Beranda / Fiksi Remaja / Zee 'n Zeino / 67. Menata Hati

Share

67. Menata Hati

Penulis: ayyona
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Segumpal daging yang dinamai hati, apakah sama dengan hati yang memiliki rasa? Jika organ yang salah satu fungsinya untuk menetralisir racun yang masuk ke tubuh manusia, lalu apakah hati yang katanya menjadi sumber semua rasa juga bisa menetralisir rasa yang menyerang?

Sering kali kita dengar kalimat ‘biar hati yang bicara’, ‘biar hati yang menuntunmu’ atau ‘hati tak kan salah memilih’. Dan tentunya banyak lagi kalimat-kalimat penuh filosopi tentang hebatnya kekuatan hati itu.

Tak melulu urusan cinta, untuk urusan kerja juga sering didengungkan ‘bekerjalah dengan hati’. Bahkan ada juga yang menyebut jika wanita cenderung bertindak memakai hati, sedangkan laki-laki lebih menggunakan logika.

Dan sepertinya gadis yang baru saja menepi dari posisi berdirinya di depan lobby, sedang berusaha menata hatinya. Permintaan panggilan dari sebuah nama yang tak pernah absen sekalipun menghubungi, harus ia jawab secepatnya kalau tak mau dibilang terburu-buru.

Zee ha

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Zee 'n Zeino   68. Menguatkan Hati

    Memang banyak terjadi kebetulan-kebetulan di dunia ini. Baik itu ketidaksengajaan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, atau sesuatu yang direncanakan agar terkesan alami. Segala kemungkinan bisa saja terjadi. Apa lagi hanya sebuah kebetulan di ruang publik yang mudah diakses semua orang. Pantai merupakan tempat umum, bukan? Ya, pantai yang didatangi Zeino bukan pantai pribadi. Semua orang leluasa untuk datang dan pergi. Tempat itu salah satu spot yang menjadi pilihan masyarakat kota untuk sekedar melepas kepenatan atau bahkan mencari penghidupan. Sehingga tak ada yang salah dengan kebetulan yang terjadi. Seorang gadis cantik datang ke pantai di hari Minggu sore. Kebetulan lagi ia menemukan seorang pemuda yang ia kenal. Lalu ia sapa. Lumrah, bukan? Nah di saat yang sama, ada seorang pemuda yang sedang menjalankan siasat untuk menggoda kekasihnya. Pemuda yang juga sedang sendiri itu mengatakan pada pacarnya jika ia sedang menunggu seorang perempuan. Ajaibnya

  • Zee 'n Zeino   69. Syakwasangka

    Di depan sebuah bangunan besar berlantai tiga yang berdinding kaca di bagian depan, terlihat kesibukan. Ramai orang-orang yang bekerja mengatur berbagai jenis sepeda motor keluaran terbaru di dalam ruang kaca. Sedang di halaman parkir telah berdiri tenda besar dengan kursi-kursi tersusun rapi. Terdapat dekorasi balon dan papan bunga ucapan selamat dan sukses berjejer di sepanjang jalan. Di antara keramaian itu ada beberapa orang yang sedari tadi memerhatikan pekerjaan yang berlangsung. Mereka sedang berbincang. “Semua persiapan sudah 95% on schedule. Jadwal pembukaan showroom bisa tepat waktu.” “Good job Talita. Kamu memang berbakat.” “Ini kerja tim, Pa. Tanpa bimbingan dari Papa dan bantuan dari Kak Zeino, belum tentu saya bisa sendiri.” “Jadi setelah showroom selesai, kita bisa lanjutkan dengan proyek masa depan kalian. Bagaimana? Kapan?” “Kenapa diam? Talita? Zeino?” “Ya, Pa.” “Terserah Kak Zeino saja.” “Kali

  • Zee 'n Zeino   70. Tidak Jodoh

    Udara malam pegunungan makin menusuk tulang. Acara di tepi kolam renang masih berlangsung. Zee yang beberapa saat yang lalu mengikuti langkah Batara Bramantyo, belum kembali bergabung dengan teman-temannya. Gadis itu masih di sisi lain kolam berbincang dengan beberapa pejabat penting resort. “Saya juga memulai karir di hotel di usia seperti kamu, Zee,” ujar seorang perempuan yang baru saja diperkenalkan Tyo padanya. “Kalau kamu mau mencari role model wanita sukses di dunia perhotelan, Miss Catlya contoh sempurna.” Pujian dari Tyo membuat perempuan berkacamata itu menggeleng sambil mengibaskan telapak tangannya sebagai tanda tak setuju. “No, no. Itu terlalu berlebihan.” Zee menjadi pendengar yang baik. Ia banyak melempar senyum mendengarkan cerita yang saling berbalas antara kedua pejabat corporate itu serta Andrew. Ternyata Catlya adalah seorang certified trainer yang bertugas memberi pelatihan ke seluruh hotel di bawah jaringan grup mereka. Wanita ya

