Beranda / Fiksi Remaja / Zee 'n Zeino / 52. Caption Ambigu

Share

52. Caption Ambigu

Penulis: ayyona
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Gadis dengan stelan baju polo shirt dan celana panjang serta sepatu kets yang baru saja mendapat perintah untuk menghadap Batara Bramantyo di lantai 2, segera menyeret langkah. Ia memilih menaiki tangga yang ada di ujung lobby dari pada menaiki lift. Gadis itu mematuhi kampanye hemat energi yang didengung-dengungkan manajemen hotel selama ini. Gunakan tangga jika hanya naik atau turun 1 lantai dan tidak membawa beban.

Sesampai di ruang yang bertuliskan nama holding company The Mountain View Hotel, tanda tanya besar masih menyelimuti pikiran Zee. Setelah mengetuk daun pintu 3 kali, ia mendapati seseorang membukakan akses masuk.

Zee melempar senyum dan mengangguk sebelum melangkah masuk. Gadis itu dipersilakan mengambil tempat di sebuah sofa panjang. Sementara di depan sofa terlihat Batara Bramantyo dan Andrew Smith sedang duduk di kursi di depan meja menghadap Bu Cokro.

Tak berniat menguping pembicaraan, tapi Zee bisa mendengar ketiga orang yang sedang serius

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Zee 'n Zeino   53. Insiden

    Semua orang yang berkerumun di bawah tangga bisa melihat raut ketakukan masih membias di wajah Zee. Bulir keringat dingin masih nampak di sekitar keningnya. Wajahnya masih pucat pasi. Tenggorokannya terasa kering. “Are you OK?” tanya Tyo. Zee mengangguk pelan. Tak lama terlihat Vanda menyeruak dari kerumun dengan membawa segelas air. Gadis itu meminta Zee untuk meneguk cairan bening itu di bawah tatapan Batara Bramantyo dan berapa pegawai hotel lain yang masih tersisa. Melihat tidak ada hal yang mengkhawatirkan dari gadis yang mulai tenang itu, satu per satu rekannya menjauh dari area tangga meninggalkan Vanda, Zee dan penolongnya di sofa. Membayang di pelupuk mata Zee, detik-detik ia terpeleset di tangga karena hilang fokus. Saat ia sudah pasrah tubuhnya akan berakhir di dinginnya lantai granit di bawah tangga, tiba-tiba ia merasakan sebuah tangan menarik tubuhnya. Ia tersentak ke teralis tangga. Tubuhnya tertumpuk pada sebuah tubuh lain yang mendeka

  • Zee 'n Zeino   54. Bapak-bapak?

    Gadis yang kakinya berbalut perban elastis, sekarang tubuh rampingnya juga berbalut sebuah jaket kulit berwarna hitam. Pakaian pelindung itu menghangatkan tubuh sang gadis dari terpaan angin sore pegunungan yang semakin dingin. Kedua lengannya memeluk tubuh penunggang sepeda motor sport berwarna hitam yang tiba-tiba hadir di pelataran parkir resort. Tak salah lagi, penunggang sepeda motor itu adalah Zeino Ardhana. Pemuda yang empat jam yang lalu secara tak sengaja mengetahui jika gadisnya baru saja hampir jatuh dari tangga, tak dapat memusatkan perhatiannya pada pekerjaan di kantor. Setiap jawaban yang diterimanya melalui sambungan suara, tak mampu menghalau resahnya. Ia meyakini jika kata-kata ‘ga apa-apa’ yang disampaikan Zee benar - benar menyatakan sebaliknya, gadis itu tak baik-baik saja. “Kalau Zee baik-baik saja, kenapa sampai handphonenya dipegang Sammy?” pikir Zeino. Zeino narik napas berat. Reka adegan seorang gadis yang terpeleset di tangga hadir d

  • Zee 'n Zeino   55. Ulah Tyo

    Untuk kedua kalinya seorang laki-laki bertubuh tegap dan berpenampilan rapi menyaksikan romansa sepasang muda-mudi di parkiran resort. Kali pertama ia menginjakan kaki di resort itu ia melihat kedua anak manusia yang sama sedang berpelukan dan memberi salam perpisahan. Kali ini pun sama. Bedanya hari Minggu lalu ada 3 kendaraan roda empat yang mengantar. Malam ini sang pemuda menunggang sepeda motor sendirian. Batara Bramantyo yang secara tak sengaja sedang menjajal kuliner di sekitar resort, mendengarkan percakapan Zee dan Zeino di rumah makan. Laki-laki itu mendahului untuk pulang ke resort dan sekarang menyaksikan kembali romansa keduanya. Tyo lumayan kesal ketika mendengar Zee menyebutnya dengan istilah ‘bapak-bapak’. Memangnya dia sudah setua itu di mata Zee? Apa harus berambut gondrong seperti pacarnya itu, baru dianggap muda? Teringat akan cara pacar Zee menatapnya saat di tempat makan, Tyo bisa nebak jika pemuda itu tipikal yang gampang cemburu. Terbe

