“Maaf Pak Handoko. Ada sedikit lagi proses turun waris yang belum selesai. Maklumlah, Pak. Kami keluarga besar dan tinggal berbeda-beda kota.”
“Kami juga minta maaf, Bu Mauren. Tenggat waktu penentuan lokasi dan bangunan sangat penting. Kami juga punya target dan persyaratan yang harus dipenuhi dari pemegang lisensi. Semakin mundur, akan sangat merugikan. Bisa-bisa didahului oleh pengajuan pengusaha yang lain.”
Mauren tak mampu lagi berkata-kata. Kandas segala harapnya. Sangat jelas dia tak bisa membujuk Handoko untuk mengulur waktu.
“Baiklah. Sepertinya cukup pertemuan kita hari ini, Bu Mauren. Sayang sekali kita tidak bisa melakukan jual beli. Kami permisi.”
Udara kota yang terletak di pinggir pantai itu semakin terasa panas. Hembusan angin laut yang tertiup ke daratan tak sanggup menurunkan suhu yang meninggi, apalagi suhu hati Mauren saat ini. Wanita itu hanya bisa menatap kepergian Handoko beserta beberapa pegawainya dan juga Zeino yang telah dib
Tak kuasa mengejar panorama swastamita, luruh kecewa menatap gemintang di cakrawala. Binar tersulut cahaya kecil beriak di samudera. Menghangat daksa bersisian menjejak buliran pasir yang turut menggelap di kala malam meraja. Tak pupus lengkung bulan sabit yang mengambil tempat di raut wajah sang pemuja. Zee sempat kecewa karena melewatkan lukisan senja di tepian pantai. Karena Zeino terlambat dari jadwal yang telah mereka susun sehari sebelumnya. Sebagai gantinya, Zeino mengajak Zee untuk menyusuri pantai setelah mereka menyantap makan malam di sebuah restoran yang tak jauh dari sana. Cuaca yang cerah membuat mereka melihat gugusan bintang yang berkelap-kelip di langit yang kelam. Hempasan ombak yang pecah di bibir pantai membawa serta angin malam yang dingin. Zee merapakat jaket Zeino yang terlampir di pundaknya. “Kalau kamu kedinginan, kita kembali ke mobil saja, Zee,” ajak Zeino yang disambut gelengan gadis itu. “Di resort lebih dingin dari ini. A
“Yakin ga mau minta nenek jual rumah buat showroom?” Kartika dengan sengaja menelisik relung hati terdalam puterinya. Cerita Mauren tentang niat terselubung keluarga Sony Hartawan di balik penawaran kerjasama, tentunya akan menjadi duri dalam hubungan Zee dan Zeino. “Yakin, Bun. Nenek ga usah dirayu untuk melepas rumah. Dan ga perlu tahu juga tentang tudingan tante Mauren itu. Nanti beliau malah kepikiran.” Zee masih terlihat santai menikmati hari libur di saat pekerja lain menunggu-nunggu akhir pekan datang. “Kamu ga khawatir, cerita tante Mauren beneran terjadi,” selidik Kartika untuk meyakinkan sikap Zee. “Ga usah dipikirin, Bun. Yang penting Kak Zeino dan aku baik-baik aja. Mudah-mudahan. Kita udah bicara.” Zee menguatkan hati dan berusaha terlihat yakin dengan kalimatnya. Kartika melebarkan senyumnya. Memang persoalan warisan ini akhirnya kait-mengkait dengan urusan binis dan asmara. Dan situasi ini bisa berlarut dan menimbulkan sengketa
Rentang kehidupan bergulir dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Ketika sudah usai, peristiwa itu menjadi kenangan. Ketika suatu peristiwa ingin kita capai di masa depan, peristiwa itu maknai sebagai angan. Ada juga peristiwa yang berawal dari angan lalu jadi kenangan. Contohnya adalah Abian Zahran. Bagi Zee, Abian adalah angan yang telah menjadi kenangan. Gadis itu sudah memastikannya. Pertemuan tak terduga setelah perpisahan memang membuka kembali lembaran kenangan indah cinta pertama di akhir masa SMA. Namun ada hal yang tak lagi sama. Debar itu sudah tak lagi ada. Tak bisa Zee pungkiri, Abian telah menjelma menjadi sosok lelaki yang jauh lebih menarik dari sebelumnya. Garis wajah makin tegas, menampilkan rahang yang tinggi seiring menghilangnya timbunan lemak di pipi. Pembawaannya lebih supel dan ramah, selalu bisa mencari topik pembicaraan. Selama temu alumni terlihat jelas pemuda itu lebih mendominasi acara. Hampir seleruh atensi tertuju padanya. De
