Share

74. Menunggu

Penulis: ayyona
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-15 07:00:30

Awan tipis berarak di langit pagi yang cerah. Udara sejuk pegunungan membelai lembut. Tubuh semampai Zee berdiri tegak dengan sebuah koper yang sejajar dengan kaki jenjangnya. Sebuah tas menyampir di bahu. Gadis itu sengaja memilih menunggu mobil mama Zeino di depan lobby.

Berbagai rasa menjalar di hati Zee. Rasa lega karena telah menyelesaikan tugas cross exposure pertamanya. Rindu akan keluarga yang tak bertemu muka secara langsung selama berhari-hari. Ada sedikit resah mengingat tak bisa memenuhi janji untuk menemani Zeino sidang. Terbersit canggung harus bagaimana selama bersama mama Zeino di perjalanan. Belum lagi permintaan Mauren yang mendesak untuk bertemu secepatnya.

“Loh, jemputan kamu belum datang?”

Lamunan Zee terpotong. Ia menolehkan wajah mencari sumber suara yang terasa dekat. Dan benar saja, berjarak dua langkah darinya telah berdiri seorang laki-laki yang sepuluh hari ini menjadi tetangganya.

“Sebentar lagi, Pak. Sudah di jalan.”

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Zee 'n Zeino   75. Masih Menunggu

    Menunggu memang suatu yang menguras emosi bagi sebagian orang. Ada yang dilanda kebosanan hingga tak mau menunggu. Apalagi jika menunggu sesuatu yang tak pasti. Dan hari ini sepertinya banyak orang yang sedang menunggu. Zeino yang telah menyelesaikan sidangnya, belum keluar dari gedung fakultas. Ia masih menunggu Dito yang selanjutnya mempertaruhkan masa akhir perjuangan menuntut ilmu di perguruan tinggi. Selain itu ia juga menanti kabar dari seorang gadis yang saat ini sedang berada ratusan kilometer di wilayah utara. Sampai hari menjelang siang, gadis itu belum juga menelpon atau mengirim pesan kapan akan sampai. Raut wajah Zeino saat ini lebih terlihat tenang. Sidang yang mendebarkan telah dilalui dengan baik. Nilai sempurna sudah di tangan. Ia menunggu momen yang tepat untuk berbagi berita bahagia itu dengan keluarga dan Zee tentunya. Lulu dan kedua anggota gengnya yang lain yang berada di koridor fakultas pun belum ia kabari. Beberapa rekannya yang mengi

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-17
  • Zee 'n Zeino   76. Kejadian Tak Terduga

    Gadis dalam balutan sweater rajut itu telah mendapatkan kembali bungkusan tisu basahnya yang sempat terjatuh. Bungkusan plastik berwarna hijau itu tergenggam kuat di tangan kirinya. Sementara tangan kanan gadis itu memegang ujung secarik kertas petak kecil yang bertuliskan beberapa rangkain kata dan sebuah logo yang cukup mencolok yang diulurkan padanya. Langkahnya masih tersendat di samping rumah makan. Zee dengan sosok pemuda yang menabraknya itu sempat saling meyakinkan diri satu sama lain untuk beberapa saat. Namun tak selesai mereka mengurai pertemuan tak sengaja itu, deru bus dan bunyi klason yang nyaring membuat pemuda itu harus segera pergi. “Ini kartu namaku. Kita lanjutkan ceritanya setelah sampai ya, Zee. Keep contact,” ujarnya dengan sorot mata yang berbinar. Pemuda itu berlari kecil menuju bus. Sebelum ia menapakan kaki ke tangga di pintu kendaraan besar itu, ia memalingkan kepala dan melempar senyum pada gadis yang masih terpaku di tempat berdir

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-19
  • Zee 'n Zeino   77. Aksi Mauren

    Apa upah yang pantas untuk sebuah pekerjaan yang bernama menunggu? Aktivitas menunggu itu tentu tak membutuhkan kekuatan pisik dan mengeluarkan enegi yang banyak. Hanya duduk, diam tak akan membakar kalori. Tapi apakah benar begitu? Pikiran yang melayang tak tentu arah selama diam terpaku ternyata juga membutuhkan energi. Apalagi jika disertai dengan proses berpikir akan hal-hal yang menganggu. Kerja yang menggunakan otak termasuk penguras energi sebesar 20 hingga 25 persen menurut sebuah artikel. Bagi seorang pemuda yang baru saja memenangkan pertarungan terakhirnya di jenjang universitas, tak muluk yang ia inginkan setelah menunggu lama kehadiran pujaan hatinya. Bisa menatap senyum semringah di wajah yang saat ini berbalut riasan tipis cukup sebagai awal penawar rindunya. Zee yang telah sampai kembali di kota tempat tinggalnya, tak langsung diantar Utari ke rumah. Wanita itu menuruti permintaan Zeino. Ia ingin Utari membawa Zee ke rumah mereka. Lalu pemuda