  • Zee 'n Zeino   56. Hari Yang Melelahkan

    Tak menghiraukan tubuhnya yang masih berbalut baju yang sama dari pagi hari, Zee menghempaskan tubuhnya di ranjang hotel yang empuk. Gadis itu sedikit meringis ketika ia lupa jika pergelangan kakinya baru cidera. Perlahan ia memperbaiki posisi tubuhnya dari tengkurap menjadi terlentang. Kejadian demi kejadian yang menimpanya di hari kedua sebagai bagian dari task force team, sungguh membuatnya lelah. Dari pagi hari hingga menjelang tengah malam, ada saja peristiwa yang mewarnai hidupnya. Tak perlu diingat lagi bagaimana ia hilang konsentrasi gara-gara foto praha itu. Bagaimana seorang Batara Bramantyo yang menjadi superhero-nya saat itu. Tak lupa kedatangan tak terduga sang pacar, Zeino Ardhana. Lalu apakah kejadian di dalam lift beberapa saat yang lalu akan menjadi pelengkap catatan hariannya hari ini? Nanar tatapan Zee menatap panel lift yang telah sampai di angka 2, tiba-tiba kehilangan cahaya. Tentu ia tak dapat menyaksikan area sekitarnya sempit itu. Sek

  • Zee 'n Zeino   57. Tamu

    Entah karena musim yang telah berganti, atau karena perubahan cuaca yang tak menentu akhir-akhir ini. Angin membawa serta seorang tamu dekat yang terasa jauh. Siang yang cukup terik tak menghalangi tamu tersebut menunggu di ruangan yang hanya dilengkapi sebuah kipas angin di langit-langit. Berkali jemari lentiknya menyeka buliran kristal yang membayang di sela pori-porinya. “Maaf menunggu lama.” Terdengar suara seorang wanita yang setengah bergegas memasuki ruang tunggu di kantor pemerintahan itu. “Mana berkas yang diberikan mama?” Tanpa basa-basi wanita berwajah blasteran itu memberitahu keperluannya. Bahkan ia tak memberi kesempatan pada wanita yang baru saja tergopoh-gopoh menghampiri duduk nyaman terlebih dahulu. “Apa kabar, Tante Mauren?” sapa wanita yang tak lain adalah Kartika. Kartika memang selalu memanggil para iparnya dengan sebutan yang dia ajarkan pada Amara dan Zee. Sudah menjadi kebiasaannya sejak anak-anaknya lahir, hingga kini. Meski

  • Zee 'n Zeino   58. Penguntit

    Jarum pendek jam dinding besar yang tergantung di sudut showroom baru sampai di angka lima, ketika langkah kaki gadis cantik yang baru saja bertindak sebagai utusan perusahaan keluarganya melewati pintu kaca otomatis. Tangan kanannya menentang tas, sedang tangannya yang kiri memegang kunci mobil. Dengan cekatan jemarinya menekan remote, lalu dengan luwes ia menaiki mobil. Si gadis yang tak lain adalah Talita tak langsung memacu kendaraannya. Ia masih berdiam diri sambil memainkan telepon genggamnya. Talita langsung merubah mimik wajahnya. Gadis yang masuk mobil dengan gaya anggun, dewasa, sekarang memperlihatkan ekspresi kesalnya. Bibirnya mengerucut, pipinya mengembung. Jemarinya menekan-nekan kasar layar telepon genggamnya. Sangat jelas suasananya hatinya tak seceria ketika ia berada di dalam showroom. Huh! Talita mendengus. “Mau deket aja, susah banget! Dasar cowok kulkas!” teriaknya sambil memukul setir. Namun sekian detik kemudian raut wajahnya berubah. Tiba-tib

