Langkah kaki Davina terseok-seok, pria yang menarik lengannya berlari terlalu cepat tanpa memperdulikan keadaannya. Mereka menyusuri terowongan gelap yang sembab dan sedikit berlumut.
"STOP!" teriak Davina sambil berusaha menghentikan pria yang menariknya.
"Aku rasa mereka sudah tak mengejarku," kata Davina sedikit sangsi sebab ia sendiri tak tahu siapa pria yang menarik lengannya tersebut dan apa tujuannya.
"Ehi signorina, untung aku berbelas kasihan padamu, kalau tidak entah bagaimana nasibmu di tangan mereka."
Davina menatap pria yang belum melepaskan tangannya itu sambil mengais-ngais udara di sekitarnya. "Terimakasih," ucapnya kemudian sembari melepaskan tangannya dari genggaman pria yang telah menolongnya.
"Setelah diamati wajah mu terlalu cantik untuk ukuran seorang pelayan restoran, kenalkan... Aku Sean, bella donna."
Davina mengangkat sebelah alisnya saat Sean mengamati wajahnya dengan tatapan aneh yang membuatnya risih.
"Maaf, tapi aku punya prinsip untuk tidak berkenalan dengan sembarang orang," tolak Davina seraya mendorong tangan Sean yang terulur di depannya.
Sean terkekeh, ia merasa terhina saat Davina menolaknya karena jujur saja sebelumnya ia tak pernah mendapat yang namanya penolakan.
"You reject me? Hahaha, kau pikir kau siapa?! Kau hanya seorang pelayan, jangan sok jual mahal di depanku! Aku yakin kau punya pekerjaan sampingan melayani nafsu tamu-tamu pria di restoran tempatmu bekerja, iya kan?!" tuduh Sean yang membuat Davina melotot tak terima.
Sedetik kemudian tangan halus Davina melayang dan mendarat keras di pipi kanan milik Sean.
PLAK!
Gadis itu marah karena langsung dipandang rendah oleh pria yang baru bertemu dengannya beberapa menit yang lalu.
"Asal kau tahu, sir. Aku ini bukan seperti yang kau kira, aku bukan seorang pelayan restoran, dan aku juga bukan wanita rendahan! Aku adalah anak pengusaha terkaya ketiga di Asia, dan yang terpenting aku adalah gadis terhormat!" tandas Davina dengan penuh penekanan di setiap kata yang keluar dari mulutnya.
Tetapi Sean malah memandang remeh Davina, pemuda itu sama sekali tak percaya dengan pengakuan Davina dan menganggap gadis itu tengah berhalusinasi.
"Apa kau menderita skizofrenia sehingga tak dapat membedakan mana kenyataan dan mana yang hayalan?" kata Sean sambil mengusap pipinya yang tadi ditampar keras oleh Davina. Untung Davina seorang perempuan, kalau laki-laki mungkin Sean akan menamparnya balik.
Mendengar ketidakpercayaan Sean serta tuduhan yang lontarkan pria itu padanya membuat Davina mengeratkan giginya menahan emosi agar tidak membludak.
"Kau tidak percaya?" tanya Davina bersamaan dengan munculnya seringaian di bibir Sean.
"Ya, aku tidak percaya sebab aku lebih memercayai apa yang aku lihat, bukan apa yang aku dengar," ucap Sean, lagi-lagi dengan nada meremehkan.
"Lantas kau marah padaku Nona?" tanyanya sembari menjepit dagu Davina dengan jari telunjuk dan jari tengahnya.
"Atau kamu tidak menerima kenyataan kalau kamu cuma seorang pelayan?" bisiknya tepat di samping telinga kiri Davina.
"Aku akui, saat ini aku memakai baju pelayan restoran, tapi aku memakainya hanya untuk penyamaran. Terserah kau mau percaya atau tidak, itu urusan mu, yang penting kamu jangan menyamakan ku dengan para wanita murahan karena aku bukan dari golongan mereka!" pungkas Davina dengan tegas.
"Lalu kau dari golongan mana? Pelacur? Bordir? Atau kupu-kupu malam?" ejek Sean menyebalkan.
Davina sampai kehabisan kata-kata menanggapi pria gila yang sayangnya berjasa karena telah menyelamatkannya dari antek-antek musuhnya tadi. Andai ia ada di negaranya sendiri, ia pasti sudah membungkam mulut pria kurang ajar yang mengaku bernama Sean tersebut.