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-21
  • Zee 'n Zeino   78. Resah dan Rindu

    Angin sore yang berhembus meniup helaian rambut seorang gadis yang duduk di sebuah halte. Tangannya menggenggam tali tas selempang yang melintang di dada. Pandangannya tertunduk menatap ujung flat shoesnya. Ia tak menghiraukan sekeliling, hingga sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Gadis yang telah membuka sweater rajutnya itu, sontak berdiri. Tergesa ia meraih gagang pintu mobil, sehingga pemuda yang berada di belakang kemudi mengurungkan niatnya untuk turun. Zeino sempat heran mendengar pacarnya itu minta dijemput di halte yang tak jauh dari rumah nenek Ruwina. “Bagaimana kabar nenek?” tanya Zeino ketika mereka telah menyatu dengan lalu lintas yang mulai padat. “Baik, Kak. Nenek sehat. Tadi nenek titip salam.” Zee melempar senyum seiring wajahnya yang menoleh menatap Zeino yang sibuk dengan kemudi. “Em, Tante Mauren juga nanyain Kak Zeino tadi,” sambung Zee sesat kemudian. “Tante Mauren?” ulang Zeino dengan bola mata bergerak ke kiri. Hany

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-23
  • Zee 'n Zeino   79. Merelakan?

    Kehilangan itu rasanya sakit, bukan? Tak ada satu orang pun yang mau merasakannnya. Jika bisa memilih, tentu tak ada yang mau untuk kehilangan. Tapi, apa sebenarnya kehilangan itu? Rasa hilang ada karena ada rasa memiliki sebelumnya. Kita merasa punya sesuatu, lalu ketika hal tersebut tak ada di genggaman, maka rasa hilang itu hadir. Lalu, apakah bisa disimpulkan, jika tak mau kehilangan, maka jangan merasa memiliki. Lalu jika kehilangan tak terelakan, bagaimana cara menghilang rasa sakitnya? Merelakan, kata orang bijak. Semudah itukah solusinya? Memang mudah mengucapkan, tapi tentu penuh tantangan untuk menyelaraskan lidah, pikiran dan hati. Seperti yang dirasakan Zee saat ini. Gadis yang telah kembali ke kamarnya, sedang berbaring di ranjang. Erat pelukannya pada boneka anjing yang selama sepuluh hari ini ia tinggalkan. Seerat pelukannya pada tubuh pemuda jangkung yang sejam lalu mengantarnya pulang, selepas makan malam di café. Seakan ia tak ingin kehilangan. 

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-25
  • Zee 'n Zeino   80. Biyan? Siapa?

    Mentari telah lama mengantar rembulan ke peraduan. Sinarnya yang mulai terik merayap di sela-sela kaca jendela yang masih tertutup helaian gorden yang sedikit menganga. Hangatnya belum menaklukan suhu kamar berpendingin yang masih menyala. Hawa sejuk menyeruak ketika daun pintu kayu di kamar itu terkuak. Kartika yang telah rapi dengan seragam kerjanya, mendapati anak gadisnya masih bergelung di dalam selimut. Niatnya untuk membangunkan urung terlaksana. Tangannya hanya mematikan pendingin ruangan dan menyibak kain gorden di jendela. Mendorong jendela dengan 2 lembar kaca itu agar terbuka. Lalu ia merogoh saku rok kerjanya dan mengeluarkan secarik kertas kecil persegi. Kertas itu kemudian ia letakan di atas meja rias. Melihat Zee yang masih lelap, tak terganggu dengan kehadirannya, Kartika memutuskan untuk beranjak. Ia tak membangunkan gadis itu. Kartika tahu jika hari ini Zee sedang libur bekerja. Mendengar cerita tentang jadwalnya yang setiap hari sibuk hingga tenga

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-27
  • Zee 'n Zeino   81. Pilihan Kedua

