"Kau tahu kan tujuan kita ke sini bukan hanya untuk makan?"
"Ya aku tahu, kau sudah mengingatkan ku beberapa kali di via chat," sahut Olivia sambil memperhatikan setiap orang yang datang ke restoran Pizza terenak sekaligus termahal di kota Milan itu.
"Tapi kau belum tahu ciri-ciri ayahku, kan?" tanya Davina hendak memastikan.
Sedetik kemudian Olivia menampakkan cengiran bodohnya. "Oh iya, bagaimana aku bisa menemukan ayah mu jika aku belum mengetahui bagaimana rupanya," katanya sambil menepuk dahi.
Davina mengirimkan sebuah foto lama ayahnya yang ia dapatkan dari ibunya ke ponsel Olivia. "Foto nya sudah ku kirimkan," ucapnya.
Ting.
Bunyi notifikasi pesan muncul di layar ponsel Olivia. Gadis itu segera membuka isi pesannya dan melihat foto ayah Davina yang masih terlihat sangat muda.
"Coba perhatikan baik-baik dan perkirakan bagaimana rupanya jika umurnya sudah bertambah 21 tahun."
"Oh My God! He is your Daddy?" Olivia menutup mulutnya. Gadis itu terpesona melihat ketampanan ayah Davina sewaktu masih muda.
Davina memutar bola matanya, salah satu yang ia tidak sukai dari Olivia yaitu fokusnya sering teralihkan sehingga temannya itu tanpa sadar sudah membuang-buang waktu mereka.
"Ya, he is my Dad, but sekarang dia tidak akan terlihat tampan seperti dia yang ada di foto itu," jawab Davina dengan suara agak keras agar Olivia sadar dari keterpesonaan yang tidak lagi wajar.
"Aku tahu, mungkin sekarang di sudah kelihatan agak tua," kata Olivia yang kemudian kembali mengabsen setiap pengunjung restoran menggunakan penglihatan tajamnya.
Davina pun melakukan hal yang sama, matanya menyelidiki setiap orang yang duduk di sekitarnya. Ada satu pria paruh baya yang Davina curigai namun pria itu duduk membelakanginya, jadi Davina tidak bisa memastikan kalau itu adalah ayahnya.
Davina menepuk bahu Olivia sehingga temannya itu menoleh ke arahnya. "Ada apa? Kau menemukan ayahmu?" tanyanya dengan muka penasaran.
"Aku mencurigai laki-laki paruh baya di pojok kanan itu, aku rasa perawakannya mirip ayahku," jawab Davina setengah berbisik.
Olivia membuka matanya lebar-lebar. "Kemungkinan kecil dia memang ayahmu, tapi kita tidak bisa menyimpulkan sebelum melihat wajahnya dengan jelas."
"Benar juga, tapi bagaimana caranya kita bisa melihat wajahnya dari dekat?" tanya Davina sambil mencari ide.
"Kau bisa berpura-pura menjadi pelayan," usul Olivia yang membuat Davina berpikir keras. Di dalam hatinya tekad dan ego sedang bertengkar sengit.
"Ah, kau pasti gengsi, ya?" tebak Olivia yang di balas gelengan keras oleh Davina.
"Kata siapa, aku tidak gengsi," sangkal nya.
"Kalau kau memang tidak gengsi seharusnya tak perlu berpikir lama-lama untuk menerima usulanku.
"Ck! Tadi aku sedang berusaha mengalahkan egoku!" ucap Davina ketus.
"Jadi bagaimana? Kau mau menyamar jadi pelayan?" Olivia meragukan Davina yang tampak masih sedikit ragu.
"Ya aku mau, sekali-kali aku harus mencoba bereksperimen menjadi pelayan restoran Pizza, kedengarannya tidak buruk bukan?" Dengan terpaksa Davina menurunkan kadar kegengsiannya yang tinggi demi menemukan sang ayah.
"Bagus! Aku akan mengantarmu ke dapur restoran, kau akan bertukar baju dengan salah satu pelayan di sana, semangat! Semoga rencananya berhasil!"
"Ya, semoga saja," sahut Davina pasrah saat tangannya ditarik Olivia ke arah dapur restoran.
*****
"Ya ampun, kau cantik sekali dengan pakaian itu," puji Olivia yang terdengar seperti ejekan.