Tak ada cara lain, Davina akhirnya menunjukkan perhiasan mahal yang dikenakannya untuk membuat Sean percaya kalau dia bukanlah seorang pelayan rendahan seperti anggapan pria itu.
"Lihat! Semua perhiasan mahal yang aku kenakan ini adalah keluaran terbaru dari Tiffany & Co, kau tahu harganya berapa? 20 juta Euro. Tak mungkin aku bisa membelinya jika aku hanya seorang pelayan, bodoh!" ungkap Davina yang sudah kesal setengah mati, gadis yang punya ego dan gengsi yang tinggi itu paling tidak bisa mentolerir penghinaan terhadap dirinya.
"Ooh ... sekarang aku jadi tahu alasan kenapa kau dikejar-kejar sekelompok pria tadi, ternyata kau mencuri uang bos mu untuk membeli perhiasan-perhiasan itu ya?" Tuduhan lain keluar dari mulut Sean. Sepertinya pria itu sangat suka menjudge orang, bahkan orang yang baru ditemuinya sekalipun.
"Kau tidak bisa terus menerus menuduhku seperti itu, bajingan! Lihat saja, setelah keluar dari tempat kumuh ini, aku akan membuktikan siapa diriku sebenarnya kepadamu, jangan salahkan aku jika aku tak mau memaafkanmu!" teriak Davina benar-benar murka, wajahnya sangar dan memerah di bakar api emosi yang membara di hatinya.
Ekspresi Davina berbanding terbalik dengan Sean yang malah tertawa-tawa tidak jelas sambil memegangi perut sixpack-nya. Pria itu tidak tahu bagaimana mengerikannya sosok Davina yang dijuluki sebagai Miss D'angel atau Dead Angel yang berarti malaikat kematian oleh para Hacker di dunia dark web.
"Ekspresi marah mu imut sekali, tapi akan lebih imut kalau kau tersenyum atau menciumku," kata Sean yang masih bersikap kurang ajar. Pria itu melilit pinggang Davina dengan kedua lengan kekarnya lalu mendekatkan wajah tampannya hingga hidung mancungnya bersentuhan dengan hidung mungil milik Davina yang tengah menatapnya dengan tajam.
"Malam ini kau harus menghabiskan waktu bersama ku. Will you be my bitch tonight?" bisik Sean yang terpikat dengan kecantikan Davina.
Dengan geram Davina meludahi wajah Sean. "Aku tidak sudi! Wanita terhormat seperti ku tak pantas bersama pria kotor seperti mu," tolaknya dengan kejam.
Sean tak memperdulikan penolakan Davina, ia mengelus leher Davina, menguji pendirian gadis itu dengan sentuhan-sentuhan lembut tangan kekarnya. Sampai pada momen dimana Sean ingin mencium Davina. Di situlah pertahanan Davina runtuh, ia tak bisa lagi membiarkan Sean mempermainkannya. Ia mendorong dada bidang Sean sekuat tenaga sehingga pria itu terjengkang ke belakang cukup jauh.
"Stop you bastard!" umpatnya dengan tatapan membunuh.
"Semakin kau menolak, semakin besar pula rasa penasaran ku, bitch!"
"Terserah apa kata mu, yang terpenting sekarang adalah menjauh dari sana, menjauh, bodoh!" teriak Davina dengan suara bergetar, antara marah dan cemas karena telinganya menangkap suara derap kaki seseorang yang seperti sedang berjalan ke arah Sean.
DOR!
Sebuah peluru meluncur dari belakang, menembus punggung Sean, membuat pria itu menjerit kesakitan. Davina menghela nafas berat sebelum berlari ke arah si penembak dan menghajarnya sampai babak belur. Sean yang masih setengah sadar melihat betapa hebatnya ilmu bela diri yang dimiliki Davina, seketika pria itu menyesal telah meremehkan dan menghina gadis luar biasa itu.
Perlahan-lahan mata Sean tertutup seiring dengan bertambahnya darah yang keluar dari tubuhnya. Davina yang melihat itu langsung panik, ia mengambil ponsel Sean yang ada di kantong jaket pria itu lalu menghubungi 911 untuk meminta pertolongan mereka.
