Berkali Zeino memeriksa arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Setiap detik terasa beralu begitu cepat. Sedang pekerjaannya masih saja belum selesai. Ia bisa saja menyerahkan beberapa pekerjaan pada timnya, namun pemuda itu ingin mengetahui semua hal sampai ke intinya. Bagaimanapun ia baru mulai dan harus mempelajari semuanya dengan detail. Pemuda itu banyak bertanya pada anggota timnya yang telah lebih dulu berpengalaman dalam dunia bisnis.
Salah seorang anggotanya sempat memberi ide agar pekerjaan mereka dilanjutkan di hari Senin melihat tingkah Zeino yang terus melirik penunjuk waktu. Namun Zeino menolak, ia meminta untuk tak menunda. Semua targetnya hari ini harus selesai. Ia tak ingin terlihat tak serius di mata papanya yang sering mengingatkannya untuk fokus. Hingga mau tak mau untuk kedua kalinya ia harus memberitahu Zee, jika ia akan terlambat menjemput. Zeino tetap tidak mengijinkan gadisnya itu untuk pulang sendiri.
Begitu menyelesaikan pekerj
Saling jatuh cinta memang membuat dunia serasa milik berdua. Tapi realitanya hidup tak hanya berdua saja. Hati yang saling bertaut saja tidak cukup. Hubungan asmara tentu tak melulu soal debaran-debaran jantung saat bertemu, kegelisahan saat jauh atau hati yang terbakar cemburu. Karena hidup juga tak melulu tentang asmara. Ada keluarga, pekerjaan, teman dan lingkungan yang juga tak bisa diabaikan keberadaannya. Perjalanan hati Zee dan Zeino yang berawal dari hubungan antar teman di lingkar pergaulan, telah sampai ditahap saling berbagi resah dan saling menyemangati untuk kemajuan diri di masa depan. Mencari cara untuk sampai di satu titik temu. Menghalau segala rintangan dan godaan yang menghampiri silih berganti bahkan ada yang masih setia mengikuti langkah kaki hingga saat ini. “Kak Zeino ga harus antar jemput akau tiap hari. Buka showroom pasti sibuk. Aku bisa pakai motor, pesen taksi atau ojek online.” Salah satu persoalan klasik yang menja
Kesibukan membuat waktu berputar lebih cepat. Bahkan rasanya durasi waktu yang tersedia terasa kurang karena dikejar berbagai target yang harus diselesaikan. Ingin rasanya 1 hari itu lebih dari 24 jam karena selalu merasa kekurangan. Sangat berbeda ketika tidak ada pekerjaan. Rasanya waktu sangat lambat bergulir.Kesibukan jugalah yang membuat Zee dan Zeino tak bisa menghabiskan waktu berlama berdua seperti dulu. Pertemuan hanya yang bisa mereka curi-curi di sela-sela waktu yang ada. Paling sering pagi-pagi sekali saat Zee mendapat jadwal shift pertama atau sebelum tengah malam saat Zee pulang di shift kedua. Mereka mulai jarang melewatkan ritual malam minggu yang seperti pasangan kekasih pada umumnya. Apalagi mengagendakan untuk berlibur berdua. Rencana perayaan kelulusan geng mereka saja hanya berlangsung singkat seperti acara makan biasa.Kehidupan mereka di satu kota yang sama tak memberi jaminan keduanya akan sering meluangkan waktu bersama. Nyatanya
Gadis yang telah mengganti seragam kerjanya dengan baju yang lebih santai terlihat duduk di sebuah ruangan kerja yang terletak di sebuah showroom sepeda motor. Showroom itu masih dalam tahap penyelesaian. Sebelum diantar ke ruang kerja Zeino, Zee sempat mengamati ruko empat pintu bertingkat tiga itu. Renovasinya hampir sempurna. Untuk area kantor lebih dulu siap ditempati. Sedang area pameran, bengkel dan penjualan suku cadang masih butuh beberapa hari lagi. Kehadiran Zee untuk pertama kalinya di showroom itu tentu menarik perhatian seluruh karyawan di sana. Apalagi Zee turun dari mobil keluarga Zeino bersama Pak Surya sopir pribadi mereka. Pak Surya juga langsung mengantarkan Zee ke kantor Zeino tanpa meminta bantuan karyawan yang lain. Ia juga yang kemudian menyediakan minuman dan kudapan serta majalah-majalah otomotif untuk menemani Zee agar tak bosan menunggu Zeino yang masih ada pekerjaan melihat konstruksi bengkel. “Mbak Zee mohon menunggu sebent