Davina melotot ke arah Olivia. Temannya itu terlihat sangat senang sedangkan ia merasa tertekan karena harus memakai pakaian pelayan yang sebelumnya tidak pernah ia pakai.
"Kau sudah siap?" tanya Olivia yang di balas anggukan lemah oleh Davina.
"Tarik nafas dalam-dalam lalu hembuskan perlahan-lahan, kau pasti bisa!" kata Olivia memberi semangat.
"Aku akan memperhatikanmu dari meja kita tadi," lanjutnya.
"Oke," sahut Davina yang mulai sedikit gugup.
Tapi gadis itu tak mau membuang-buang waktu lagi, ia keluar dari dapur restoran lalu berjalan ke arah pria yang dicurigai sebagai ayahnya sambil membawa nampan berisi sampanye dan sepotong Pizza ukuran besar.
"Permisi, ini pesanannya sir." Davina meletakkan satu-persatu isi nampan yang di bawanya ke atas meja. Dengan sengaja ia memperlambat gerakannya agar bisa mengamati wajah pria paruh baya di hadapannya yang tengah sibuk membaca koran.
"Dia tak mirip sama sekali dengan Daddy," keluh Davina yang merasa usahanya menyamar sebagai pelayan berujung sia-sia.
"Maaf nona, kau bicara apa tadi?" tanya pria paruh baya itu sambil mengalihkan pandangannya ke arah Davina.
Davina sedikit terkejut tapi sedetik kemudian ia tersenyum ramah. "Makanan dan minuman anda siap untuk di nikmati, silahkan." Davina meniru perkataan pelayan pada umumnya.
"Ooo, terimakasih, dolce signora."
"Sama-sama," balas Davina singkat.
Saat Davina hendak kembali ke dapur segerombolan pemuda asing datang mendekatinya. "Hai, akhirnya kami menemukan mu," ucap salah satu dari mereka.
Davina mengernyitkan dahinya, merasa asing dengan pemuda-pemuda yang menghampirinya. Mata tajamnya memicing waspada. "Kami diperintahkan untuk membawamu, kau bersedia ikut kami?" tanya salah seorang lagi.
"Untuk apa aku harus ikut kalian? Kenal kalian saja aku tidak," sela Davina yang kemudian membalikkan badannya. Namun saat kakinya ingin melangkah menuju ke arah Olivia. Salah satu dari rombongan pemuda tadi mencekal lengannya.
"Don't touch me!" teriak Davina seraya menghempaskan tangan kurang ajar milik pemuda yang tak dikenalnya.
Setelah lengannya terbebas, tanpa pikir panjang Davina berlari keluar restoran, ia tak memikirkan Olivia lagi karena menurut instingnya gerombolan pemuda hanya mengincarnya.
"HEI! JANGAN LARI! KAMI TAK AKAN MENYAKITI MU!" teriak ketua gerombolan pemuda yang Davina yakini adalah para anak buah musuhnya.
"Hari ini benar-benar hari yang buruk," keluh Davina yang berlari tak kenal lelah. Gadis itu lumayan terlatih kalau soal lari, bagaimana tidak? Waktu masih duduk di bangku SMP ia sering memenangkan lomba lari antar sekolah.
"Miss D'angel, bos kami hanya ingin bertemu dengan anda!"
Tuhkan, benar dugaan Davina, mereka itu pasti para anak buah musuhnya yang ada di Roma.
"Saya tidak mau bertemu dengan bos kalian, berhentilah mengejar saya!" teriak Davina memperingati dari jauh.
Rombongan itu malah tak menanggapi peringatan dari Davina, mereka terus mengerahkan seluruh tenaga untuk mengejar Davina. Davina mulai panik saat perutnya tiba-tiba sakit sedangkan rombongan pemuda itu semakin dekat dengannya.
"Ya tuhan, tolong aku," mohon Davina dengan nafas tersengal-sengal.
"Sepertinya aku kurang beruntung kali ini," ucapnya putus asa.
"Mungkin ini risiko yang harus aku hadapi karena aku bersikeras untuk mencari Daddy."
Grepp!
Davina menjerit saat sepasang tangan menarik kedua lengannya dan membawanya ke tempat gelap yang tampak seperti gedung stasiun kereta api yang sudah terbengkalai.
