Ardhi kembali ke apartemen dan disambut oleh Sera yang tengah sibuk berkutat dengan eksprerimennya di dapur. Ada binar kelegaan di mata saat Sera melihat Ardhi pulang dalam keadaan yang baik-baik saja. Setidaknya itu yang terlihat di mata Sera ketika Ardhi menghampiri wanita itu di dapur.
"Saya pulang," ucap Ardhi dengan amat sangat kaku.
Hubungan keduanya yang sedang tidak baik-baik saja itu menambah kecanggungan yang mengudara. Keduanya hanya saling pandang, bingung mau berkata apa.
"Saya masak sup ayam. Kamu mau?" tawar Sera memecah kecanggungan.
"Ya." Ardhi mengangguk singkat. "Saya mandi dulu," kata Ardhi.
"Oke."
Hanya sebatas itu saja interaksi mereka sebelum kemudian Ardhi berlalu meninggalkan dapur menuju kamar.
Sera menatap kepergian Ardhi sembari bertanya-tanya dalam hati. Seperti ada yang salah dengan ekspresi dan tingkah laku Ardhi hari ini. Laki-laki itu sekilas tampak sama, tetapi ada yang terasa berbeda. Namun, S
Ada setidaknya sepuluh detik bagi Sera untuk mencerna ucapan Ardhi yang terdengar tidak nyata. Ardhi baru saja mengatakan kalau laki-laki itu akan mendaftarkan pernikahan mereka. Sera tidak salah dengar, kan? "Kamu serius?" Sera memutar badan hingga berhadapan dengan Ardhi yang juga tengah memandang dirinya dengan begitu serius. "Maaf, seharusnya saya melakukannya sejak dulu." "No, wait. Ardhi, apa kamu benar-benar yakin mau pernikahan ini permanen? Kalau kamu melakukan ini cuma karena saya minta, tolong jangan lakukan itu. Saya nggak masalah kalau nanti kita pisah. Lebih baik berpisah daripada menjalani ini seumur hidup dengan terpaksa, iya, kan?" Ardhi menatap Sera dengan serius. "Saya nggak pernah terpikir untuk berpisah. Saya minta maaf kalau . Saya mau melakukan ini dengan benar. Apa kamu mau kasih saya kesempatan untuk memperbaiki semuanya dengan cara yang benar? Kita mulai lagi semuanya dari awal. Saya mau mengusahakan pernikahan ini dan saya j
Perubahan demi perubahan terjadi. Sera cukup senang karena Ardhi tampak benar-benar telah mengubah sikap. Tahapan yang Ardhi berikan pun tampak berbeda. Laki-laki itu masih cuek dan sesekali sisi dingin itu muncul, tetapi Sera bisa melihat perubahan nyata yang terjadi pada Ardhi. Sera juga cukup yakin kalau perubahan itu terjadi karena kemauan Ardhi sendiri. Bisa terlihat dari cara bersikap Ardhi yang tidak dipaksakan. Namun, Sera pun tak bisa menampik bahwa di sudut hatinya juga terselip perasaan mengganjal yang tak bisa ditepis begitu saja. Perubahan dalam diri Ardhi itu seperti menyimpan sesuatu hal yang tidak baik. Sera ingin sekali mengabaikan kemungkinan itu, tetapi ia tak mampu membuang ganjalan itu. Meskipun begitu, Sera tetap berusaha untuk fokus pada upaya keduanya memperbaiki pernikahan yang diawali dengan tidak cukup baik itu agar menjadi lebih normal seperti pasangan yang lain. Dimulai dari agenda menginap di rumah Sera yang sudah ditingg
Ardhi tidak menghitung sudah berapa lama Sera menangis dalam pelukannya. Ia juga tak peduli ketika merasakan kasunya melekat di dada karena basah oleh air mata Sera yang mengucur deras. Sera sudah menahan diri terlalu lama. Jadi, Ardhi memberikan cukup waktu untuk wanita itu agar melepaskan beban di dada meski mungkin hanya akan terbuang sedikit. "Ibu, kangen Ibu," rintih Sera yang membuat Ardhi tercekat. Ardhi dapat merasakan kesakitan yang Sera derita karena rindu yang meluap-luap. Yang dapat Ardhi lakukan saat ini hanyalah dengan semakin mengeratkan rengkuhan dan mengecupi puncak kepala Sera. Berharap bahwa kehadirannya cukup untuk membuat Sera sadar kalau wanita itu tidak sendirian. Ada dirinya yang mau berbagi rasa sakit dan menanggung beban bersama. Ardhi tidak mengatakan apa-apa meski ia begitu ingin menumpahkan semua kalimat menenangkan yang terangkai di hati. Ia tidak bisa. Karena ia tahu bahwa kalimat-kalimat itu tidak ada artinya. Sera seda
