Gadis yang telah mengganti seragam kerjanya dengan baju yang lebih santai terlihat duduk di sebuah ruangan kerja yang terletak di sebuah showroom sepeda motor. Showroom itu masih dalam tahap penyelesaian. Sebelum diantar ke ruang kerja Zeino, Zee sempat mengamati ruko empat pintu bertingkat tiga itu. Renovasinya hampir sempurna. Untuk area kantor lebih dulu siap ditempati. Sedang area pameran, bengkel dan penjualan suku cadang masih butuh beberapa hari lagi.
Kehadiran Zee untuk pertama kalinya di showroom itu tentu menarik perhatian seluruh karyawan di sana. Apalagi Zee turun dari mobil keluarga Zeino bersama Pak Surya sopir pribadi mereka. Pak Surya juga langsung mengantarkan Zee ke kantor Zeino tanpa meminta bantuan karyawan yang lain. Ia juga yang kemudian menyediakan minuman dan kudapan serta majalah-majalah otomotif untuk menemani Zee agar tak bosan menunggu Zeino yang masih ada pekerjaan melihat konstruksi bengkel.
“Mbak Zee mohon menunggu sebent
“Kak Zeino, kenapa belok? Rumah nenek ‘kan lurus aja dari sini,” protes Zee ketika Zeino membelokan setir sepeda motor ke arah kiri ketika sampai di perempatan jalan. “Lewat sini juga bisa,” jawab Zeino enteng “Iya, tapi jadi jauh. Muter-muter, loh.” “Biar aja. Kan lagi ga buru-buru.” Dari balik helem yang dikenakannya, terlihat kening Zee berkerut. “Maksudnya apa, sih?” gumam Zee. Sedangkan Zeino mengulum senyum. Pemuda dalam balutan jaket berlogo showroom miliknya itu tentu sengaja mencari jalur lain yang lebih jauh agar bisa berlama-lama mengenderai sepeda motor dengan Zee. Zeino benar-benar tak memburu laju sepeda motor bebek yang dikendarainya. Ia menikmati udara kota di sore hari. Langit yang tersembunyi di balik rindang pohon besar di sepanjang jalan terlihat cukup cerah. Secerah hatinya yang memuji otak cerdasnya yang berhasil mencuri waktu agar bisa berduaan sejenak dengan kekasih hatinya. Sedangkan Zee a
Sepasang bola mata dengan alis lentik itu memandangi barisan kalimat yang terpampang di layar laptopnya. Sebuah email dari pejabat corporate yang selama beberapa bulan belakangan ini sering berkirim surat elektronik dan menghubunginya mengabarkan tentang beberapa opsi untuk kepindahannya ke unit lain. Resort di wilayah utara masih tercantum sebagai salah satu pilihan. Begitu juga dengan corporate office. Sedang pilihan hotel lain yang bisa menerima, benar-benar sangat mengejutkan. Sebuah hotel besar di luar negeri, yang tentu sangat menarik dan mengingatkannya tentang impian berkeliling dunia. Di dalam email itu, Batara Bramantyo juga menuliskan saran tentang pilihan terbaik yang mempunyai peluang karir lebih besar. Walaupun pada akhirnya semua keputusan ada ditangannya. Surat itu diakhiri dengan tenggat waktu pilihan yang harus ditetapkan paling lama dua minggu sejak email diterima. Hufft! Zee menghela napas dalam. Jarak akan kembali m
Zee mematut diri di depan kaca rias. Pagi ini ia tengah bersiap untuk hadir di acara peresmian showroom sepeda motor yang dipimpin Zeino. Proyek kerjasama, yang menurut Zee penuh drama itu, akhirnya berdiri juga. Tubuh semampainya telah berbalut seragam showroom yang khusus dipesan Zeino untuknya. Berbeda dengan tampilannya ketika menjadi GRO yang harus berblazer dan baju long dress dengan belahan di samping, kali ini Zee terlihat lebih casual. Ia mengikuti gaya pegawai showroom yang memang lebih santai dalam seragam lengan pendek warna hitam atau putih dengan bordiran logo di sana-sini. Seragam itu memang disukai Zeino dari pada padanan dasi dan jas yang terkesan kaku. Agar tak terlalu santai, rambut Zee yang biasa dicepol jika berkerja, sekarang dikuncir agak tinggi seperti gaya genie. Tak lupa riasan ringan untuk acara outdoor di pagi hari menghias wajahnya. Setelah merasa puas dengan tampilannya di kaca, Zee segera turun untuk menikmati sarapan bersama ib