    “Maaf Pak Handoko. Ada sedikit lagi proses turun waris yang belum selesai. Maklumlah, Pak. Kami keluarga besar dan tinggal berbeda-beda kota.” “Kami juga minta maaf, Bu Mauren. Tenggat waktu penentuan lokasi dan bangunan sangat penting. Kami juga punya target dan persyaratan yang harus dipenuhi dari pemegang lisensi. Semakin mundur, akan sangat merugikan. Bisa-bisa didahului oleh pengajuan pengusaha yang lain.” Mauren tak mampu lagi berkata-kata. Kandas segala harapnya. Sangat jelas dia tak bisa membujuk Handoko untuk mengulur waktu. “Baiklah. Sepertinya cukup pertemuan kita hari ini, Bu Mauren. Sayang sekali kita tidak bisa melakukan jual beli. Kami permisi.” Udara kota yang terletak di pinggir pantai itu semakin terasa panas. Hembusan angin laut yang tertiup ke daratan tak sanggup menurunkan suhu yang meninggi, apalagi suhu hati Mauren saat ini. Wanita itu hanya bisa menatap kepergian Handoko beserta beberapa pegawainya dan juga Zeino yang telah dib

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-29
  • Zee 'n Zeino   82. Memeriksa Hati

    Tak kuasa mengejar panorama swastamita, luruh kecewa menatap gemintang di cakrawala. Binar tersulut cahaya kecil beriak di samudera. Menghangat daksa bersisian menjejak buliran pasir yang turut menggelap di kala malam meraja. Tak pupus lengkung bulan sabit yang mengambil tempat di raut wajah sang pemuja. Zee sempat kecewa karena melewatkan lukisan senja di tepian pantai. Karena Zeino terlambat dari jadwal yang telah mereka susun sehari sebelumnya. Sebagai gantinya, Zeino mengajak Zee untuk menyusuri pantai setelah mereka menyantap makan malam di sebuah restoran yang tak jauh dari sana. Cuaca yang cerah membuat mereka melihat gugusan bintang yang berkelap-kelip di langit yang kelam. Hempasan ombak yang pecah di bibir pantai membawa serta angin malam yang dingin. Zee merapakat jaket Zeino yang terlampir di pundaknya. “Kalau kamu kedinginan, kita kembali ke mobil saja, Zee,” ajak Zeino yang disambut gelengan gadis itu. “Di resort lebih dingin dari ini. A

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-31

Bab terbaru

  • Zee 'n Zeino   101. Epilog

    Untuk apa menunggu, jika yang kau mau telah ada di hadapanmu. Untuk apa menunda jika hanya bersamanya kau merasa bahagia. Untuk apa meragu jika hanya dia yang ada di hatimu. Untuk apa bersama jika tak ada ikatan yang sah dan nyata. Kali kedua sepasang anak manusia itu membicarakan kelanjutan hubungan mereka. Sesaat setelah pembukaan showroom berbulan-bulan yang lalu, mereka sepakat untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Memenuhi komitmen pekerjaan dan meresmikan ikatan cinta setelahnya. Sekarang ketika menjalani hubungan jarak jauh, keduanya berusaha mempersingkat jarak. Dan upaya itu bersyarat, harus berlabel sah jika tetap memaksa. Memang lebih cepat dari apa yang mereka rencanakan. Tentu belum semua sempurna seperti angan. Namun apa tolak ukur sempurna itu perlu ketika ada rasa terpenuhi dengan apa yang ada di tangan? Keraguan karena ketakutan akan terulang sejarah pahit dari orang-orang terdekat, tak seharusnya menjadi pemata

  • Zee 'n Zeino   100. Menyambut Mentari, Melepas Senja Berdua

    Di sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Zeino, Zee tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Bukan karena grogi, ia sudah sering berkunjung ke sana, tapi kali ini Zee tak bisa menghalau kecemasannya. Kepergok oleh orangtua Zeino saat mereka sedang berpelukan, membuat Zee gundah dan malu. Zeino berusaha menenangkan Zee. Genggaman jemarinya tak lepas meski sebelah tangannya harus memegang kemudi. Zeino sendiri tak bisa menerka apa yang akan dilakukan oleh papanya, hingga meminta mereka menyusul ke rumah. Sesampai di kediamannya, Zeino melangkah pasti dengan tak membiarkan Zee menarik genggaman jemarinya. Keduanya memasuki ruang tamu namun tak menemukan Handoko di sana. Seorang pelayan yang datang menghampiri memberitahu jika mereka diminta menunggu di ruang kerja. Pilihan ruang kerja sebagai tempat bertemu tentu memberi kesan berbeda. Zee merasakan ada hal serius yang akan dibicarakan. Dan tentu akan ada hubungannya dengan kejadian di kan