  • Zee 'n Zeino   59. Mencari Cara

    Sepasang kekasih yang tengah berjauhan harus mengucapkan terima kasih pada penemu teknologi yang semakin canggih. Dengan kecanggihan, jarak yang membentang tak menjadi kendala untuk bertegur sapa. Tinggal tekan, semua langsung terhubung. Tak terkecuali Zee dan Zeino. Apa jadinya jika mereka hidup di jaman Nenek Ruwina. Jaman yang belum secanggih sekarang di mana perangkat komunikasi belum berkembang. Pasti mereka bisa mati menahan rindu. Atau jangan jauh-jauh, masanya Bunda Kartika saja. Masa di mana kertas, amplop, perangko dan kantor pos merupakan kebutuhan utama dalam bertukar kabar. Namun di saat itu tentu tak semudah sekarang ini. Di jaman itu, sekarang menulis kata ‘rindu’, baru seminggu kemudian berbalas ‘aku juga rindu’. Tujuh hari menunggu balasan? Pasti Zeino langsung uring-uringan. Di masa itu walaupun ada pesawat telepon, tapi tak semua keluarga memilikinya. Dan pastinya sambungan komunikasi yang bisa mendengar suara itu termasuk al

  • Zee 'n Zeino   60. Pesona

    Benar kata orang-orang. Mata suka melihat keindahan. Lidah senang dimanjakan oleh yang enak. Sedangkan telinga menyukai hal yang merdu. Lalu lihatlah apa yang terjadi di showroom ketika seorang pemuda yang sekarang menjadi salah satu bos muda melewati para pegawai wanita. Terlalu berlebihan jika derap langkah bos muda yang tak lain adalah Zeino itu digambarkan seperti adegan slow motion. Atau menghadirkan efek angin yang menerpa. Sedangkan para pekerja wanita itu menahan napas dengan mata yang nyaris melompat dari sarangnya. Namun itu yang dirasakan oleh gadis –gadis yang telah berdandan rapi dengan blazer dan rok mini di area showroom. Tatapan mereka mengiring langkah Zeino hingga hilang di ujung tangga. Begitu pemandangan indah itu hilang, tergesa mereka mengerumuni counter informasi. Bersahutan mereka memberi komentar tentang penampilan baru bos muda. “Makin betah dong, gue di sini.” “Masih kosong ga, sih?” “Tanya aja sana kalo berani.”

Bab terbaru

  • Zee 'n Zeino   101. Epilog

    Untuk apa menunggu, jika yang kau mau telah ada di hadapanmu. Untuk apa menunda jika hanya bersamanya kau merasa bahagia. Untuk apa meragu jika hanya dia yang ada di hatimu. Untuk apa bersama jika tak ada ikatan yang sah dan nyata. Kali kedua sepasang anak manusia itu membicarakan kelanjutan hubungan mereka. Sesaat setelah pembukaan showroom berbulan-bulan yang lalu, mereka sepakat untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Memenuhi komitmen pekerjaan dan meresmikan ikatan cinta setelahnya. Sekarang ketika menjalani hubungan jarak jauh, keduanya berusaha mempersingkat jarak. Dan upaya itu bersyarat, harus berlabel sah jika tetap memaksa. Memang lebih cepat dari apa yang mereka rencanakan. Tentu belum semua sempurna seperti angan. Namun apa tolak ukur sempurna itu perlu ketika ada rasa terpenuhi dengan apa yang ada di tangan? Keraguan karena ketakutan akan terulang sejarah pahit dari orang-orang terdekat, tak seharusnya menjadi pemata

  • Zee 'n Zeino   100. Menyambut Mentari, Melepas Senja Berdua

    Di sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Zeino, Zee tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Bukan karena grogi, ia sudah sering berkunjung ke sana, tapi kali ini Zee tak bisa menghalau kecemasannya. Kepergok oleh orangtua Zeino saat mereka sedang berpelukan, membuat Zee gundah dan malu. Zeino berusaha menenangkan Zee. Genggaman jemarinya tak lepas meski sebelah tangannya harus memegang kemudi. Zeino sendiri tak bisa menerka apa yang akan dilakukan oleh papanya, hingga meminta mereka menyusul ke rumah. Sesampai di kediamannya, Zeino melangkah pasti dengan tak membiarkan Zee menarik genggaman jemarinya. Keduanya memasuki ruang tamu namun tak menemukan Handoko di sana. Seorang pelayan yang datang menghampiri memberitahu jika mereka diminta menunggu di ruang kerja. Pilihan ruang kerja sebagai tempat bertemu tentu memberi kesan berbeda. Zee merasakan ada hal serius yang akan dibicarakan. Dan tentu akan ada hubungannya dengan kejadian di kan