"Walaupun kamu pria bajingan, aku tidak menginginkan kamu mati sekarang, maka jangan mati dulu sebelum aku yang membunuhmu," ucap Davina sembari menekan luka tembak di punggung Sean supaya darahnya tidak terus menerus keluar.
Davina duduk di kursi tunggu rumah sakit dengan perasaan gelisah, ia khawatir pria bernama Sean yang telah menyelamatkannya dari kejaran antek-antek musuhnya beberapa saat yang lalu itu mati sebab ia tak mau berhutang kepada seseorang. Apalagi orang itu merupakan orang yang baru dikenalnya.Di tengah kegelisahannya Davina dihampiri oleh dua orang perempuan berpakaian putih yang menyerahkan kepadanya sebuah dompet dan ponsel milik Sean yang sekarang masih berada di ruang operasi."Miss, ini dompet dan ponsel milik tuan anda, saya pikir lebih baik dititipkan pada anda."Davina menatap sengit wajah suster yang mengatakan kalau Sean adalah majikannya, What the hell! Sejak kapan ia beralih menjadi pembantu! Ini semua pasti gara-gara baju pelayan yang masih menempel di tubuhnya. Dalam hati Davina mengutuk habis-habisan baju yang dipakainya untuk menyamar itu.Tapi Davina terlalu lelah untuk berdebat, akhirnya ia menerima dompet dan ponsel milik Sean tersebut ta
Davina melirik Sean yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit sambil menatapinya. Tak lama setelah operasi pengangkatan peluru di punggungnya selesai dilaksanakan, pria itu langsung sadar dan kini sudah siuman. Sean menatap Davina sambil mengulum senyum, menahan tawa melihat penampilan kusut gadis itu yang bisa dikatakan mirip seperti orang gila. Rambut awut-awutan, bibir kering, mata merah dan jangan lupakan baju pelayannya yang telah robek di sisi kanan pinggangnya entah karena apa. Sedangkan Davina menatap Sean sambil mencebikkan bibirnya, menahan rasa marah ketika mendapati pria itu merapatkan bibir seperti ingin menertawakan penampilannya. Benar-benar menyebalkan! Pekik Davina dalam hati. Kemudian ia berdiri dan melangkah maju mendekati ranjang tempat Sean berbaring lalu ia menodongkan tangan kanannya tepat di depan wajah Sean. Davina terpaksa menurunkan gengsinya supaya ia bisa meminjam ponsel Sean untuk menghubungi Olivia dan meminta temannya itu untuk
Cuaca di pagi itu sangat dingin, angin berhembus kencang menyapu dedaunan di pinggir jalan, menambah khas musim gugur yang hanya ditemukan di negara-negara empat musim, salah satunya yaitu Italia. Di sebuah kamar apartemen yang terletak di lantai tiga puluh, seorang gadis cantik blasteran Asia-Eropa masih bergelung manja di bawah selimutnya, matanya bahkan belum terbuka. Padahal matahari sudah muncul dari ufuk timur menyinari jendela apartemennya yang tak di lapisi gorden.Kriing... Kriing.Entah sudah berapa kali suara alarm yang berasal dari jam beker itu berbunyi, membangunkan pemiliknya yang tertidur seperti orang mati, entah kapan ia akan terbangun dan menyadari kalau pagi sudah menjelang siang."Hemh, kenapa silau sekali?" gumam Davina yang perlahan mulai membuka mata bulatnya.Tangan Davina berusaha menggapai ponselnya yang terletak di meja samping ranjang. Setelah berhasil meraih ponselnya, ia membuka lockscreen dan terkejut ketika melihat jam ham
“Kamu yakin enggak mau Kakak temenin sampai ke Italia?” “Yakin Kak, pokoknya Kakak enggak usah khawatir, aku bukan anak kecil yang dulu sering minta dianterin ke toko es krim lagi, sekarang aku udah dewasa lho, umurku aja udah 21 tahun.” “Iya iya deh, tapi asal kamu tahu ya, seberapa dewasa pun kamu, di mata kakak kamu tetap adik kecil Kakak. Maka dari itu Kakak selalu khawatir ngelepas kamu sendirian, Kakak takut ada orang yang akan menyakiti kamu, Vivin.” Mata Davina berkaca-kaca mendengar penuturan David, kakak tirinya yang amat sangat menyayanginya sejak ia kecil sampai saat ini. Davina merentangkan kedua tangannya, memberi isyarat kepada Sang Kakak agar memeluknya. Dengan sepenuh hati Davin memeluk tubuh Davina lalu mengecup kening adiknya itu lumayan lama. “I'm gonna miss you, Vivin.” “Me too, Brother!” “Jaga diri kamu baik-baik selama di sana ya?” Davina menganggukkan kepalanya. “Kata Mom sama Papa kamu h