  • Zee 'n Zeino   99. Kenyataan LDR

    “Kamu pasti tahu, untuk membuka cabang showroom di daerah utara, penjualan harus setengah break even point dulu. Kalau tidak, harus ada sumber dana lain.” “Pa, modal kita yang terpakai hanya setengah. Karena yang di sini ada kerjasama dengan Pak Sony. Zei, mau ijin Papa untuk pakai dana yang tesisa untuk memulai buka cabang di wilayah utara.” “Belum cukup Zei. Harga tanah dan bangunan di wilayah utara cukup tinggi. Apa mau kerjasama lagi dengan Pak Sony.” “Kali ini cukup kita saja, Pa.” “Lalu kamu mau dapat tambahan modal dari mana?” “Waktu kunjugan ke kantor lisensi, ada pihak bank yang menawarkan kredit usaha. Beberapa hari ini Zei pelajari, bunganya cukup rendah. Zei akan coba ini, Pa.” Handoko tak langsung menanggapi. Pria paruh baya itu meraih cangkir berisi kopi hitam di atas meja. Menyeruput perlahan lalu menaruh kembali cangkir porselen itu ke tempat semula. “Coba kamu buat proposalnya. Papa mau pelajari

  • Zee 'n Zeino   98. Perubahan

    Memenuhi janjinya, Zee menerima kunjungan Batara Bramantyo di restoran hotel sambil sarapan. Gadis itu tak sendiri, tentu Zeino ada di sampingnya. Keduanya menempati sebuah meja yang berkapasitas empat orang. Dua buah kursi masih belum ditempati. Tak lama berselang sejak kedatangan mereka, seorang pria datang mendekat. Pria itu dibalut stelan baju kerja formal lengkap dengan jas dan dasi yang senada. Terlihat ia mengedarkan pandangan ke suluruh penjuru restoran. Ia mengukir senyum begitu menemukan sosok yang dicarinya. Pria yang tak lain adalah Batara Bramantyo itu disambut dengan baik oleh sepasang muda-mudi yang terlihat berdiri sambil menyapa dengan senyuman. “Selamat pagi, Pak Batara.” Zee menyapa terlebih dahulu. Lalu menyusul Zeino mengakat tubuhnya dari kursi. Mereka saling berjabat tangan. “Pagi. Apa kabar kalian?” Percakapan basa-basi sekedar pembuka bicara itu berlangsung singkat. Mereka sepakat untuk melanjutkan bincang santai sambi

  • Zee 'n Zeino   97. Mencari Celah

    Kecenderungan anak laki-laki akan lebih dekat pada ibu daripada ayah, sepertinya berlaku pada Zeino. Pemuda yang sangat irit bicara apalagi mengungkapkan isi hati pada orang lain itu, perlahan memang lebih terbuka pada Utari, sang ibu. Tentu sikapnya itu tak lepas karena tanggapan Utari yang bisa disebut sangat menerima kehadiran Zee sebagai orang terdekatnya. Malam ini sebelum berangkat menenuhi undangan perusahaan lisensi, Zeino berbincang dengan Utari di sudut taman rumah. Hanya ada mereka berdua. Handoko masih ada kegiatan di luar bersama rekan bisnisnya. “Jadi karena alasan Talita akhirnya kamu membawa Zee ikut serta?” tanya Utari yang kemudian mendengar tentang Talita yang mengadu pada mamanya tentang Zeino yang tak berangkat bersama. Tentu saja Silvia langsung menghubungi Utari untuk merubah semua rencana Zeino. “Salah satunya karena itu, Ma. Ini juga sekalian mau meyakinkan Zee tentang pilihan tempat kerjanya yang baru nantinya.” “Zee jadi pin