Selanjutnya entah apa yang terjadi. Davina pasrah dan hanya bisa berharap kalau pria yang membawanya sekarang bukan bagian dari para pengejarnya tadi.
Langkah kaki Davina terseok-seok, pria yang menarik lengannya berlari terlalu cepat tanpa memperdulikan keadaannya. Mereka menyusuri terowongan gelap yang sembab dan sedikit berlumut. "STOP!" teriak Davina sambil berusaha menghentikan pria yang menariknya. "Aku rasa mereka sudah tak mengejarku," kata Davina sedikit sangsi sebab ia sendiri tak tahu siapa pria yang menarik lengannya tersebut dan apa tujuannya. "Ehi signorina, untung aku berbelas kasihan padamu, kalau tidak entah bagaimana nasibmu di tangan mereka." Davina menatap pria yang belum melepaskan tangannya itu sambil mengais-ngais udara di sekitarnya. "Terimakasih," ucapnya kemudian sembari melepaskan tangannya dari genggaman pria yang telah menolongnya. "Setelah diamati wajah mu terlalu cantik untuk ukuran seorang pelayan restoran, kenalkan... Aku Sean, bella donna." Davina mengangkat sebelah alisnya saat Sean mengamati wajahnya dengan tatapan aneh yang membuatnya
Davina duduk di kursi tunggu rumah sakit dengan perasaan gelisah, ia khawatir pria bernama Sean yang telah menyelamatkannya dari kejaran antek-antek musuhnya beberapa saat yang lalu itu mati sebab ia tak mau berhutang kepada seseorang. Apalagi orang itu merupakan orang yang baru dikenalnya.Di tengah kegelisahannya Davina dihampiri oleh dua orang perempuan berpakaian putih yang menyerahkan kepadanya sebuah dompet dan ponsel milik Sean yang sekarang masih berada di ruang operasi."Miss, ini dompet dan ponsel milik tuan anda, saya pikir lebih baik dititipkan pada anda."Davina menatap sengit wajah suster yang mengatakan kalau Sean adalah majikannya, What the hell! Sejak kapan ia beralih menjadi pembantu! Ini semua pasti gara-gara baju pelayan yang masih menempel di tubuhnya. Dalam hati Davina mengutuk habis-habisan baju yang dipakainya untuk menyamar itu.Tapi Davina terlalu lelah untuk berdebat, akhirnya ia menerima dompet dan ponsel milik Sean tersebut ta
Davina melirik Sean yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit sambil menatapinya. Tak lama setelah operasi pengangkatan peluru di punggungnya selesai dilaksanakan, pria itu langsung sadar dan kini sudah siuman. Sean menatap Davina sambil mengulum senyum, menahan tawa melihat penampilan kusut gadis itu yang bisa dikatakan mirip seperti orang gila. Rambut awut-awutan, bibir kering, mata merah dan jangan lupakan baju pelayannya yang telah robek di sisi kanan pinggangnya entah karena apa. Sedangkan Davina menatap Sean sambil mencebikkan bibirnya, menahan rasa marah ketika mendapati pria itu merapatkan bibir seperti ingin menertawakan penampilannya. Benar-benar menyebalkan! Pekik Davina dalam hati. Kemudian ia berdiri dan melangkah maju mendekati ranjang tempat Sean berbaring lalu ia menodongkan tangan kanannya tepat di depan wajah Sean. Davina terpaksa menurunkan gengsinya supaya ia bisa meminjam ponsel Sean untuk menghubungi Olivia dan meminta temannya itu untuk
Cuaca di pagi itu sangat dingin, angin berhembus kencang menyapu dedaunan di pinggir jalan, menambah khas musim gugur yang hanya ditemukan di negara-negara empat musim, salah satunya yaitu Italia. Di sebuah kamar apartemen yang terletak di lantai tiga puluh, seorang gadis cantik blasteran Asia-Eropa masih bergelung manja di bawah selimutnya, matanya bahkan belum terbuka. Padahal matahari sudah muncul dari ufuk timur menyinari jendela apartemennya yang tak di lapisi gorden.Kriing... Kriing.Entah sudah berapa kali suara alarm yang berasal dari jam beker itu berbunyi, membangunkan pemiliknya yang tertidur seperti orang mati, entah kapan ia akan terbangun dan menyadari kalau pagi sudah menjelang siang."Hemh, kenapa silau sekali?" gumam Davina yang perlahan mulai membuka mata bulatnya.Tangan Davina berusaha menggapai ponselnya yang terletak di meja samping ranjang. Setelah berhasil meraih ponselnya, ia membuka lockscreen dan terkejut ketika melihat jam ham