Davina meroling matanya lalu menunjukkan gelang berlambang persatuan hacker yang akhirnya membuat dua orang yang memegang kendali pesawat itu memercayainya."Tolong arahkan pesawat ke kanan!" intrupsi Davina dengan lantang.Pilot dan co-pilot pilot pun akhirnya menuruti semua arahan dari Davina. Mereka sadar kalau Davina merupakan salah satu ahli pemograman yang dapat diandalkan."Suruh penumpang tenang, tetap memakai sabuk pengaman dan perbanyak berdoa," pesan co-pilot kepada dua pramugari yang tadi menghalangi Davina masuk ke dalam kokpit."Baik sir.""Atur ketinggian pesawat, di depan ada awan gelap. Matikan sirine tanda bahaya karena sebentar lagi kita kembali ke jalur aman." Davina kembali menginterupsi pilot dan co-pilot yang duduk di kedua sisinya.Dengan sigap pilot dan co-pilot itu melaksanakan apa yang Davina perintahkan. Mereka mengatur mdpl pesawat dan mematikan sirine tanda bahaya. Sampai pada detik berikutnya pesawat kembali ke
Davina menguap lebar-lebar, ia baru saja bangun dari mimpi panjangnya. Lelah karena perjalanan kemarin sudah terbayar dengan istirahat sepanjang malam tadi. Tanpa berlama-lama lagi Davina turun dari kasurnya, membuka gorden supaya sinar matahari bisa masuk ke dalam kamarnya. Setelah itu Davina masuk ke dalam kamar mandi, menyalakan keran air untuk mengisi jacuzzi. Tak lupa ia menuangkan sabun aroma lavender kesukaannya, setelah itu ia membuka seluruh pakaiannya dan masuk ke dalam jacuzzi."Hmm, wanginya, aku pasti betah berlama-lama di sini," ujar Davina sambil menggosok-gosokkan sabun ke lengan putihnya.Setelah menghabiskan waktu selama hampir satu jam untuk berendam di jacuzzi, Davina membilas tubuhnya di bilik shower lalu memakai bathrobe dan keluar dari kamar mandi. Selanjutnya ia memilih outfit yang akan dikenakannya hari ini sampai pada akhirnya Dress floral selutut menjadi pilihannya."Yes selesai, tinggal makeup, hair do, terus pakai sepatu. Habis itu j
"Kau tahu kan tujuan kita ke sini bukan hanya untuk makan?" "Ya aku tahu, kau sudah mengingatkan ku beberapa kali di via chat," sahut Olivia sambil memperhatikan setiap orang yang datang ke restoran Pizza terenak sekaligus termahal di kota Milan itu. "Tapi kau belum tahu ciri-ciri ayahku, kan?" tanya Davina hendak memastikan. Sedetik kemudian Olivia menampakkan cengiran bodohnya. "Oh iya, bagaimana aku bisa menemukan ayah mu jika aku belum mengetahui bagaimana rupanya," katanya sambil menepuk dahi. Davina mengirimkan sebuah foto lama ayahnya yang ia dapatkan dari ibunya ke ponsel Olivia. "Foto nya sudah ku kirimkan," ucapnya. Ting. Bunyi notifikasi pesan muncul di layar ponsel Olivia. Gadis itu segera membuka isi pesannya dan melihat foto ayah Davina yang masih terlihat sangat muda. "Coba perhatikan baik-baik dan perkirakan bagaimana rupanya jika umurnya sudah bertambah 21 tahun." "Oh My God! He is your Daddy?" Ol
