Jika sudah menjadi takdir, tak satu pun manusia bisa merubahnya. Bahkan ada yang menggambarkan di sebuah film di mana ada orang yang punya penglihatan akan masa depan berusaha menghalangi nasib buruk yang akan menimpa. Namun setiap kali ia menyelamatkan nyawa, tetap saja ada kesialan lainnya mengikuti. Seakan pengganti dari suratan yang dibelokan itu.
Hal yang sama sepertinya terjadi pada Zeino. Pemuda yang menghindar dari pertemuan membosankan dengan kolega papanya, saat ini sedang menikmati malam minggu dengan ibu dari pacarnya, Bunda Kartika. Semula semuanya berjalan santai dan menyenangkan. Mereka menikmati menu makan malam di area food court pusat perbelanjaan itu sambil berbincang. Sehingga cukup mampu menghilangkan suntuk Zeino yang merasa sepi.
Hampir habis santapan mereka, tiba-tiba Zeino melihat ada pengunjung yang berjalan ke arah meja kosong tak jauh dari mereka. Seakan kejadian terulang kembali. Saat ini ia mendapati Melisa dan Mauren hendak menikmati ma
Tak ada yang menjamin jika tubuh yang dialiri sumber darah yang sama akan membuat jalinan persaudaraan mengakar kuat. Sering terdengar saudara kandung yang berselisih paham dan saling acuh karena banyak persoalan. Bahkan ada yang sampai saling melenyapkan nyawa. Ini bukan hal yang baru, hal seperti itu telah terjadi di awal kisah peradaban Adam dan Hawa nenek moyang manusia. Jalinan darah saja tidak menjamin, apa lagi ikatan pernikahan. Bukan hal yang aneh, setelah perceraian tak ada lagi komunikasi yang terjalin di antara kedua belah pihak. Entah antar suami isteri atau antar kedua keluarga. Dan ini yang terjadi dengan Kartika dan Mauren. Meski perceraian yang terjadi karena maut, bukan karena selisih paham. “Status kami memang saudara karena ikatan pernikahan. Tapi banyak hal yang menyebabkan kami sekarang terlihat seperti orang asing.” Kalimat yang meluncur dari bibir Kartika itu kembali terngiang di telinga Zeino. “Jika Mauren diam saja ketika ber
“Cinta sih cinta, tapi jangan sampai kamu hilang logika. Pikir rasional. Pakai akal!” Suara bariton Handoko menghentikan kunyahan Zeino. Mendadak ia kehilangan selera untuk menghabiskan sarapannya. Perkataan papanya itu menohok hatinya. “Cuaca jelek seperti ini, hujan lebat. Jalan ke pegunungan di utara sering longsor. Berbahaya!” Utari yang juga sedang berada di meja makan, memeriksa raut wajah puteranya yang sedang mendapat ceramah pagi dari sang ayah. Melihat Zeino yang diam dan menjatuhkan sendok garpu di atas makanannya, Utari tahu jika anaknya itu tidak senang atas tanggapan Handoko. Beberapa saat yang lalu, Zeino mengabarkan jika ia akan menyambangi Zee ke resort. Niatnya itu menyulut komentar dari Handoko. “Lagipula, seharusnya kamu fokus sama sidang kamu yang tinggal 3 hari lagi. Zee itu kan juga masih sibuk di sana. Setelah selesai kerjanya pasti dia pulang.” Zeino belum bersuara. Ia kembali menjadi Zeino yang lebih memilih d
Segumpal daging yang dinamai hati, apakah sama dengan hati yang memiliki rasa? Jika organ yang salah satu fungsinya untuk menetralisir racun yang masuk ke tubuh manusia, lalu apakah hati yang katanya menjadi sumber semua rasa juga bisa menetralisir rasa yang menyerang? Sering kali kita dengar kalimat ‘biar hati yang bicara’, ‘biar hati yang menuntunmu’ atau ‘hati tak kan salah memilih’. Dan tentunya banyak lagi kalimat-kalimat penuh filosopi tentang hebatnya kekuatan hati itu. Tak melulu urusan cinta, untuk urusan kerja juga sering didengungkan ‘bekerjalah dengan hati’. Bahkan ada juga yang menyebut jika wanita cenderung bertindak memakai hati, sedangkan laki-laki lebih menggunakan logika. Dan sepertinya gadis yang baru saja menepi dari posisi berdirinya di depan lobby, sedang berusaha menata hatinya. Permintaan panggilan dari sebuah nama yang tak pernah absen sekalipun menghubungi, harus ia jawab secepatnya kalau tak mau dibilang terburu-buru. Zee ha
