“Maaf sudah memisahkanmu dengan papamu.” Esau mengelus wajah Freya, satu jarinya bermain-main di wajah cantik gadis yang bersandar ke pundaknya.
Bagaimana pun, Ezra Raves adalah pria pertama yang mencintai gadis itu sejak dia lahir. Mungkin banyak kesalahan yang Ezra lakukan, tapi tetap saja cinta seorang ayah tidak bisa dihilangkan dari hati.
“Kau masih sedih?” Kini Esau tatap wajah cantik istrinya dengan memegangi dagu lancip Freya.
Menggeleng lemah, tentu saja Freya berbohong. Dia tidak bisa berkata dirinya baik-baik saja setelah yang barusan terjadi.
“Sedih sebentar tidak akan membunuhku, kan?” bisik Freya, lagi air matanya mengalir. “Papa tidak boleh hanya menyalahkan mama, mereka sama-sama salah. Aku harus tega pada papa untuk membuatnya menyadari kesalahan.”
“Benar, kau tidak melakukan kesalahan. Jika papamu bisa berpikir dengan baik, seharusnya dia menyesal.”
Helaan na
“Apa yang kau lakukan, Esau?” Freya menarik Esau untuk menjauh, tetapi Esau tidak menggubrisnya. Dia tidak akan menyerah begitu saja sebelum Felisha menunjukkan apa yang dia sembunyikan.“Frey, aku lah yang lebih dulu mengenal bibi, jadi aku tahu dia tidak sepenuhnya gila. Sebelum kau masuk ke dalam hidupku, perawat mengatakan bibi hanya butuh pengobatan ringan. Dia hanya terlalu malu bertemu denganmu, sampai-sampai berkata tidak ingin melihatmu lagi. Benar seperti itu kan, Bi?” tanya Esau tegas.Tentu hal itu membuat Felisha tak tahan lagi. Dia lelah menahan diri hingga akhirnya meneteskan air mata dari kedua sudut matanya.“Aku orang jahat, kenapa aku berhak memiliki anak? Aku sudah membuat semua orang menderita, aku tidak pantas menjadi ibunya,” bisik Feli lemah.Pertemuan dengan Ezra sudah membuat Feli seperti tersadar bahwa dirinya adalah orang jahat yang tak pantas mendapatkan perhatian dari siapa pun. Semua tuduh
“Selamat, akhirnya kau benar-benar menjadi lelaki jantan.” Parsa menepuk pundak sahabatnya, membuat Esau mengerut kening tidak senang.“Sial! Apa selama ini aku kurang jantan di matamu?” umpat Esau pelan, tidak senang dia dengan ledekan yang ditujukan Parsa padanya.“Mana aku tahu, Freya lah yang tahu bagaimana kau di ranjang.” Parsa melirik Freya dan meneruskan pertanyaan Esau padanya. “Bagaimana, Frey, apakah Esau jago di ranjang?” ucapnya sembari tertawa.Kesal, Esau meninju pelan pundak Parsa untuk menyuruh sahabatnya itu diam. “Diam lah, Brengsek, atau aku memanggil bagian keamanan untuk mengusirmu,” balasnya sambil bergurau.Hal itu membuat Julian ikut tertawa mendengar dua sahabatnya yang saling mengejek, dan ikut serta di dalam perbincangan mereka. “Mungkin kau memang tidak jago, Esau, sebab itu Freya ingin meninggalkanmu.”“Hei, tutup mulutmu atau aku
Semua orang menjadi diam melihat kedatangan pria itu. Esau masih terkejut, bahkan dia tidak sadar kapan Ezra Raves berjalan menuju kado besar yang sudah Harry siapkan. Dia menatap Harry dengan tatapan yang sedikit aneh.“Apakah kado dariku sangat besar?” katanya, seakan menyindir Harry. Ezra cukup tahu Harry adalah seseorang yang selalu mempersiapkan segala sesuatu, dan sudah pasti Harry lah yang membuat kado itu seakan-akan dari dirinya. “Kalian tampak senang melihat kado dariku, tapi tampaknya tidak senang dengan kedatanganku.” Ezra berpindah ke depan Harry, mengulurkan tangannya dan berkata, “Halo, Besan, akhirnya kita bertemu setelah sekian lama.”Harry muak melihat sikap Ezra yang seakan ingin menunjukkan sifat arogannya. Tapi demi menjaga nama baik menantu perempuannya, Harry mengulurkan tangan untuk menyambut Ezra. “Ya, selamat datang kembali. Aku pikir pesawat itu sudah meledak sehingga kau mungkin tidak akan pernah dat
“Frey, kalian harus datang, ingat!”Leona berseru dari ujung sana, melambaikan tangannya pada Freya yang masih berdiri menunggu Esau membukakan pintu mobil. Gadis itu mengangguk sebagai jawaban untuk seruan dari Leona.“Baik lah, akan aku usahakan.” Freya lalu masuk ke dalam mobil di samping suaminya yang menyetir.“Datang? Memangnya... ke mana dia mengajakmu?”“Ulang tahun. Leona merayakan ulang tahunnya, dan dia mengundang kita.”“Kenapa kita harus datang?” Esau menyahut acuh, menyalakan mesin mobil yang membawa mereka meninggalkan parkiran kampus. “Aku heran kenapa kau mau berteman dengannya, padahal dulu dia jahat padamu.”Jika dipikir-pikir, Leona memang banyak melakukan kejahatan pada Freya, tapi di balik itu Freya sendiri sudah membalasnya, kan? Lantas kenapa harus merasa dirinya harus membenci Leona lagi? Lagian Leona sendiri sudah meminta maaf secara terang-tera