  • Zee 'n Zeino   99. Kenyataan LDR

    “Kamu pasti tahu, untuk membuka cabang showroom di daerah utara, penjualan harus setengah break even point dulu. Kalau tidak, harus ada sumber dana lain.” “Pa, modal kita yang terpakai hanya setengah. Karena yang di sini ada kerjasama dengan Pak Sony. Zei, mau ijin Papa untuk pakai dana yang tesisa untuk memulai buka cabang di wilayah utara.” “Belum cukup Zei. Harga tanah dan bangunan di wilayah utara cukup tinggi. Apa mau kerjasama lagi dengan Pak Sony.” “Kali ini cukup kita saja, Pa.” “Lalu kamu mau dapat tambahan modal dari mana?” “Waktu kunjugan ke kantor lisensi, ada pihak bank yang menawarkan kredit usaha. Beberapa hari ini Zei pelajari, bunganya cukup rendah. Zei akan coba ini, Pa.” Handoko tak langsung menanggapi. Pria paruh baya itu meraih cangkir berisi kopi hitam di atas meja. Menyeruput perlahan lalu menaruh kembali cangkir porselen itu ke tempat semula. “Coba kamu buat proposalnya. Papa mau pelajari

  • Zee 'n Zeino   98. Perubahan

    Memenuhi janjinya, Zee menerima kunjungan Batara Bramantyo di restoran hotel sambil sarapan. Gadis itu tak sendiri, tentu Zeino ada di sampingnya. Keduanya menempati sebuah meja yang berkapasitas empat orang. Dua buah kursi masih belum ditempati. Tak lama berselang sejak kedatangan mereka, seorang pria datang mendekat. Pria itu dibalut stelan baju kerja formal lengkap dengan jas dan dasi yang senada. Terlihat ia mengedarkan pandangan ke suluruh penjuru restoran. Ia mengukir senyum begitu menemukan sosok yang dicarinya. Pria yang tak lain adalah Batara Bramantyo itu disambut dengan baik oleh sepasang muda-mudi yang terlihat berdiri sambil menyapa dengan senyuman. “Selamat pagi, Pak Batara.” Zee menyapa terlebih dahulu. Lalu menyusul Zeino mengakat tubuhnya dari kursi. Mereka saling berjabat tangan. “Pagi. Apa kabar kalian?” Percakapan basa-basi sekedar pembuka bicara itu berlangsung singkat. Mereka sepakat untuk melanjutkan bincang santai sambi

  • Zee 'n Zeino   97. Mencari Celah

    Kecenderungan anak laki-laki akan lebih dekat pada ibu daripada ayah, sepertinya berlaku pada Zeino. Pemuda yang sangat irit bicara apalagi mengungkapkan isi hati pada orang lain itu, perlahan memang lebih terbuka pada Utari, sang ibu. Tentu sikapnya itu tak lepas karena tanggapan Utari yang bisa disebut sangat menerima kehadiran Zee sebagai orang terdekatnya. Malam ini sebelum berangkat menenuhi undangan perusahaan lisensi, Zeino berbincang dengan Utari di sudut taman rumah. Hanya ada mereka berdua. Handoko masih ada kegiatan di luar bersama rekan bisnisnya. “Jadi karena alasan Talita akhirnya kamu membawa Zee ikut serta?” tanya Utari yang kemudian mendengar tentang Talita yang mengadu pada mamanya tentang Zeino yang tak berangkat bersama. Tentu saja Silvia langsung menghubungi Utari untuk merubah semua rencana Zeino. “Salah satunya karena itu, Ma. Ini juga sekalian mau meyakinkan Zee tentang pilihan tempat kerjanya yang baru nantinya.” “Zee jadi pin

