Gadis dalam balutan sweater rajut itu telah mendapatkan kembali bungkusan tisu basahnya yang sempat terjatuh. Bungkusan plastik berwarna hijau itu tergenggam kuat di tangan kirinya. Sementara tangan kanan gadis itu memegang ujung secarik kertas petak kecil yang bertuliskan beberapa rangkain kata dan sebuah logo yang cukup mencolok yang diulurkan padanya. Langkahnya masih tersendat di samping rumah makan.
Zee dengan sosok pemuda yang menabraknya itu sempat saling meyakinkan diri satu sama lain untuk beberapa saat. Namun tak selesai mereka mengurai pertemuan tak sengaja itu, deru bus dan bunyi klason yang nyaring membuat pemuda itu harus segera pergi.
“Ini kartu namaku. Kita lanjutkan ceritanya setelah sampai ya, Zee. Keep contact,” ujarnya dengan sorot mata yang berbinar.
Pemuda itu berlari kecil menuju bus. Sebelum ia menapakan kaki ke tangga di pintu kendaraan besar itu, ia memalingkan kepala dan melempar senyum pada gadis yang masih terpaku di tempat berdir
Apa upah yang pantas untuk sebuah pekerjaan yang bernama menunggu? Aktivitas menunggu itu tentu tak membutuhkan kekuatan pisik dan mengeluarkan enegi yang banyak. Hanya duduk, diam tak akan membakar kalori. Tapi apakah benar begitu? Pikiran yang melayang tak tentu arah selama diam terpaku ternyata juga membutuhkan energi. Apalagi jika disertai dengan proses berpikir akan hal-hal yang menganggu. Kerja yang menggunakan otak termasuk penguras energi sebesar 20 hingga 25 persen menurut sebuah artikel. Bagi seorang pemuda yang baru saja memenangkan pertarungan terakhirnya di jenjang universitas, tak muluk yang ia inginkan setelah menunggu lama kehadiran pujaan hatinya. Bisa menatap senyum semringah di wajah yang saat ini berbalut riasan tipis cukup sebagai awal penawar rindunya. Zee yang telah sampai kembali di kota tempat tinggalnya, tak langsung diantar Utari ke rumah. Wanita itu menuruti permintaan Zeino. Ia ingin Utari membawa Zee ke rumah mereka. Lalu pemuda
Angin sore yang berhembus meniup helaian rambut seorang gadis yang duduk di sebuah halte. Tangannya menggenggam tali tas selempang yang melintang di dada. Pandangannya tertunduk menatap ujung flat shoesnya. Ia tak menghiraukan sekeliling, hingga sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Gadis yang telah membuka sweater rajutnya itu, sontak berdiri. Tergesa ia meraih gagang pintu mobil, sehingga pemuda yang berada di belakang kemudi mengurungkan niatnya untuk turun. Zeino sempat heran mendengar pacarnya itu minta dijemput di halte yang tak jauh dari rumah nenek Ruwina. “Bagaimana kabar nenek?” tanya Zeino ketika mereka telah menyatu dengan lalu lintas yang mulai padat. “Baik, Kak. Nenek sehat. Tadi nenek titip salam.” Zee melempar senyum seiring wajahnya yang menoleh menatap Zeino yang sibuk dengan kemudi. “Em, Tante Mauren juga nanyain Kak Zeino tadi,” sambung Zee sesat kemudian. “Tante Mauren?” ulang Zeino dengan bola mata bergerak ke kiri. Hany
Kehilangan itu rasanya sakit, bukan? Tak ada satu orang pun yang mau merasakannnya. Jika bisa memilih, tentu tak ada yang mau untuk kehilangan. Tapi, apa sebenarnya kehilangan itu? Rasa hilang ada karena ada rasa memiliki sebelumnya. Kita merasa punya sesuatu, lalu ketika hal tersebut tak ada di genggaman, maka rasa hilang itu hadir. Lalu, apakah bisa disimpulkan, jika tak mau kehilangan, maka jangan merasa memiliki. Lalu jika kehilangan tak terelakan, bagaimana cara menghilang rasa sakitnya? Merelakan, kata orang bijak. Semudah itukah solusinya? Memang mudah mengucapkan, tapi tentu penuh tantangan untuk menyelaraskan lidah, pikiran dan hati. Seperti yang dirasakan Zee saat ini. Gadis yang telah kembali ke kamarnya, sedang berbaring di ranjang. Erat pelukannya pada boneka anjing yang selama sepuluh hari ini ia tinggalkan. Seerat pelukannya pada tubuh pemuda jangkung yang sejam lalu mengantarnya pulang, selepas makan malam di café. Seakan ia tak ingin kehilangan. 
