Davina menguap lebar-lebar, ia baru saja bangun dari mimpi panjangnya. Lelah karena perjalanan kemarin sudah terbayar dengan istirahat sepanjang malam tadi. Tanpa berlama-lama lagi Davina turun dari kasurnya, membuka gorden supaya sinar matahari bisa masuk ke dalam kamarnya. Setelah itu Davina masuk ke dalam kamar mandi, menyalakan keran air untuk mengisi jacuzzi. Tak lupa ia menuangkan sabun aroma lavender kesukaannya, setelah itu ia membuka seluruh pakaiannya dan masuk ke dalam jacuzzi.
"Hmm, wanginya, aku pasti betah berlama-lama di sini," ujar Davina sambil menggosok-gosokkan sabun ke lengan putihnya.
Setelah menghabiskan waktu selama hampir satu jam untuk berendam di jacuzzi, Davina membilas tubuhnya di bilik shower lalu memakai bathrobe dan keluar dari kamar mandi. Selanjutnya ia memilih outfit yang akan dikenakannya hari ini sampai pada akhirnya Dress floral selutut menjadi pilihannya.
"Yes selesai, tinggal makeup, hair do, terus pakai sepatu. Habis itu jalan deh."
Davina duduk di kursi yang terletak di depan meja rias. Dia menatap pantulan wajahnya di cermin, sebenarnya tanpa make-up atau bare face pun dia sudah cantik, tapi untuk menguatkan kecantikannya agar lebih terpancar ia tetap membutuhkan peran make-up.
Saat Davina sedang memakai lipcream di bibir ranumnya, ia dikejutkan oleh ponselnya yang tiba-tiba berbunyi. Setelah dilihat ternyata yang menghubunginya adalah David, kakak tirinya yang pasti ingin menanyakan kabarnya.
"Halo Kak," sapa Davina mendahului. Gadis itu melambaikan tangannya di depan layar ponsel.
David tersenyum melihat adiknya baik-baik saja. "Kamu penasaran kan kenapa Kakak Vidcall kamu?" Davina pun mengangguk.
"Emang kenapa?" tanyanya.
David memberikan ponselnya ke Soraya, ibunya Davina. "Baby! I'm so proud of you!" ungkap Soraya yang membuat Davina bertanya-tanya. Memang apa yang sudah ia lakukan sampai-sampai ibunya itu merasa bangga?
"Lihat media berita Indonesia, wajahmu terpampang di mana-mana," timpal Lee memberitahu.
"Aku bangga punya putri seorang hero seperti mu yang berhasil menyelamatkan orang satu pesawat, Vivin."
"Thank you to proud of me, but... Actually, aku melakukannya untuk diriku sendiri, aku tidak mau mati muda sebelum keinginan ku tercapai, itu saja. Lagi pula kalau bukan karena Kuasa yang di atas aku tidak akan bisa mengembalikan pesawat itu ke jalurnya."
"Ya ya, tetap saja aku bangga padamu, sayang."
"Thank you, Mom."
"Di sana kau baik-baik saja kan?" Wajah Soraya berubah khawatir.
Davina tersenyum lembut. "Aku baik-baik saja, Mom. Terus doakan aku supaya aku bisa bertahan di sini dan segera menemukan keberadaan Daddy," ujarnya.
"Of course, setiap waktu aku selalu mendoakan mu, sayang."
"Terimakasih Mom, Mommy jangan lupa jaga kesehatan, ya. Tinggalkan makanan-makanan yang tidak sehat karena masih banyak makanan sehat yang rasanya jauh lebih enak, jangan lupa minum obat dan vitamin. Pokoknya aku tidak mau Mommy sampai sakit parah lagi seperti waktu itu," pesan Davina panjang kali lebar.
Soraya tersenyum lebar menyimak putrinya yang selalu cerewet jika sudah berurusan dengan kesehatannya. Anak gadisnya itu membuatnya rindu dan ingin pergi ke Italia saat itu juga hanya untuk memeluknya, padahal mereka baru berpisah kemarin.
"Mom, kita lanjutkan ngobrolnya nanti ya? Tidak apa-apa kan?"
"Ooh, oke ... Mommy juga mau pergi arisan nih," sahut Soraya.