  • Zee 'n Zeino   71. Jangan Khawatir

    “Iya, Bun. Ga tau tuh. Tiba-tiba aja telepon, minta ketemu.” Zee mengawali paginya di hari Senin dengan menelepon Kartika. Semalam gadis itu tak sempat untuk bertukar kabar karena setelah acara di pool side ia melanjutkan pertemuan dengan para pejabat corporate, Tyo dan Catlya, serta seluruh tim manajemen resort untuk membahas jadwal pre-opening training selama seminggu ke depan. Gadis yang telah terlihat rapi dalam seragam pre-opening team itu membahas tentang Mauren yang meneleponnya tiba-tiba dan meminta waktu untuk bertemu. “Ga ada nelpon Bunda lagi sejak berkunjung ke kantor. Amara juga ga ada ditelepon.” “Hmm, kira-kira mau perlu apa, ya? Kalo untuk urusan penjualan rumah sama lahan pabrik, kenapa mesti Zee, Bun?” “Ya sudah. Temui saja tantemu itu. Sekarang ga usah dipikirin. Kamu konsentrasi aja untuk kasih training. Katanya masih grogi.” “Siap, Bun. Mudah-mudahan 2 hari training lancar, terus pulang.” “Yang udah ga saba

  • Zee 'n Zeino   72. Rebutan

    Suasana di resort pagi itu mulai kembali sepi. Sejak keberangkatan tim task force yang kembali ke kota masing-masing beberapa menit yang lalu, tak nampak lagi aktivitas yang padat di lobby. Semua karyawan resort sedang berkumpul di ballroom untuk mengikuti sesi pre-opening training yang akan diawali oleh pengenalan brand standard. Zee masih mengulas senyum mengingat bagaimana Sammy dan rekannya yang lain menawarkan diri untuk menjemput, sebelum dia dan rekan yang lain menaiki kendaraan yang akan membawa mereka pulang. “Pas jadwal libur kita nih, Zee. Sekalian kamu juga libur, kan. Kita jalan-jalan. Selama di sini, ga sempat,” bujuk Sammy. “Iya, katanya tak jauh dari sini ada danau bagus banget. Ayolah, Zee,” sela rekannya yang lain. “Makasih, Bang. Tapi aku udah ada yang jemput,” elak Zee. “Ada yang jemput atau ada yang bakal antar?” selidik Sammy. Pasti Sammy ingin meledek Zee dan mengira ada seseorang yang selama ini mendekati gadis

  • Zee 'n Zeino   73. Beban Pikiran

    Jingga mewarnai langit senja. Dari balkon kamarnya, Zee menikmati momen tergelincinya sang surya. Hal yang seminggu ini jarang ia lakukan. Baru sekarang ia sadar. Pemandangan senja di resort ini tak kalah indah dibandingkan dengan tempat-tempat yang pernah ia datangi bersama seorang pemuda yang membuatnya jatuh cinta dengan salah satu fenomena alam ini. Tak mau kehilangan karya lukisan alam itu, Zee membidikan kamera telepon genggamnya. Sejenak ia mengamati hasil jepretannya. Lalu ia mengirim gambar langit senja berwarna jingga itu pada Zeino. Tak terasa, hari ini adalah malam terakhirnya berada di resort. Sesi training yang diminta Bu Cokro telah ia lakukan selama 2 hari ini, Senin dan Selasa. Tugasnya selesai. Dan esok ia bisa kembali. Zee sempat berpikir untuk langsung pulang dengan menyewa travel yang malam hari. Sehingga besok, ia bisa menyemangati Zeino sidang skripsi. Namun ia telah terlanjur berjanji dengan mama Zeino. Mereka akan pulang bersama keeso

