Beranda / Romansa / TURUN RANJANG / Bab 51 - Bab 60

Semua Bab TURUN RANJANG: Bab 51 - Bab 60

137 Bab

Berbaikan?

Ardhi kembali ke apartemen dan disambut oleh Sera yang tengah sibuk berkutat dengan eksprerimennya di dapur. Ada binar kelegaan di mata saat Sera melihat Ardhi pulang dalam keadaan yang baik-baik saja. Setidaknya itu yang terlihat di mata Sera ketika Ardhi menghampiri wanita itu di dapur. "Saya pulang," ucap Ardhi dengan amat sangat kaku. Hubungan keduanya yang sedang tidak baik-baik saja itu menambah kecanggungan yang mengudara. Keduanya hanya saling pandang, bingung mau berkata apa. "Saya masak sup ayam. Kamu mau?" tawar Sera memecah kecanggungan. "Ya." Ardhi mengangguk singkat. "Saya mandi dulu," kata Ardhi. "Oke." Hanya sebatas itu saja interaksi mereka sebelum kemudian Ardhi berlalu meninggalkan dapur menuju kamar. Sera menatap kepergian Ardhi sembari bertanya-tanya dalam hati. Seperti ada yang salah dengan ekspresi dan tingkah laku Ardhi hari ini. Laki-laki itu sekilas tampak sama, tetapi ada yang terasa berbeda. Namun, S
Baca selengkapnya

Menjadi Permanen

Ada setidaknya sepuluh detik bagi Sera untuk mencerna ucapan Ardhi yang terdengar tidak nyata. Ardhi baru saja mengatakan kalau laki-laki itu akan mendaftarkan pernikahan mereka. Sera tidak salah dengar, kan? "Kamu serius?" Sera memutar badan hingga berhadapan dengan Ardhi yang juga tengah memandang dirinya dengan begitu serius. "Maaf, seharusnya saya melakukannya sejak dulu." "No, wait. Ardhi, apa kamu benar-benar yakin mau pernikahan ini permanen? Kalau kamu melakukan ini cuma karena saya minta, tolong jangan lakukan itu. Saya nggak masalah kalau nanti kita pisah. Lebih baik berpisah daripada menjalani ini seumur hidup dengan terpaksa, iya, kan?" Ardhi menatap Sera dengan serius. "Saya nggak pernah terpikir untuk berpisah. Saya minta maaf kalau . Saya mau melakukan ini dengan benar. Apa kamu mau kasih saya kesempatan untuk memperbaiki semuanya dengan cara yang benar? Kita mulai lagi semuanya dari awal. Saya mau mengusahakan pernikahan ini dan saya j
Baca selengkapnya

Masih Meraba-raba

Perubahan demi perubahan terjadi. Sera cukup senang karena Ardhi tampak benar-benar telah mengubah sikap. Tahapan yang Ardhi berikan pun tampak berbeda. Laki-laki itu masih cuek dan sesekali sisi dingin itu muncul, tetapi Sera bisa melihat perubahan nyata yang terjadi pada Ardhi. Sera juga cukup yakin kalau perubahan itu terjadi karena kemauan Ardhi sendiri. Bisa terlihat dari cara bersikap Ardhi yang tidak dipaksakan. Namun, Sera pun tak bisa menampik bahwa di sudut hatinya juga terselip perasaan mengganjal yang tak bisa ditepis begitu saja. Perubahan dalam diri Ardhi itu seperti menyimpan sesuatu hal yang tidak baik. Sera ingin sekali mengabaikan kemungkinan itu, tetapi ia tak mampu membuang ganjalan itu. Meskipun begitu, Sera tetap berusaha untuk fokus pada upaya keduanya memperbaiki pernikahan yang diawali dengan tidak cukup baik itu agar menjadi lebih normal seperti pasangan yang lain. Dimulai dari agenda menginap di rumah Sera yang sudah ditingg
Baca selengkapnya