Hampir satu jam berlalu sejak mobil Ardhi memasuki kompleks perumahan Sera. Mobil yang dikendarai Ardhi sudah berhenti tepat di depan sebuah rumah bergaya minimalis modern yang temboknya didominasi oleh warna putih. Di bagian teras rumah yang berbatasan pagar besi setinggi pinggang orang dewasa itu terdapat taman kecil yang ditumbuhi tanaman bungaㅡyang hanya terlihat samar-samar dari sinar lampu yang menerangi jalanan kompleks Jam di pergelangan tangan Ardhi menunjukkan pukul sepuluh lewat empat menit. Laki-laki itu sejak tadi tidak membuka suara. Begitu pun dengan Sera yang saat ini membisu di kursi penumpang di samping Ardhi. Saat mereka tiba di sana, wanita itu meminta waktu kepada Ardhi untuk mempersiapkan diri. Ardhi memberikan keleluasaan itu untuk Sera. Bahkan, jika Sera meminta putar balik untuk kembali ke apartemen pun Ardhi akan langsung menyanggupi. Karena hanya itu yang bisa ia lakukan untuk tidak menambah beban di hati Sera. "Ayo, turun." Sera membuka suara. Kepalanya ya
"Kamu yakin, Dhi?" Sera sudah berkali-kali menanyakan pertanyaan tersebut sejak mereka meninggalkan rumah untuk menuju supermarket yang hanya berjarak kurang lebih sepuluh kilometer dari kawasan perumahan. "Believe me, it will be fine." Ardhi pun sudah berkali-kali menjawab dengan kalimat yang sama. "Saya bisa belanja sendiri, Ardhi. Kamu nanti tunggu di mobil aja. Atau kami bisa nunggu di coffee shop sekitaran situ." Ardhi memberikan tatapan tidak setuju. "Kan tadi kesepakatannya nggak begitu, Sera. Saya temani kamu belanja. Itu artinya saya ikut kamu masuk ke dalam. Atau kalau perlu bagi tugas aja biar cepat selesai belanjanya." "Saya kan nggak bilang setuju waktu kamu minta ikut. Saya udah berkali-kali bilang kalau lebih baik saya sendirian aja belanjanya. Kamu yang seenaknya memutuskan sendiri mau ikut." "Masalahnya apa, sih?" "Masalahnya adalah kamu dan saya ini nggak ada di kondisi yang normal buat bisa bebas berk
Sera yang diberi tatapan khawatir itu hanya bergerak gelisah di tempatnya duduk. Ia pun berusaha menarik tangan yang digenggam oleh Ardhi. Namun, Ardhi tidak mau melepaskannya. Laki-laki itu semakin mengeratkan genggaman. "Sera, kenapa?" Sera sedang tidak baik-baik saja. Itu sudah terlihat jelas dari sikapnya yang membuat Ardhi menjadi ikut gelisah dan tak tenang. Pertanyaan 'kenapa' yang dilontarkan Ardhi seperti memantik kembali seluruh kesedihan dan campur aduk perasaan di dalam dada yang mati-matian ia tekan akhirnya membeludak. Ada air mata yang kembali menggenang di pelupuk mata. Sesungguhnya, Sera tidak ingin begini. Ia tidak ingin menghabiskan waktu di rumah orang tuanya hanya untuk berdua ataupun mengais kenangan-kenangan lama yang menghunjam dada hingga terasa menyakitkan. Yang nyata terbayang adalah sebuah memori saat kedua orang tuanya terbujur kaku dan di kelilingi banyak orang yang melayat Ia benar-benar tidak ingin menangis. Namun, pert