Esau berlari menaiki tangga pintu masuk istana keluarganya, dengan penuh semangat dan senyum yang tergambar di bibirnya. Tangan kanan menjinjing sebuah boks besar yang dia bawakan hadiah untuk istrinya, belakangan ini dia memang menjadi sangat romantis sejak mendengar kabar kehamilan Freya. Setiap akan pulang dari mana pun, Esau menyempatkan membawa hadiah untuk Freya. Baik itu berupa bunga, makanan, atau benda apa saja yang dia temukan di jalan. Terkadang juga Esau mencari-cari sesuatu yang diinginkan ibu hamil melalui situs internet, lantas membawakannya untuk Freya. Dia adalah suami yang begitu mencintai istrinya. “Sayang...” Esau mendorong pintu kamar, memamerkan jinjingan yang dia bawa. “Lihat, aku membawa apa padamu?” Freya yang tengah berbaring membaca sebuah buku, menurunkan buku itu ke atas perutnya dan melihat Esau. Sejak hamil dan dikatakan fisiknya lemah, Freya dengan suka rela mengambil cuti kuliah dan lebih memilih menghabiskan waktu menikmati k
"Jangan ... tolong jangan lakukan itu padaku," bisik gadis yang terkulai lemas di atas ranjang. Tubuhnya terasa panas, tatapan matanya sayu pada lelaki yang berdiri di depannya. Lelaki itu tak menghiraukan perkataan Alena, dan langsung menindihnya dari atas. "Tolong ... jangan lakukan itu." "Diamlah, dan nikmati permainanku!" Alena mencoba mengelak dan merontah, tapi pengaruh obat perangsang yang dicampurkan ke dalam minumannya membuat Alena tak bisa melawan. Dia hanya bisa pasrah saat tubuhnya digagahi oleh pria yang sama sekali tak dikenal. Pria bermata hijau dan wajah tampan namun sifatnya berbanding terbalik. Setelah puas melancarkan aksinya, Harry mengenakan jubah tidurnya dengan santai. Dia menatap tubuh kecil gadis yang kini meringkuk di sebelahnya. "Diam lah. Aku tak suka mendengar orang menangis!" bentaknya kasar.
Matahari semakin mencondong ke barat. Alena masih terus menyusuri jalanan bertanah penuh lumpur. Kakinya yang perih di berbagai tempat sudah tak dihiraukan olehnya lagi. Yang Alena tahu, dia harus meninggalkan hutan itu sebelum malam datang."Pa, Alena takut," bisiknya, ketika telinganya mendengar suara hewan liar mengaum di kejauhan.Perkataan pria tua tadi semakin membuatnya tersugesti, membayangkan diri mungkin akan diterkam hewan buas. "Papa, tolong kirimkan seseorang untuk menolong Alena," isaknya tertahan.Di kejauhan sana, Alena melihat sebuah mobil mendekat ke arahnya. Apakah doanya terkabulkan? Papanya mungkin tahu Alena sedang dalam masalah, lalu mengirimkan seseorang menjemputnya ke sini? Ada setitik harap di dadanya, tak lupa dia mengucap syukur atas pertolongan yang kini semakin dekat di depan mata. Namun, ketika mobil itu berhenti tepat di depan Alena, harapan gadis bertubuh kecil itu seperti ditelan oleh ombak besar. Ini bukan pertolongan. Orang yang turun dari mobil
Sudah tiga hari Alena dikurung di kamar besar penyiksaan itu. Tubuhnya terasa remuk, sakit di mana-mana. Pria bernama Harry Borisson itu menggagahinya tanpa kenal waktu. Bahkan di siang hari yang terik pun, pria itu terkadang datang menemuinya.Alena sudah tak punya kekuatan untuk melawan. Setiap kali Harry menidurinya, dia memilih diam bagaikan sepotong kayu. Dia terlalu lelah untuk merontah.Pintu di depannya terbuka lagi. Alena melihat pria tua bernama Lukas itu masuk kamar."Nona, makan lah. Anda bisa sakit jika terus-terusan tidak makan," ucapnya ketika dua pelayan wanita datang mengantarkan senampan makanan."Mari, Nona. Kami akan menyuapi Anda makan.""Hentikan! Jangan berpura-pura bersikap baik padaku!"Alena menepis piring dan mangkuk itu dari depannya. Seluruh makanan yang berada di dalamnya pun terbuang di atas ranjang. Kaki panjang berkulit putih milik Alena bahkan tak merasakan lagi percikan sup panas yang meng