"Ya sudah, bye Mommy! I love you!" ucap Davina seraya melayangkan ciuman jarak jauh.
"Bye, Vivin. I love you more dear," balas Soraya seraya menunjukkan senyuman terbaiknya untuk anak gadisnya tersebut.
******
"Halo Miss D'angel, aku senang sekali bisa bertemu langsung dengan mu,"
"Hai Olivia, aku juga senang bertemu dengan mu," balas Davina seraya tersenyum hangat.
Perempuan bernama Olivia itu kemudian mempersilahkan Davina masuk ke dalam mobil sedan nya. "Kau ingin kemana? Aku bisa mengantarmu kemanapun asalkan itu masih di Italy," ujar Olivia.
"Ooh, kalau begitu antar aku ke restoran pizza terenak di Milan," pinta Davina.
"Oke, permintaan mu dikabulkan, Miss D'angel," sahut Olivia sambil fokus menyetir.
"Kau tak perlu memanggil ku Miss D'angel, Olive. Jika sedang berada di luar dunia hacker, panggil saja aku Vivin, lagi pula kau termasuk teman akrab ku di dunia hacker, maka tak perlu terlalu formal padaku. Santai saja," ucap Davina yang sebenarnya tidak nyaman jika temannya memanggilnya dengan nama samaran. Lain halnya dengan musuh, Davina justru bangga dan senang jika musuhnya menyebutnya dengan nama D'angel. Karena artinya dia disegani atau ditakuti oleh musuhnya.
"Sorry, aku masih sedikit kaku untuk memanggil nama aslimu, tapi akan kucoba."
"Hai, Vi-vin." Olivia mencoba melafalkan nama panggilan Davina.
Sontak itu membuat Davina tertawa karena pelafalan Olivia terdengar sangat aneh ditelinganya. "Susah sekali ya?" tanyanya.
Olivia ikut tertawa menyadari kepayahannya. "Ya, susah sekali, bagaimana kalau aku memanggilmu dengan nama Angel?" usulnya yang bermaksud mempermudah lidahnya sendiri.
"Berarti kau hanya menghilangkan huruf D saja dalam nama samaran ku?" tanya Davina yang dibalas anggukan oleh Olivia.
"Boleh, nama Angel juga sepertinya cocok-cocok saja untuk ku."
"Finally, lidahku terbebas dari kesulitan," sahut Olivia yang membuat Davina terkekeh.
Sebegitu sulitkah pelafalan namanya?
"Olive, aku ingin bertanya."
"Ya, tanyakan saja."
"Kau bukan orang Italy asli kan?"
"Of course not, aku orang Swiss, orang tuaku juga orang Swiss, tapi kakekku penduduk asli Italy, jadi aku mengetahui segalanya tentang Italy dari kakekku," jawab Olivia dengan jujur.
"Ooh begitu, jadi sekarang kamu tinggal di mana? Di sini atau di Swiss?"
"Pertanyaan mu sangat lucu, Angel, tapi akan tetap menjawabnya, sekarang aku tinggal di sini, di Milan. Sometimes, aku pergi ke Swiss untuk mengunjungi kedua orang tuaku, kau tahu Swiss itu bertetangga dengan Italy bukan?"
"Ya, tentu aku tahu."
"Ada yang ingin kau tanyakan lagi, Angel? Ah, kurasa cukup, kamu sudah tahu banyak tentang ku."
"Terimakasih, Olive. Kamu sudah menjawab pertanyaan orang yang rasa penasarannya berlebihan seperti aku ini," ucap Davina yang khawatir Olivia merasa risih dengan sifat kepo nya yang memang sudah melekat dan susah dihilangkan dari dulu.
"No problem, Angel. Kita kan sudah seperti teman dekat, wajar jika kamu ingin tahu lebih banyak tentang ku."
"Ngomong-ngomong sebentar lagi kita sampai di restoran Pizza terenak yang aku rekomendasikan," ujar Olivia sekedar memberitahu.
Wajah Davina langsung antusias, gadis itu tak sabar ingin mencicipi Pizza yang di buat langsung di Negara asalnya yakni Italia.