Sesampainya di kamar, Sera terduduk lesu di ujung ranjang. Ada perasaan bersalah yang cukup besar kepada Ardhi karena ucapan-ucapan yang terlontar dari bibirnya. Ia tidak tahu kenapa bibirnya lantang sekali mengucap kata demi kata yang kemudian ia sesali. Sera pun sebenarnya lelah. Mereka terus mengulang pola yang sama. Ribut kemudian baikan. Seperti itu terus hingga salah satu mengalah dan minta maaf. Apa memang seperti ini siklusnya? Apa setiap pasangan mengalami ini juga? Atau hanya dirinya dengan Ardhi yang selalu saja terlibat cek-cok yang melelahkan ini? Sera mendesah lirih. Bukan. Ini sebenarnya bukan salah Ardhi. Sera hanya sedang terlalu sensitif karena hatinya sedang terombang-ambing. Berada di rumah yang penuh kenangan ini membuat Sera rapuh dan goyah. Namun, setelah dia duduk diam cukup lama di kamar, Sera pun mulai sadar kalau keinginannya untuk menetap di rumah peninggalan orang tuanya itu hanya singgah sesaat di otaknya. Sera tidak bena
Pintu kamar terbuka lebar. Sera membuka mata dan berdiri diambang pintu cukup lama. Memasuki kamar yang sudah lama ditinggalkan itu membawa rasa yang aneh di dada. Ada kekosongan yang terasa menyakitkan. Sera tidak tahu, dengan apa ia bisa mengisi kekosongan itu. Ada banyak kenangan membekas. Sera tidak akan pernah lupa, setiap ayahnya sedang pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan, Sera akan menemani ibunya tidur di kamar ini. Mereka bisa betah mengobrol di atas ranjang, dengan tubuh sudah terbalut selimut, selama berjam-jam lamanya hingga dini hari. Setelah sama-sama lelah bicara, dan mata sudah setengah tertutup karena kantuk, mereka akan menyudahi dengan saling berpelukan. Sera akan mencium pipi sang ibu dan kemudian mengucapkan selamat tidur. Sera juga diingatkan pada momen di mana ia dimarahi oleh sang ayah di kamar itu. Sore itu, Sera diam-diam masuk ke sana untuk mengambil ponsel barunya yang disita karena membuatnya malas belajar. Saat akan keluar dari san
“Ardhi nggak pernah begitu waktu masih sama aku dulu. Dia nggak pernah bersikap begitu dengan siapa pun.” Arunika yang pertama membuka percakapan begitu Ardhi keluar dari ruangan milik laki-laki itu yang menyisakan dirinya bersama Sera. Ia tersenyum getir. “How can people changes a lot? What did you do to him?” “It’s just about time,” Sera menjawab dengan jujur. “And no. I didn’t do anything. Ardhi nggak berubah. Dia hanya nggak mau berusaha menunjukkan jati dirinya yang sesungguhnya karena dia pikir dia bisa menutupi luka di hatinya setelah ditinggal Kak Sarah dengan melakukan itu. Dan dia nggak sadar kalau yang dia lakukan membuat orang lain terluka. Membuat kamu terluka. Yang pada akhirnya juga berbalik melukai dirinya sendiri.” Sera mengendikkan bahu. Ia baru menyadari kalau ini baru kali pertama mereka berdua saling bicara kepada satu sama lain dan rasanya sungguh aneh karena Arunika bicara seolah-olah mereka cukup dekat
Ardhi bersedekap. Meski ada jarak yang memisahkan mereka lebih dari satu meter laki-laki itu tetap terlihat menjulang di hadapan Arunika. Ia sama sekali tidak terintimidasi oleh ucapan sinis Arunika. Laki-laki itu memberikan tatapan serius yang tidak bisa ditolak oleh Arunika.“Dunia nggak berpusat pada hidup kamu aja, Arunika,” ucap Ardhi dengan serius, “You have to accept that fact. Setiap orang punya panggungnya sendiri-sendiri dan sayangnya kamu nggak bisa menyeret aku dan Sera ke panggung sandiwara hidup kamu. Jangan terus memaksakan sesuatu yang nggak bisa kamu lakukan.”Senyum sinis Arunika lenyap. Arunika mengernyit. Mempertahankan ekspresi wajahnya agar tetap teguh, tetapi gagal. Ia melepas topeng sinis sialan itu dan tersenyum sedih. Menunjukkan sisi terlemahnya di depan Ardhi.“Kalau kamu nggak cuci otaknya David, dia nggak akan membuang aku, Berengsek!”Bahkan saat mengumpati Ardhi, ia tidak terdeng
