Di depan sebuah bangunan besar berlantai tiga yang berdinding kaca di bagian depan, terlihat kesibukan. Ramai orang-orang yang bekerja mengatur berbagai jenis sepeda motor keluaran terbaru di dalam ruang kaca. Sedang di halaman parkir telah berdiri tenda besar dengan kursi-kursi tersusun rapi. Terdapat dekorasi balon dan papan bunga ucapan selamat dan sukses berjejer di sepanjang jalan.
Di antara keramaian itu ada beberapa orang yang sedari tadi memerhatikan pekerjaan yang berlangsung. Mereka sedang berbincang.
“Semua persiapan sudah 95% on schedule. Jadwal pembukaan showroom bisa tepat waktu.”
“Good job Talita. Kamu memang berbakat.”
“Ini kerja tim, Pa. Tanpa bimbingan dari Papa dan bantuan dari Kak Zeino, belum tentu saya bisa sendiri.”
“Jadi setelah showroom selesai, kita bisa lanjutkan dengan proyek masa depan kalian. Bagaimana? Kapan?”
“Kenapa diam? Talita? Zeino?”
“Ya, Pa.”
“Terserah Kak Zeino saja.”
“Kali
Udara malam pegunungan makin menusuk tulang. Acara di tepi kolam renang masih berlangsung. Zee yang beberapa saat yang lalu mengikuti langkah Batara Bramantyo, belum kembali bergabung dengan teman-temannya. Gadis itu masih di sisi lain kolam berbincang dengan beberapa pejabat penting resort. “Saya juga memulai karir di hotel di usia seperti kamu, Zee,” ujar seorang perempuan yang baru saja diperkenalkan Tyo padanya. “Kalau kamu mau mencari role model wanita sukses di dunia perhotelan, Miss Catlya contoh sempurna.” Pujian dari Tyo membuat perempuan berkacamata itu menggeleng sambil mengibaskan telapak tangannya sebagai tanda tak setuju. “No, no. Itu terlalu berlebihan.” Zee menjadi pendengar yang baik. Ia banyak melempar senyum mendengarkan cerita yang saling berbalas antara kedua pejabat corporate itu serta Andrew. Ternyata Catlya adalah seorang certified trainer yang bertugas memberi pelatihan ke seluruh hotel di bawah jaringan grup mereka. Wanita ya
“Iya, Bun. Ga tau tuh. Tiba-tiba aja telepon, minta ketemu.” Zee mengawali paginya di hari Senin dengan menelepon Kartika. Semalam gadis itu tak sempat untuk bertukar kabar karena setelah acara di pool side ia melanjutkan pertemuan dengan para pejabat corporate, Tyo dan Catlya, serta seluruh tim manajemen resort untuk membahas jadwal pre-opening training selama seminggu ke depan. Gadis yang telah terlihat rapi dalam seragam pre-opening team itu membahas tentang Mauren yang meneleponnya tiba-tiba dan meminta waktu untuk bertemu. “Ga ada nelpon Bunda lagi sejak berkunjung ke kantor. Amara juga ga ada ditelepon.” “Hmm, kira-kira mau perlu apa, ya? Kalo untuk urusan penjualan rumah sama lahan pabrik, kenapa mesti Zee, Bun?” “Ya sudah. Temui saja tantemu itu. Sekarang ga usah dipikirin. Kamu konsentrasi aja untuk kasih training. Katanya masih grogi.” “Siap, Bun. Mudah-mudahan 2 hari training lancar, terus pulang.” “Yang udah ga saba
Suasana di resort pagi itu mulai kembali sepi. Sejak keberangkatan tim task force yang kembali ke kota masing-masing beberapa menit yang lalu, tak nampak lagi aktivitas yang padat di lobby. Semua karyawan resort sedang berkumpul di ballroom untuk mengikuti sesi pre-opening training yang akan diawali oleh pengenalan brand standard. Zee masih mengulas senyum mengingat bagaimana Sammy dan rekannya yang lain menawarkan diri untuk menjemput, sebelum dia dan rekan yang lain menaiki kendaraan yang akan membawa mereka pulang. “Pas jadwal libur kita nih, Zee. Sekalian kamu juga libur, kan. Kita jalan-jalan. Selama di sini, ga sempat,” bujuk Sammy. “Iya, katanya tak jauh dari sini ada danau bagus banget. Ayolah, Zee,” sela rekannya yang lain. “Makasih, Bang. Tapi aku udah ada yang jemput,” elak Zee. “Ada yang jemput atau ada yang bakal antar?” selidik Sammy. Pasti Sammy ingin meledek Zee dan mengira ada seseorang yang selama ini mendekati gadis
Jingga mewarnai langit senja. Dari balkon kamarnya, Zee menikmati momen tergelincinya sang surya. Hal yang seminggu ini jarang ia lakukan. Baru sekarang ia sadar. Pemandangan senja di resort ini tak kalah indah dibandingkan dengan tempat-tempat yang pernah ia datangi bersama seorang pemuda yang membuatnya jatuh cinta dengan salah satu fenomena alam ini. Tak mau kehilangan karya lukisan alam itu, Zee membidikan kamera telepon genggamnya. Sejenak ia mengamati hasil jepretannya. Lalu ia mengirim gambar langit senja berwarna jingga itu pada Zeino. Tak terasa, hari ini adalah malam terakhirnya berada di resort. Sesi training yang diminta Bu Cokro telah ia lakukan selama 2 hari ini, Senin dan Selasa. Tugasnya selesai. Dan esok ia bisa kembali. Zee sempat berpikir untuk langsung pulang dengan menyewa travel yang malam hari. Sehingga besok, ia bisa menyemangati Zeino sidang skripsi. Namun ia telah terlanjur berjanji dengan mama Zeino. Mereka akan pulang bersama keeso