"Yes! Aku sangat antusias untuk makan Pizza sebanyak-banyaknya di sana," ucap Davina yang malah membuat Olivia meragukan ucapannya.
"Kau tidak akan bisa menikmati Pizza dalam ukuran besar di sana karena harganya sangatlah mahal, orang Italy pun jarang yang membeli Pizza di sana karena faktor itu."
Davina menaikkan satu alisnya, sedikit tak memercayai ucapan Olivia. "Really? Seberapa mahal? Apakah harus menjual gedung hanya untuk makan Pizza terenak di Italy?"
"Tidak hanya menjual gedung, kau juga harus menjual mobil, tanah, beserta semua harta milik mu," canda Olivia dengan nada bicara seperti orang yang tengah serius.
Davina lantas menggelengkan kepalanya. "Yang benar saja, masa aku harus menjual semua aset ku hanya untuk makan Pizza terenak, kau pasti bercanda."
"Aku serius, lihat saja nanti, kau pasti menyesal meskipun hanya menggigit satu potong Pizza di restoran itu," kata Olivia yang kini terlihat benar-benar serius.
"Ya, ya, ya. Aku sama sekali tidak percaya pada ucapan mu," sela Davina. "Lihat saja, sesampainya di sana aku akan mentraktir mu makan Pizza sepuasnya," lanjutnya dengan sombong.
"Sungguh? Hahaha, percaya diri sekali dirimu, Miss D'angel," ejek Olivia sambil melirik Davina yang masih kelihatan arogan.
"Aku percaya diri karena uang ku banyak, kau tahu kan keluarga ku dinobatkan sebagai pengusaha terkaya ke tiga se-Asia?"
"Ya, aku tahu ... tapi kau harus ingat, kekayaan itu milik keluarga mu, bukan milik mu pribadi, Angel."
"Aku sangat tahu itu."
Ckkiitt.
"OMG!" teriak Davina yang kaget karena Olivia tiba-tiba mengerem mobilnya.
"Bisakah kau hati-hati dalam menginjak rem?!" omelnya yang malah ditertawakan oleh Olivia.
"Hahaha, maaf-maaf, aku memang sedikit ugal-ugalan," ucap Olivia sambil meringis.
Davina memutar bola matanya sebal. "Seharusnya kau bilang jika kita hampir sampai di tempat tujuan," katanya sedikit ketus.
"Ya, sekali lagi maafkan aku, Angel."
"Karena aku ingin segera makan Pizza yang kata mu paling enak di Italy itu, maka kesalahan mu ku maafkan," ujar Davina yang setelahnya bergegas keluar dari mobil Olivia disusul temannya itu.
"Kau akan tercengang setelah mengetahui harganya."
"Meskipun begitu aku tidak akan menarik ucapan ku di mobil tadi, aku akan tetap mentraktir kamu makan Pizza sepuasnya di sini, tak peduli berapa banyak uang yang harus ku keluarkan untuk membayarnya."
"Woah! Kau sungguh baik, kalau begitu ajak aku ke sini setiap hari, bagaimana?"
Davina mencubit lengan Olivia yang menggandeng lengannya. "Kau ini temanku atau bukan sih?" tanyanya yang membuat Olivia terkekeh geli. "Aku bukan teman mu, Miss D'angel. Aku hanya ingin memoroti uang mu saja," jawabnya tak serius.
Davina menggeleng-gelengkan kepalanya. Jelas ia tak percaya jawaban teman sesama hacker nya itu. Ia sudah paham betul karakteristik Olivia yang sudah menjadi teman dekatnya di dunia pemograman sejak ia masih berada di bangku sekolah. Selama ini mereka menjalani Long Distance Friendship karena Davina tinggal di Indonesia sementara Olivia tinggal di Italia.