Sebuah kotak kardus cokelat seukuran kotak sepatu di depan pintu apartemennya langsung menyita perhatian Sera saat ia baru kembali dari rumah ibu mertuanya untuk mengambil rendang dan aneka masakan rumahan yang ia buat bersama Selia sejak pagi. Ia sangat yakin kalau saat ia pergi tadi, kotak itu tak ada di sana.Saat Sera membungkuk untuk mengambil kotak itu, Sera langsung tahu bahwa Ardhi bukanlah pengirimnya. Laki-laki kaku itu tidak pernah memberikan sesuatu secara anonim kepadanya. Tidak akan pernah lagi, karena Sera pernah mengancam Ardhi agar tidak bersikap menjadi laki-laki misterius dan penuh rahasia. Selain karena ancaman itu, Ardhi juga lebih suka mempercayakan segala hal kepada asistennya yang paling setia karena ia tak mau repot.Kotak mencurigakan itu ditujukan untuk dirinya. Namanya tertera di pojok kanan atas. Selain itu tak ada informasi lain.Setelah meletakkan barang-barang bawaannya di atas meja dapur, Sera membuka“Astaga, ada-ad
Halo kakak-kakak pembaca. Perkenalkan saya Nafta, penulis cerita TURUN RANJANG. Mohon maaf sekali karena ini bukan update. Setelahmenulis sebanyak 133 bab, saya putuskan untuk membuat pengumuman ini sekaligus untuk menyapa pembaca yang sudah sangat loyal dengan cerita ini. Kisah ini akan saya tutup di bab 136, yang itu artinya tinggal 3 bab lagi menuju tamat. Saya sedih sekaligus lega karena akhirnya bisa menamatkan cerita ini setelah 8 bulan lamanya menuliskan kisah Ardhi dan Sera di GoodNovel. Mungkin beberapa dari kalian merasa kalau belum siap berpisah dengan Ardhi dan Sera, tapi cerita ini memang seharusnya selesai ketika Sera sudah mengetahui rahasia di balik pernikahannya dengan Ardhi. Saya sengaja tambahkan sedikit konflik dengan memunculkan David dan Arunika untuk melengkapi cerita. So, sampai ketemu di 3 bab terakhir yang akan saya upload minggu ini^^ Mohon maaf sekali karena cerita ini tidak akan ada ekstra part. Jadi cerita akan
“Mau sampai kapan kamu nggak bicara sama aku?” ujar Ardhi dengan nada sedikit geram. “You can’t do this to me, Sera. Aku nggak bermaksud menyisihkan kamu dari masalah. I’m just trying to protect you, don’t you get it?”Sera sudah mengabaikan suaminya itu sejak siang hingga menjelang malam hanya karena tidak diizinkan Ardhi untuk bertemu dan bicara secara langsung dengan David saat laki-laki itu tiba-tiba datang berkunjung ke apartemen mereka.Ardhi gemas sekali dengan tingkah Sera yang menurutnya terlalu berlebihan. Sudah Ardhi bilang kalau menghadapi David yang sedang emosi jauh lebih mudah dibandingkan dengan menghadapi Sera yang marah kepadanya. Sebenarnya aksi kali ini lebih pantas disebut merajuk. Dan hal ini juga seringkali mempersulit dirinya karena Sera selalu sengaja melakukannya. Wanita itu hanya diam, tak menanggapi satu pun ucapan Ardhi hingga laki-laki itu bingung harus bagaimana.“Se
