Esau menatap tajam ke arah Alena, giginya mengetat, kedua tangannya mengepal, pemuda berwatak keras itu benar-benar marah, dadanya terasa sakit saat mengeluarkan kalimat-kalimat beruntun yang menyerang Alena tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan. “Jawab aku, Mom. Kenapa tak langsung menjawab, justru hanya terdiam seraya menatapku seperti itu. Apakah aku adalah tumbal dari bisnis kalian, ketamakan kalian?” Alene berjalan mendekat ke arah Esau, seribu kali menjelaskan pun tampaknya akan percuma di mata Esau, kupingnya pun sudah menjadi kebal untuk mendengar, harus memulai darimana semuanya? “Sayang, bukankah sudah kukatakan ... jika pernikahanmu ini tak ada hubungannya dengan bisnis kami, atau hal apa pun yang sekarang berada di otakmu,” ujar Alena lembut, satu tangannya terangkat mengusap kepala Esau, diperlakukannya Esau serupa anak kecil, tatapan Esau melembut, tak lagi setajam sebelumnya.
Baca selengkapnya