"Kau tahu kan tujuan kita ke sini bukan hanya untuk makan?" "Ya aku tahu, kau sudah mengingatkan ku beberapa kali di via chat," sahut Olivia sambil memperhatikan setiap orang yang datang ke restoran Pizza terenak sekaligus termahal di kota Milan itu. "Tapi kau belum tahu ciri-ciri ayahku, kan?" tanya Davina hendak memastikan. Sedetik kemudian Olivia menampakkan cengiran bodohnya. "Oh iya, bagaimana aku bisa menemukan ayah mu jika aku belum mengetahui bagaimana rupanya," katanya sambil menepuk dahi. Davina mengirimkan sebuah foto lama ayahnya yang ia dapatkan dari ibunya ke ponsel Olivia. "Foto nya sudah ku kirimkan," ucapnya. Ting. Bunyi notifikasi pesan muncul di layar ponsel Olivia. Gadis itu segera membuka isi pesannya dan melihat foto ayah Davina yang masih terlihat sangat muda. "Coba perhatikan baik-baik dan perkirakan bagaimana rupanya jika umurnya sudah bertambah 21 tahun." "Oh My God! He is your Daddy?" Ol
Langkah kaki Davina terseok-seok, pria yang menarik lengannya berlari terlalu cepat tanpa memperdulikan keadaannya. Mereka menyusuri terowongan gelap yang sembab dan sedikit berlumut. "STOP!" teriak Davina sambil berusaha menghentikan pria yang menariknya. "Aku rasa mereka sudah tak mengejarku," kata Davina sedikit sangsi sebab ia sendiri tak tahu siapa pria yang menarik lengannya tersebut dan apa tujuannya. "Ehi signorina, untung aku berbelas kasihan padamu, kalau tidak entah bagaimana nasibmu di tangan mereka." Davina menatap pria yang belum melepaskan tangannya itu sambil mengais-ngais udara di sekitarnya. "Terimakasih," ucapnya kemudian sembari melepaskan tangannya dari genggaman pria yang telah menolongnya. "Setelah diamati wajah mu terlalu cantik untuk ukuran seorang pelayan restoran, kenalkan... Aku Sean, bella donna." Davina mengangkat sebelah alisnya saat Sean mengamati wajahnya dengan tatapan aneh yang membuatnya
Davina duduk di kursi tunggu rumah sakit dengan perasaan gelisah, ia khawatir pria bernama Sean yang telah menyelamatkannya dari kejaran antek-antek musuhnya beberapa saat yang lalu itu mati sebab ia tak mau berhutang kepada seseorang. Apalagi orang itu merupakan orang yang baru dikenalnya.Di tengah kegelisahannya Davina dihampiri oleh dua orang perempuan berpakaian putih yang menyerahkan kepadanya sebuah dompet dan ponsel milik Sean yang sekarang masih berada di ruang operasi."Miss, ini dompet dan ponsel milik tuan anda, saya pikir lebih baik dititipkan pada anda."Davina menatap sengit wajah suster yang mengatakan kalau Sean adalah majikannya, What the hell! Sejak kapan ia beralih menjadi pembantu! Ini semua pasti gara-gara baju pelayan yang masih menempel di tubuhnya. Dalam hati Davina mengutuk habis-habisan baju yang dipakainya untuk menyamar itu.Tapi Davina terlalu lelah untuk berdebat, akhirnya ia menerima dompet dan ponsel milik Sean tersebut ta
Davina melirik Sean yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit sambil menatapinya. Tak lama setelah operasi pengangkatan peluru di punggungnya selesai dilaksanakan, pria itu langsung sadar dan kini sudah siuman. Sean menatap Davina sambil mengulum senyum, menahan tawa melihat penampilan kusut gadis itu yang bisa dikatakan mirip seperti orang gila. Rambut awut-awutan, bibir kering, mata merah dan jangan lupakan baju pelayannya yang telah robek di sisi kanan pinggangnya entah karena apa. Sedangkan Davina menatap Sean sambil mencebikkan bibirnya, menahan rasa marah ketika mendapati pria itu merapatkan bibir seperti ingin menertawakan penampilannya. Benar-benar menyebalkan! Pekik Davina dalam hati. Kemudian ia berdiri dan melangkah maju mendekati ranjang tempat Sean berbaring lalu ia menodongkan tangan kanannya tepat di depan wajah Sean. Davina terpaksa menurunkan gengsinya supaya ia bisa meminjam ponsel Sean untuk menghubungi Olivia dan meminta temannya itu untuk