Roda kehidupan berputar. Kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup tak bertahan selamanya. Dan itu seringkali terjadi dalam hidup Ardhi dan Sera. Mereka sudah cukup terbiasa untuk bisa menghadapinya dengan kepala dingin saat masalah datang hingga sedikit menyisihkan kebahagiaan dan ketenangan selama satu bulan pasca hari pernikahan. David yang sempat ‘menghilang’ dan tidak muncul di acara keluarga itu kini menunjukkan batang hidung. Tepat satu minggu sebelum rapat direksi, David muncul di depan pintu apartemen Ardhi dan Sera. Dan bukannya langsung membukakan pintu untuk sepupu Ardhi itu, Ardhi dan Sera malah sibuk berdebat. Membiarkan David menunggu di balik pintu. “Kamu udah setuju kalau kita akan bicara dengan mereka. Kita, ardhi. Bukan cuma kamu sendiri.” Sera menantang Ardhi dengan tatapan tajam yang gagal membuat Ardhi terintimidasi. “Aku memang bilang gitu, Sera. Tapi nggak sekarang. Aku nggak tahu David mau bicara soal apa. Aku nggak tahu gimana suasana h
“Keluarga kamu ternyata nggak seburuk yang aku bayangin,” ucap Sera saat keduanya memasuki lift untuk naik ke lantai sebelas. “Maksud kamu?” “Mereka kelihatan tulus waktu ngasih selamat buat kita,” jelas Sera. “Mereka mulai sadar kalau nggak sepantasnya ngata-ngatain kamu dan menyisihkan kamu dari bagian keluarga Prasetyo. Mungkin beberapa orang masih akan meremehkan kamu dan menyebut kamu nggak layak menjadi bagian keluarga Prasetyo. Tapi kan kita nggak bisa memuaskan hati semua orang. So let it be. Lama-lama mereka akan capek sendiri.” Ardhi merangkulkan lengan di bahu Sera dan menariknya mendekat. Ia menciumi puncak kepala Sera berkali-kali. “Kamu juga harus tahu, kalau kamu memang pantas jadi istriku. Cuma kamu, Sera. Jangan lupakan itu.” “Aku nggak akan ada di sini sekarang kalau aku nggak yakin bisa bertahan sama kamu di tengah-tengah rumitnya hubungan keluarga. Aku bisa ngerti kok. Keluargaku juga banyak dramanya. Jadi aku bisa n
Sera pernah bermimpi memiliki pernikahan megah dengan pasangan tampan bak pangeran dalam negeri dongeng yang ceritanya pernah ia baca dan ia tonton kala masih SD. Seiring Sera tumbuh dewasa, khayalan itu perlahan mengabur. Ia mulai bisa berpikir realistis bahwa pangeran tampan berkuda putih yang akan jatuh cinta pada pandangan pertama kepadanya itu tidak akan pernah hadir dalam hidupnya. Sampai ia bertemu dengan Ardhi dan terlibat dalam jerat kehidupan pelik yang banyak tangis dan kesedihan, ia pun segera sadar bahwa hidup memang tidak seindah yang diceritakan dalam dongeng. Namun, tidak lantas hidup ini buruk.Sera sudah belajar banyak tentang kehidupan selama hampir satu tahun mengenal Ardhi. Bahagia itu ada dan hadir menjelma cinta dan kasih sayang yang ia dan Ardhi rasakan terhadap satu sama lain. Saling memahami dan saling mengerti satu sama lain adalah bentuk dari usaha mereka mencapai bahagia itu. Hari ini, bisa dibilang merupakan salah satu hari membahagiakan bagi Ser
Entah apa yang akhirnya David katakan kepada Arunika. Wanita itu tak lagi menemui Ardhi. Tak juga mengirimkan pesan ‘aneh’ yang memicu kesalahpahaman. David juga tidak merecoki Ardhi dengan segala tuduhan dan umpatannya yang memuakkan. Ya, sebenarnya beberapa hari yang lalu, Ardhi-lah yang sengaja meminta dengan baik-baik kepada David melalui telepon agar laki-laki itu menahan diri dulu untuk tidak membuat masalah baru dan berhenti menemui wanita yang sempat dikencaninya hanya demi menutupi rasa sakit hatinya karena Arunika. Untungnya, David mau mendengarkannya meski tak benar-benar memberikan respons yang baik. Dan kabar terakhir yang Ardhi dengar dari sepupu-sepupunya yang lain, David sedang ada urusan pekerjaan di Bali dan Arunika ikut serta. Ardhi cukup bersyukur akan hal itu karena ia bisa berfokus pada acara pernikahannya dengan Sera yang tinggal menghitung jam. Saat ini sudah tengah malam. Ia dan Sera ada di kamar Ardhi di rumah orang tuanya. Mereka dipaksa me