Prok! Prok! Prok! Prok! Tepuk tangan yang membahana di ruang meeting yang berada di lantai 2 showroom mobil milik keluarga Zeino, mengiringi jabat erat tangan 2 orang pengusaha yang telah setuju untuk memulai kerjasama pembangunan showroom sepeda motor. Lalu bergantian kedua anggota tim yang ditunjuk sebagai penyelenggara proyek saling bersalaman. Momen itu kemudian diabadikan dengan saling memegang MOU yang telah ditanda-tangani kedua belah pihak. Seperti dugaan Zeino, Sony Hartawan akhirnya setuju untuk melepas 2 unit ruko miliknya, sehingga masing-masing pihak mempunyai modal lahan dan tempat dalam jumlah yang sama besar. Sedang pembiayaan lainnya menjadi porsi utuh dari keluarga Handoko, sehingga kendali utama proyek tetap berada di tangan mereka. Zeino menolak permintaan Soy Hartawan yang meminta waktu untuk berpikir dan akan memberi jawaban minggu depan, tepatnya di hari Senin. Pemuda itu dengan tegas mengatakan, jika penawaran kerjasama yang disampaika
Sabtu pagi yang cerah. Zee melenggang di lobby hotel dengan senyum semringah. Sepuluh hari meninggal tempat kerja, membuatnya rindu akan rutinitasnya. Menyapa tamu-tamu dengan senyum hangat, memeriksa standar penyambutan tamu VIP, membantu tamu yang mengalami kesulitan dan banyak lagi yang lain. Bertemu dengan rekan kerja juga momen yang dinantikan gadis itu. Bertukar kabar dan informasi yang terlewatkan selama berjauhan. Terutama berita hangat yang tak diceritakan di dalam group chatting. Jam istirahat adalah waktu yang tepat untuk mengejar ketinggalan berita hangat itu. “Beneran? Mbak Keke yang di Lounge, 'kan?” Zee menahan suaranya agar tak terlalu keras. Berita mengenai seorang waitress di lounge yang dilamar seorang tamu long staying guest berkebangsaan asing menjadi salah satu berita hangat yang baru ia dengar. “Iya, yang manis itu. Minggu depan udah berangkat ke Jerman. Mereka nikah di sana. Beruntung banget, ya,” terang Rani yang merupakan salah satu receptio
Berkali Zeino memeriksa arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Setiap detik terasa beralu begitu cepat. Sedang pekerjaannya masih saja belum selesai. Ia bisa saja menyerahkan beberapa pekerjaan pada timnya, namun pemuda itu ingin mengetahui semua hal sampai ke intinya. Bagaimanapun ia baru mulai dan harus mempelajari semuanya dengan detail. Pemuda itu banyak bertanya pada anggota timnya yang telah lebih dulu berpengalaman dalam dunia bisnis. Salah seorang anggotanya sempat memberi ide agar pekerjaan mereka dilanjutkan di hari Senin melihat tingkah Zeino yang terus melirik penunjuk waktu. Namun Zeino menolak, ia meminta untuk tak menunda. Semua targetnya hari ini harus selesai. Ia tak ingin terlihat tak serius di mata papanya yang sering mengingatkannya untuk fokus. Hingga mau tak mau untuk kedua kalinya ia harus memberitahu Zee, jika ia akan terlambat menjemput. Zeino tetap tidak mengijinkan gadisnya itu untuk pulang sendiri. Begitu menyelesaikan pekerj