Awan tipis berarak di langit pagi yang cerah. Udara sejuk pegunungan membelai lembut. Tubuh semampai Zee berdiri tegak dengan sebuah koper yang sejajar dengan kaki jenjangnya. Sebuah tas menyampir di bahu. Gadis itu sengaja memilih menunggu mobil mama Zeino di depan lobby. Berbagai rasa menjalar di hati Zee. Rasa lega karena telah menyelesaikan tugas cross exposure pertamanya. Rindu akan keluarga yang tak bertemu muka secara langsung selama berhari-hari. Ada sedikit resah mengingat tak bisa memenuhi janji untuk menemani Zeino sidang. Terbersit canggung harus bagaimana selama bersama mama Zeino di perjalanan. Belum lagi permintaan Mauren yang mendesak untuk bertemu secepatnya. “Loh, jemputan kamu belum datang?” Lamunan Zee terpotong. Ia menolehkan wajah mencari sumber suara yang terasa dekat. Dan benar saja, berjarak dua langkah darinya telah berdiri seorang laki-laki yang sepuluh hari ini menjadi tetangganya. “Sebentar lagi, Pak. Sudah di jalan.”
Menunggu memang suatu yang menguras emosi bagi sebagian orang. Ada yang dilanda kebosanan hingga tak mau menunggu. Apalagi jika menunggu sesuatu yang tak pasti. Dan hari ini sepertinya banyak orang yang sedang menunggu. Zeino yang telah menyelesaikan sidangnya, belum keluar dari gedung fakultas. Ia masih menunggu Dito yang selanjutnya mempertaruhkan masa akhir perjuangan menuntut ilmu di perguruan tinggi. Selain itu ia juga menanti kabar dari seorang gadis yang saat ini sedang berada ratusan kilometer di wilayah utara. Sampai hari menjelang siang, gadis itu belum juga menelpon atau mengirim pesan kapan akan sampai. Raut wajah Zeino saat ini lebih terlihat tenang. Sidang yang mendebarkan telah dilalui dengan baik. Nilai sempurna sudah di tangan. Ia menunggu momen yang tepat untuk berbagi berita bahagia itu dengan keluarga dan Zee tentunya. Lulu dan kedua anggota gengnya yang lain yang berada di koridor fakultas pun belum ia kabari. Beberapa rekannya yang mengi
Gadis dalam balutan sweater rajut itu telah mendapatkan kembali bungkusan tisu basahnya yang sempat terjatuh. Bungkusan plastik berwarna hijau itu tergenggam kuat di tangan kirinya. Sementara tangan kanan gadis itu memegang ujung secarik kertas petak kecil yang bertuliskan beberapa rangkain kata dan sebuah logo yang cukup mencolok yang diulurkan padanya. Langkahnya masih tersendat di samping rumah makan. Zee dengan sosok pemuda yang menabraknya itu sempat saling meyakinkan diri satu sama lain untuk beberapa saat. Namun tak selesai mereka mengurai pertemuan tak sengaja itu, deru bus dan bunyi klason yang nyaring membuat pemuda itu harus segera pergi. “Ini kartu namaku. Kita lanjutkan ceritanya setelah sampai ya, Zee. Keep contact,” ujarnya dengan sorot mata yang berbinar. Pemuda itu berlari kecil menuju bus. Sebelum ia menapakan kaki ke tangga di pintu kendaraan besar itu, ia memalingkan kepala dan melempar senyum pada gadis yang masih terpaku di tempat berdir
Apa upah yang pantas untuk sebuah pekerjaan yang bernama menunggu? Aktivitas menunggu itu tentu tak membutuhkan kekuatan pisik dan mengeluarkan enegi yang banyak. Hanya duduk, diam tak akan membakar kalori. Tapi apakah benar begitu? Pikiran yang melayang tak tentu arah selama diam terpaku ternyata juga membutuhkan energi. Apalagi jika disertai dengan proses berpikir akan hal-hal yang menganggu. Kerja yang menggunakan otak termasuk penguras energi sebesar 20 hingga 25 persen menurut sebuah artikel. Bagi seorang pemuda yang baru saja memenangkan pertarungan terakhirnya di jenjang universitas, tak muluk yang ia inginkan setelah menunggu lama kehadiran pujaan hatinya. Bisa menatap senyum semringah di wajah yang saat ini berbalut riasan tipis cukup sebagai awal penawar rindunya. Zee yang telah sampai kembali di kota tempat tinggalnya, tak langsung diantar Utari ke rumah. Wanita itu menuruti permintaan Zeino. Ia ingin Utari membawa Zee ke rumah mereka. Lalu pemuda