Freya masih bertanya-tanya, sebenarnya apa yang sedang Esau rencanakan? Kenapa segalanya terasa lambat, lama-lama semua rencana yang telah disusunnya dengan rapi akan berantakan. Freya sangat tak sabar ingin segera menghancurkan Esau, lalu dia bisa kembali ke negaranya.
Dia membolak-balikan sebuah buku mata kuliah ekonomi di dalam perpustakaan tanpa membacanya sama sekali. Freya terlihat sangat gusar, memikirkan banyak hal akan sifat Esau yang semakin menyebalkan. Tanpa disadarinya, Esau sudah berdiri di sampingnya. Esau menarik sebuah kursi, kemudian duduk, sambil menatap Freya yang masih asyik tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Ehem," Esau berdehem, Freya bergeming dengan posisi awal tadi. "Ehem!" dia berdehem lebih keras dari yang pertama.
"Heh?!"
"Kenapa, kau seperti melihat hantu?"
Kedua mata Freya bergerak awas melihat ke sekeliling, kemudian
Esau mati-matian meminta Freya untuk berangkat dengannya ke kampus. Tapi tentu saja, Freya tak sebodoh yang dikira Esau. Tak semudah itu membuat Freya percaya dan bertekuk lutut begitu saja, sehingga dia akan masuk dalam tipuan.Sejujurnya sejak awal, Esau tak pernah percaya kalau dia meniduri Freya, karena tak semudah itu Esau mabuk. Dia bersedia menikahi Freya yang merengek dengan mengatakan, kalau Esau sudah merenggut keperawannya. Tapi kali ini, jangan harap kau bisa lepas dari Esau, Frey!Kepala Freya benar-benar pening memikirkan semua rencananya, Esau ternyata tak mudah ditebak tidak seperti yang dipikirkan olehnya sebelumnya, dia mampu mengikuti permainan Freya.Dari kejauhan, Parsa berlari kecil menghampiri Freya."Frey, hari ini kau mau kan nonton denganku?""Nonton?""Ya, temanku yang bekerja di sebuah bioskop memberikan dua buah karcis grati
Nyaman? Itu sangat tak pantas Freya akui. Apakah benar dia merasa nyaman, atau semua ini hanya efek dari rasa sedih dan lelahnya? Lagian, tidak mungkin Esau bisa menjadi seorang yang nyaman bagi dirinya, sebab mereka adalah musuh bebuyutan.Saat ini ribuan tanya berada di benak Freya, kenapa Esau bisa mendadak begitu lembut padanya, apakah dia benar-benar tulus, atau dia sedang memulai permainan baru? Tidak... dia tak ingin masuk ke dalam perangkap lelaki ini.“Kau... kau tak pernah baik padaku, kenapa semenjak beberapa hari lalu sampai hari ini kau berubah?” tanya Freya tak yakin dengan kebaikan Esau. Dia tepis tangan yang menyeka wajahnya, tak ingin merasa nyaman oleh belaian itu.“Apakah perlu membahas semuanya di toilet?”“Aku hanya ingin tahu,” tegas Freya.“Mereka sudah tak ada, sebaiknya kita pergi dari sini,” ajak Esau seraya menarik pergelangan tangan Freya, mengajaknya keluar dari dalam toil
Freya berusaha memejamkan kedua matanya, tapi terlalu sulit.Meski lelah dia menyingkirkan semua perlakuan baik Esau, tetap saja di dalam hatinya semua hal mengganjal. Haruskah dia menebak-nebak apa maksud Esau dalam beberapa hari ini padanya? Sejak menikah hingga sebelum dia menjatuhkan diri dari tangga, tak pernah Esau bersikap lembut. Ada yang aneh, dan Freya harus memastikannya.Esau mengintip dari balik bantal, dilihatnya tubuh Freya berbalik menghadap tembok, kalau dipikir-pikir dia merasa kasihan pada gadis itu. Di sisi lain dia tak tega membuat Freya seperti ini, tetapi dia sungguh penasaran apa sebenarnya yang ada di dalam kepala gadis itu.Handphone Esau berbunyi, dilihatnya Zoe mengirim sesuatu di kotak masuk.'Temui aku di perpustakaan, sekarang!' Itu isi dari chat Zoe kepada Esau.Agak enggan Esau menanggapi Zoe, belum lagi seluruh tubuhnya luluh lantak dibuat pemuda-pemuda keparat
Esau sangat geram, jangan ditanya seperti apa ekspresi wajahnya sekarang. Bahkan anak kecil saja bisa menyimpulkan jika lelaki itu tengah cemburu sekarang, tetapi dia sangat berusaha menutup mulutnya untuk tidak berbicara. Freya pun semakin semangat membuat lelaki itu naik darah.“Esau, kau cemburu, kan?” katanya lagi, membuat lelaki itu berhenti dan memutar tubuh menghadapnya.“Tidak. Jangan terlalu percaya diri.”"Benarkah? Aku tak pernah melihat wajahmu seperti itu. Tapi... kalau memang kau tidak cemburu, ijinkan aku jalan dengan Parsa," ujar Freya sekali lagi.Sekali lagi Esau berhenti. Dia tatap wajah gadis itu beberapa detik dan rahangnya mengetat. Lihat lah betapa tak tahu dirinya Freya yang justru tersenyum dan memainkan kedua mata berkedip beberapa kali. Apakah gadis ini memang bodoh?"Terserah," jawab Esau sambil berlalu. 