Cuaca di pagi itu sangat dingin, angin berhembus kencang menyapu dedaunan di pinggir jalan, menambah khas musim gugur yang hanya ditemukan di negara-negara empat musim, salah satunya yaitu Italia. Di sebuah kamar apartemen yang terletak di lantai tiga puluh, seorang gadis cantik blasteran Asia-Eropa masih bergelung manja di bawah selimutnya, matanya bahkan belum terbuka. Padahal matahari sudah muncul dari ufuk timur menyinari jendela apartemennya yang tak di lapisi gorden.Kriing... Kriing.Entah sudah berapa kali suara alarm yang berasal dari jam beker itu berbunyi, membangunkan pemiliknya yang tertidur seperti orang mati, entah kapan ia akan terbangun dan menyadari kalau pagi sudah menjelang siang."Hemh, kenapa silau sekali?" gumam Davina yang perlahan mulai membuka mata bulatnya.Tangan Davina berusaha menggapai ponselnya yang terletak di meja samping ranjang. Setelah berhasil meraih ponselnya, ia membuka lockscreen dan terkejut ketika melihat jam ham
Davina melirik Sean yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit sambil menatapinya. Tak lama setelah operasi pengangkatan peluru di punggungnya selesai dilaksanakan, pria itu langsung sadar dan kini sudah siuman. Sean menatap Davina sambil mengulum senyum, menahan tawa melihat penampilan kusut gadis itu yang bisa dikatakan mirip seperti orang gila. Rambut awut-awutan, bibir kering, mata merah dan jangan lupakan baju pelayannya yang telah robek di sisi kanan pinggangnya entah karena apa. Sedangkan Davina menatap Sean sambil mencebikkan bibirnya, menahan rasa marah ketika mendapati pria itu merapatkan bibir seperti ingin menertawakan penampilannya. Benar-benar menyebalkan! Pekik Davina dalam hati. Kemudian ia berdiri dan melangkah maju mendekati ranjang tempat Sean berbaring lalu ia menodongkan tangan kanannya tepat di depan wajah Sean. Davina terpaksa menurunkan gengsinya supaya ia bisa meminjam ponsel Sean untuk menghubungi Olivia dan meminta temannya itu untuk
Davina duduk di kursi tunggu rumah sakit dengan perasaan gelisah, ia khawatir pria bernama Sean yang telah menyelamatkannya dari kejaran antek-antek musuhnya beberapa saat yang lalu itu mati sebab ia tak mau berhutang kepada seseorang. Apalagi orang itu merupakan orang yang baru dikenalnya.Di tengah kegelisahannya Davina dihampiri oleh dua orang perempuan berpakaian putih yang menyerahkan kepadanya sebuah dompet dan ponsel milik Sean yang sekarang masih berada di ruang operasi."Miss, ini dompet dan ponsel milik tuan anda, saya pikir lebih baik dititipkan pada anda."Davina menatap sengit wajah suster yang mengatakan kalau Sean adalah majikannya, What the hell! Sejak kapan ia beralih menjadi pembantu! Ini semua pasti gara-gara baju pelayan yang masih menempel di tubuhnya. Dalam hati Davina mengutuk habis-habisan baju yang dipakainya untuk menyamar itu.Tapi Davina terlalu lelah untuk berdebat, akhirnya ia menerima dompet dan ponsel milik Sean tersebut ta
Langkah kaki Davina terseok-seok, pria yang menarik lengannya berlari terlalu cepat tanpa memperdulikan keadaannya. Mereka menyusuri terowongan gelap yang sembab dan sedikit berlumut. "STOP!" teriak Davina sambil berusaha menghentikan pria yang menariknya. "Aku rasa mereka sudah tak mengejarku," kata Davina sedikit sangsi sebab ia sendiri tak tahu siapa pria yang menarik lengannya tersebut dan apa tujuannya. "Ehi signorina, untung aku berbelas kasihan padamu, kalau tidak entah bagaimana nasibmu di tangan mereka." Davina menatap pria yang belum melepaskan tangannya itu sambil mengais-ngais udara di sekitarnya. "Terimakasih," ucapnya kemudian sembari melepaskan tangannya dari genggaman pria yang telah menolongnya. "Setelah diamati wajah mu terlalu cantik untuk ukuran seorang pelayan restoran, kenalkan... Aku Sean, bella donna." Davina mengangkat sebelah alisnya saat Sean mengamati wajahnya dengan tatapan aneh yang membuatnya