  • Zee 'n Zeino   96. Penolakan

    “Jadi, elo tetep pindah kota?” Kedua bola mata Rayesa semakin membulat mendengar cerita Zee. “Kak Zeino ngijinin?” tanyanya lagi. Terlihat Zee menganggukan kepala. “Serius?” Kali ini terlihat raut tak percaya terpampang di wajah Lulu. “Bakal LDR-an 2 tahun?” Lampita ikut menimpali. “Iya.” Akhirnya Zee bersuara tak hanya sekedar menggoyang kepala turun naik. “Tujuh ratus tiga puluh hari loh, Zee. Ga bakal ketemuan, gitu?!” timpal Lampita setelah bermain hitung-hitungan dengan jemarinya. “Ya ga gitu juga kali ngitungnya. Emang jadi TKW ga pulang-pulang 2 tahun. Kan ada hari libur, cuti. Aku bisa pulang. Ato Kak Zeino yang nyamperin.” Zee dan teman-teman gengnya menyempatkan diri untuk bertemu di sela-sela kesibukan masing-masing. Lulu yang masih harus memutar otak untuk mendapat restu, Rayesa yang sudah mulai bekerja di salah satu perusahaan telekomunikasi dan Lampita yang menjalankan bisnis onlinenya. Mereka mengh

  • Zee 'n Zeino   95. Menikah?

    Senja telah menelan semesta. Lenyap kuasa cahaya sang surya berganti sinar rembulan yang belum bulat sempurna. Ditemani setitik sinar yang berpijar tanpa jeda, sang bintang kejora. Zee dan Zeino beranjak dari Panorama. Keduanya kembali berkendara meninggalkan sepenggal percakapan yang masih diakhiri tanda koma. “Sudah gelap, kita cari makan dulu, ya.” Sebuah restoran yang berada tak jauh dari Panorama menjadi pilihan Zeino. Restoran itu juga memiliki pemandangan lepas ke arah pusat kota karena terletak di dataran yang cukup tinggi. “Kita udah pacaran berapa tahun ya, Zee?” Zeino membuka percakapan lagi sambil menunggu pesanan mereka datang. “Berapa tahun, ya? Ngitungnya dari kapan? Bingung.” Zee menerawang. Kilas peristiwa pertemuan pertama mereka bermain di pelupuk mata. Mereka berdua sering bertemu ketika Lulu dan Dito saling mengunjugi fakultas masing-masing. Atau ketika mereka mengajak bertemu di luar kampus. Baik Zee maupun Zeino

  • Zee 'n Zeino   94. Memikirkan Kita

    Bagaimana pun untuk menghalau resah, perasaan tetaplah hal yang gampang diombang – ambing oleh kenyataan dan peristiwa. Hal itu yang sedang dirasakan Zee saat ikut menghadiri peresmian showroom. Dari sejak menginjak pelataran parkir, ia sudah tak asing dengan pemandangan yang ditemuinya. Pemandangan yang hampir sama, pernah dilihatnya melalui mimpi. Perlahan satu-satu per satu rekaman alam bawah sadarnya menyesuaikan di alam nyata. Tepat ketika momen yang membuat resah, Zee memutuskan untuk menjauh. Jujur, ia tak punya keberanian untuk mendengar langsung jika kalimat-kalimat yang meluncur dari keluarga Zeino dan Talita setelah keberhasilan mereka berdua membuka showroom akan benar-benar terucap. “Jadi setelah showroom selesai, kita bisa lanjutkan dengan proyek masa depan kalian. Bagaimana? Kapan? “Kalian sudah cocok, bisa buka bisnis bersama. Jadi berumahtangga juga akan bisa sama-sama.” Zee tak tahu apa benar akhirnya ada percakapan seperti itu di de

  • Zee 'n Zeino   93. Mimpi dan Kenyataan

    Zee mematut diri di depan kaca rias. Pagi ini ia tengah bersiap untuk hadir di acara peresmian showroom sepeda motor yang dipimpin Zeino. Proyek kerjasama, yang menurut Zee penuh drama itu, akhirnya berdiri juga. Tubuh semampainya telah berbalut seragam showroom yang khusus dipesan Zeino untuknya. Berbeda dengan tampilannya ketika menjadi GRO yang harus berblazer dan baju long dress dengan belahan di samping, kali ini Zee terlihat lebih casual. Ia mengikuti gaya pegawai showroom yang memang lebih santai dalam seragam lengan pendek warna hitam atau putih dengan bordiran logo di sana-sini. Seragam itu memang disukai Zeino dari pada padanan dasi dan jas yang terkesan kaku. Agar tak terlalu santai, rambut Zee yang biasa dicepol jika berkerja, sekarang dikuncir agak tinggi seperti gaya genie. Tak lupa riasan ringan untuk acara outdoor di pagi hari menghias wajahnya. Setelah merasa puas dengan tampilannya di kaca, Zee segera turun untuk menikmati sarapan bersama ib

DMCA.com Protection Status