Cuaca di pagi itu sangat dingin, angin berhembus kencang menyapu dedaunan di pinggir jalan, menambah khas musim gugur yang hanya ditemukan di negara-negara empat musim, salah satunya yaitu Italia. Di sebuah kamar apartemen yang terletak di lantai tiga puluh, seorang gadis cantik blasteran Asia-Eropa masih bergelung manja di bawah selimutnya, matanya bahkan belum terbuka. Padahal matahari sudah muncul dari ufuk timur menyinari jendela apartemennya yang tak di lapisi gorden.Kriing... Kriing.Entah sudah berapa kali suara alarm yang berasal dari jam beker itu berbunyi, membangunkan pemiliknya yang tertidur seperti orang mati, entah kapan ia akan terbangun dan menyadari kalau pagi sudah menjelang siang."Hemh, kenapa silau sekali?" gumam Davina yang perlahan mulai membuka mata bulatnya.Tangan Davina berusaha menggapai ponselnya yang terletak di meja samping ranjang. Setelah berhasil meraih ponselnya, ia membuka lockscreen dan terkejut ketika melihat jam ham
“Kamu yakin enggak mau Kakak temenin sampai ke Italia?” “Yakin Kak, pokoknya Kakak enggak usah khawatir, aku bukan anak kecil yang dulu sering minta dianterin ke toko es krim lagi, sekarang aku udah dewasa lho, umurku aja udah 21 tahun.” “Iya iya deh, tapi asal kamu tahu ya, seberapa dewasa pun kamu, di mata kakak kamu tetap adik kecil Kakak. Maka dari itu Kakak selalu khawatir ngelepas kamu sendirian, Kakak takut ada orang yang akan menyakiti kamu, Vivin.” Mata Davina berkaca-kaca mendengar penuturan David, kakak tirinya yang amat sangat menyayanginya sejak ia kecil sampai saat ini. Davina merentangkan kedua tangannya, memberi isyarat kepada Sang Kakak agar memeluknya. Dengan sepenuh hati Davin memeluk tubuh Davina lalu mengecup kening adiknya itu lumayan lama. “I'm gonna miss you, Vivin.” “Me too, Brother!” “Jaga diri kamu baik-baik selama di sana ya?” Davina menganggukkan kepalanya. “Kata Mom sama Papa kamu h
Davina meroling matanya lalu menunjukkan gelang berlambang persatuan hacker yang akhirnya membuat dua orang yang memegang kendali pesawat itu memercayainya."Tolong arahkan pesawat ke kanan!" intrupsi Davina dengan lantang.Pilot dan co-pilot pilot pun akhirnya menuruti semua arahan dari Davina. Mereka sadar kalau Davina merupakan salah satu ahli pemograman yang dapat diandalkan."Suruh penumpang tenang, tetap memakai sabuk pengaman dan perbanyak berdoa," pesan co-pilot kepada dua pramugari yang tadi menghalangi Davina masuk ke dalam kokpit."Baik sir.""Atur ketinggian pesawat, di depan ada awan gelap. Matikan sirine tanda bahaya karena sebentar lagi kita kembali ke jalur aman." Davina kembali menginterupsi pilot dan co-pilot yang duduk di kedua sisinya.Dengan sigap pilot dan co-pilot itu melaksanakan apa yang Davina perintahkan. Mereka mengatur mdpl pesawat dan mematikan sirine tanda bahaya. Sampai pada detik berikutnya pesawat kembali ke
Cuaca di pagi itu sangat dingin, angin berhembus kencang menyapu dedaunan di pinggir jalan, menambah khas musim gugur yang hanya ditemukan di negara-negara empat musim, salah satunya yaitu Italia. Di sebuah kamar apartemen yang terletak di lantai tiga puluh, seorang gadis cantik blasteran Asia-Eropa masih bergelung manja di bawah selimutnya, matanya bahkan belum terbuka. Padahal matahari sudah muncul dari ufuk timur menyinari jendela apartemennya yang tak di lapisi gorden.Kriing... Kriing.Entah sudah berapa kali suara alarm yang berasal dari jam beker itu berbunyi, membangunkan pemiliknya yang tertidur seperti orang mati, entah kapan ia akan terbangun dan menyadari kalau pagi sudah menjelang siang."Hemh, kenapa silau sekali?" gumam Davina yang perlahan mulai membuka mata bulatnya.Tangan Davina berusaha menggapai ponselnya yang terletak di meja samping ranjang. Setelah berhasil meraih ponselnya, ia membuka lockscreen dan terkejut ketika melihat jam ham
