristiwa. Hal itu yang sedang dirasakan Zee saat ikut menghadiri peresmian showroom. Dari sejak menginjak pelataran parkir, ia sudah tak asing dengan pemandangan yang ditemuinya. Pemandangan yang hampir sama, pernah dilihatnya melalui mimpi. Perlahan satu-satu per satu rekaman alam bawah sadarnya menyesuaikan di alam nyata. Tepat ketika momen yang membuat resah, Zee memutuskan untuk menjauh. Jujur, ia tak punya keberanian untuk mendengar langsung jika kalimat-kalimat yang meluncur dari keluarga Zeino dan Talita setelah keberhasilan mereka berdua membuka showroom akan benar-benar terucap. “Jadi setelah showroom selesai, kita bisa lanjutkan dengan proyek masa depan kalian. Bagaimana? Kapan? “Kalian sudah cocok, bisa buka bisnis bersama. Jadi berumahtangga juga akan bisa sama-sama.” Zee tak tahu apa benar akhirnya ada percakapan seperti itu di de
Zee mematut diri di depan kaca rias. Pagi ini ia tengah bersiap untuk hadir di acara peresmian showroom sepeda motor yang dipimpin Zeino. Proyek kerjasama, yang menurut Zee penuh drama itu, akhirnya berdiri juga. Tubuh semampainya telah berbalut seragam showroom yang khusus dipesan Zeino untuknya. Berbeda dengan tampilannya ketika menjadi GRO yang harus berblazer dan baju long dress dengan belahan di samping, kali ini Zee terlihat lebih casual. Ia mengikuti gaya pegawai showroom yang memang lebih santai dalam seragam lengan pendek warna hitam atau putih dengan bordiran logo di sana-sini. Seragam itu memang disukai Zeino dari pada padanan dasi dan jas yang terkesan kaku. Agar tak terlalu santai, rambut Zee yang biasa dicepol jika berkerja, sekarang dikuncir agak tinggi seperti gaya genie. Tak lupa riasan ringan untuk acara outdoor di pagi hari menghias wajahnya. Setelah merasa puas dengan tampilannya di kaca, Zee segera turun untuk menikmati sarapan bersama ib