Esau sangat geram, jangan ditanya seperti apa ekspresi wajahnya sekarang. Bahkan anak kecil saja bisa menyimpulkan jika lelaki itu tengah cemburu sekarang, tetapi dia sangat berusaha menutup mulutnya untuk tidak berbicara. Freya pun semakin semangat membuat lelaki itu naik darah.
“Esau, kau cemburu, kan?” katanya lagi, membuat lelaki itu berhenti dan memutar tubuh menghadapnya.
“Tidak. Jangan terlalu percaya diri.”
"Benarkah? Aku tak pernah melihat wajahmu seperti itu. Tapi... kalau memang kau tidak cemburu, ijinkan aku jalan dengan Parsa," ujar Freya sekali lagi.
Sekali lagi Esau berhenti. Dia tatap wajah gadis itu beberapa detik dan rahangnya mengetat. Lihat lah betapa tak tahu dirinya Freya yang justru tersenyum dan memainkan kedua mata berkedip beberapa kali. Apakah gadis ini memang bodoh?
"Terserah," jawab Esau sambil berlalu.
 
Alunan piano sudah berhenti sejak tadi. Freya masih termangu menatap jemarinya yang masih menempel di tuts piano. Hatinya terlalu larut sehingga merasakan jari-jari itu gemetar tak terkendali.Parsa dan pengunjung lainnya memberikan tepuk tangan yang sangat meriah ketika Freya selesai memainkan piano. Gadis yang terlihat biasa-biasa saja itu, yang selalu berusaha menutupi semua luka yang belum tertutup sempurna dengan berpura-pura kuat di hadapan orang lain, kini seolah menelanjangi dirinya sendiri di hadapan puluhan mata yang memandangnya saat memainkan piano tadi. Dia menangis saat menekan satu per satu tuts piano tanpa mampu mencegah.Begitu tersadar, Freya menyeka air matanya sebelum berdiri menuju meja di mana Parsa tengah menatapnya.“Kau benar-benar hebat, aku tak menyangka kau bisa memainkan piano dengan begitu indah, bahkan buatku kau lebih hebat dari pianis wanita itu,” ujar Parsa memuji pertunjukka
Notifikasi pesan masuk ke dalam ponselnya, Esau buru-buru membuka pesan itu berharap orang suruhannya sudah mengirimkan kabar. Tapi sialnya, Esau haru kecewa sebab pesan yang dia dapat hanya chat yang tidak penting dari sebuah grup. Tak tahan dia hanya menunggu, Esau lantas menghubungi nomor Freya untuk menanyakan di mana gadis itu sekarang. Lagi, dia menggeram.“Apakah dia memang tolol? Pergi berkencan dengan seorang lelaki, dan dia mematikan ponselnya?” gerutu Esau saat panggilannya dijawab suara costumer service. “Bagaimana jika Parsa melakukan sesuatu? Apakah dia tidak berpikir untuk meminta bantuan seseorang?”Sekarang Esau benar-benar seperti orang kebakaran jenggot, dia terus mengecek handphone miliknya berulang kali, berharap sebuah keajaiban akan segera datang. Tapi tetap saja, Freya tidak bisa dihubungi. Pengawal pribadinya pun sama berengseknya, bukannya mengabari, apa dia sibuk menonton kemesraan Freya dan Para atau bagai
Esau berjalan ke arah kota tua, di mana dia terkadang menyendiri dan melepaskan penatnya di sana. Bajunya agak mengering, tak dipedulikan tubuhnya yang sedikit menggiigil menahan angin yang berusaha menyeruak masuk melalui kisi-kisi pakaian yang dikenakannya. Baru kali ini dia merasakan sebuah kehampaan dengan ruang besar yang berada di hatinya. Apa yang sekarang dia rasakan berusaha ditolak dengan logika seadanya, yang mungkin masih tersisa saat ini.Dia menuju sebuah kedai dengan gaya arsitektur jaman belanda yang sangat kental. Langkahnya seakan tak pasti, seperti seorang yang dibebani pikiran yang sangat berat. Seorang pramusaji menatapnya, seolah tahu apa yang sedang dirasakan Esau saat ini.Esau sedang memikirkan, pasti Freya sedang asyik bermesraan dengan Parsa, belum lagi tangan nakal Parsa pasti tak akan luput dari setiap jengkal tubuh Freya. Rasanya ingin gila memikirkannya, tapi ... untuk apa dia memikirkan semua itu? Berusaha menolak, berusaha melupak