Saling jatuh cinta memang membuat dunia serasa milik berdua. Tapi realitanya hidup tak hanya berdua saja. Hati yang saling bertaut saja tidak cukup. Hubungan asmara tentu tak melulu soal debaran-debaran jantung saat bertemu, kegelisahan saat jauh atau hati yang terbakar cemburu. Karena hidup juga tak melulu tentang asmara. Ada keluarga, pekerjaan, teman dan lingkungan yang juga tak bisa diabaikan keberadaannya. Perjalanan hati Zee dan Zeino yang berawal dari hubungan antar teman di lingkar pergaulan, telah sampai ditahap saling berbagi resah dan saling menyemangati untuk kemajuan diri di masa depan. Mencari cara untuk sampai di satu titik temu. Menghalau segala rintangan dan godaan yang menghampiri silih berganti bahkan ada yang masih setia mengikuti langkah kaki hingga saat ini. “Kak Zeino ga harus antar jemput akau tiap hari. Buka showroom pasti sibuk. Aku bisa pakai motor, pesen taksi atau ojek online.” Salah satu persoalan klasik yang menja
Kesibukan membuat waktu berputar lebih cepat. Bahkan rasanya durasi waktu yang tersedia terasa kurang karena dikejar berbagai target yang harus diselesaikan. Ingin rasanya 1 hari itu lebih dari 24 jam karena selalu merasa kekurangan. Sangat berbeda ketika tidak ada pekerjaan. Rasanya waktu sangat lambat bergulir.Kesibukan jugalah yang membuat Zee dan Zeino tak bisa menghabiskan waktu berlama berdua seperti dulu. Pertemuan hanya yang bisa mereka curi-curi di sela-sela waktu yang ada. Paling sering pagi-pagi sekali saat Zee mendapat jadwal shift pertama atau sebelum tengah malam saat Zee pulang di shift kedua. Mereka mulai jarang melewatkan ritual malam minggu yang seperti pasangan kekasih pada umumnya. Apalagi mengagendakan untuk berlibur berdua. Rencana perayaan kelulusan geng mereka saja hanya berlangsung singkat seperti acara makan biasa.Kehidupan mereka di satu kota yang sama tak memberi jaminan keduanya akan sering meluangkan waktu bersama. Nyatanya
Untuk apa menunggu, jika yang kau mau telah ada di hadapanmu. Untuk apa menunda jika hanya bersamanya kau merasa bahagia. Untuk apa meragu jika hanya dia yang ada di hatimu. Untuk apa bersama jika tak ada ikatan yang sah dan nyata. Kali kedua sepasang anak manusia itu membicarakan kelanjutan hubungan mereka. Sesaat setelah pembukaan showroom berbulan-bulan yang lalu, mereka sepakat untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Memenuhi komitmen pekerjaan dan meresmikan ikatan cinta setelahnya. Sekarang ketika menjalani hubungan jarak jauh, keduanya berusaha mempersingkat jarak. Dan upaya itu bersyarat, harus berlabel sah jika tetap memaksa. Memang lebih cepat dari apa yang mereka rencanakan. Tentu belum semua sempurna seperti angan. Namun apa tolak ukur sempurna itu perlu ketika ada rasa terpenuhi dengan apa yang ada di tangan? Keraguan karena ketakutan akan terulang sejarah pahit dari orang-orang terdekat, tak seharusnya menjadi pemata
Di sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Zeino, Zee tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Bukan karena grogi, ia sudah sering berkunjung ke sana, tapi kali ini Zee tak bisa menghalau kecemasannya. Kepergok oleh orangtua Zeino saat mereka sedang berpelukan, membuat Zee gundah dan malu. Zeino berusaha menenangkan Zee. Genggaman jemarinya tak lepas meski sebelah tangannya harus memegang kemudi. Zeino sendiri tak bisa menerka apa yang akan dilakukan oleh papanya, hingga meminta mereka menyusul ke rumah. Sesampai di kediamannya, Zeino melangkah pasti dengan tak membiarkan Zee menarik genggaman jemarinya. Keduanya memasuki ruang tamu namun tak menemukan Handoko di sana. Seorang pelayan yang datang menghampiri memberitahu jika mereka diminta menunggu di ruang kerja. Pilihan ruang kerja sebagai tempat bertemu tentu memberi kesan berbeda. Zee merasakan ada hal serius yang akan dibicarakan. Dan tentu akan ada hubungannya dengan kejadian di kan