“Kamu yakin enggak mau Kakak temenin sampai ke Italia?” “Yakin Kak, pokoknya Kakak enggak usah khawatir, aku bukan anak kecil yang dulu sering minta dianterin ke toko es krim lagi, sekarang aku udah dewasa lho, umurku aja udah 21 tahun.” “Iya iya deh, tapi asal kamu tahu ya, seberapa dewasa pun kamu, di mata kakak kamu tetap adik kecil Kakak. Maka dari itu Kakak selalu khawatir ngelepas kamu sendirian, Kakak takut ada orang yang akan menyakiti kamu, Vivin.” Mata Davina berkaca-kaca mendengar penuturan David, kakak tirinya yang amat sangat menyayanginya sejak ia kecil sampai saat ini. Davina merentangkan kedua tangannya, memberi isyarat kepada Sang Kakak agar memeluknya. Dengan sepenuh hati Davin memeluk tubuh Davina lalu mengecup kening adiknya itu lumayan lama. “I'm gonna miss you, Vivin.” “Me too, Brother!” “Jaga diri kamu baik-baik selama di sana ya?” Davina menganggukkan kepalanya. “Kata Mom sama Papa kamu h
Davina meroling matanya lalu menunjukkan gelang berlambang persatuan hacker yang akhirnya membuat dua orang yang memegang kendali pesawat itu memercayainya."Tolong arahkan pesawat ke kanan!" intrupsi Davina dengan lantang.Pilot dan co-pilot pilot pun akhirnya menuruti semua arahan dari Davina. Mereka sadar kalau Davina merupakan salah satu ahli pemograman yang dapat diandalkan."Suruh penumpang tenang, tetap memakai sabuk pengaman dan perbanyak berdoa," pesan co-pilot kepada dua pramugari yang tadi menghalangi Davina masuk ke dalam kokpit."Baik sir.""Atur ketinggian pesawat, di depan ada awan gelap. Matikan sirine tanda bahaya karena sebentar lagi kita kembali ke jalur aman." Davina kembali menginterupsi pilot dan co-pilot yang duduk di kedua sisinya.Dengan sigap pilot dan co-pilot itu melaksanakan apa yang Davina perintahkan. Mereka mengatur mdpl pesawat dan mematikan sirine tanda bahaya. Sampai pada detik berikutnya pesawat kembali ke
Davina menguap lebar-lebar, ia baru saja bangun dari mimpi panjangnya. Lelah karena perjalanan kemarin sudah terbayar dengan istirahat sepanjang malam tadi. Tanpa berlama-lama lagi Davina turun dari kasurnya, membuka gorden supaya sinar matahari bisa masuk ke dalam kamarnya. Setelah itu Davina masuk ke dalam kamar mandi, menyalakan keran air untuk mengisi jacuzzi. Tak lupa ia menuangkan sabun aroma lavender kesukaannya, setelah itu ia membuka seluruh pakaiannya dan masuk ke dalam jacuzzi."Hmm, wanginya, aku pasti betah berlama-lama di sini," ujar Davina sambil menggosok-gosokkan sabun ke lengan putihnya.Setelah menghabiskan waktu selama hampir satu jam untuk berendam di jacuzzi, Davina membilas tubuhnya di bilik shower lalu memakai bathrobe dan keluar dari kamar mandi. Selanjutnya ia memilih outfit yang akan dikenakannya hari ini sampai pada akhirnya Dress floral selutut menjadi pilihannya."Yes selesai, tinggal makeup, hair do, terus pakai sepatu. Habis itu j