Davina melirik Sean yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit sambil menatapinya. Tak lama setelah operasi pengangkatan peluru di punggungnya selesai dilaksanakan, pria itu langsung sadar dan kini sudah siuman. Sean menatap Davina sambil mengulum senyum, menahan tawa melihat penampilan kusut gadis itu yang bisa dikatakan mirip seperti orang gila. Rambut awut-awutan, bibir kering, mata merah dan jangan lupakan baju pelayannya yang telah robek di sisi kanan pinggangnya entah karena apa. Sedangkan Davina menatap Sean sambil mencebikkan bibirnya, menahan rasa marah ketika mendapati pria itu merapatkan bibir seperti ingin menertawakan penampilannya. Benar-benar menyebalkan! Pekik Davina dalam hati. Kemudian ia berdiri dan melangkah maju mendekati ranjang tempat Sean berbaring lalu ia menodongkan tangan kanannya tepat di depan wajah Sean. Davina terpaksa menurunkan gengsinya supaya ia bisa meminjam ponsel Sean untuk menghubungi Olivia dan meminta temannya itu untuk
Davina duduk di kursi tunggu rumah sakit dengan perasaan gelisah, ia khawatir pria bernama Sean yang telah menyelamatkannya dari kejaran antek-antek musuhnya beberapa saat yang lalu itu mati sebab ia tak mau berhutang kepada seseorang. Apalagi orang itu merupakan orang yang baru dikenalnya.Di tengah kegelisahannya Davina dihampiri oleh dua orang perempuan berpakaian putih yang menyerahkan kepadanya sebuah dompet dan ponsel milik Sean yang sekarang masih berada di ruang operasi."Miss, ini dompet dan ponsel milik tuan anda, saya pikir lebih baik dititipkan pada anda."Davina menatap sengit wajah suster yang mengatakan kalau Sean adalah majikannya, What the hell! Sejak kapan ia beralih menjadi pembantu! Ini semua pasti gara-gara baju pelayan yang masih menempel di tubuhnya. Dalam hati Davina mengutuk habis-habisan baju yang dipakainya untuk menyamar itu.Tapi Davina terlalu lelah untuk berdebat, akhirnya ia menerima dompet dan ponsel milik Sean tersebut ta
Langkah kaki Davina terseok-seok, pria yang menarik lengannya berlari terlalu cepat tanpa memperdulikan keadaannya. Mereka menyusuri terowongan gelap yang sembab dan sedikit berlumut. "STOP!" teriak Davina sambil berusaha menghentikan pria yang menariknya. "Aku rasa mereka sudah tak mengejarku," kata Davina sedikit sangsi sebab ia sendiri tak tahu siapa pria yang menarik lengannya tersebut dan apa tujuannya. "Ehi signorina, untung aku berbelas kasihan padamu, kalau tidak entah bagaimana nasibmu di tangan mereka." Davina menatap pria yang belum melepaskan tangannya itu sambil mengais-ngais udara di sekitarnya. "Terimakasih," ucapnya kemudian sembari melepaskan tangannya dari genggaman pria yang telah menolongnya. "Setelah diamati wajah mu terlalu cantik untuk ukuran seorang pelayan restoran, kenalkan... Aku Sean, bella donna." Davina mengangkat sebelah alisnya saat Sean mengamati wajahnya dengan tatapan aneh yang membuatnya