Parsa meminta supirnya untuk mengantar dirinya dan Freya ke hotel milik kedua orang tuanya yang tak jauh dari Jalan Senopati, hotel besar yang menjadi kebanggaan keluarga dan selalu dipadati tamu. Mereka menuju ke sana, berniat beristirahat sementara.Mata-mata Esau masih mengawasi kedua anak manusia itu, bahkan mengirimkan beberapa foto kepada tuannya, tapi Esau yang sedang tertidur dalam keadaan mabuk sama sekali mengacuhkan pesan-pesan tersebut, dia larut dalam mimpinya sendiri.Parsa memapah tubuh Freya yang lunglai, berjalan menuju ke arah kamar yang dia pesan. Timoty tak tahu harus berbuat apa karena tak ada instruksi sama sekali yang diberikan bosnya itu, dia hanya bisa mengawasi dari kejauhan tanpa berbuat lebih banyak.Di dalam kamar ... Parsa meletakkan tubuh Freya di atas tempat tidur, hari itu dia merasa lelah, sangat lelah. Parsa naik ke tempat tidur, diperhatikannya wajah Freya dari dekat, gadis itu sangat cantik, kedua bulu mata yang lentik
“A... lena?”Dia bergumam memanggil seseorang di depan sana. Matanya sedikit menyipit, mempertajam penglihatan untuk memastikan dirinya tidak salah melihat. Ya, itu memang Alena, tak mungkin matanya salah.“Alena, Alena!” panggilnya lagi. Kakinya gemetar berdiri untuk mengejar orang yang semakin dekat di depan sana. “Akhirnya kau datang. Kalian menjengukku juga.”Ketika mereka sudah berjarang tak sampai satu langkah, dia memeluk wanita itu segera.“Apa kabarmu, Feli?” Alena tersenyum ramah pada kakak tirinya, mengusap pungguh Feli lembut. “Mari, kita duduk di bangku taman itu,” ajaknya.Alena cukup senang melihat kemajuan yang Feli tunjukkan. Selama ini, kabar yang dia dengar dari perawat rumah sakit mengatakan Felisha masih sering kambuh dan berteriak. Tetapi ketika pagi tadi dia mendengar katanya Feli sudah mulai bergaul dengan pasien lain, Alena
Dalam perjalanan pulang, Esau mengamati wajah cantik yang masih tertidur di sebelahnya. Kepalanya bertanya-tanya, apa saja yang diceritakan gadis ini terhadap Parsa. Apakah dia memberitahu pernikahan mereka yang... hanya karena terpaksa? Ataukah mungkin Freya juga menyebutkan semua perlakuan kasarnya selama ini? Lalu apa pendapat Parsa saat itu? Mungkinkah sahabat Esau itu lantas membelai rambut Freya sembari berkata dia akan melindunginya? Esau semakin melantur di dalam pikiran.Ah... setidaknya Esau masih bisa sedikit tenang saat mengingat perkataan Parsa. Dia tidak menyentuh Freya, dan Esau merasa bisa mempercayai perkataan sahabatnya itu.“Ma...”Freya meracau panjang, tapi hanya kata itu yang bisa Esau dengar. Rasanya, ingin sekali dia menjitak kepala istrinya yang membuat Esau geram. Bagaimana tidak? Sudah tahu tak bisa minum alkohol, tapi Freya malah minum sampai mabuk."Entah, kau ini bodoh keturunan siapa, Frey. Untung saja Parsa masi
Hari ini Esau benar-benar membuat Freya jengkel. Setelah memeluk tanpa permisi dan mempermainkan hati gadis itu, Esau juga memaksanya untuk pergi bersama-sama ke kampus. Meski dia menolak keras, Esau tetap memaksa dan tak mau ditolak. Sungguh itu sangat menyebalkan.“Hei, kenapa kau sangat terburu-buru?” Esau menyapa Freya yang sudah berjalan mendahuluinya. Sangat aneh gadis itu.“Agar dunia tak pernah tahu bahwa aku baru saja datang bersama laki-laki sinting sepertimu!”“Bukankah seharusnya kau senang? Seluruh kampus mungkin akan menatap kagum padamu, ketika mereka tahu kita jalan bersama,” goda Esau seakan tak cukup hanya ketika di rumah tadi.Freya hanya bisa menghela napas, menyerah menghadapi lelaki seperti dia.“Jika aku Leona atau gadis lainnya, ya, mungkin aku akan senang menjadi pusat perhatian. Tapi, Tuan Muda Borisson yang ting
“Parsa, hm... kau dan Julian, kalian bisa pergi denganku?”Mulut Parsa membulat seperti berkata ‘WOW’. Freya tahu lelaki itu pasti mengejeknya sekarang. Setelah sejak tadi dia selalu mengelak akan perasaannya, akhirnya gadis itu geram sendiri. Dia tidak bisa fokus pada dosen yang mengajar, tak mendengar sama sekali apa yang dikatakan dosen itu. Pikirannya selalu buntu oleh bayangan Esau dan Leona yang mungkin akan... bermesraan. Ya, dia geram karenanya, maka Freya berpikir, kenapa dia juga tidak bersenang-senang saja?"Kita bertiga? Frey, apa kau tengah mengajak dua sahabat suamimu kencan bertiga?” Parsa menggodanya tetapi Freya tidak peduli itu.“Ya, anggap begitu.”Akhirnya... gadis aneh dan keras kepala ini tertantang juga ya. Maka Parsa tidak akan menolak ajakannya.“Tentu, kita akan kencan. Itu baru gadisku,” katanya, menegaskan kata ‘gadisku’ di telinga Freya.