Cuaca di pagi itu sangat dingin, angin berhembus kencang menyapu dedaunan di pinggir jalan, menambah khas musim gugur yang hanya ditemukan di negara-negara empat musim, salah satunya yaitu Italia. Di sebuah kamar apartemen yang terletak di lantai tiga puluh, seorang gadis cantik blasteran Asia-Eropa masih bergelung manja di bawah selimutnya, matanya bahkan belum terbuka. Padahal matahari sudah muncul dari ufuk timur menyinari jendela apartemennya yang tak di lapisi gorden.Kriing... Kriing.Entah sudah berapa kali suara alarm yang berasal dari jam beker itu berbunyi, membangunkan pemiliknya yang tertidur seperti orang mati, entah kapan ia akan terbangun dan menyadari kalau pagi sudah menjelang siang."Hemh, kenapa silau sekali?" gumam Davina yang perlahan mulai membuka mata bulatnya.Tangan Davina berusaha menggapai ponselnya yang terletak di meja samping ranjang. Setelah berhasil meraih ponselnya, ia membuka lockscreen dan terkejut ketika melihat jam ham
Davina melirik Sean yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit sambil menatapinya. Tak lama setelah operasi pengangkatan peluru di punggungnya selesai dilaksanakan, pria itu langsung sadar dan kini sudah siuman. Sean menatap Davina sambil mengulum senyum, menahan tawa melihat penampilan kusut gadis itu yang bisa dikatakan mirip seperti orang gila. Rambut awut-awutan, bibir kering, mata merah dan jangan lupakan baju pelayannya yang telah robek di sisi kanan pinggangnya entah karena apa. Sedangkan Davina menatap Sean sambil mencebikkan bibirnya, menahan rasa marah ketika mendapati pria itu merapatkan bibir seperti ingin menertawakan penampilannya. Benar-benar menyebalkan! Pekik Davina dalam hati. Kemudian ia berdiri dan melangkah maju mendekati ranjang tempat Sean berbaring lalu ia menodongkan tangan kanannya tepat di depan wajah Sean. Davina terpaksa menurunkan gengsinya supaya ia bisa meminjam ponsel Sean untuk menghubungi Olivia dan meminta temannya itu untuk
Davina duduk di kursi tunggu rumah sakit dengan perasaan gelisah, ia khawatir pria bernama Sean yang telah menyelamatkannya dari kejaran antek-antek musuhnya beberapa saat yang lalu itu mati sebab ia tak mau berhutang kepada seseorang. Apalagi orang itu merupakan orang yang baru dikenalnya.Di tengah kegelisahannya Davina dihampiri oleh dua orang perempuan berpakaian putih yang menyerahkan kepadanya sebuah dompet dan ponsel milik Sean yang sekarang masih berada di ruang operasi."Miss, ini dompet dan ponsel milik tuan anda, saya pikir lebih baik dititipkan pada anda."Davina menatap sengit wajah suster yang mengatakan kalau Sean adalah majikannya, What the hell! Sejak kapan ia beralih menjadi pembantu! Ini semua pasti gara-gara baju pelayan yang masih menempel di tubuhnya. Dalam hati Davina mengutuk habis-habisan baju yang dipakainya untuk menyamar itu.Tapi Davina terlalu lelah untuk berdebat, akhirnya ia menerima dompet dan ponsel milik Sean tersebut ta
Langkah kaki Davina terseok-seok, pria yang menarik lengannya berlari terlalu cepat tanpa memperdulikan keadaannya. Mereka menyusuri terowongan gelap yang sembab dan sedikit berlumut. "STOP!" teriak Davina sambil berusaha menghentikan pria yang menariknya. "Aku rasa mereka sudah tak mengejarku," kata Davina sedikit sangsi sebab ia sendiri tak tahu siapa pria yang menarik lengannya tersebut dan apa tujuannya. "Ehi signorina, untung aku berbelas kasihan padamu, kalau tidak entah bagaimana nasibmu di tangan mereka." Davina menatap pria yang belum melepaskan tangannya itu sambil mengais-ngais udara di sekitarnya. "Terimakasih," ucapnya kemudian sembari melepaskan tangannya dari genggaman pria yang telah menolongnya. "Setelah diamati wajah mu terlalu cantik untuk ukuran seorang pelayan restoran, kenalkan... Aku Sean, bella donna." Davina mengangkat sebelah alisnya saat Sean mengamati wajahnya dengan tatapan aneh yang membuatnya