Alunan piano sudah berhenti sejak tadi. Freya masih termangu menatap jemarinya yang masih menempel di tuts piano. Hatinya terlalu larut sehingga merasakan jari-jari itu gemetar tak terkendali.Parsa dan pengunjung lainnya memberikan tepuk tangan yang sangat meriah ketika Freya selesai memainkan piano. Gadis yang terlihat biasa-biasa saja itu, yang selalu berusaha menutupi semua luka yang belum tertutup sempurna dengan berpura-pura kuat di hadapan orang lain, kini seolah menelanjangi dirinya sendiri di hadapan puluhan mata yang memandangnya saat memainkan piano tadi. Dia menangis saat menekan satu per satu tuts piano tanpa mampu mencegah.Begitu tersadar, Freya menyeka air matanya sebelum berdiri menuju meja di mana Parsa tengah menatapnya.“Kau benar-benar hebat, aku tak menyangka kau bisa memainkan piano dengan begitu indah, bahkan buatku kau lebih hebat dari pianis wanita itu,” ujar Parsa memuji pertunjukka
Notifikasi pesan masuk ke dalam ponselnya, Esau buru-buru membuka pesan itu berharap orang suruhannya sudah mengirimkan kabar. Tapi sialnya, Esau haru kecewa sebab pesan yang dia dapat hanya chat yang tidak penting dari sebuah grup. Tak tahan dia hanya menunggu, Esau lantas menghubungi nomor Freya untuk menanyakan di mana gadis itu sekarang. Lagi, dia menggeram.“Apakah dia memang tolol? Pergi berkencan dengan seorang lelaki, dan dia mematikan ponselnya?” gerutu Esau saat panggilannya dijawab suara costumer service. “Bagaimana jika Parsa melakukan sesuatu? Apakah dia tidak berpikir untuk meminta bantuan seseorang?”Sekarang Esau benar-benar seperti orang kebakaran jenggot, dia terus mengecek handphone miliknya berulang kali, berharap sebuah keajaiban akan segera datang. Tapi tetap saja, Freya tidak bisa dihubungi. Pengawal pribadinya pun sama berengseknya, bukannya mengabari, apa dia sibuk menonton kemesraan Freya dan Para atau bagai
Esau berjalan ke arah kota tua, di mana dia terkadang menyendiri dan melepaskan penatnya di sana. Bajunya agak mengering, tak dipedulikan tubuhnya yang sedikit menggiigil menahan angin yang berusaha menyeruak masuk melalui kisi-kisi pakaian yang dikenakannya. Baru kali ini dia merasakan sebuah kehampaan dengan ruang besar yang berada di hatinya. Apa yang sekarang dia rasakan berusaha ditolak dengan logika seadanya, yang mungkin masih tersisa saat ini.Dia menuju sebuah kedai dengan gaya arsitektur jaman belanda yang sangat kental. Langkahnya seakan tak pasti, seperti seorang yang dibebani pikiran yang sangat berat. Seorang pramusaji menatapnya, seolah tahu apa yang sedang dirasakan Esau saat ini.Esau sedang memikirkan, pasti Freya sedang asyik bermesraan dengan Parsa, belum lagi tangan nakal Parsa pasti tak akan luput dari setiap jengkal tubuh Freya. Rasanya ingin gila memikirkannya, tapi ... untuk apa dia memikirkan semua itu? Berusaha menolak, berusaha melupak
Parsa meminta supirnya untuk mengantar dirinya dan Freya ke hotel milik kedua orang tuanya yang tak jauh dari Jalan Senopati, hotel besar yang menjadi kebanggaan keluarga dan selalu dipadati tamu. Mereka menuju ke sana, berniat beristirahat sementara.Mata-mata Esau masih mengawasi kedua anak manusia itu, bahkan mengirimkan beberapa foto kepada tuannya, tapi Esau yang sedang tertidur dalam keadaan mabuk sama sekali mengacuhkan pesan-pesan tersebut, dia larut dalam mimpinya sendiri.Parsa memapah tubuh Freya yang lunglai, berjalan menuju ke arah kamar yang dia pesan. Timoty tak tahu harus berbuat apa karena tak ada instruksi sama sekali yang diberikan bosnya itu, dia hanya bisa mengawasi dari kejauhan tanpa berbuat lebih banyak.Di dalam kamar ... Parsa meletakkan tubuh Freya di atas tempat tidur, hari itu dia merasa lelah, sangat lelah. Parsa naik ke tempat tidur, diperhatikannya wajah Freya dari dekat, gadis itu sangat cantik, kedua bulu mata yang lentik