"Kau tahu kan tujuan kita ke sini bukan hanya untuk makan?" "Ya aku tahu, kau sudah mengingatkan ku beberapa kali di via chat," sahut Olivia sambil memperhatikan setiap orang yang datang ke restoran Pizza terenak sekaligus termahal di kota Milan itu. "Tapi kau belum tahu ciri-ciri ayahku, kan?" tanya Davina hendak memastikan. Sedetik kemudian Olivia menampakkan cengiran bodohnya. "Oh iya, bagaimana aku bisa menemukan ayah mu jika aku belum mengetahui bagaimana rupanya," katanya sambil menepuk dahi. Davina mengirimkan sebuah foto lama ayahnya yang ia dapatkan dari ibunya ke ponsel Olivia. "Foto nya sudah ku kirimkan," ucapnya. Ting. Bunyi notifikasi pesan muncul di layar ponsel Olivia. Gadis itu segera membuka isi pesannya dan melihat foto ayah Davina yang masih terlihat sangat muda. "Coba perhatikan baik-baik dan perkirakan bagaimana rupanya jika umurnya sudah bertambah 21 tahun." "Oh My God! He is your Daddy?" Ol
Davina menguap lebar-lebar, ia baru saja bangun dari mimpi panjangnya. Lelah karena perjalanan kemarin sudah terbayar dengan istirahat sepanjang malam tadi. Tanpa berlama-lama lagi Davina turun dari kasurnya, membuka gorden supaya sinar matahari bisa masuk ke dalam kamarnya. Setelah itu Davina masuk ke dalam kamar mandi, menyalakan keran air untuk mengisi jacuzzi. Tak lupa ia menuangkan sabun aroma lavender kesukaannya, setelah itu ia membuka seluruh pakaiannya dan masuk ke dalam jacuzzi."Hmm, wanginya, aku pasti betah berlama-lama di sini," ujar Davina sambil menggosok-gosokkan sabun ke lengan putihnya.Setelah menghabiskan waktu selama hampir satu jam untuk berendam di jacuzzi, Davina membilas tubuhnya di bilik shower lalu memakai bathrobe dan keluar dari kamar mandi. Selanjutnya ia memilih outfit yang akan dikenakannya hari ini sampai pada akhirnya Dress floral selutut menjadi pilihannya."Yes selesai, tinggal makeup, hair do, terus pakai sepatu. Habis itu j
Davina meroling matanya lalu menunjukkan gelang berlambang persatuan hacker yang akhirnya membuat dua orang yang memegang kendali pesawat itu memercayainya."Tolong arahkan pesawat ke kanan!" intrupsi Davina dengan lantang.Pilot dan co-pilot pilot pun akhirnya menuruti semua arahan dari Davina. Mereka sadar kalau Davina merupakan salah satu ahli pemograman yang dapat diandalkan."Suruh penumpang tenang, tetap memakai sabuk pengaman dan perbanyak berdoa," pesan co-pilot kepada dua pramugari yang tadi menghalangi Davina masuk ke dalam kokpit."Baik sir.""Atur ketinggian pesawat, di depan ada awan gelap. Matikan sirine tanda bahaya karena sebentar lagi kita kembali ke jalur aman." Davina kembali menginterupsi pilot dan co-pilot yang duduk di kedua sisinya.Dengan sigap pilot dan co-pilot itu melaksanakan apa yang Davina perintahkan. Mereka mengatur mdpl pesawat dan mematikan sirine tanda bahaya. Sampai pada detik berikutnya pesawat kembali ke
“Kamu yakin enggak mau Kakak temenin sampai ke Italia?” “Yakin Kak, pokoknya Kakak enggak usah khawatir, aku bukan anak kecil yang dulu sering minta dianterin ke toko es krim lagi, sekarang aku udah dewasa lho, umurku aja udah 21 tahun.” “Iya iya deh, tapi asal kamu tahu ya, seberapa dewasa pun kamu, di mata kakak kamu tetap adik kecil Kakak. Maka dari itu Kakak selalu khawatir ngelepas kamu sendirian, Kakak takut ada orang yang akan menyakiti kamu, Vivin.” Mata Davina berkaca-kaca mendengar penuturan David, kakak tirinya yang amat sangat menyayanginya sejak ia kecil sampai saat ini. Davina merentangkan kedua tangannya, memberi isyarat kepada Sang Kakak agar memeluknya. Dengan sepenuh hati Davin memeluk tubuh Davina lalu mengecup kening adiknya itu lumayan lama. “I'm gonna miss you, Vivin.” “Me too, Brother!” “Jaga diri kamu baik-baik selama di sana ya?” Davina menganggukkan kepalanya. “Kata Mom sama Papa kamu h