"Kau tahu kan tujuan kita ke sini bukan hanya untuk makan?" "Ya aku tahu, kau sudah mengingatkan ku beberapa kali di via chat," sahut Olivia sambil memperhatikan setiap orang yang datang ke restoran Pizza terenak sekaligus termahal di kota Milan itu. "Tapi kau belum tahu ciri-ciri ayahku, kan?" tanya Davina hendak memastikan. Sedetik kemudian Olivia menampakkan cengiran bodohnya. "Oh iya, bagaimana aku bisa menemukan ayah mu jika aku belum mengetahui bagaimana rupanya," katanya sambil menepuk dahi. Davina mengirimkan sebuah foto lama ayahnya yang ia dapatkan dari ibunya ke ponsel Olivia. "Foto nya sudah ku kirimkan," ucapnya. Ting. Bunyi notifikasi pesan muncul di layar ponsel Olivia. Gadis itu segera membuka isi pesannya dan melihat foto ayah Davina yang masih terlihat sangat muda. "Coba perhatikan baik-baik dan perkirakan bagaimana rupanya jika umurnya sudah bertambah 21 tahun." "Oh My God! He is your Daddy?" Ol
Davina menguap lebar-lebar, ia baru saja bangun dari mimpi panjangnya. Lelah karena perjalanan kemarin sudah terbayar dengan istirahat sepanjang malam tadi. Tanpa berlama-lama lagi Davina turun dari kasurnya, membuka gorden supaya sinar matahari bisa masuk ke dalam kamarnya. Setelah itu Davina masuk ke dalam kamar mandi, menyalakan keran air untuk mengisi jacuzzi. Tak lupa ia menuangkan sabun aroma lavender kesukaannya, setelah itu ia membuka seluruh pakaiannya dan masuk ke dalam jacuzzi."Hmm, wanginya, aku pasti betah berlama-lama di sini," ujar Davina sambil menggosok-gosokkan sabun ke lengan putihnya.Setelah menghabiskan waktu selama hampir satu jam untuk berendam di jacuzzi, Davina membilas tubuhnya di bilik shower lalu memakai bathrobe dan keluar dari kamar mandi. Selanjutnya ia memilih outfit yang akan dikenakannya hari ini sampai pada akhirnya Dress floral selutut menjadi pilihannya."Yes selesai, tinggal makeup, hair do, terus pakai sepatu. Habis itu j
Davina meroling matanya lalu menunjukkan gelang berlambang persatuan hacker yang akhirnya membuat dua orang yang memegang kendali pesawat itu memercayainya."Tolong arahkan pesawat ke kanan!" intrupsi Davina dengan lantang.Pilot dan co-pilot pilot pun akhirnya menuruti semua arahan dari Davina. Mereka sadar kalau Davina merupakan salah satu ahli pemograman yang dapat diandalkan."Suruh penumpang tenang, tetap memakai sabuk pengaman dan perbanyak berdoa," pesan co-pilot kepada dua pramugari yang tadi menghalangi Davina masuk ke dalam kokpit."Baik sir.""Atur ketinggian pesawat, di depan ada awan gelap. Matikan sirine tanda bahaya karena sebentar lagi kita kembali ke jalur aman." Davina kembali menginterupsi pilot dan co-pilot yang duduk di kedua sisinya.Dengan sigap pilot dan co-pilot itu melaksanakan apa yang Davina perintahkan. Mereka mengatur mdpl pesawat dan mematikan sirine tanda bahaya. Sampai pada detik berikutnya pesawat kembali ke
“Kamu yakin enggak mau Kakak temenin sampai ke Italia?” “Yakin Kak, pokoknya Kakak enggak usah khawatir, aku bukan anak kecil yang dulu sering minta dianterin ke toko es krim lagi, sekarang aku udah dewasa lho, umurku aja udah 21 tahun.” “Iya iya deh, tapi asal kamu tahu ya, seberapa dewasa pun kamu, di mata kakak kamu tetap adik kecil Kakak. Maka dari itu Kakak selalu khawatir ngelepas kamu sendirian, Kakak takut ada orang yang akan menyakiti kamu, Vivin.” Mata Davina berkaca-kaca mendengar penuturan David, kakak tirinya yang amat sangat menyayanginya sejak ia kecil sampai saat ini. Davina merentangkan kedua tangannya, memberi isyarat kepada Sang Kakak agar memeluknya. Dengan sepenuh hati Davin memeluk tubuh Davina lalu mengecup kening adiknya itu lumayan lama. “I'm gonna miss you, Vivin.” “Me too, Brother!” “Jaga diri kamu baik-baik selama di sana ya?” Davina menganggukkan kepalanya. “Kata Mom sama Papa kamu h