"Kau tahu kan tujuan kita ke sini bukan hanya untuk makan?" "Ya aku tahu, kau sudah mengingatkan ku beberapa kali di via chat," sahut Olivia sambil memperhatikan setiap orang yang datang ke restoran Pizza terenak sekaligus termahal di kota Milan itu. "Tapi kau belum tahu ciri-ciri ayahku, kan?" tanya Davina hendak memastikan. Sedetik kemudian Olivia menampakkan cengiran bodohnya. "Oh iya, bagaimana aku bisa menemukan ayah mu jika aku belum mengetahui bagaimana rupanya," katanya sambil menepuk dahi. Davina mengirimkan sebuah foto lama ayahnya yang ia dapatkan dari ibunya ke ponsel Olivia. "Foto nya sudah ku kirimkan," ucapnya. Ting. Bunyi notifikasi pesan muncul di layar ponsel Olivia. Gadis itu segera membuka isi pesannya dan melihat foto ayah Davina yang masih terlihat sangat muda. "Coba perhatikan baik-baik dan perkirakan bagaimana rupanya jika umurnya sudah bertambah 21 tahun." "Oh My God! He is your Daddy?" Ol
Davina menguap lebar-lebar, ia baru saja bangun dari mimpi panjangnya. Lelah karena perjalanan kemarin sudah terbayar dengan istirahat sepanjang malam tadi. Tanpa berlama-lama lagi Davina turun dari kasurnya, membuka gorden supaya sinar matahari bisa masuk ke dalam kamarnya. Setelah itu Davina masuk ke dalam kamar mandi, menyalakan keran air untuk mengisi jacuzzi. Tak lupa ia menuangkan sabun aroma lavender kesukaannya, setelah itu ia membuka seluruh pakaiannya dan masuk ke dalam jacuzzi."Hmm, wanginya, aku pasti betah berlama-lama di sini," ujar Davina sambil menggosok-gosokkan sabun ke lengan putihnya.Setelah menghabiskan waktu selama hampir satu jam untuk berendam di jacuzzi, Davina membilas tubuhnya di bilik shower lalu memakai bathrobe dan keluar dari kamar mandi. Selanjutnya ia memilih outfit yang akan dikenakannya hari ini sampai pada akhirnya Dress floral selutut menjadi pilihannya."Yes selesai, tinggal makeup, hair do, terus pakai sepatu. Habis itu j
Davina meroling matanya lalu menunjukkan gelang berlambang persatuan hacker yang akhirnya membuat dua orang yang memegang kendali pesawat itu memercayainya."Tolong arahkan pesawat ke kanan!" intrupsi Davina dengan lantang.Pilot dan co-pilot pilot pun akhirnya menuruti semua arahan dari Davina. Mereka sadar kalau Davina merupakan salah satu ahli pemograman yang dapat diandalkan."Suruh penumpang tenang, tetap memakai sabuk pengaman dan perbanyak berdoa," pesan co-pilot kepada dua pramugari yang tadi menghalangi Davina masuk ke dalam kokpit."Baik sir.""Atur ketinggian pesawat, di depan ada awan gelap. Matikan sirine tanda bahaya karena sebentar lagi kita kembali ke jalur aman." Davina kembali menginterupsi pilot dan co-pilot yang duduk di kedua sisinya.Dengan sigap pilot dan co-pilot itu melaksanakan apa yang Davina perintahkan. Mereka mengatur mdpl pesawat dan mematikan sirine tanda bahaya. Sampai pada detik berikutnya pesawat kembali ke
“Kamu yakin enggak mau Kakak temenin sampai ke Italia?” “Yakin Kak, pokoknya Kakak enggak usah khawatir, aku bukan anak kecil yang dulu sering minta dianterin ke toko es krim lagi, sekarang aku udah dewasa lho, umurku aja udah 21 tahun.” “Iya iya deh, tapi asal kamu tahu ya, seberapa dewasa pun kamu, di mata kakak kamu tetap adik kecil Kakak. Maka dari itu Kakak selalu khawatir ngelepas kamu sendirian, Kakak takut ada orang yang akan menyakiti kamu, Vivin.” Mata Davina berkaca-kaca mendengar penuturan David, kakak tirinya yang amat sangat menyayanginya sejak ia kecil sampai saat ini. Davina merentangkan kedua tangannya, memberi isyarat kepada Sang Kakak agar memeluknya. Dengan sepenuh hati Davin memeluk tubuh Davina lalu mengecup kening adiknya itu lumayan lama. “I'm gonna miss you, Vivin.” “Me too, Brother!” “Jaga diri kamu baik-baik selama di sana ya?” Davina menganggukkan kepalanya. “Kata Mom sama Papa kamu h