Memang banyak terjadi kebetulan-kebetulan di dunia ini. Baik itu ketidaksengajaan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, atau sesuatu yang direncanakan agar terkesan alami. Segala kemungkinan bisa saja terjadi. Apa lagi hanya sebuah kebetulan di ruang publik yang mudah diakses semua orang. Pantai merupakan tempat umum, bukan? Ya, pantai yang didatangi Zeino bukan pantai pribadi. Semua orang leluasa untuk datang dan pergi. Tempat itu salah satu spot yang menjadi pilihan masyarakat kota untuk sekedar melepas kepenatan atau bahkan mencari penghidupan. Sehingga tak ada yang salah dengan kebetulan yang terjadi. Seorang gadis cantik datang ke pantai di hari Minggu sore. Kebetulan lagi ia menemukan seorang pemuda yang ia kenal. Lalu ia sapa. Lumrah, bukan? Nah di saat yang sama, ada seorang pemuda yang sedang menjalankan siasat untuk menggoda kekasihnya. Pemuda yang juga sedang sendiri itu mengatakan pada pacarnya jika ia sedang menunggu seorang perempuan. Ajaibnya
Di depan sebuah bangunan besar berlantai tiga yang berdinding kaca di bagian depan, terlihat kesibukan. Ramai orang-orang yang bekerja mengatur berbagai jenis sepeda motor keluaran terbaru di dalam ruang kaca. Sedang di halaman parkir telah berdiri tenda besar dengan kursi-kursi tersusun rapi. Terdapat dekorasi balon dan papan bunga ucapan selamat dan sukses berjejer di sepanjang jalan. Di antara keramaian itu ada beberapa orang yang sedari tadi memerhatikan pekerjaan yang berlangsung. Mereka sedang berbincang. “Semua persiapan sudah 95% on schedule. Jadwal pembukaan showroom bisa tepat waktu.” “Good job Talita. Kamu memang berbakat.” “Ini kerja tim, Pa. Tanpa bimbingan dari Papa dan bantuan dari Kak Zeino, belum tentu saya bisa sendiri.” “Jadi setelah showroom selesai, kita bisa lanjutkan dengan proyek masa depan kalian. Bagaimana? Kapan?” “Kenapa diam? Talita? Zeino?” “Ya, Pa.” “Terserah Kak Zeino saja.” “Kali
Udara malam pegunungan makin menusuk tulang. Acara di tepi kolam renang masih berlangsung. Zee yang beberapa saat yang lalu mengikuti langkah Batara Bramantyo, belum kembali bergabung dengan teman-temannya. Gadis itu masih di sisi lain kolam berbincang dengan beberapa pejabat penting resort. “Saya juga memulai karir di hotel di usia seperti kamu, Zee,” ujar seorang perempuan yang baru saja diperkenalkan Tyo padanya. “Kalau kamu mau mencari role model wanita sukses di dunia perhotelan, Miss Catlya contoh sempurna.” Pujian dari Tyo membuat perempuan berkacamata itu menggeleng sambil mengibaskan telapak tangannya sebagai tanda tak setuju. “No, no. Itu terlalu berlebihan.” Zee menjadi pendengar yang baik. Ia banyak melempar senyum mendengarkan cerita yang saling berbalas antara kedua pejabat corporate itu serta Andrew. Ternyata Catlya adalah seorang certified trainer yang bertugas memberi pelatihan ke seluruh hotel di bawah jaringan grup mereka. Wanita ya
“Iya, Bun. Ga tau tuh. Tiba-tiba aja telepon, minta ketemu.” Zee mengawali paginya di hari Senin dengan menelepon Kartika. Semalam gadis itu tak sempat untuk bertukar kabar karena setelah acara di pool side ia melanjutkan pertemuan dengan para pejabat corporate, Tyo dan Catlya, serta seluruh tim manajemen resort untuk membahas jadwal pre-opening training selama seminggu ke depan. Gadis yang telah terlihat rapi dalam seragam pre-opening team itu membahas tentang Mauren yang meneleponnya tiba-tiba dan meminta waktu untuk bertemu. “Ga ada nelpon Bunda lagi sejak berkunjung ke kantor. Amara juga ga ada ditelepon.” “Hmm, kira-kira mau perlu apa, ya? Kalo untuk urusan penjualan rumah sama lahan pabrik, kenapa mesti Zee, Bun?” “Ya sudah. Temui saja tantemu itu. Sekarang ga usah dipikirin. Kamu konsentrasi aja untuk kasih training. Katanya masih grogi.” “Siap, Bun. Mudah-mudahan 2 hari training lancar, terus pulang.” “Yang udah ga saba
Suasana di resort pagi itu mulai kembali sepi. Sejak keberangkatan tim task force yang kembali ke kota masing-masing beberapa menit yang lalu, tak nampak lagi aktivitas yang padat di lobby. Semua karyawan resort sedang berkumpul di ballroom untuk mengikuti sesi pre-opening training yang akan diawali oleh pengenalan brand standard. Zee masih mengulas senyum mengingat bagaimana Sammy dan rekannya yang lain menawarkan diri untuk menjemput, sebelum dia dan rekan yang lain menaiki kendaraan yang akan membawa mereka pulang. “Pas jadwal libur kita nih, Zee. Sekalian kamu juga libur, kan. Kita jalan-jalan. Selama di sini, ga sempat,” bujuk Sammy. “Iya, katanya tak jauh dari sini ada danau bagus banget. Ayolah, Zee,” sela rekannya yang lain. “Makasih, Bang. Tapi aku udah ada yang jemput,” elak Zee. “Ada yang jemput atau ada yang bakal antar?” selidik Sammy. Pasti Sammy ingin meledek Zee dan mengira ada seseorang yang selama ini mendekati gadis