“Kak Zeino, kenapa belok? Rumah nenek ‘kan lurus aja dari sini,” protes Zee ketika Zeino membelokan setir sepeda motor ke arah kiri ketika sampai di perempatan jalan. “Lewat sini juga bisa,” jawab Zeino enteng “Iya, tapi jadi jauh. Muter-muter, loh.” “Biar aja. Kan lagi ga buru-buru.” Dari balik helem yang dikenakannya, terlihat kening Zee berkerut. “Maksudnya apa, sih?” gumam Zee. Sedangkan Zeino mengulum senyum. Pemuda dalam balutan jaket berlogo showroom miliknya itu tentu sengaja mencari jalur lain yang lebih jauh agar bisa berlama-lama mengenderai sepeda motor dengan Zee. Zeino benar-benar tak memburu laju sepeda motor bebek yang dikendarainya. Ia menikmati udara kota di sore hari. Langit yang tersembunyi di balik rindang pohon besar di sepanjang jalan terlihat cukup cerah. Secerah hatinya yang memuji otak cerdasnya yang berhasil mencuri waktu agar bisa berduaan sejenak dengan kekasih hatinya. Sedangkan Zee a
Sepasang bola mata dengan alis lentik itu memandangi barisan kalimat yang terpampang di layar laptopnya. Sebuah email dari pejabat corporate yang selama beberapa bulan belakangan ini sering berkirim surat elektronik dan menghubunginya mengabarkan tentang beberapa opsi untuk kepindahannya ke unit lain. Resort di wilayah utara masih tercantum sebagai salah satu pilihan. Begitu juga dengan corporate office. Sedang pilihan hotel lain yang bisa menerima, benar-benar sangat mengejutkan. Sebuah hotel besar di luar negeri, yang tentu sangat menarik dan mengingatkannya tentang impian berkeliling dunia. Di dalam email itu, Batara Bramantyo juga menuliskan saran tentang pilihan terbaik yang mempunyai peluang karir lebih besar. Walaupun pada akhirnya semua keputusan ada ditangannya. Surat itu diakhiri dengan tenggat waktu pilihan yang harus ditetapkan paling lama dua minggu sejak email diterima. Hufft! Zee menghela napas dalam. Jarak akan kembali m
Zee mematut diri di depan kaca rias. Pagi ini ia tengah bersiap untuk hadir di acara peresmian showroom sepeda motor yang dipimpin Zeino. Proyek kerjasama, yang menurut Zee penuh drama itu, akhirnya berdiri juga. Tubuh semampainya telah berbalut seragam showroom yang khusus dipesan Zeino untuknya. Berbeda dengan tampilannya ketika menjadi GRO yang harus berblazer dan baju long dress dengan belahan di samping, kali ini Zee terlihat lebih casual. Ia mengikuti gaya pegawai showroom yang memang lebih santai dalam seragam lengan pendek warna hitam atau putih dengan bordiran logo di sana-sini. Seragam itu memang disukai Zeino dari pada padanan dasi dan jas yang terkesan kaku. Agar tak terlalu santai, rambut Zee yang biasa dicepol jika berkerja, sekarang dikuncir agak tinggi seperti gaya genie. Tak lupa riasan ringan untuk acara outdoor di pagi hari menghias wajahnya. Setelah merasa puas dengan tampilannya di kaca, Zee segera turun untuk menikmati sarapan bersama ib
Bagaimana pun untuk menghalau resah, perasaan tetaplah hal yang gampang diombang – ambing oleh kenyataan dan peristiwa. Hal itu yang sedang dirasakan Zee saat ikut menghadiri peresmian showroom. Dari sejak menginjak pelataran parkir, ia sudah tak asing dengan pemandangan yang ditemuinya. Pemandangan yang hampir sama, pernah dilihatnya melalui mimpi. Perlahan satu-satu per satu rekaman alam bawah sadarnya menyesuaikan di alam nyata. Tepat ketika momen yang membuat resah, Zee memutuskan untuk menjauh. Jujur, ia tak punya keberanian untuk mendengar langsung jika kalimat-kalimat yang meluncur dari keluarga Zeino dan Talita setelah keberhasilan mereka berdua membuka showroom akan benar-benar terucap. “Jadi setelah showroom selesai, kita bisa lanjutkan dengan proyek masa depan kalian. Bagaimana? Kapan? “Kalian sudah cocok, bisa buka bisnis bersama. Jadi berumahtangga juga akan bisa sama-sama.” Zee tak tahu apa benar akhirnya ada percakapan seperti itu di de
Senja telah menelan semesta. Lenyap kuasa cahaya sang surya berganti sinar rembulan yang belum bulat sempurna. Ditemani setitik sinar yang berpijar tanpa jeda, sang bintang kejora. Zee dan Zeino beranjak dari Panorama. Keduanya kembali berkendara meninggalkan sepenggal percakapan yang masih diakhiri tanda koma. “Sudah gelap, kita cari makan dulu, ya.” Sebuah restoran yang berada tak jauh dari Panorama menjadi pilihan Zeino. Restoran itu juga memiliki pemandangan lepas ke arah pusat kota karena terletak di dataran yang cukup tinggi. “Kita udah pacaran berapa tahun ya, Zee?” Zeino membuka percakapan lagi sambil menunggu pesanan mereka datang. “Berapa tahun, ya? Ngitungnya dari kapan? Bingung.” Zee menerawang. Kilas peristiwa pertemuan pertama mereka bermain di pelupuk mata. Mereka berdua sering bertemu ketika Lulu dan Dito saling mengunjugi fakultas masing-masing. Atau ketika mereka mengajak bertemu di luar kampus. Baik Zee maupun Zeino