  • Zee 'n Zeino   74. Menunggu

    Awan tipis berarak di langit pagi yang cerah. Udara sejuk pegunungan membelai lembut. Tubuh semampai Zee berdiri tegak dengan sebuah koper yang sejajar dengan kaki jenjangnya. Sebuah tas menyampir di bahu. Gadis itu sengaja memilih menunggu mobil mama Zeino di depan lobby. Berbagai rasa menjalar di hati Zee. Rasa lega karena telah menyelesaikan tugas cross exposure pertamanya. Rindu akan keluarga yang tak bertemu muka secara langsung selama berhari-hari. Ada sedikit resah mengingat tak bisa memenuhi janji untuk menemani Zeino sidang. Terbersit canggung harus bagaimana selama bersama mama Zeino di perjalanan. Belum lagi permintaan Mauren yang mendesak untuk bertemu secepatnya. “Loh, jemputan kamu belum datang?” Lamunan Zee terpotong. Ia menolehkan wajah mencari sumber suara yang terasa dekat. Dan benar saja, berjarak dua langkah darinya telah berdiri seorang laki-laki yang sepuluh hari ini menjadi tetangganya. “Sebentar lagi, Pak. Sudah di jalan.”

  • Zee 'n Zeino   75. Masih Menunggu

    Menunggu memang suatu yang menguras emosi bagi sebagian orang. Ada yang dilanda kebosanan hingga tak mau menunggu. Apalagi jika menunggu sesuatu yang tak pasti. Dan hari ini sepertinya banyak orang yang sedang menunggu. Zeino yang telah menyelesaikan sidangnya, belum keluar dari gedung fakultas. Ia masih menunggu Dito yang selanjutnya mempertaruhkan masa akhir perjuangan menuntut ilmu di perguruan tinggi. Selain itu ia juga menanti kabar dari seorang gadis yang saat ini sedang berada ratusan kilometer di wilayah utara. Sampai hari menjelang siang, gadis itu belum juga menelpon atau mengirim pesan kapan akan sampai. Raut wajah Zeino saat ini lebih terlihat tenang. Sidang yang mendebarkan telah dilalui dengan baik. Nilai sempurna sudah di tangan. Ia menunggu momen yang tepat untuk berbagi berita bahagia itu dengan keluarga dan Zee tentunya. Lulu dan kedua anggota gengnya yang lain yang berada di koridor fakultas pun belum ia kabari. Beberapa rekannya yang mengi

Bab terbaru

  • Zee 'n Zeino   101. Epilog

    Untuk apa menunggu, jika yang kau mau telah ada di hadapanmu. Untuk apa menunda jika hanya bersamanya kau merasa bahagia. Untuk apa meragu jika hanya dia yang ada di hatimu. Untuk apa bersama jika tak ada ikatan yang sah dan nyata. Kali kedua sepasang anak manusia itu membicarakan kelanjutan hubungan mereka. Sesaat setelah pembukaan showroom berbulan-bulan yang lalu, mereka sepakat untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Memenuhi komitmen pekerjaan dan meresmikan ikatan cinta setelahnya. Sekarang ketika menjalani hubungan jarak jauh, keduanya berusaha mempersingkat jarak. Dan upaya itu bersyarat, harus berlabel sah jika tetap memaksa. Memang lebih cepat dari apa yang mereka rencanakan. Tentu belum semua sempurna seperti angan. Namun apa tolak ukur sempurna itu perlu ketika ada rasa terpenuhi dengan apa yang ada di tangan? Keraguan karena ketakutan akan terulang sejarah pahit dari orang-orang terdekat, tak seharusnya menjadi pemata

  • Zee 'n Zeino   100. Menyambut Mentari, Melepas Senja Berdua

    Di sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Zeino, Zee tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Bukan karena grogi, ia sudah sering berkunjung ke sana, tapi kali ini Zee tak bisa menghalau kecemasannya. Kepergok oleh orangtua Zeino saat mereka sedang berpelukan, membuat Zee gundah dan malu. Zeino berusaha menenangkan Zee. Genggaman jemarinya tak lepas meski sebelah tangannya harus memegang kemudi. Zeino sendiri tak bisa menerka apa yang akan dilakukan oleh papanya, hingga meminta mereka menyusul ke rumah. Sesampai di kediamannya, Zeino melangkah pasti dengan tak membiarkan Zee menarik genggaman jemarinya. Keduanya memasuki ruang tamu namun tak menemukan Handoko di sana. Seorang pelayan yang datang menghampiri memberitahu jika mereka diminta menunggu di ruang kerja. Pilihan ruang kerja sebagai tempat bertemu tentu memberi kesan berbeda. Zee merasakan ada hal serius yang akan dibicarakan. Dan tentu akan ada hubungannya dengan kejadian di kan