  • Zee 'n Zeino   96. Penolakan

    “Jadi, elo tetep pindah kota?” Kedua bola mata Rayesa semakin membulat mendengar cerita Zee. “Kak Zeino ngijinin?” tanyanya lagi. Terlihat Zee menganggukan kepala. “Serius?” Kali ini terlihat raut tak percaya terpampang di wajah Lulu. “Bakal LDR-an 2 tahun?” Lampita ikut menimpali. “Iya.” Akhirnya Zee bersuara tak hanya sekedar menggoyang kepala turun naik. “Tujuh ratus tiga puluh hari loh, Zee. Ga bakal ketemuan, gitu?!” timpal Lampita setelah bermain hitung-hitungan dengan jemarinya. “Ya ga gitu juga kali ngitungnya. Emang jadi TKW ga pulang-pulang 2 tahun. Kan ada hari libur, cuti. Aku bisa pulang. Ato Kak Zeino yang nyamperin.” Zee dan teman-teman gengnya menyempatkan diri untuk bertemu di sela-sela kesibukan masing-masing. Lulu yang masih harus memutar otak untuk mendapat restu, Rayesa yang sudah mulai bekerja di salah satu perusahaan telekomunikasi dan Lampita yang menjalankan bisnis onlinenya. Mereka mengh

  • Zee 'n Zeino   95. Menikah?

    Senja telah menelan semesta. Lenyap kuasa cahaya sang surya berganti sinar rembulan yang belum bulat sempurna. Ditemani setitik sinar yang berpijar tanpa jeda, sang bintang kejora. Zee dan Zeino beranjak dari Panorama. Keduanya kembali berkendara meninggalkan sepenggal percakapan yang masih diakhiri tanda koma. “Sudah gelap, kita cari makan dulu, ya.” Sebuah restoran yang berada tak jauh dari Panorama menjadi pilihan Zeino. Restoran itu juga memiliki pemandangan lepas ke arah pusat kota karena terletak di dataran yang cukup tinggi. “Kita udah pacaran berapa tahun ya, Zee?” Zeino membuka percakapan lagi sambil menunggu pesanan mereka datang. “Berapa tahun, ya? Ngitungnya dari kapan? Bingung.” Zee menerawang. Kilas peristiwa pertemuan pertama mereka bermain di pelupuk mata. Mereka berdua sering bertemu ketika Lulu dan Dito saling mengunjugi fakultas masing-masing. Atau ketika mereka mengajak bertemu di luar kampus. Baik Zee maupun Zeino

  • Zee 'n Zeino   94. Memikirkan Kita

    Bagaimana pun untuk menghalau resah, perasaan tetaplah hal yang gampang diombang – ambing oleh kenyataan dan peristiwa. Hal itu yang sedang dirasakan Zee saat ikut menghadiri peresmian showroom. Dari sejak menginjak pelataran parkir, ia sudah tak asing dengan pemandangan yang ditemuinya. Pemandangan yang hampir sama, pernah dilihatnya melalui mimpi. Perlahan satu-satu per satu rekaman alam bawah sadarnya menyesuaikan di alam nyata. Tepat ketika momen yang membuat resah, Zee memutuskan untuk menjauh. Jujur, ia tak punya keberanian untuk mendengar langsung jika kalimat-kalimat yang meluncur dari keluarga Zeino dan Talita setelah keberhasilan mereka berdua membuka showroom akan benar-benar terucap. “Jadi setelah showroom selesai, kita bisa lanjutkan dengan proyek masa depan kalian. Bagaimana? Kapan? “Kalian sudah cocok, bisa buka bisnis bersama. Jadi berumahtangga juga akan bisa sama-sama.” Zee tak tahu apa benar akhirnya ada percakapan seperti itu di de

  • Zee 'n Zeino   93. Mimpi dan Kenyataan

    Zee mematut diri di depan kaca rias. Pagi ini ia tengah bersiap untuk hadir di acara peresmian showroom sepeda motor yang dipimpin Zeino. Proyek kerjasama, yang menurut Zee penuh drama itu, akhirnya berdiri juga. Tubuh semampainya telah berbalut seragam showroom yang khusus dipesan Zeino untuknya. Berbeda dengan tampilannya ketika menjadi GRO yang harus berblazer dan baju long dress dengan belahan di samping, kali ini Zee terlihat lebih casual. Ia mengikuti gaya pegawai showroom yang memang lebih santai dalam seragam lengan pendek warna hitam atau putih dengan bordiran logo di sana-sini. Seragam itu memang disukai Zeino dari pada padanan dasi dan jas yang terkesan kaku. Agar tak terlalu santai, rambut Zee yang biasa dicepol jika berkerja, sekarang dikuncir agak tinggi seperti gaya genie. Tak lupa riasan ringan untuk acara outdoor di pagi hari menghias wajahnya. Setelah merasa puas dengan tampilannya di kaca, Zee segera turun untuk menikmati sarapan bersama ib

DMCA.com Protection Status