“Kamu pasti tahu, untuk membuka cabang showroom di daerah utara, penjualan harus setengah break even point dulu. Kalau tidak, harus ada sumber dana lain.” “Pa, modal kita yang terpakai hanya setengah. Karena yang di sini ada kerjasama dengan Pak Sony. Zei, mau ijin Papa untuk pakai dana yang tesisa untuk memulai buka cabang di wilayah utara.” “Belum cukup Zei. Harga tanah dan bangunan di wilayah utara cukup tinggi. Apa mau kerjasama lagi dengan Pak Sony.” “Kali ini cukup kita saja, Pa.” “Lalu kamu mau dapat tambahan modal dari mana?” “Waktu kunjugan ke kantor lisensi, ada pihak bank yang menawarkan kredit usaha. Beberapa hari ini Zei pelajari, bunganya cukup rendah. Zei akan coba ini, Pa.” Handoko tak langsung menanggapi. Pria paruh baya itu meraih cangkir berisi kopi hitam di atas meja. Menyeruput perlahan lalu menaruh kembali cangkir porselen itu ke tempat semula. “Coba kamu buat proposalnya. Papa mau pelajari
Memenuhi janjinya, Zee menerima kunjungan Batara Bramantyo di restoran hotel sambil sarapan. Gadis itu tak sendiri, tentu Zeino ada di sampingnya. Keduanya menempati sebuah meja yang berkapasitas empat orang. Dua buah kursi masih belum ditempati. Tak lama berselang sejak kedatangan mereka, seorang pria datang mendekat. Pria itu dibalut stelan baju kerja formal lengkap dengan jas dan dasi yang senada. Terlihat ia mengedarkan pandangan ke suluruh penjuru restoran. Ia mengukir senyum begitu menemukan sosok yang dicarinya. Pria yang tak lain adalah Batara Bramantyo itu disambut dengan baik oleh sepasang muda-mudi yang terlihat berdiri sambil menyapa dengan senyuman. “Selamat pagi, Pak Batara.” Zee menyapa terlebih dahulu. Lalu menyusul Zeino mengakat tubuhnya dari kursi. Mereka saling berjabat tangan. “Pagi. Apa kabar kalian?” Percakapan basa-basi sekedar pembuka bicara itu berlangsung singkat. Mereka sepakat untuk melanjutkan bincang santai sambi
Kecenderungan anak laki-laki akan lebih dekat pada ibu daripada ayah, sepertinya berlaku pada Zeino. Pemuda yang sangat irit bicara apalagi mengungkapkan isi hati pada orang lain itu, perlahan memang lebih terbuka pada Utari, sang ibu. Tentu sikapnya itu tak lepas karena tanggapan Utari yang bisa disebut sangat menerima kehadiran Zee sebagai orang terdekatnya. Malam ini sebelum berangkat menenuhi undangan perusahaan lisensi, Zeino berbincang dengan Utari di sudut taman rumah. Hanya ada mereka berdua. Handoko masih ada kegiatan di luar bersama rekan bisnisnya. “Jadi karena alasan Talita akhirnya kamu membawa Zee ikut serta?” tanya Utari yang kemudian mendengar tentang Talita yang mengadu pada mamanya tentang Zeino yang tak berangkat bersama. Tentu saja Silvia langsung menghubungi Utari untuk merubah semua rencana Zeino. “Salah satunya karena itu, Ma. Ini juga sekalian mau meyakinkan Zee tentang pilihan tempat kerjanya yang baru nantinya.” “Zee jadi pin