  • Zee 'n Zeino   99. Kenyataan LDR

    “Kamu pasti tahu, untuk membuka cabang showroom di daerah utara, penjualan harus setengah break even point dulu. Kalau tidak, harus ada sumber dana lain.” “Pa, modal kita yang terpakai hanya setengah. Karena yang di sini ada kerjasama dengan Pak Sony. Zei, mau ijin Papa untuk pakai dana yang tesisa untuk memulai buka cabang di wilayah utara.” “Belum cukup Zei. Harga tanah dan bangunan di wilayah utara cukup tinggi. Apa mau kerjasama lagi dengan Pak Sony.” “Kali ini cukup kita saja, Pa.” “Lalu kamu mau dapat tambahan modal dari mana?” “Waktu kunjugan ke kantor lisensi, ada pihak bank yang menawarkan kredit usaha. Beberapa hari ini Zei pelajari, bunganya cukup rendah. Zei akan coba ini, Pa.” Handoko tak langsung menanggapi. Pria paruh baya itu meraih cangkir berisi kopi hitam di atas meja. Menyeruput perlahan lalu menaruh kembali cangkir porselen itu ke tempat semula. “Coba kamu buat proposalnya. Papa mau pelajari

  • Zee 'n Zeino   98. Perubahan

    Memenuhi janjinya, Zee menerima kunjungan Batara Bramantyo di restoran hotel sambil sarapan. Gadis itu tak sendiri, tentu Zeino ada di sampingnya. Keduanya menempati sebuah meja yang berkapasitas empat orang. Dua buah kursi masih belum ditempati. Tak lama berselang sejak kedatangan mereka, seorang pria datang mendekat. Pria itu dibalut stelan baju kerja formal lengkap dengan jas dan dasi yang senada. Terlihat ia mengedarkan pandangan ke suluruh penjuru restoran. Ia mengukir senyum begitu menemukan sosok yang dicarinya. Pria yang tak lain adalah Batara Bramantyo itu disambut dengan baik oleh sepasang muda-mudi yang terlihat berdiri sambil menyapa dengan senyuman. “Selamat pagi, Pak Batara.” Zee menyapa terlebih dahulu. Lalu menyusul Zeino mengakat tubuhnya dari kursi. Mereka saling berjabat tangan. “Pagi. Apa kabar kalian?” Percakapan basa-basi sekedar pembuka bicara itu berlangsung singkat. Mereka sepakat untuk melanjutkan bincang santai sambi

  • Zee 'n Zeino   97. Mencari Celah

    Kecenderungan anak laki-laki akan lebih dekat pada ibu daripada ayah, sepertinya berlaku pada Zeino. Pemuda yang sangat irit bicara apalagi mengungkapkan isi hati pada orang lain itu, perlahan memang lebih terbuka pada Utari, sang ibu. Tentu sikapnya itu tak lepas karena tanggapan Utari yang bisa disebut sangat menerima kehadiran Zee sebagai orang terdekatnya. Malam ini sebelum berangkat menenuhi undangan perusahaan lisensi, Zeino berbincang dengan Utari di sudut taman rumah. Hanya ada mereka berdua. Handoko masih ada kegiatan di luar bersama rekan bisnisnya. “Jadi karena alasan Talita akhirnya kamu membawa Zee ikut serta?” tanya Utari yang kemudian mendengar tentang Talita yang mengadu pada mamanya tentang Zeino yang tak berangkat bersama. Tentu saja Silvia langsung menghubungi Utari untuk merubah semua rencana Zeino. “Salah satunya karena itu, Ma. Ini juga sekalian mau meyakinkan Zee tentang pilihan tempat kerjanya yang baru nantinya.” “Zee jadi pin