Remuk Redam

Ardhi tidak menghitung sudah berapa lama Sera menangis dalam pelukannya. Ia juga tak peduli ketika merasakan kasunya melekat di dada karena basah oleh air mata Sera yang mengucur deras. Sera sudah menahan diri terlalu lama. Jadi, Ardhi memberikan cukup waktu untuk wanita itu agar melepaskan beban di dada meski mungkin hanya akan terbuang sedikit. "Ibu, kangen Ibu," rintih Sera yang membuat Ardhi tercekat. Ardhi dapat merasakan kesakitan yang Sera derita karena rindu yang meluap-luap. Yang dapat Ardhi lakukan saat ini hanyalah dengan semakin mengeratkan rengkuhan dan mengecupi puncak kepala Sera. Berharap bahwa kehadirannya cukup untuk membuat Sera sadar kalau wanita itu tidak sendirian. Ada dirinya yang mau berbagi rasa sakit dan menanggung beban bersama. Ardhi tidak mengatakan apa-apa meski ia begitu ingin menumpahkan semua kalimat menenangkan yang terangkai di hati. Ia tidak bisa. Karena ia tahu bahwa kalimat-kalimat itu tidak ada artinya. Sera seda
Baca selengkapnya

Kembali

Hampir satu jam berlalu sejak mobil Ardhi memasuki kompleks perumahan Sera. Mobil yang dikendarai Ardhi sudah berhenti tepat di depan sebuah rumah bergaya minimalis modern yang temboknya didominasi oleh warna putih. Di bagian teras rumah yang berbatasan pagar besi setinggi pinggang orang dewasa itu terdapat taman kecil yang ditumbuhi tanaman bungaㅡyang hanya terlihat samar-samar dari sinar lampu yang menerangi jalanan kompleks Jam di pergelangan tangan Ardhi menunjukkan pukul sepuluh lewat empat menit. Laki-laki itu sejak tadi tidak membuka suara. Begitu pun dengan Sera yang saat ini membisu di kursi penumpang di samping Ardhi. Saat mereka tiba di sana, wanita itu meminta waktu kepada Ardhi untuk mempersiapkan diri. Ardhi memberikan keleluasaan itu untuk Sera. Bahkan, jika Sera meminta putar balik untuk kembali ke apartemen pun Ardhi akan langsung menyanggupi. Karena hanya itu yang bisa ia lakukan untuk tidak menambah beban di hati Sera. "Ayo, turun." Sera membuka suara. Kepalanya ya
Baca selengkapnya

Pelan-pelan Saja

"Kamu yakin, Dhi?" Sera sudah berkali-kali menanyakan pertanyaan tersebut sejak mereka meninggalkan rumah untuk menuju supermarket yang hanya berjarak kurang lebih sepuluh kilometer dari kawasan perumahan. "Believe me, it will be fine." Ardhi pun sudah berkali-kali menjawab dengan kalimat yang sama. "Saya bisa belanja sendiri, Ardhi. Kamu nanti tunggu di mobil aja. Atau kami bisa nunggu di coffee shop sekitaran situ." Ardhi memberikan tatapan tidak setuju. "Kan tadi kesepakatannya nggak begitu, Sera. Saya temani kamu belanja. Itu artinya saya ikut kamu masuk ke dalam. Atau kalau perlu bagi tugas aja biar cepat selesai belanjanya." "Saya kan nggak bilang setuju waktu kamu minta ikut. Saya udah berkali-kali bilang kalau lebih baik saya sendirian aja belanjanya. Kamu yang seenaknya memutuskan sendiri mau ikut." "Masalahnya apa, sih?" "Masalahnya adalah kamu dan saya ini nggak ada di kondisi yang normal buat bisa bebas berk
Baca selengkapnya

Berselisih

Sera yang diberi tatapan khawatir itu hanya bergerak gelisah di tempatnya duduk. Ia pun berusaha menarik tangan yang digenggam oleh Ardhi. Namun, Ardhi tidak mau melepaskannya. Laki-laki itu semakin mengeratkan genggaman. "Sera, kenapa?" Sera sedang tidak baik-baik saja. Itu sudah terlihat jelas dari sikapnya yang membuat Ardhi menjadi ikut gelisah dan tak tenang. Pertanyaan 'kenapa' yang dilontarkan Ardhi seperti memantik kembali seluruh kesedihan dan campur aduk perasaan di dalam dada yang mati-matian ia tekan akhirnya membeludak. Ada air mata yang kembali menggenang di pelupuk mata. Sesungguhnya, Sera tidak ingin begini. Ia tidak ingin menghabiskan waktu di rumah orang tuanya hanya untuk berdua ataupun mengais kenangan-kenangan lama yang menghunjam dada hingga terasa menyakitkan. Yang nyata terbayang adalah sebuah memori saat kedua orang tuanya terbujur kaku dan di kelilingi banyak orang yang melayat Ia benar-benar tidak ingin menangis. Namun, pert
Baca selengkapnya