“Jadi, elo tetep pindah kota?” Kedua bola mata Rayesa semakin membulat mendengar cerita Zee. “Kak Zeino ngijinin?” tanyanya lagi. Terlihat Zee menganggukan kepala. “Serius?” Kali ini terlihat raut tak percaya terpampang di wajah Lulu. “Bakal LDR-an 2 tahun?” Lampita ikut menimpali. “Iya.” Akhirnya Zee bersuara tak hanya sekedar menggoyang kepala turun naik. “Tujuh ratus tiga puluh hari loh, Zee. Ga bakal ketemuan, gitu?!” timpal Lampita setelah bermain hitung-hitungan dengan jemarinya. “Ya ga gitu juga kali ngitungnya. Emang jadi TKW ga pulang-pulang 2 tahun. Kan ada hari libur, cuti. Aku bisa pulang. Ato Kak Zeino yang nyamperin.” Zee dan teman-teman gengnya menyempatkan diri untuk bertemu di sela-sela kesibukan masing-masing. Lulu yang masih harus memutar otak untuk mendapat restu, Rayesa yang sudah mulai bekerja di salah satu perusahaan telekomunikasi dan Lampita yang menjalankan bisnis onlinenya. Mereka mengh
Senja telah menelan semesta. Lenyap kuasa cahaya sang surya berganti sinar rembulan yang belum bulat sempurna. Ditemani setitik sinar yang berpijar tanpa jeda, sang bintang kejora. Zee dan Zeino beranjak dari Panorama. Keduanya kembali berkendara meninggalkan sepenggal percakapan yang masih diakhiri tanda koma. “Sudah gelap, kita cari makan dulu, ya.” Sebuah restoran yang berada tak jauh dari Panorama menjadi pilihan Zeino. Restoran itu juga memiliki pemandangan lepas ke arah pusat kota karena terletak di dataran yang cukup tinggi. “Kita udah pacaran berapa tahun ya, Zee?” Zeino membuka percakapan lagi sambil menunggu pesanan mereka datang. “Berapa tahun, ya? Ngitungnya dari kapan? Bingung.” Zee menerawang. Kilas peristiwa pertemuan pertama mereka bermain di pelupuk mata. Mereka berdua sering bertemu ketika Lulu dan Dito saling mengunjugi fakultas masing-masing. Atau ketika mereka mengajak bertemu di luar kampus. Baik Zee maupun Zeino
Bagaimana pun untuk menghalau resah, perasaan tetaplah hal yang gampang diombang – ambing oleh kenyataan dan peristiwa. Hal itu yang sedang dirasakan Zee saat ikut menghadiri peresmian showroom. Dari sejak menginjak pelataran parkir, ia sudah tak asing dengan pemandangan yang ditemuinya. Pemandangan yang hampir sama, pernah dilihatnya melalui mimpi. Perlahan satu-satu per satu rekaman alam bawah sadarnya menyesuaikan di alam nyata. Tepat ketika momen yang membuat resah, Zee memutuskan untuk menjauh. Jujur, ia tak punya keberanian untuk mendengar langsung jika kalimat-kalimat yang meluncur dari keluarga Zeino dan Talita setelah keberhasilan mereka berdua membuka showroom akan benar-benar terucap. “Jadi setelah showroom selesai, kita bisa lanjutkan dengan proyek masa depan kalian. Bagaimana? Kapan? “Kalian sudah cocok, bisa buka bisnis bersama. Jadi berumahtangga juga akan bisa sama-sama.” Zee tak tahu apa benar akhirnya ada percakapan seperti itu di de
Zee mematut diri di depan kaca rias. Pagi ini ia tengah bersiap untuk hadir di acara peresmian showroom sepeda motor yang dipimpin Zeino. Proyek kerjasama, yang menurut Zee penuh drama itu, akhirnya berdiri juga. Tubuh semampainya telah berbalut seragam showroom yang khusus dipesan Zeino untuknya. Berbeda dengan tampilannya ketika menjadi GRO yang harus berblazer dan baju long dress dengan belahan di samping, kali ini Zee terlihat lebih casual. Ia mengikuti gaya pegawai showroom yang memang lebih santai dalam seragam lengan pendek warna hitam atau putih dengan bordiran logo di sana-sini. Seragam itu memang disukai Zeino dari pada padanan dasi dan jas yang terkesan kaku. Agar tak terlalu santai, rambut Zee yang biasa dicepol jika berkerja, sekarang dikuncir agak tinggi seperti gaya genie. Tak lupa riasan ringan untuk acara outdoor di pagi hari menghias wajahnya. Setelah merasa puas dengan tampilannya di kaca, Zee segera turun untuk menikmati sarapan bersama ib