Mentari telah lama mengantar rembulan ke peraduan. Sinarnya yang mulai terik merayap di sela-sela kaca jendela yang masih tertutup helaian gorden yang sedikit menganga. Hangatnya belum menaklukan suhu kamar berpendingin yang masih menyala. Hawa sejuk menyeruak ketika daun pintu kayu di kamar itu terkuak. Kartika yang telah rapi dengan seragam kerjanya, mendapati anak gadisnya masih bergelung di dalam selimut. Niatnya untuk membangunkan urung terlaksana. Tangannya hanya mematikan pendingin ruangan dan menyibak kain gorden di jendela. Mendorong jendela dengan 2 lembar kaca itu agar terbuka. Lalu ia merogoh saku rok kerjanya dan mengeluarkan secarik kertas kecil persegi. Kertas itu kemudian ia letakan di atas meja rias. Melihat Zee yang masih lelap, tak terganggu dengan kehadirannya, Kartika memutuskan untuk beranjak. Ia tak membangunkan gadis itu. Kartika tahu jika hari ini Zee sedang libur bekerja. Mendengar cerita tentang jadwalnya yang setiap hari sibuk hingga tenga
“Maaf Pak Handoko. Ada sedikit lagi proses turun waris yang belum selesai. Maklumlah, Pak. Kami keluarga besar dan tinggal berbeda-beda kota.” “Kami juga minta maaf, Bu Mauren. Tenggat waktu penentuan lokasi dan bangunan sangat penting. Kami juga punya target dan persyaratan yang harus dipenuhi dari pemegang lisensi. Semakin mundur, akan sangat merugikan. Bisa-bisa didahului oleh pengajuan pengusaha yang lain.” Mauren tak mampu lagi berkata-kata. Kandas segala harapnya. Sangat jelas dia tak bisa membujuk Handoko untuk mengulur waktu. “Baiklah. Sepertinya cukup pertemuan kita hari ini, Bu Mauren. Sayang sekali kita tidak bisa melakukan jual beli. Kami permisi.” Udara kota yang terletak di pinggir pantai itu semakin terasa panas. Hembusan angin laut yang tertiup ke daratan tak sanggup menurunkan suhu yang meninggi, apalagi suhu hati Mauren saat ini. Wanita itu hanya bisa menatap kepergian Handoko beserta beberapa pegawainya dan juga Zeino yang telah dib
Tak kuasa mengejar panorama swastamita, luruh kecewa menatap gemintang di cakrawala. Binar tersulut cahaya kecil beriak di samudera. Menghangat daksa bersisian menjejak buliran pasir yang turut menggelap di kala malam meraja. Tak pupus lengkung bulan sabit yang mengambil tempat di raut wajah sang pemuja. Zee sempat kecewa karena melewatkan lukisan senja di tepian pantai. Karena Zeino terlambat dari jadwal yang telah mereka susun sehari sebelumnya. Sebagai gantinya, Zeino mengajak Zee untuk menyusuri pantai setelah mereka menyantap makan malam di sebuah restoran yang tak jauh dari sana. Cuaca yang cerah membuat mereka melihat gugusan bintang yang berkelap-kelip di langit yang kelam. Hempasan ombak yang pecah di bibir pantai membawa serta angin malam yang dingin. Zee merapakat jaket Zeino yang terlampir di pundaknya. “Kalau kamu kedinginan, kita kembali ke mobil saja, Zee,” ajak Zeino yang disambut gelengan gadis itu. “Di resort lebih dingin dari ini. A
“Yakin ga mau minta nenek jual rumah buat showroom?” Kartika dengan sengaja menelisik relung hati terdalam puterinya. Cerita Mauren tentang niat terselubung keluarga Sony Hartawan di balik penawaran kerjasama, tentunya akan menjadi duri dalam hubungan Zee dan Zeino. “Yakin, Bun. Nenek ga usah dirayu untuk melepas rumah. Dan ga perlu tahu juga tentang tudingan tante Mauren itu. Nanti beliau malah kepikiran.” Zee masih terlihat santai menikmati hari libur di saat pekerja lain menunggu-nunggu akhir pekan datang. “Kamu ga khawatir, cerita tante Mauren beneran terjadi,” selidik Kartika untuk meyakinkan sikap Zee. “Ga usah dipikirin, Bun. Yang penting Kak Zeino dan aku baik-baik aja. Mudah-mudahan. Kita udah bicara.” Zee menguatkan hati dan berusaha terlihat yakin dengan kalimatnya. Kartika melebarkan senyumnya. Memang persoalan warisan ini akhirnya kait-mengkait dengan urusan binis dan asmara. Dan situasi ini bisa berlarut dan menimbulkan sengketa
Rentang kehidupan bergulir dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Ketika sudah usai, peristiwa itu menjadi kenangan. Ketika suatu peristiwa ingin kita capai di masa depan, peristiwa itu maknai sebagai angan. Ada juga peristiwa yang berawal dari angan lalu jadi kenangan. Contohnya adalah Abian Zahran. Bagi Zee, Abian adalah angan yang telah menjadi kenangan. Gadis itu sudah memastikannya. Pertemuan tak terduga setelah perpisahan memang membuka kembali lembaran kenangan indah cinta pertama di akhir masa SMA. Namun ada hal yang tak lagi sama. Debar itu sudah tak lagi ada. Tak bisa Zee pungkiri, Abian telah menjelma menjadi sosok lelaki yang jauh lebih menarik dari sebelumnya. Garis wajah makin tegas, menampilkan rahang yang tinggi seiring menghilangnya timbunan lemak di pipi. Pembawaannya lebih supel dan ramah, selalu bisa mencari topik pembicaraan. Selama temu alumni terlihat jelas pemuda itu lebih mendominasi acara. Hampir seleruh atensi tertuju padanya. De