Menyatukan Perasaan

Sesampainya di kamar, Sera terduduk lesu di ujung ranjang. Ada perasaan bersalah yang cukup besar kepada Ardhi karena ucapan-ucapan yang terlontar dari bibirnya. Ia tidak tahu kenapa bibirnya lantang sekali mengucap kata demi kata yang kemudian ia sesali. Sera pun sebenarnya lelah. Mereka terus mengulang pola yang sama. Ribut kemudian baikan. Seperti itu terus hingga salah satu mengalah dan minta maaf. Apa memang seperti ini siklusnya? Apa setiap pasangan mengalami ini juga? Atau hanya dirinya dengan Ardhi yang selalu saja terlibat cek-cok yang melelahkan ini? Sera mendesah lirih. Bukan. Ini sebenarnya bukan salah Ardhi. Sera hanya sedang terlalu sensitif karena hatinya sedang terombang-ambing. Berada di rumah yang penuh kenangan ini membuat Sera rapuh dan goyah. Namun, setelah dia duduk diam cukup lama di kamar, Sera pun mulai sadar kalau keinginannya untuk menetap di rumah peninggalan orang tuanya itu hanya singgah sesaat di otaknya. Sera tidak bena
Baca selengkapnya

Tentang Sarah

Pintu kamar terbuka lebar. Sera membuka mata dan berdiri diambang pintu cukup lama. Memasuki kamar yang sudah lama ditinggalkan itu membawa rasa yang aneh di dada. Ada kekosongan yang terasa menyakitkan. Sera tidak tahu, dengan apa ia bisa mengisi kekosongan itu. Ada banyak kenangan membekas. Sera tidak akan pernah lupa, setiap ayahnya sedang pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan, Sera akan menemani ibunya tidur di kamar ini. Mereka bisa betah mengobrol di atas ranjang, dengan tubuh sudah terbalut selimut, selama berjam-jam lamanya hingga dini hari. Setelah sama-sama lelah bicara, dan mata sudah setengah tertutup karena kantuk, mereka akan menyudahi dengan saling berpelukan. Sera akan mencium pipi sang ibu dan kemudian mengucapkan selamat tidur. Sera juga diingatkan pada momen di mana ia dimarahi oleh sang ayah di kamar itu. Sore itu, Sera diam-diam masuk ke sana untuk mengambil ponsel barunya yang disita karena membuatnya malas belajar. Saat akan keluar dari san
Baca selengkapnya

Getting Warm [1]

Matahari di Minggu pagi itu menyapa malu-malu. Sinarnya menyeruak di tengah sisa-sisa air hujan yang masih menetes di luar sana. Tetes demi tets air itu adalah sisa-sisa dari derasnya hujan yang semalam turun mengguyur Jakarta sampai subuh. Portal-portal berita mengabarkan adanya banjir yang cukup tinggi di beberapa titik hingga menyebabkan kemacetan. Desember. Memang bulan di mana hujan sedang senang-senangnya mengguyur bumi. Namun, akhir-akhir ini, hujan memang kerap datang sesuka hati. Volume air yang jatuh pun tak kira-kira. Langit seperti sedang ingin membuang-buang stok air dan melimpahkannya ke bumi dengan membawa kemurkaan. "Kayaknya emang harus cari rute alternatif yang agak jauh. Jalan yang kita lewati kemarin banjir. Jadi terpaksa harus memutar," ucap Sera dengan mata yang terpaku pada ponsel di tangannya. Jari-jarinya tidak berhenti mengusap layar ponselnya untuk membaca berita terkini tentang kondisi jalanan Jakarta yang mengkhawatirkan. Tidak ha
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
45678
...
14
DMCA.com Protection Status