Bagaimana pun untuk menghalau resah, perasaan tetaplah hal yang gampang diombang – ambing oleh kenyataan dan peristiwa. Hal itu yang sedang dirasakan Zee saat ikut menghadiri peresmian showroom. Dari sejak menginjak pelataran parkir, ia sudah tak asing dengan pemandangan yang ditemuinya. Pemandangan yang hampir sama, pernah dilihatnya melalui mimpi. Perlahan satu-satu per satu rekaman alam bawah sadarnya menyesuaikan di alam nyata. Tepat ketika momen yang membuat resah, Zee memutuskan untuk menjauh. Jujur, ia tak punya keberanian untuk mendengar langsung jika kalimat-kalimat yang meluncur dari keluarga Zeino dan Talita setelah keberhasilan mereka berdua membuka showroom akan benar-benar terucap. “Jadi setelah showroom selesai, kita bisa lanjutkan dengan proyek masa depan kalian. Bagaimana? Kapan? “Kalian sudah cocok, bisa buka bisnis bersama. Jadi berumahtangga juga akan bisa sama-sama.” Zee tak tahu apa benar akhirnya ada percakapan seperti itu di de
Senja telah menelan semesta. Lenyap kuasa cahaya sang surya berganti sinar rembulan yang belum bulat sempurna. Ditemani setitik sinar yang berpijar tanpa jeda, sang bintang kejora. Zee dan Zeino beranjak dari Panorama. Keduanya kembali berkendara meninggalkan sepenggal percakapan yang masih diakhiri tanda koma. “Sudah gelap, kita cari makan dulu, ya.” Sebuah restoran yang berada tak jauh dari Panorama menjadi pilihan Zeino. Restoran itu juga memiliki pemandangan lepas ke arah pusat kota karena terletak di dataran yang cukup tinggi. “Kita udah pacaran berapa tahun ya, Zee?” Zeino membuka percakapan lagi sambil menunggu pesanan mereka datang. “Berapa tahun, ya? Ngitungnya dari kapan? Bingung.” Zee menerawang. Kilas peristiwa pertemuan pertama mereka bermain di pelupuk mata. Mereka berdua sering bertemu ketika Lulu dan Dito saling mengunjugi fakultas masing-masing. Atau ketika mereka mengajak bertemu di luar kampus. Baik Zee maupun Zeino
“Jadi, elo tetep pindah kota?” Kedua bola mata Rayesa semakin membulat mendengar cerita Zee. “Kak Zeino ngijinin?” tanyanya lagi. Terlihat Zee menganggukan kepala. “Serius?” Kali ini terlihat raut tak percaya terpampang di wajah Lulu. “Bakal LDR-an 2 tahun?” Lampita ikut menimpali. “Iya.” Akhirnya Zee bersuara tak hanya sekedar menggoyang kepala turun naik. “Tujuh ratus tiga puluh hari loh, Zee. Ga bakal ketemuan, gitu?!” timpal Lampita setelah bermain hitung-hitungan dengan jemarinya. “Ya ga gitu juga kali ngitungnya. Emang jadi TKW ga pulang-pulang 2 tahun. Kan ada hari libur, cuti. Aku bisa pulang. Ato Kak Zeino yang nyamperin.” Zee dan teman-teman gengnya menyempatkan diri untuk bertemu di sela-sela kesibukan masing-masing. Lulu yang masih harus memutar otak untuk mendapat restu, Rayesa yang sudah mulai bekerja di salah satu perusahaan telekomunikasi dan Lampita yang menjalankan bisnis onlinenya. Mereka mengh
Kecenderungan anak laki-laki akan lebih dekat pada ibu daripada ayah, sepertinya berlaku pada Zeino. Pemuda yang sangat irit bicara apalagi mengungkapkan isi hati pada orang lain itu, perlahan memang lebih terbuka pada Utari, sang ibu. Tentu sikapnya itu tak lepas karena tanggapan Utari yang bisa disebut sangat menerima kehadiran Zee sebagai orang terdekatnya. Malam ini sebelum berangkat menenuhi undangan perusahaan lisensi, Zeino berbincang dengan Utari di sudut taman rumah. Hanya ada mereka berdua. Handoko masih ada kegiatan di luar bersama rekan bisnisnya. “Jadi karena alasan Talita akhirnya kamu membawa Zee ikut serta?” tanya Utari yang kemudian mendengar tentang Talita yang mengadu pada mamanya tentang Zeino yang tak berangkat bersama. Tentu saja Silvia langsung menghubungi Utari untuk merubah semua rencana Zeino. “Salah satunya karena itu, Ma. Ini juga sekalian mau meyakinkan Zee tentang pilihan tempat kerjanya yang baru nantinya.” “Zee jadi pin
Memenuhi janjinya, Zee menerima kunjungan Batara Bramantyo di restoran hotel sambil sarapan. Gadis itu tak sendiri, tentu Zeino ada di sampingnya. Keduanya menempati sebuah meja yang berkapasitas empat orang. Dua buah kursi masih belum ditempati. Tak lama berselang sejak kedatangan mereka, seorang pria datang mendekat. Pria itu dibalut stelan baju kerja formal lengkap dengan jas dan dasi yang senada. Terlihat ia mengedarkan pandangan ke suluruh penjuru restoran. Ia mengukir senyum begitu menemukan sosok yang dicarinya. Pria yang tak lain adalah Batara Bramantyo itu disambut dengan baik oleh sepasang muda-mudi yang terlihat berdiri sambil menyapa dengan senyuman. “Selamat pagi, Pak Batara.” Zee menyapa terlebih dahulu. Lalu menyusul Zeino mengakat tubuhnya dari kursi. Mereka saling berjabat tangan. “Pagi. Apa kabar kalian?” Percakapan basa-basi sekedar pembuka bicara itu berlangsung singkat. Mereka sepakat untuk melanjutkan bincang santai sambi