  • Zee 'n Zeino   96. Penolakan

    “Jadi, elo tetep pindah kota?” Kedua bola mata Rayesa semakin membulat mendengar cerita Zee. “Kak Zeino ngijinin?” tanyanya lagi. Terlihat Zee menganggukan kepala. “Serius?” Kali ini terlihat raut tak percaya terpampang di wajah Lulu. “Bakal LDR-an 2 tahun?” Lampita ikut menimpali. “Iya.” Akhirnya Zee bersuara tak hanya sekedar menggoyang kepala turun naik. “Tujuh ratus tiga puluh hari loh, Zee. Ga bakal ketemuan, gitu?!” timpal Lampita setelah bermain hitung-hitungan dengan jemarinya. “Ya ga gitu juga kali ngitungnya. Emang jadi TKW ga pulang-pulang 2 tahun. Kan ada hari libur, cuti. Aku bisa pulang. Ato Kak Zeino yang nyamperin.” Zee dan teman-teman gengnya menyempatkan diri untuk bertemu di sela-sela kesibukan masing-masing. Lulu yang masih harus memutar otak untuk mendapat restu, Rayesa yang sudah mulai bekerja di salah satu perusahaan telekomunikasi dan Lampita yang menjalankan bisnis onlinenya. Mereka mengh

  • Zee 'n Zeino   95. Menikah?

    Senja telah menelan semesta. Lenyap kuasa cahaya sang surya berganti sinar rembulan yang belum bulat sempurna. Ditemani setitik sinar yang berpijar tanpa jeda, sang bintang kejora. Zee dan Zeino beranjak dari Panorama. Keduanya kembali berkendara meninggalkan sepenggal percakapan yang masih diakhiri tanda koma. “Sudah gelap, kita cari makan dulu, ya.” Sebuah restoran yang berada tak jauh dari Panorama menjadi pilihan Zeino. Restoran itu juga memiliki pemandangan lepas ke arah pusat kota karena terletak di dataran yang cukup tinggi. “Kita udah pacaran berapa tahun ya, Zee?” Zeino membuka percakapan lagi sambil menunggu pesanan mereka datang. “Berapa tahun, ya? Ngitungnya dari kapan? Bingung.” Zee menerawang. Kilas peristiwa pertemuan pertama mereka bermain di pelupuk mata. Mereka berdua sering bertemu ketika Lulu dan Dito saling mengunjugi fakultas masing-masing. Atau ketika mereka mengajak bertemu di luar kampus. Baik Zee maupun Zeino

  • Zee 'n Zeino   94. Memikirkan Kita

    Bagaimana pun untuk menghalau resah, perasaan tetaplah hal yang gampang diombang – ambing oleh kenyataan dan peristiwa. Hal itu yang sedang dirasakan Zee saat ikut menghadiri peresmian showroom. Dari sejak menginjak pelataran parkir, ia sudah tak asing dengan pemandangan yang ditemuinya. Pemandangan yang hampir sama, pernah dilihatnya melalui mimpi. Perlahan satu-satu per satu rekaman alam bawah sadarnya menyesuaikan di alam nyata. Tepat ketika momen yang membuat resah, Zee memutuskan untuk menjauh. Jujur, ia tak punya keberanian untuk mendengar langsung jika kalimat-kalimat yang meluncur dari keluarga Zeino dan Talita setelah keberhasilan mereka berdua membuka showroom akan benar-benar terucap. “Jadi setelah showroom selesai, kita bisa lanjutkan dengan proyek masa depan kalian. Bagaimana? Kapan? “Kalian sudah cocok, bisa buka bisnis bersama. Jadi berumahtangga juga akan bisa sama-sama.” Zee tak tahu apa benar akhirnya ada percakapan seperti itu di de

  • Zee 'n Zeino   93. Mimpi dan Kenyataan

    Zee mematut diri di depan kaca rias. Pagi ini ia tengah bersiap untuk hadir di acara peresmian showroom sepeda motor yang dipimpin Zeino. Proyek kerjasama, yang menurut Zee penuh drama itu, akhirnya berdiri juga. Tubuh semampainya telah berbalut seragam showroom yang khusus dipesan Zeino untuknya. Berbeda dengan tampilannya ketika menjadi GRO yang harus berblazer dan baju long dress dengan belahan di samping, kali ini Zee terlihat lebih casual. Ia mengikuti gaya pegawai showroom yang memang lebih santai dalam seragam lengan pendek warna hitam atau putih dengan bordiran logo di sana-sini. Seragam itu memang disukai Zeino dari pada padanan dasi dan jas yang terkesan kaku. Agar tak terlalu santai, rambut Zee yang biasa dicepol jika berkerja, sekarang dikuncir agak tinggi seperti gaya genie. Tak lupa riasan ringan untuk acara outdoor di pagi hari menghias wajahnya. Setelah merasa puas dengan tampilannya di kaca, Zee segera turun untuk menikmati sarapan bersama ib

DMCA.com Protection Status